Di negara negara maju dan sedang berkembang, kematian maternal merupakan masalah yang besar.
Tingkat kematian maternal di Indonesia diperkirakan sekitar 450 per 100.000 kelahiran hidup.
(Wiknjosastro, 2007). Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40
60%, infeksi 20 30%, dan keracunan kehamilan 20 30%, sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain
yang memburuk saat kehamilan atau persalinan dan masa nifas.
Di Indonesia eklampsia disamping perdarahan dan infeksi masih merupakan sebab utama kematian
ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi (Winkjosastro, 2007).). Pre eklampsia dan eklampsia
merupakan kesatuan penyakit, yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas
bagaimana hal itu terjadi. Istilah kesatuan penyakit harus diartikan bahwa kedua peristiwa dasarnya
sama dan bahwa eklampsia merupakan peningkatan yang lebih berat dan berbahaya dari pre
eklampsia, dengan tambahan gejala-gejala tertentu. Pre eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda
hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan ke -3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Masa nifas masa yang sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pemantauan karena
pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah, bahkan
dapat berlanjut pada komplikasi nifas (Sulistyawati, 2009). Pre eklampsi dalam kehamilan dan
persalinan sebagian besar berlanjut pada masa nifas (Fraser, 2009), pada ibu nifas kejang dapat terjadi
untuk pertama kalinya setelah melahirkan. Kejang dapat juga terjadi kembali seteleh melahirkan. Oleh
karena itu pasien harus diobservasi denga seksama (WHO, 2001). Biasanya tanda-tanda pre eklamsia
timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan
akhirnya proteinuria (Wiknjosastro, 2007). Pre eklampsia dibagi menjadi pre eklampsia ringan dan
berat. (WHO, 2001). Jika seorang ibu pascapartum menunjukkan tanda-tanda yang berhubungan
dengan pre eklamsia, bidan harus waspada kemungkinan tersebut dan harus melakukan observasi
tekanan darah dan urine dan mencari bantuan medis (Fraser, 2009). Pentingnya diagnosa secara dini
membantu penatalaksanaan secara dini sehingga penatalaksanaan pre-eklamsi yang baik dapat
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin.
1.2 Tujuan
2. Menganalisa data untuk menentukan diagnosis aktual dan diagnosis potensial yang mungkin timbul
pada ibu nifas dengan PEB
4. Merencanakan asuhan kebidanan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan ibu ibu nifas dengan
PEB
1.3 Pelaksanaan
1.4 Manfaat
Bab 1 Pendahuluan
Menguraikan tentang latar belakang, tujuan penulisan, pelaksanaan, manfaat dan sistematika penulisan
Menguraikan tentang konsep dasar masa nifas, konsep dasar pre eklampsi berat, konsep dasar asuhan
kebidanan pada ibu nifas dengan pre eklampsi berat.
Menguraikan pengkajian data secara subyektif dan obyektif, analisa dan penatalaksanaan
Bab 4 Pembahasan
Bab 5 Penutup
Daftar Pustaka
2.1.1 Batasan
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai hingga alat-alat
kandungan kembali seperti prahamil (Bahiyatun, 2009)
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira
6 minggu (Sulistyawati, 2009)
Setelah kelahiran bayi dan keluarnya plasenta, ibu memasuki masa penyembuhan fisik dan psikologis.
Dari sudut pandang medis dan fisiologis, masa ini disebut dengan nifas, yang dimulai sesaat setelah
keluarnya plasenta dan selaput janin serta berlanjut hingga 6 minggu (Fraser, 2009).
1. Puerperium dini
Puerperium dini merupakan masa kepulihan, yang dalam hal ini ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan. Dalam agama islam, dianggap bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
2. Puerperium intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia, yang lamanya
sekitar 6-8 minggu.
3. Remote puerperium
Remote puerperium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih dan sehat yang sempurna,
terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat
sempurna dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan.
1) Involusi uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum hamil. Dengan involusi
uterus ini, lapisan luar dari desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi neurotic (layu/mati)
(Sulistyawati, 2009).
Masa nifas berawal segera setelah plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus. Oksitosin yang
dibebaskan dari kelenjar hipofisis anterior menginduksi kontraksi miometrium yang intermiten dan
kuat, dan karena rongga uterus sudah kosong maka keseluruhan uterus berkontraksi penuh ke arah
bawah dan dinding uterus kembali menyatu berhadapan satu sama lain.
Setelah satu jam paska salin, miometrium sedikit melemas, tetapi perdarahan aktif dihambat oleh
pengaktifan mekanisme pembekuan darah, yang selama kehamilan mengalami perubahan besar,
untuk menghasilkan respons pembekuan yang cepat (Coad, 2006).
Hemostasis dicapai melalui tiga cara yaitu (1) iskemi, (2) tekanan aposisi dinding-dinding uterus
menghasilkan rogga berbentuk T, (3) mekanisme pembekuan darah.
Segera setelah lahir, uterus memiliki berat sekitar 900-1000g dan fundus teraba sekitar 11-12cm di atas
simfisis pubis (Howie, 1995). Tempat perlekatan plasenta tampak kemerahan dan terpajan. Uterus
bersambungan dengan vagina dan serviks melingkupi korpus uterus. Involusi uterus berlangsung
sedemikian cepat sehingga 50% dari massa total jaringan lenyap dalam 1 minggu. Terjadi perubahan
yang mencolok dalam kandungan kolagen dan elastin, sementara air dan protein lenyap.
