Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ekonomi hadir sebagai jawaban atas segala bentuk permasalahan pemenuhan


kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah dalam rangka mencapai tujuan akhir
dari kegiatan ekonomi yaitu kesejahteraan. Maka ilmu ekonomi pada dasarnya
menjelaskan berbagai bentuk fenomena yang dapat manusia jadikan sebagai dasar
penentuan pilihan dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Kesejahteraan secara individu maupun kelompok menjadi tujuan utama


manusia melakukan kegiatan ekonomi. Bahkan dalam lingkup yang lebih luas lagi
semisal pemerintahan, kesejahteraan menjadi tujuan utama yang perlu dicapai sebagai
indikator keberhasilan pemerintah dalam mengatur Negara. Pemerintah akan
dikatakan berhasil jika mampu mensejahterakan warga negaranya.

Namun, kesejahteraan seakan hanya menjadi wacana yang sangat sulit untuk
dicapai. Kesejahteraan menjadi sesuatu yang sukar baik itu dilihat dari sudut pandang
teoritis, praktis, maupun standar penentuan kesejahterannya. Bahkan, hal ini menjadi
sulit karena begitu banyaknya standar yang dimiliki oleh individu dalam menentukan
tingkat kesejahterannya.

Dalam sudut pandang (a) teoritis, kesejahteraan memiliki defenisi dan konsep
yang saling bertentangan, baik itu pertentangan dengan paham lain maupun dengan
kenyataan yang diinginkan oleh manusia. Paham kapitalis menilai kesejahteraan
dapat tercapai ketika kebebasan kepemilikan atas suatu factor produksi benar-benar
terealisasi, artinya kesejahteraan hanya akan tercapai dengan cara menguasai
sebanyak-banyaknya factor produksi. Hal ini tentu akan mendapat pertentangan bagi
pihak yang dari awal memang tidak memiliki kekuatan untuk memiliki factor
produksi tersebut, dan dalam jangka waktu yang panjang pihak ini tidak akan
merasakan kesejahteraan.

1
Di sisi lain, paham sosialis melihat bahwa kesejahteraan hanya akan tercapai
jika alat pemenuhan kebutuhan dikuasai secara terpusat oleh pemerintahan atau
pengatur sebuah komunitas dan dibagikan secara merata kapada anggota komunitas.
Sepintas, paham ini menawarkan adanya pemerataan yang baik dalam hal
kepemilikan alat pemenuhan kebutuhan. Namun, paham ini jelas mencerabut hak
individu untuk mencapai kesejahteraan yang hanya akan didapatkan dengan
kemerdekaan memiliki segala bentuk factor produksi yang memungkinkan untuk
memenuhi kebutuhannya.

Secara (b) praktis, kesejahteraan juga mengalami kendala-kendala dalam


pelaksanannya. Salah satu kendala adalah adanya ketidaksesuaian antara ekonomi
dengan kehidupan beragama. Beberapa agama ataupun kepercayaan melihat bahwa
manusia akan sulit mencapai kesejahteraan di akhirat (kehidupan setelah dunia) jika
manusia focus pada pencapaiak kesejahteraan dunia yang dicapai melalui kegiatan
ekonomi. Sebaliknya, manusia akan sulit mencapai kesejahteraan di dunia jika terlalu
focus pada kesejahteraan akhirat.

Kesejahteraan juga akan terasa sulit tercapai, dikarenakan (c) tidak ada standar
yang baku dalam penghitungan kesejahteraan. Bahkan terkadang indikator
kesejahteraan berdiri saling bertentangan. Sebagai contoh, di Indonesia indikator
kesejahteraan salah satunya dikukur melalui tingkat pertumbuhan ekonomi secara
agregat.

Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia menorehkan angka yang


fantastis, yaitu mencapai lebih dari 6%. Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia tergolong baik. Namun, pada tahun yang sama rasio ginie Indonesia
menyentuh angka 0,40. Makna dari rasio ginie tersebut adalah terdapat ketimpangan
pengeluaran masyarakat yang menunjukkan adanya ketimpangan kemampuan
konsumsi dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Masih pada tahun 2016 ditemukan data yang semakin menunjukkan adanya
ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Terdapat 1% warga Negara Indonesia yang

2
menguasai 50% kekayaan Indonesia. Artinya, kesejahteraan dalam hal kepemilihan
kekayaan di Indonesia hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sedangkan secara umum,
masyarakat Indonesia belum sejahtera.

Permasalahan pencapaian kesejahteraan ini hingga sekarang belum menemukan


formula yang cocok untuk menyelesaikannya. Sistem perekonomian yang ada
nyatanya belum mampu menjawab permasalahan kesejahteraan. Masalah
kesejahteraan masih terus berkutat dalam diskusi-diskusi teoritis tanpa mendapat
solusi praktis yang ebnar-benar manjur.

Seiring dengan itu, system ekonomi islam terus berkembang menjadi sebuah
disiplin ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan. Hingga akhirnya pada awal abad
ke-20 ekonomi islam benar-benar menjadi disiplin yang dapat
dipertanggungjawabkan. Bahkan, dalam kenyataannya bisa diterapkan dan berjalan
dengan baik.

Ekonomi islam hadir memberi jawaban atas begitu banyak permasalahan


perekonomian yang belum dijawab oleh system ekonomi konvensional. Salah satunya
adalah mengenai standar kesejahteraan. Untuk mencapai kesejahteraan tersebut, maka
ekonomi syariah sudah seharusnya menawarkan bentuk bisnis syariah yang dapat
menunjang kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dibahas konsep dan bentuk bisnis ekonomi syariah untuk menjawab pertanyaan
mengenai permasalahan kesejahteraan ini.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan kesejahteraan yang belum mampu ditemukan solusinya baik


secara teoritis maupun praktis ini dicoba untuk dijawab melalui system ekonomi
syariah melalui beberapa bentuk bisnis yang dijalankan dengan system syariah. Maka
dalam makalah ini dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk bisnis bank syariah?

3
2. Bagaimana bentuk bisnis pegadaian syariah?
3. Bagaimana bentuk bisnis asuransi syariah?
4. Bagaimana bentuk bisnis Baitul Mal wa Tamwil?
C. Tujuan Penulisan

Adapaun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan hal-hal


berikut:

1. Bentuk bisnis bank syariah


2. Bentuk bisnis pegadaian syariah
3. Bentuk bisnis asuransi syariah
4. Bentuk bisnis baitul mal wa tamwil

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ekonomi Syariah

Ekonomi Syariah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk
memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan
ekonomi dengan cara-cara Islam, yaitu berdasarkan atas ajaran agama Islam, yaitu Al
Qur'an dan Sunnah Nabi (P3EI: 2012)

Menurut Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan


bahwa ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner
dalam arti kajian ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan
yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu pendukungnya
juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika,
statistik, logika dan ushul fiqih (Rianto dan Amalia, 2010:7).

M.A. Mannan mendefinisikan ilmu ekonomi syariah sebagai suatu ilmu


pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami
oleh nilai-nilai islam (Mannan, 1992:15).

Muhammad Abdullah Al-Arabi (1980:11), Ekonomi Syariah merupakan


sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al Qur'an dan As-
sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan
dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa.

B. Tujuan Ekonomi Syariah


Tujuan Ekonomi Syariah selaras dengan tujuan dari syariat Islam itu sendiri
(maqashid asy syariah), yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah)
melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah). Tujuan
falah yang ingin dicapai oleh Ekonomi Syariah meliputi aspek mikro ataupun makro,
mencakup horizon waktu dunia atau pun akhirat (P3EI, 2012:54).

5
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan
ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukkan bahwa Islam diturunkan sebagai
rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu (Rahman, 1995:84):
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup
aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati
bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan
dasar, yaitu: keselamatan keyakinan agama (al din), kesalamatan jiwa (al
nafs), keselamatan akal (al aql), keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
dan keselamatan harta benda (al mal).

C. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah

Pelaksanaan ekonomi syariah harus menjalankan prinsip-prinsip sebagai


berikut (Sudarsono, 2002:105):

1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah
swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama Ekonomi Syariah adalah kerja sama.
4. Ekonomi Syariah menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh
segelintir orang saja.
5. Ekonomi Syariah menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat
nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab).
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

6
Layaknya sebuah bangunan, sistem ekonomi syariah harus memiliki fondasi
yang berguna sebagai landasan dan mampu menopang segala bentuk kegiatan
ekonomi guna mencapai tujuan mulia. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar
dalam ekonomi syariah, diantaranya adalah (Zainuddin Ali, 2008):

1. Tidak melakukan penimbunan (Ihtikar). Penimbunan, dalam bahasa Arab


disebut dengan al-ihtikar. Secara umum, ihtikar dapat diartikan sebagai
tindakan pembelian barang dagangan dengan tujuan untuk menahan atau
menyimpan barang tersebut dalam jangka waktu yang lama, sehingga barang
tersebut dinyatakan barang langka dan berharga mahal.
2. Tidak melakukan monopoli. Monopoli adalah kegiatan menahan keberadaan
barang untuk tidak dijual atau tidak diedarkan di pasar, agar harganya menjadi
mahal. Kegiatan monopoli merupakan salah satu hal yang dilarang dalam
Islam, apabila monopoli diciptakan secara sengaja dengan cara menimbun
barang dan menaikkan harga barang.
3. Menghindari jual-beli yang diharamkan. Kegiatan jual-beli yang sesuai
dengan prinsip Islam, adil, halal, dan tidak merugikan salah satu pihak adalah
jual-beli yang sangat diridhai oleh Allah swt. Karena sesungguhnya bahwa
segala hal yang mengandung unsur kemungkaran dan kemaksiatan adalah
haram hukumnya.

D. Manfaat Ekonomi Syariah

Apabila mengamalkan ekonomi syariah akan mendatangkan manfaat yang


besar bagi umat muslim dengan sendirinya, yaitu:

1. Mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga islam-nya tidak


lagi setengah-setengah. Apabila ditemukan ada umat muslim yang masih
bergelut dan mengamalkan ekonomi konvensional, menunjukkan bahwa
keislamannya belum kaffah.

7
2. Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga keuangan
islam, baik berupa bank, asuransi, pegadaian, maupun BMT (Baitul Maal wat
Tamwil) akan mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan di
dunia diperoleh melalui bagi hasil yang diperoleh, sedangkan keuntungan di
akhirat adalah terbebas dari unsur riba yang diharamkan oleh Allah.
3. Praktik ekonomi berdasarkan syariat islam mengandung nilai ibadah, karena
telah mengamalkan syariat Allah.
4. Mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga keuangan syariah, berarti
mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam.
5. Mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau
menjadi nasabah asuransi syariah berarti mendukung upaya pemberdayaan
ekonomi umat. Sebab dana yang terkumpul akan dihimpun dan disalurkan
melalui sektor perdagangan riil.
6. Mengamalkan ekonomi syariah berarti ikut mendukung gerakan amar ma'ruf
nahi munkar. Sebab dana yang terkumpul pada lembaga keuangan syariah
hanya boleh disalurkan kepada usaha-usaha dan proyek yang halal.

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Bank Syariah

Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7


Tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan UU No. 10 Tahun
1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit
usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.

Sedangkan yang dimaksud dengan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip


Syariah menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain (a) pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudhorobah), (b) pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), (c) prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), (d) pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan
(ijarah) atau (e) dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain ( ijarah wa iqtina ).

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank


Syariah dan Unit Usaha-Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya.Sama seperti
halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan
bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank
konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun
harga belinya.