Involusi terjadi karena hormon plasenta an diperkirakan diperantarai oleh enzim hidrolik dan proteolitik
yang dibebaskan dari sel miometrium, sel endotel pembuluh darah dan magrofag.
Inisiasi menyusui dan pengisapan puting payudara oleh bayi pada awal kelahiran memperkuat
pengeluaran oksitosin, oksitosin merangsang miometrium dan juga membantu pengosongan rongga
uterus.
Selama persalinan tidak jarang terjadi kerusakan pada jaringan lunak, yaitu kerusakan pada perineum.
Trauma pada perineum dijelaskan sebagai berikut:
Superficial hal ini biasanya berupa lecet pada kulit tempat epidermis terpisah akibat tekanan
peregangan. Luka ini tidak memerlukan pengobatan, namun kelainan ini sering menimbulkan rasa
tidak nyaman karena terganggunya banyak ujung syaraf yang terletak di lapisan superficial jaringan.
Derajat satu adalah robekan kulit dan jaringan superficial di bawahnya (tidak termasuk otot). Luka
sering sembuh sendiri karena tepi luka biasanya berhadapan langsung.
Derajat dua apabila robekan menyebabkan kerusakan otot perineum. Luka ini biasanya dijahit
untuk membantu penyembuhan
Derajat tiga otot sfingter anus terkena. Harus dilakukan perbaikan obstetric sehingga penyulit
inkontinensia feses dapat dihindari.
Derajat empat apabila robekannya sangat luas, sfingter anus dapat terputus dan robekan mencapai
mukosa rectum. Diperlukan perbaikan bedah spesialis agar fungsi anus kembali normal.
Episiotomi adalah insisi bedah untuk memperbesar introitus vagina agar bayi mudah keluar. Episiotomi
yang perbaikannya merupakan kewenangan bidan termasuk dalam kategori robekan derajat dua.
3) Lochea
Lochea adalah keluaran dari uterus setelah melahirkan. Cairan yang pertama kali keluar dari vagina
disebut dengan lokia rubra dan terdiri atas darah yang terkumpul di dalam saluran reproduksi dan
produk autolitik desidua yang nekrotik dari tempat perlekatan plasenta.
Lokea pertama kemerahan dan mungkin mengandung bekuan. Jumlah dan karakternya berubah dari
hari ke hari. Pada awalnya jumlah lochea sangat banyak, kemudian sedang, dan biasanya berhenti
dalam 2 minggu. Warna digambarkan dengan bahasa Latin, rubra untuk merah segar, serosa untuk
serum kecoklatan dan alba untuk kuning keputihan. Keluaran keseluruhan setelah melahirkan adalah
400 sampai 1200ml. Normalnya lochea memiliki bau apak. Bau yang amis atau busuk menandakan
terjadinya infeksi (Hamilton, 1995).
- Lochea sanguinolenta; 3 7 hari, berwarna putih merah kekuningan berisi darah dan lendir.
- Lochea purulenta; terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
- Perdarahan berkepanjangan.
4) Pengeluaran darah
Pengeluaran darah yang berlebihan (>500ml) dan dalam 24 jam persalinan disebut perdarahan
pascapartum. Perdarahan ini disebabkan oleh kegagalan miometrium berkontraksi secara sempurna,
atau kegagalan mekanisme pembekuan darah.
Risiko perdarahan primer lebih rendah setelah persalinan, tetapi sebelum involusi uterus selesai tetap
ada risiko perdarahan sekunder apabila terjadi infeksi di dalam rongga uterus. Perdarahan biasanya
disebabkan oleh efek fibrinolitik bakteri, bakteri yang bersifat anaerob yang mampu tumbuh subur
tanpa oksigen sehingga mungkin diperlukan antibiotik khusus.
5) Perubahan hormon
Pada akhir kehamilan sebagian besar hormon steroid berasal dari plasenta walaupun korpus luteum
dan ovarium terus menghasilkan sebagian. Kadar esprogen dan progesteron turun ketingkat sebelum
hamil dalam 72 jam setelah persalinan. Hormon protein plasenta memiliki waktu paruh yang lebih lama
sehingga kadar plasenta turun lebih lambat. Selama kehamilan, pembentukan gonadotropin tertekan.
Kadar FSH pulih ke konsentrasi prahamil dalam 3 minggu setelah persalinan, tetapi pemulihan sekresi
LH memerlukan waktu lebih lama, bergantung pada lama laktasi. Kadar oksitosin dan prolaktin juga
bergantung pada kinerja laktasi.
1) Sistem pernafasan
2) Sistem perkemihan
Pada masa nifas terjadi diuresis untuk mengembalikan peningkatan air ekstrasel. Diuresis biasanya
terjadi antara hari kedua dan kelima pasca persalinan. Distensi pada kandung kemih juga berpengaruh
terhadap kontraksi uterus sehingga dapat menyebabkan perdarahan. Kebanyakan pasien dapat
berkemih secara spontan dalam 8 jam setelah melahirkan.
Aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomelurus, dan keratinin plasma, kembali ke kadar normal prahamil
pada pemeriksaan minggu ke-6. Ekskresi vitamin dan mineral melalui urine normal dalam minggu
pertama setelah persalinan. Kadar renin dan angiotensin plasma menyesuaikan diri dengan hilangnya
hormon janin yang mempengaruhi pengendalian keduanya sehingga kadar turun dan meningkat
sebelum kembali ke normal.