9
Dalam rangka mengetahui perbedaan antara bank syariah dan bank
konvensional, secara lebih rinci akan dipaparkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional


BANK
NO PERBEDAAN BANK SYARIAH
KONVENSIONAL
1 Falsafah Tidak berdasarkan bunga, Berdasarkan Bunga
spekulasi, dan ketidakjelasan

2 Operasional Dana masyarakat berupa Dana masyarakat


titipan dan investasi yang berupa simpanan
baru akan mendapatkan yang harus dibayar
hasil jika diusahakan bunganya pada saat
jatuh tempo
Penyaluran pada usaha Penyaluran pada
yang halal dan sektor yang
menguntungkan menguntungkan
aspek halal tidak
menjadi
pertimbangan utama

3 Aspek Sosial Dinyatakan secara ekspilit dan Tidak di ketahui secara


tegas yang tertuang dalam misi tegas
dan visi

4 Organisasi Harus memiliki dewan Tidak memiliki dewan


Pegawas Syariah pengawas Syariah

Sumber: Sudarsono (2002) dan P3EI (2012)

Selain perbedaan-perbedaan yang dipaparkan pada tabel 3.1, masih terdapat


perbedaan lain yaitu dalam hal kegiatan usaha. Ada beberapa kegiatan usaha bank
syariah yang tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Kegiatan-kegiatan
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan atau bentuk
lainnya, dan bentuk investasi berupa tabungan, deposito atau bentuk lainnya
berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2. Menyalurkan pembiayaaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah,
musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

10
3. Menyalurkan pembiayaan untuk transaksi jual-beli dengan berbagai akad
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
4. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
5. Menyalurkan pembiayaan penyewaan kepada nasabah berdasarkan akad ijarah
dan/atau sewa beli yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
6. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
7. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah

B. Pegadaian Syariah

Pegadaian syariah adalah lembaga yang menaungi kegiatan gadai syariah (rahn)
yaitu menahan salah satu harta dari si peminjam yang diperlukan sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Dalam gadai syariah ini, barang yang ditahan
mempunyai nilai ekonomis dan pihak yang menahan akan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali sluruh atau sebagian piutangnya (Antonio: 2001).

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak


terkecuali pegadaian. Perum Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang
disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya produk-produk berbasis syariah
mempunyai karakteristik seperti, tidak memunggut bunga dalam berbagai bentuk
karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau
bagi hasil. Pegadaian syariah atau kerap dikenal dengan istilah rahn, dalam
pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI).

Sebagai penerima gadai atau disebut mutahim, penggadai akan mendapatkan


Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut
dengan Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (ijarah). Dalam akad gadai

11
syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai
menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh muhtarin guna melunasi pinjaman.
Sedangkan akad sewa tempat (ijaroh) merupakan kesepakatan antara penggadai
dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima
gadai akan mengenakan jasa simpan.

Untuk lebih jelas dalam memahami perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian
konvensional, akan disajikan pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Perbedaan Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah

NO PEGADAIAN KONVENSIONAL PEGADAIAN SYARIAH

1 Biaya administrasi berdasarkan Biaya administrasi berdasarkan


persentase golongan barang ketetapan golongan barang

2 Bila lama pengembalian pinjaman Bila lama pengembalian pinjaman


lebih dari perjanjian, barang akan lebih dair perjanjian, barang akan
dilelang dijual kepada masyarakat

3 Maksimal jangka waktu 4 bulan Maksimal jangka waktu 3 bulan

4 Bila uang kelebihan lelang tidak Bila uang kelebihan lelang tidak
diambil dalam waktu satu tahun, uang diambil dalam waktu satu tahun, uang
menjadi milik pegadaian akan diserahkan kepada lembaga ZIS

5 Mengenakan bunga Tidak mengenakan bung


Sumber: Rahmat Hidayat (2015)