Selama persalinan motilitas lambung berkurang, penurunan tonus sfingter esofagus bawah, penurunan
motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung menyebabkan perlambatan pengosongan
lambung. Tonus dan tekanan sfingter esofagus bawah akan kembali normal dalam 6 minggu setelah
persalinan. Pada nifas dini, penurunan tonus otot dan motilitas saluran cerna dapat menyebabkan
relaksasi abdomen, peningkatan distensi gas dan konstipasi setelah melahirkan.
Perubahan berat badan disebabkan oleh kombinasi peningkatan ACTH, ADH, dan stress, yang
semuanya meningkatkan retensi natrium dan air. Berat biasanya turun sejak hari ke-4 setelah
persalinan karena deurisis meningkat. Penurunan berat badan cenderung lebih besar pada wanita
dengan paritas rendah, usia yang lebih muda, dan berat badan prahamil yang lebih rendah.
Kekuatan otot dasar panggul dan pengendalian neuromuskulusnya lebih terganggu dan mengalami
trauma mekanis yang lebih besar pada wanita yang melahirkan pervagina, terutama pada minggu
pertama masa nifas. Namun bagi sebagian besar wanita, tonus dan kekuatan otot kembali normal
dalam 2 bulan. Melemahnya otot sirkum vagina berkaitan dengan keadaan perineum, episiotomi, lama
kala dua persalinan, berat bayi, dan teknik pendorongan.
Dinding abdomen mungkin tetap lunak dan kendor selama beberapa minggu. Peregangan yang
berlebihan menyebabkan kelemahan otot yang menetap. Sendi dan ligamentum panggul yang
melunak secara perlahan kembali ke normal selama beberapa bulan. Strie gravidarum menjadi lebih
pucat dalam beberapa bulan tetapi hanya memudar dan tidak menghilang.
Masa nifas di sebut sebagai trimester keempat (Johnstone 1994), dan sesuai dengan definisinya, masa
nifas adalah periode 6-8 minggu pascapartum, saat ibu menyesuaikan diri secara fisiologis dan
psikososial untuk menjadi ibu.
Perubahan emosi normal pada masa nifas bersifat pilihan dan kompleks dan mungkin meliputi hal-hal
berikut ini (Ball 1994, Barclay&Llyod 1996, Bick&MacArthur 1995, Bick et al 2002, Johnstone 1994):
- Perasaan yang kontradiktif dan bertentangan, mulai dari kepuasan, kegembiraan, kebahagiaan,
hingga kelelahan, ketidakberdayaan, ketidakbahagiaan, dan kekecewaan karena pada beberapa
minggu pertama tampak didominasi oleh hal baru dan asing yang tidak terduga ini.
- Kelegaan, syukurlah semua telah berakhir, mungkin diungkapkan oleh kebanyakan ibu segera
setelah kelahiran; kadang-kadang ibu menanggapi secara dingin terhadap peristiwa yang baru terjadi,
terutama bila ibu mengalami persalinan lama, dengan komplikasi, dan sulit.
- Beberapa ibu mungkin merasa dekat dengan pasangan dan bayi; sama halnya dengan ibu yang tidak
tertarik dengan bayinya, meskipun beberapa ibu yang ingin menyusui menginginkan adanya kontak
kulit-ke-kulit dan segera menyusui.
1. Bonding Attachment
Menurut Brazetton (1978), bonding (ikatan) didefenisikan sebagai suatu ketertarikan satu sama lain
(mutual) yang pertama kali antar individu, seperti antara orangtua dan anak pada waktu pertama kal i
bertemu. Proses kasih sayng dapat berlangsung secara terus menerus, dimulai pada saat ibu hamil dan
semakkin menguat pada awal pasca melahirkan.
Kondisi yang dapat mempengaruhi ikatan menurut Mercer (1982) adalah sebagai berikut:
Kesehatan emosional orang tua (termasuk kemampuan untuk mempercayai orang lain).
Sistem dukungan sosial yang meliputi pasangan hidup, teman dan keluarga.
Suatu tingkat keterampilan dalam berkomunikasi dan dalam memberi asuhan yang kompeten.
Kecocokan orang tua-bayi (termasuk keadaan, temperamen dan jenis kelamin bayi.
Fase ini merupakan periode ketergantungan dimana ibu mengaharapkan segala kebutuhannya
terpenuhi orang lain. Berlangsung selama 1-2 hari setelah melahirkan, dimana fokus perhatian ibu
terutama pada dirinya sendiri. Disebut fase taking in karena selama waktu ini ibu yang baru melahirkan
memerlukan perlindungan dan perawatan. Dikatan fase dependen karena pada waktu ini ibu
menunjukkan kebahagiaan/kegembiraan yang besar dan sangat senang untuk menceritakan tentang
pengalamannya melahirkan.
Pada fase ini ibu lebih mudah tersinggung dan cenderung pasif terhadap lingkungannya disebabkan
karena faktor kelelahan. Oleh karena itu ibu perlu cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur.
Disamping itu, kondisi tersebut perlu dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik. Pada fase ini
perlu diperhatikan pemberian ekstra makanan untuk proses pemulihan ibu dan nafsu makan ibu juga
sedang meningkat.
Karena ibu-ibu tersebut seringkali mengalami kesulitan menyesuaikan diri terhadap isolasi yang dialami
dan tidak menyukai terhadap tanggugn jawabnya di rumah dan merawat bayi.
4. Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase penerimaan tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung setelah 10
hari pasca melahirkan. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan
ibu untuk merawat diri dan bayinya sangat meningkat pada fase ini. Terjadi penyesuaian dalam
hubungan keluarga untuk mengobservasi bayi. Hubungan antar pasangan memerlukan penyesuaian
dengan kehadiran anggota baru (bayi).