Salah satu inovasi produk yang diluncurkan oleh pegadaian adalah Program
Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian yang saat ini lebih dikenal dengan Gadai
Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran bahwa dalam rangka
mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah pada saat panen raya.
Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar bisa menjual gabah yang
dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pengalaman saat ini ketika terjadi panen raya , petani selalu dirugikan . Untuk
mencegah kerugian yang diderita oleh petani pada saat musim panen akibat anjloknya

12
harga gabah, perum pegadaian meluncurkan gadai gabah. Dengan sistem ini, petani
menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijual ketika harga
gabah kembali normal. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen
pada perum pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah
kembali normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sama ketika
menggadaikan gabahnya ditambah harga sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan.
Jika selama batas empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat
menebusnya, gabah akan dilelang oleh perum pegadaian. Kelebihan harga gabah akan
diberikan kepada petani.

C. Asuransi Syariah

Dalam bahasa Arab Asuransi disebut At-tamin, penanggung disebut


muammin, sedangkan tertanggung disebut muamman lahu atau mustamin. At-
tamin memiliki arti memberi perlindungan, ketenagan, rasa aman, dan bebas dari
rasa takut. Menn-tamin-kan sesuatu, artinya adalah seseorang
membayar/menyerahkan uang cicilan agar ia tahu ahli warisnya mendapatkan
sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti
terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang mempertanggungkan atau
mengansuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya.

Ada tujuan islam yang menjadi kebutuhan mendasar, yaitu al-kifayah


kecukupan dan al-amnu keamanan. Sebagaimana firman Allah Swt, Dialah Allah
yang mengamankan mereka dari ketakutan, sehingga sebagian masyarakat menilai
bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk keamanan. Mereka menyebutnya dengan
al-amnu al-qidzai aman konsumsi. Dari prinsip-prinsip tersebut, islam mengarahkan
kepada umatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri di masa datang
maupun untuk keluarganya sebagaimana nasihat Rasul kepada Saad bin Abi
Waqqash agar menyedekahkan sepertiga dari hartanya saja. Selebihnya ditinggalakan
untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat.

13
Prinsip asuransi syariah, suatu asuransi diperbolehkan secara syari, jika tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat islam. Untuk itu dalam
muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong-
menolong, saling menjamin, tidak berorientasi bisnis semata. Allah Swt.
Berfirman, Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan
dan janganlah saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
2. Asuransi syariat tidak bersifat muawadhah, tetapi tabarru atau mudharabah.
3. Sumbangan (tabarru) sama dengan hibah, oleh kerena itu haram hukumnya
ditarik lagi. Kalau terjadi peristiwa maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan, harus disertai dengan niat untuk membantu demi menegakan
prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah
uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan
tujuan supaya ia mendapatkan imbalan yang berlipat bila terkena suatu
musibah. Akan tetapi, ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu
menurut izin ynag diberikan oleh jamaah.
6. Apabila uang itu akan dikembangkan, harus dijalankan sesuai aturan syari.

Dalam pelaksanannya, asuransi syariah dan asuransi konvensional memiliki


beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 3.3.

Tabel 3.3 Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional


No Prinsip Asuransi konvensional Asuransi Syariah
Akad tabarru dan akad
Jual beli (akad tijarah (mudharabah,
1 Akad
muawaddah) wakalah, wadiah, syirkah,
dll.)
2 Jaminan/risk Transfer risk Sharing of risk
3 Kepemilikan dana Milik Perusahaan Milik peserta, asuransi

14
syariah hanya sebagai
pemegang amanah
Merupakan pemikiran Al-Quran dan Hadits,
4 Sumber hukum
manusia dan kebudayaan ijtihad
Ada, berfungsi sebagai
pelaksanaan oprasional
5 DPS Tidak ada
perusahaan agar berjalan
sesuai prinsip syariah
Terdiri dari tabel mortalitas, Terdiri atas unsur tabarru
6 Unsur Premi
bunga, dan biaya asuransi dan tabungan
Ada batasan, sesuai dengan
7 Investasi Tidak ada batasan
prinsip syariah
Sumber: Sudarsono (2002)