Tidak ada kontraindikasi dalam pemberian nutrisi setelah persalinan. Ibu harus mendapat nutrisi yang
lengkap dengan tambahan kalori sejak sebelum hamil (200-500 kal) yang akan mempercepat
pemulihan kesehatan dan kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI, serta mencegah
terjadinya infeksi.
Ibu nifas memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, mencegah konstipasi, dan
untuk memulai proses pemberian ASI eksklusif. Asupan kalori per hari ditingkatkan sampai 2700 kalori.
Asupan cairan per hari ditingkatkan sampai 3000 ml (susu 1000 ml). Suplemen zat besi dapat diberikan
kepada ibu nifas selama 4 minggu pertama setelah kelahiran (Bahiyatun, 2009).
Ambulasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing pasien keluar dari tempat
tidurnya dan membimbingnya untuk berjalan. Menurut penelitian, ambulasi dini tidak mempunyai
pengaruh yang buruk, tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal, tidak mempengaruhi
penyembuhan luka episiotomy, dan tidak memperbesar kemungkinan terjadinya prolaps uteri atau
retrofleksi. Ambulasi dini tidak dibenarkan pada pasien dengan penyakit anemia, jantung, paru-paru,
demam, dan keadaan yang lain yang masih membutuhkan istirahat (Sulistyawati, 2009).
3. Eliminasi
Dalam 6 jam pertama postpartum, pasien sudah harus dapat buang air kecil. Semakin lama urine
tertahan dalam kandung kemih maka dapat mengakibatkan kesulitan pada organ perkemihan,
misalnya infeksi. Biasanya, pasien menahan air kencing karena takut akan merasakan sakit pada luka
jalan lahir. Bidan harus dapat meyakinkan pada pasien bahwa kencing sesegera mungkin setelah
melahirkan akan mengurangi komplikasi postpartum. Berikan dukungan mental pada pasien bahwa ia
pasti mampu menahan sakit pada luka jalan lahir akibat terkena air kencing karena ia pun sudah
berhasil berjuang untuk melahirkan bayinya.
Dalam 24 jam pertama, pasien juga sudah harus dapat buang air besar karena semakin lama feses
tertahan dalam usus maka semakin sulit baginya untuk buang air besar secara lancar. Feses yang
tertahan dalam usus semakin lama akan mengeras karena cairan yang terkandung dalam feses akan
selalu terserap oleh usus. Bidan harus dapat meyakinkan pasien untuk tidak takut buang air besar
karena buang air besar tidak akan menambah parah luka jalan lahir. Untuk meningkatkan volume feses,
anjurkan pasien untuk makan tinggi serat dan banyak minum air putih (Sulistyawati, 2009).
4. Higiene
Karena keletihan dan kondisi psikis yang belum stabil, biasanya ibu postpartum masih belum cukup
kooperatif untuk membersihkan dirinya. Bidan harus bijaksana dalam memberikan motivasi ini tanpa
mengurangi keaktifan ibu untuk melakukan personal hygiene secara mandiri. Pada tahap awal, bidan
dapat melibatkan keluarga dalam perawatan kebersihan ibu (Sulistyawati, 2009).
5. Istirahat
Ibu postpartum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk memulihkan kembali keadaan
fisiknya. keluarga disarankan untuk memberikan kesempatan kepada ibu untuk beristirahat yang cukup
sebagai persiapan untuk energi menyusui bayinya nanti (Sulistyawati, 2009). Jika ibu kurang istirahat
akan mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi ASI, memperlambat proses involusi,
memperbanyak perdarahan, menyebabkan depresi, dan menimbulkan rasa ketidakmampuan merawat
bayi (Bahiyatun, 2009).
6. Seksual
Secara fisik, aman untuk melakukan hubungan seksual begitu darah merah berhenti dan ibu dapat
memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa rasa nyeri. Banyak budaya dan agama yang
melarang untuk melakukan hubungan seksual sampai masa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari
atau 6 minggu setelah kelahiran. Keputusan bergantung pada pasangan yang bersangkutan
(Sulistyawati, 2009).
Untuk mencapai hasil pemulihan otot yang maksimal, sebaiknya latihan masa nifas dilakukan seawal
mungkin dengan catatan ibu menjalani persalinan dengan normal dan tidak ada penyulit postpartum.
Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun
bayinya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50%
kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Masa neonatus merupakan masa kritis dari
kehidupan bayi, dua pertiga kematian bayi terjadi dalam waktu 4 minggu setelah persalinan dan 60%
kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir. Dengan pemantauan melekat dan
asuhan pada ibu dan bayi masa nifas dapat mencegah beberapa kematian ini (Saifuddin, 2000).
Prinsip dari asuhan pada masa nifas ini adalah melakukan kunjungan untuk mengevaluasi keadaan ibu
nifas selama perawatan di rumah seperti apa. Pemberian health education juga merupakan hal penting
dalam pelaksanaan kunjungan pada masa nifas (home care).
Dalam 1 jam pertama persalinan, ibu dan bayi tidak boleh ditinggal tanpa pengawasan karena ibu satu
jam post partum ini rawan terjadi perdarahan dan harus diobservasi tanda-tanda vitalnya secara
berkala.
Yang harus dikaji dalam kunjungan pertama ini adalah TFU, kontraksi uterus, banyaknya perdarahan,
perkembangan tanda-tanda vital, kandung kemih, dan rooming in jika ibu tidak terdapat komplikasi
yang berarti.
Yang harus dikaji di kunjungan kedua ini adalah sama seperti kunjungan kedua.