D. Baitul Mal wa Tamwil

BMT merupakan kependekan dari Baitul Mal wa Tamwil. Lembaga ini


merupakan gabungan dari dua fungsi, yaitu baitul mal atau rumah dana serta baitul
tamwil atau rumah usaha. Baitul mal telah dikembangkan sejak zaman Nabi
Muhammad SAW sebagai lembaga yang bertugas untuk mengumpulkan sekaligus
membagikan (tashoruf) dana sosial, seperti zakat, infak dan shodaqoh (ZIS).
Sedangkan baitu tamwil merupakan lembaga bisnis keuangan yang berorientasi laba
(Muhammad Ridwan. 2004).

BMT memiliki visi, misi serta tujuan yang mengarah kepada upaya
meningkatkan kualitas ibadah anggota khususnya, sebagai wakil-pengabdi Allah
dalam memakmurkan kehidupan ekonomi masyarakat pada umumnya. Ibadah dalam
hal ini berarti luas dalam segala aspek kehidupan, demi mewujudkan sebuah pola
kehidupan sosial masyarakat yang adil dan makmur, khususnya dalam hal
kesejahteraan ekonomi.

BMT merupakan sebuah usaha bisnis. Dengan begitu, BMT dikelola secara
profesional sehingga mencapai tingkat efiiensi ekonomi tertentu, demi mewujudkan
kesejahteraan anggota, seiiring penguatan kelembagaan BMT itu sendiri. Pada sudut
pandang sosial, BMT (dalam hal ini baitul mal) berorientasi pada peningkatan
kehidupan anggota yang tidak mungkin dijangkau dengan prinsip bisnis. Stimulan

15
melalui dana ZIS akan mengarahkan anggota untuk mengembangkan usahanya, untuk
pada akhirnya mampu mengembangkan dana bisnis.

Dalam kinerja operasionalnya, BMT di Indonesia sama dengan fungsi utama


operasional bank syariah yang mencakup penghimpunan dana dari masyarakat
(funding) dan penyaluran dana (financing) sebagai bentuk usaha BMT itu sendiri.
Sistem yang digunakan tentu saja merupakan sistem yang berlandaskan syariah
Islam. Akad-akad yang diterapkan dalam perbankan syariah juga diterapkan di BMT,
seperti mudharabah, murabahah, wadiaah hingga qardhul hasan, baik dalam konteks
penghimpunan maupun penyaluran dana dari dan kepada masyarakat.

Walaupun sama-sama merupakan lembaga keuangan syariah, serta memiliki


sistem dan mekanisme kerja yang relatif sama, pada tataran hukum, BMT belum bisa
disejajarkan dengan bank syariah. Perbankan syariah telah memperoleh landasan
yuridis berdasarkan Undang Undang Perbankan. Pertama kali berdasarkan Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor
10 Tahun 1998. Berdasarkan undang-undang tersebut perbankan syariah telah
memiliki legitimasi hukum yang kuat.

Legalitas keberadaan BMT dianggap sah karena tetap berasaskan Pancasila,


UUD 1945 dan prinsip syariah Islam. Pada sudut pandang lembaga sosial, BMT
memiliki kesamaan fungsi dengan Lembaga Amil Zakat. BMT dituntut untuk daapat
menjadi LAZ yang mapan dalam pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, sedekah
dan wakaf dari mustahiq kepada golongan yang paling berhak sesuai ketentuan
syariah dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

Sebagai lembaga bisnis, legalitas BMT sebagai lembaga yang bergerak dalam
penghimpunan dana masyarakat terbentur status hukum yang sulit. Sebagai lembaga
yang bukan bank, usaha yang dilakukan oleh BMT lebih dekat kepada koperasi
simpan-pinjam. BMT sebagai lembaga keuangan mikro bergerak dalam kegiatan
usaha menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Betapapun kegiatan
penghimpunan dan penyaluran dana oleh BMT ini dalam skala kecil, namun kegiatan

16
usaha ini secara yuridis tampak berlawanan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perbankan.