Kunjungan keempat ini akan dievaluasi cairan yang keluar dari vagina, keberhasilan ASI eksklusif,
penyuluhan metode KB agar tidak terjadi hamil anak selanjutnya yang tidak direncanakan, serta
penyuluhan mengenai hubungan seksual. Jika involusi telah sempurna, ibu dan suami diperbolehkan
untuk berhubungan seksual.
2.2.1 Pengertian
Pre eklampsia adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan, terjadi setelah minggu ke-20
gestasia, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, edema juga terjadi (WHO, 2001).
Preeklampsia Berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria > 5gr/24 jam (Saifuddin A, 2008).
2.2.2 Etiologi
Apa yang menjadi penyebab pre eklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum dketahui. Telah
terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab musabab penyakit tersebut, akan tetapi
tidak ada yang memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus harus dapat
menerangkan hal-hal berikut :
1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigravidas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola
hidatidosa
3) sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus
Gambar 2.2 Trias pre eklampsi berat (modifikasi teori dari saifuddin dan winkjosastro)
Biasanya tanda-tanda pre-eklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat badan yang berlebihan,
diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre-eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-
gejala subyektif. Pada pre-eklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah (Wiknjosastro,2007).
7. Nyeri epigastrium
8. Skotoma atau gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat
9. Perdarahan retina
11. Koma
2.2.5 Diagnosis
Pada umunya diagnosis pre eklampsi didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda utama: hipertensi,
edema dan proteinuria. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan, karena cepat tidaknya
penyakit meningkat tidak dapat diramalkan. Diagnosis diferensial antara pre eklampsi dengan
hipertensi atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran.
- Pemeriksaan edema
- Pemeriksaan funduskopik
- Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan apus darah tepi)
- Rool-over test
Menurut Wiknjosastro (2007), Perubahan pokok yang didapatkan pada pre-eklampsia adalah spasmus
pembuluh darah disertai dengan retensi garam dna air. Dengan biopsi ginjal, Altchek dkk. (1968)
menemukan spasmus yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola
demikian kecilnya, sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Bila dianggap bahwa
spasmus arteriola juga ditemukan diseluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa tekanan darah
yang meningkat tampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan tahanan perifer, agar oksigenisasi
jaringan dapat dicukupi. Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang
berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Telah diketahui bahwa pada
preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada
kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi
air dan natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang
agak lama pertumbuhan janin terganggu; pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin
sampai kematiannya karena kekurangan oksigenisasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap
perangsangan sering didapatkan pada pre-eklampsia dan eklampsia, sehingga mudah terjadi partus
prematurus.
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga menyebabkan
filtrasi glomerulus mengurang. Kelainan pada ginjal yang penting ialah dalam hubungan dengan
proteinuria dan mungkin sekali juga dengan retensi garam dan air. Mekanisme retensi garam dan air
belum diketahui benar, tetapi disangka akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi
gromerulus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada kehamilan normal penyerapan ini
meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus
arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi
garam dan dengan demikian juga retensi air. Peranan kelenjar adrenal dalam retensi garam dan air
belum diketahui benar. Fungsi ginjal pada pre-eklampsia tampaknya agak menurun bila dilihat dari
clearance asam urik. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga menyebabkan
diuresis turun ; pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
Pada pre-eklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau
beberapa arteri; jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Retinopatia arteriosklerotika menunjukkan
penyakit vaskuler yang menahun. Keadaan tersebut tak tampak pada pre-eklampsia, kecuali bila terjadi
atas dasar hipertensi menahun atau penyakit ginjal. Spasmus arteri retina yang nyata menunjukkan
adanya pre-eklampsia berat, walaupun demikian, vasospasmus ringan tidak selalu menunjukkan pre-
eklampsia ringan. Pada pre-eklampsia jarang terjadi ablasio retina. Keadaan ini diserta dengan buta
sekonyong-konyong. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan merupakan indikasi
untuk pengakhiran kehamilan segera. Biasanya setelah persalinan berakhir, retina melekat lagi dalam 2
hari sampai 2 bulan. Gangguan penglihatan secara tetap jarang ditemukan. Skotoma, diplopia, dan
ambliopia pada penderita pre-eklampsia merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya
eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks
serebri atau dalam retina.
5. Perubahan pada paru-paru
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri.
McCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan
lebih meninggi lagi pada eklampsia. Walaupun demikian, aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen
pada pre-eklampsia tetap dalam batas normal. Pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada
eklampsia.
Hemokonsentrasi yang menyertai pre-eklampsia dan eklampsia tidak diketahui sebabnya. Terjadi disini
pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini yang diikuti oleh kenaikan
hemotokrit, peningkatan protein serum, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume
darah mengurang, viskositet darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu,
aliran darah ke jaringan diberbagai bagian tubuh mengurang, dengan akibat hipoksia. Dengan
perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai
ukuran tentang perbaikan keadaan penyakit dan tentang berhasilnya pengobatan.
1. Paritas
Paritas adalah seorang wanita yang beberapa kali melahirkan hidup atau meninggal tidak termasuk
aborsi (Varney, 2001).
Klasifikasi paritas :
a. Primipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm sebanyak 1 kali (Cunningham, 2005).
b. Multipara adalah seorang wanita yang telah menyelesaikan dua atau lebih kehamilan sampai pada
stadium hidup (Cunningham, 2005).
c. Multipara adalah seorang wanita yang telah hamil 2 kali atau lebih yang menghasilkan janin hidup
(Dorland, 2002).
d. Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih, hidup atau (Mochtar,
1998).
e. Grandemulti adalah ibu yang pernah hamil/melahirkan anak 4 kali atau lebih (Poedji Rochjati, 2003).