Menurut pasal 16 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 tahun 1998, kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan
oleh Bank Umum atau BPR, kecuali apabila kegiatan itu diatur dengan undang-
undang tersendiri. Sebagaimana juga yang tercantum dalam pasal 46 UU tersebut,
BMT seharusnya mendapatkan sanksi karena menjalankan usaha perbankan tanpa
izin usaha. Namun di sisi lain, keberadaan BMT di Indonesia justru mendapatkan
dukungan dari pemerintah, dengan diluncurkan sebagai Gerakan Nasional pada tahu
1994 oleh Presiden.

Untuk mengatasi krisis hukum tersebut, maka dalam prakteknya sebagian BMT
mengambil bentuk badan usaha koperasi dan sebagian lain belum memiliki badan
usaha yang jelas atau masih bersifat pra-koperasi. Koperasi sendiri merupakan
bentuk badan usaha yang relatif lebih dekat untuk BMT, tetapi menurut Undang
Undang Perkoperasian kegiatan menghimpun dana simpanan terbatas hanya dari para
anggotanya (Pasal 44 UU. No. 25/ 1992). Pasal 44 ayat (1) U.U. No. 25 Tahun 1992
mengatur bahwa koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui
kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan,
atau koperasi lain dan/atau anggotanya. Salah satu nama yang berkembang kemudian
adalah lembaga KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) yang berstatus hukum
koperasi.

E. Konsep Ekonomi Syariah dalam Mengatasi Masalah Kesejahteraan

Konsep strategi ekonomi syariah dalam mengatasi masalah kesenjangan


kesejahteraan adalah dengan terlebih dahulu menyetarakan persepsi mengenai
kesejahteraan. Penyetaraan kesejahteraan ini dilakukan melalui penjelasan tujuan
hidup manusia yang sebenarnya. Dalam persepsi ekonomi syariah, tujuan hidup
adalah falah.

17
Falah berasal dari bahasa Arab yang berarti kesuksesan, kemuliaan, atau
kemenangan. Dalam pengertian literal, falah adalah kemuliaan dan kemenangan,
yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Istilah falah menurut islam diambil
dari kata-kata Al-quran, yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang,
dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justru
lebih ditekankan pada aspek spiritual. Dalam konteks dunia, falah merupakan konteks
yang multi dimensi. Ia memiliki implikasi pada aspek perilaku individual /mikro
maupun perilaku kolektif (Munrokhim, dkk: 2008).

Jika tujuan hidup mengacu pada defenisi falah, maka sebenarnya manusia
memiliki parameter yang jelas dalam menentukan tingkat kesejahteraan, yaitu
hubungan yang seimbang antara kebutuhan material dan spiritual. Melalui
pemahaman yang benar akan tujuan hidup ini akan membuat kelangkaan barang dan
jas menjadi suatu kerelatifan. Artinya, kelangkaan adalah sesuatu yang dapat
dikendalikan dari dalam diri manusia.

Hal yang tidak kalah penting dalam penetapan kesejahteraan hidup melalui
Falah adalah pengurangan kesenjangan antara satu individu dengan individu lainnya.
Mengapa falah dapat mengurangi kesenjangan kesejahteraan? Dikarenakan dalam
mencapai falah seseorang harus menempuh mashlahah.

Masih menurut Munrokhi, dkk (2008) mashlahah adalah segala bentuk


keadaan, baik material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Menurut as-Shatibi, mashalahah dasar
kehidupan manusia terdiri dari lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual
(aqh), keluarga dan keturunan (nash), dan material (wealth).