Pada primigravida frekuensi pre-eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,
terutama gravida muda (Wiknjosastro, 2007). Ibu yang mempunyai tanda-tanda klinis hipertensi akibat
kehamilan dapat terus mengalaminya hingga pascapartum (Fraser dkk, 2009).
Usia individu mulai saat dilahirkan dan sampai saat berulang tahun terakhir (Elizabeth, 1995 dalam
Nursalam dan Pariani, 2000 : 134). Klasifikasi usia yaitu :
a. Remaja (13-19 tahun) memiliki kemungkinan lebih besar mengalami anemia, dan beresiko lebih
tinggi memiliki janin yang pertumbuhannya terhambat, persalinan premature, dan angka kematian bayi
yang lebih tinggi.
b. Menurut Penny Simkin (2007) usia yang paling menguntungkan bagi wanita untuk hamil adalah usia
20 sampai pertengahan 30-an.
c. Ibu hamil yang berumur 35 tahun atau lebih, dimana pada usia tersebut terjadi perubahan pada
jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi. Selain itu ada kecenderungan didapatkan
penyakit lain dalam tubuh ibu (Poedji Rochjati, 2003). Sedangkan menurut Cunningham dkk (2005)
penelitian-penelitian awal mengalami penyulit obstetris serta morbiditas dan mortalitas perinatal.
Bahaya yang dapat terjadi pada kelompok ibu berusia 35 tahun atau lebih antara lain :
3. Hamil kembar
Pada hamil kembar perut tampak membesar lebih besar dari biasanya. Rahim ibu juga ikut membesar
yang menekan organ tubuh disekitarnya dan menyebabkan keluhan-keluhan nafas tidak longgar,
pembengkakan kedua bibir kemaluan dan tungkai, pemekaran urat-urat varices dan hemoroid. Bahaya
yang dapat terjadi pada kehamilan kembar yaitu keracunan kehamilan, kembar air, ibu kurang darah,
persalinan prematur, kelainan letak persalinan sukar atau timbul perdarahan setelah bayi dan uri lahir
(Poedji Rochjati, 2003).
4. Poli hidramnion
Hidramnion adalah kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari 2 liter. Keadaan ini mulai tampak
pada triwulan III, dapat terjadi secara perlahan-lahan atau sangat cepat. Pada kehamilan normal,
jumlah air ketuban 0,5-1 liter. Karena rahim snagat besar menekan pada organ tubuh sekitarnya yang
menyebabkan keluhan-keluhan antara lain : sesak nafas karena sekat rongga dada terdorong ke atas;
perut membesar, nyeri perut karena rahim berisi air ketuban > 2 liter dan pembengkakan pada kedua
bibir kemaluan dan tungkai. Bahaya yang dapat terjadi :
a. Keracunan kehamilan
c. Kelainan letak
5. Hipertensi esensial
Wanita dengan hipertensi esensial sebelum kehamilan dapat diperburuk kondisi hipertensi saat hamil.
Gangguan hipertensi meliputi berbagai gangguan vaskular, seperti hipertensi gestasional, pre-
eklampsia, sindrom hellps, eklampsia dan hipertensi kronis (Fraser, 2009).
Ibu yang memiliki riwayat pre eklampsia berat sebelum usia gestasi 32 minggu beresiko 5% mengalami
kekambuhan pada usia gestasi tersebut dan 15% resiko kekambuhan secara keseluruhan (Matter dan
Sibai, 2000 dalam buku Myles buku ajar bidan, 2009).
Kecenderungan meningkatnya frekuensi pre eklampsia dan eklampsia pada anak ibu dengan riwayat
pre eklampsia dan eklampsia (Manuaba, 1998).
8. Obesitas
Wanita yang berat badan kurang dari 100 pon sebelum menjadi hamil, mungkin memiliki bayi kecil
atau berat badan kurang. Wanita dengan obesitas lebih mungkin memiliki bayi yang sangat besar,
yang kemungkinan sulit dilairkan. Wanita denga obesitas mungkin juga mengalami DM dan Pre
eklampsia
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama adalah melahirkan bayi hidup dari
ibu yang menderita pre-eklampsia berat. Komplikasi ini juga pasti menimpa pada ibu dengan eklampsi,
komplikasi yang terjadi pada saat nifas adalah :
1. Hipofibrinogenemia, pada PEB sering terjadi dan ditemukan komplikasi ini sehingga sangat
dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
2. Hemolisis, penderita yang menderita pre eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
hemolisis karena ikterus. Belum pasti kerusakan karena sel-sel hati atau destruksi sel darah merah.
7. Sindroma HELLP
8. Kelainan ginjal
9. Komplikasi lain seperti lidah tergigit akibat kejang, trauma dan fraktur
Ibu pernah mengalami episode hipertensi pada kehamilan dapat terus mengalaminya hingga
pascapartum. Ibu yang mempunyai tanda-tanda klinis hipertensi akibat kehamilan masih beresiko
untuk mengalami eklamsia pada beberapa jam atau beberapa hari setelah persalinan, meskipun hal ini
jarang terjadi pada populasi normal (Atterbury et al, 1998). Pemantauan tekanan darah harus terus
dilakukan pada ibu yang menderita hipertensi antenatal dan penatalaksanaan pascapartum disesuaikan
dengan kondisi individu. Bagi para ibu ini, nasihat medis diberikan untuk menentukan batas tekanan
sistolik dan diastolik yang optimal, disertai instruksi penanganan dengan menggunakan obat
antihipertensi jika tekanan darah melebihi batas yang telah ditentukan. Kadang-kadang, ibu dapat
mengalami pre-eklampsia pascanatal meskipun tidak memiliki masalah antenatal yang terkait dengan
pre-eklampsia. Oleh karena itu, jika seorang ibu pascapartum menunjukkan tanda yang berhubungan
dengan pre-eklampsia, bidan harus waspada terhadap kemungkinan tersebut dan harus melakukan
observasi tekanan darah dan urine dan mencari bantuan medis (Fraser, 2009).
2.2.11 Penanganan
Pasien yang mengalami tanda-tanda adanya prekelampsia berat atau kejang harus segera dirujuk ke
tempat pelayanan kesehatan terdekat. Bila pasien mengalami kejang, harus diyakini bahwa jalan napas
tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-
waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala
pasien dan kalau perlu putar juga badannya ke samping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai
terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya dan
dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika
posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hal ini dikarenakan gagal
jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala
untuk mengurangi cairan dalam paru-paru.
Selama dilakukan rujukan, pantau dan nilai adanya pemburukan pre eklampsi, apabila terjadi eklampsi
lakukan penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2g IV perlahan
selama 5-10 menit. Bila setelah pemberian masih kejang dapat dipertimbangkan pemberian diazepam
10mg IV selama 2 menit. Lakukan intubasi jika sering terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke
ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif.
2. Penatalaksanaan Medis
Menurut Agus Abadi dkk dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan, Surabaya penatalaksanaan pre eklampsia terbagi atas:
1) Perawatan Konserfatif
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Bag. Obstetri dan Ginekologi RSU Dr. Soetomo (tahun
1995), menyimpulkan perawatan konserfatif pada kehamilan premature 32 minggu terutama < 30
minggu memberikan prognosa yang buruk. Diperlukan perawatan konserfatif sekitar 7 15 hari.
(1) Indikasi
Pada UK < 34 minggu estimasi berat janin < 2000 gram tanpa ada tanda tanda impending
Eklampsia).
(2) Pengobatan
- 10 MgSO4 50% im setiap 6 jam s/d 24 jam pasca persalinan (kalau tidak ada kontraindikasi dalam
pemberian MgSO4).
- Diberikan anithipertensi , yaitu Nifedipin 5 10 mg setiap 8 jam. Dapat diberikan bersamaan dengan
Methyldopa 250 500 mg setiap 8 jam. Nifedipin dapat diberikan ulang sublingual 5- 10 mg dalam
waktu 30 menit pada keadaan tekanan sistolik 180 mmHg atau diastolik 110 mmHg (cukup 1 kali
saja).
- Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu ( fungsi hepar dan ginjal) dan produksi urin 24 jam.
- Konsultasi dengan bagian lain; bagian mata, bagian jantung, bagian lain sesuai indikasi
b. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di Ruang Bersalin (setelah 24 jam masuk ruang
bersalin)
- Tirah baring
- Obat obat:
- Roboransia: multivitamin
- Anti hipertensi (Nifedipin 5 10 mg setiap 8 jam, atau Methyldopa 250 mg setiap 8 jam)
- Pergunakan Atenolol dan blocker (dosis Regimen) dapat diberikan pada pemberian kombinasi
- Pemeriksaan laboratorium
- Urine lengkap
- Produksi urin per 24 jam (Esbach), penimbangan BB setiap hari, pemeriksaan lab dapat diulangi
sesuai dengan keperluan
2) Perawatan Aktif
(1) Indikasi
a. Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek, ada gejala gejala impending eklampsia
Dosis awal :
MgSO4 20% 4gr larutkan dalam 10cc aquabides, berikan larutan secara IV selama 20 menit, jika akses
intravena sulit berikan masing-masing 5gr MgSO4 $)% IM boka boki.
Dosis pemeliharaan :
MgSO4 40% 6gr dan larutkan dalam 500ml RL lalu berikan secara IV dengan kecepatan 28tetes/menit
dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir.
Syarat pemberian:
- Harus selalu tersedia calcium glukonas 1 gr 10% diberikan i.v pelan- pelan pada intoksikasi MgSO4
- Antihipertensi dapat dipertimbangkan apabila systole 180 mmHg diastole 120 mmHg. Nifedipin 5 -
10 mg tiap 8 jam atau Methyldopa 250 mg tiap 8 jam
a. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita dilakukan pemeriksaan Non Stress
test
- Penderita belum inpartu dengn skor pelvic jelek (skor Bishop <5)
- NST baik
1. Batasi jumlah asupan cairan sampai 500 ml per 24 jam + jumlah yang sama dengan jumlah urine
yang keluar.
2. Jika tidak ada kemajuan dalam 24 48 jam, dokter harus memutuskan bahwa penatalaksanaan
selanjutnya sangat dibutuhkan.
Jika tekanan darah masih tetap tinggi dalam 48 jam setelah melahirkan, program antihipertensi standar
harus segera dimulai. Pasien harus dikaji ulang oleh dokter yang akan memutuskan perlu tidaknya
dilakukan penatalaksanaan jangka panjang. (WHO, 2001)
2.4 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan Pre Eklampsi Berat
No. Register : memudahkan dalam mencari riwayat kesehatan, kehamilan, atau persalinan yang
sebelumnya.