Dikarenakan untuk mencapai falah manusia perlu memenuhi atau menempuh


mashlahah, maka sudah pasti falah tidak akan dapat dicapai jika manusia bersikap
individualitas. Unsur agama (dien) telah memuat dengan baik nilai-nilai kebersamaan
(ukhuwah) yang perlu dipenuhi untuk mencapai falah. Otomatis, seseorang yang
hendak mencapai kemuliaan dalam perspektif Islam haruslah membangun nilai

18
kebersamaan termasuk dalam perekonomian untuk memenuhi unsur dien itu sendiri.
Maka secara langsung ini akan berefek pada terciptanya perekonomian kolaboratif,
lalu secara bertahap akan mengurangi bahkan menghapus kesenjangan kesejahteraan.

Ekonomi konvensional hingga saat ini masih belum bias memberikan jawaban
atas permasalahan kesenjangan kesejahteraan, karena pada dasarnya ekonomi
konvensional tidak memiliki batasan yang tepat dalam menyamaratakan standar
kesejahteraan. Baik secara teoritis maupun praktis ekonomi konvensional masih
banyak membicarakan pemenuhan kebutuhan material dan mengesampingkan
spiritual. Padahal, unsur spiritual penting sebagai pengendalian diri agar manusia
tidak melakukan penyimpangan dalam mencapai kesejahteraan dengan mengambil
atau merebut kesejahteraan manusia lain.

Ekonomi syariah mengedepankan integrasi antara ekonomi positif dengan


ekonomi normative. Pembauran ekonomi positif dan ekonomi normative akan
menciptakan sebuah paradigm perekonomian yang didasarkan pada realitas hubungan
perekonomian dan dibarengi dengan norma yang berlaku. Melalui pendekatan ini,
ekonomi syariah memiliki peluang yang lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan
secara merata.

Berbeda dengan ekonomi konvensional yang memisahkan ekonomi positif dan


ekonomi normative. Pemisahan ini mengandung implikasi bahwa fakta ekonomi
merupakan sesuatu yang independen terhadap norma, artinya tidak ada kausalitas
antara norma dengan fakta. Dengan kata lain, realitas ekonomi merupakan sesuatu
yang bersifat objektif, dan akan berlaku secara universal. Otomatis, cita-cita
pemerataan kesejahteraan akan semakin sulit dicapai.

19
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penjabaran pada bagian pembahasan, maka dapat disimpulkan


bahwa bentuk bisnis ekonomi syariah meliputi bank syariah, pegadaian syariah,
asuransi syariah, dan baitul mal wa tamwil. Ekonomi syariah dinilai mampu
mengatasi masalah kesenjangan kesejahteraan dengan menjadikan falah sebagai
indikator kesejahteraan yang dapat diraih melalui mashlahah. Pengintegrasian
ekonomi positif dan ekonomi normative juga dinilai menjadi formula baru dalam
menciptakan keseimbangan perekonomian.

B. Saran

Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan, hendaknya pemerintah mulai


mempertimbangkan ekonomi syariah sebagai solusi dari permasalahan kesenjangan
kesejahteraan di Indonesia. Selain itu, perlu sosialisasi yang lebih luas kepada
masyarakat tentang ekonomi syariah untuk menghindari pemahaman yang salah
bahwa ekonomi syariah hanyalah untuk pemeluk agama islam.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muhammad Al-assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1980. Sistem Ekonomi
Islam, Prinsip-Prinsip Dan Tujuan-Tujuannya. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Al Arif, M. Nur Rianto dan Euis Amalia. 2010. Teori Mikroekonomi: Suatu
Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Jakarta, Kencana.

Hidayat, Rahmad. 2015. Perbedaan Pegadaian syariah dengan Konvensional.


http//www.rahmad-hidayat651.blogspot.co.id

M. A Mannan. 1992. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Intermasa.

Muhammad Ridwan. 2004. Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press.

Munrokhim, Priyonggo, dan Bhekti. 2007. Ekonomi Islam. Yogyakarta: Rajawali


Pers

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). 2012. Ekonomi Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin ekonomi Islam Jilid I. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf.

Sudarsono, M.B, Hendri. 2002. Pengantar Ekonomi Mikro Islam. Yogyakarta,


Ekonosia.

Zainuddin Ali. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

21

Anda mungkin juga menyukai