Hari/tanggal :
Jam :
Tempat :
Data Subjektif
1. Identitas pasien
Agama : Agama :
Pendidikan : Pendidikan :
Pekerjaan : Pekerjaan :
Alamat:
2. Alasan datang
Pasien datang rujukan, kiriman atau datang sendiri untuk memeriksakan keadaannya, jika rujukan
dapat diketahui denngan diagnosis apa sehingga data tersebut dapat mambantu dalam menegakkan
diagnosis.
3. Keluhan utama
Ibu nifas dengan PEB sering mengeluh sakit di kepala daerah, pengeliatan kabur/ gangguan
pengeliatan, nyeri perut, mual ataupun muntah-muntah (Wiknjosastro, 2007)
4. Riwayat kehamilan
Ibu nifas dengan kehamilan PEB akan mengalami kekambuhan pada masa nifas. Faktor predisposisi
yang menyebabkan PEB adalah kehamilan dengan hipertensi esensial, polihidramnion dan gemelli
serta iskemia plasenta. Mola hidatidosa juga menjadi faktor risiko PEB.
Hari, tanggal dan jam melahirkan untuk memantau perkembangan PEB, Jumlah paritas menjadi faktor
risiko dalam PEB.
Keluarga ada yang menderita eklampsi bisa menjadi faktor predisposisi PEB
Stress dan gelisah pada ibu meningkatkan tekanan darah / hipertensi yang dapat menjadi faktor
pencetus PEB
Data Objektif
1. Pemeriksaan umum
2. Pemeriksaan fisik
- Ibu memegang kepala karena terasa sakit kepala yang hebat pada daerah frontal
- Perdarahan mata
- Bendungan ASI
- Edema tangan
3. Pemeriksaan penunjang
- Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit (<100.000sel/uL), morfologi eritrosit pada sediaan
apus darah tepi)
- Pemeriksaan mata diplopia dengan cara worth four dots, skotoma dengan test lapang pandang
DS : usia >35th, mengeluh sakit di kepala, pengeliatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual
ataupun muntah-muntah. Punya riwayat pre eklampsi pada kehamilan sebelumnya. Gemelli,
polihidramnion, DM.
DO: obesitas, tekanan darah >160/110mmHg, proteinuria +2, trombositopeni, oliguria, nyeri
epigastrium, edema pada ekstremitas, skotoma, diplopia.
Masalah : nyeri perut, pandangan mata kabur, bendungan ASI, edema, cemas
Mandiri :
- Di BPM : perbaiki jalan nafas, sirkulasi, MgSO4 looding dose dan intubasi apabila kejang dan segera
rujuk
- Di RS : perbaikan KU
Rujukan : bila ada gejala PEB yang mengarah ke eklampsia segera rujuk ke rumah sakit yang
memenuhi fasilitas yang memadai.
2.4.5 Intervensi
R/ informasi yang jelas membantu ibu dan keluarga untuk mengerti tindakan yang akan dilakukan.
R/ pernafasan dipantau untuk menghindari adanya gagal nafas dan sirkulasi dibutuhkan untuk
pemberian cairan terutama obat MgSO4 sebagai dosis awal pencegahan terjadinya kejang.
3. Berikan dosis awal MgSO4 40% sebanyak 4g larutkan dengan 10 ml aquades dan IV perlahan selama
20menit
R/ pada pre eklampsia berat pemberian MgSO4 sebagai pencegahan kejang, dan apabila sudah
eklampsia sebagai penatalaksanaan segera ketika pasien kejang.
4. Persiapkan ibu, bidan, alat-alat medis, keluarga, surat rujukan, obat-obatan (MgSO4 dan
CaGlukonas), kendaraan dan uang untuk persiapan rujukan.
R/ pendampingan seorang bidan akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada ibu sebagai
sesame wanita sehingga ibu tidak merasa khawatir dalam proses rujukan.
6. Lakukan kolaborasi dengan dokter obgyn untuk pemberian MgSO4 dosis rumatan dan spesialis
terkait untuk pemeriksaan laboratorium.
9. Berikan KIE tentang gizi diet cukup protein dan perawatan masa nifas, dan bendungan ASI
R/ menjaga kesehatan ibu dan mencegah komplikasi dini pada masa nifas terutama bendungan ASI
dikarenakan ibu belum bisa meneteki.
10. Buat komitmen dengan ibu untuk melakukan follow up di poli 6 minggu setelah melahirkan atau
sewaktu-waktu apabila ada keluhan ibu bisa datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya
2.4.6 Implementasi
Melakukan rencana asuhan kebidanan yang menyeluruh yang telah di uraikan pada intervensi secara
aman dan efisien, yang dapat dilakukan oleh bidan seluruhnya ataupun oleh tenaga kesehatan lainnya.
Walaupun bidan tidak melakukannya sendiri, sebagai bidan tetap bertanggung jawab dalam
mengarahkan pelaksanaannya.
2.4.7 Evaluasi
Mengevaluasi kefektifan dari asuhan kebidanan yang sudah diberikan meliputi kebutuhan akan
bantuan apakah telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi dalam
diagnosa dan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Bahiyatun, 2009. Buku ajar asuhan kebidanan nifas normal. Jakarta: EGC
Bobak, dkk, 2004. Buku ajar keperawatan maternitas edisi 4. Jakarta: EGC
Coad, J. 2006. Buku anatomi dan fisiologi untuk bidan. Jakarta: EGC
Fraser, D. Margaret A. Cooper(Ed), 2009. Myles buku ajar bidan. Edisi 14. Cetakan 1. Jakarta: EGC
Maryunani, A, 2009. Asuhan pada ibu dalam masa nifas (postpartum). Jakarta: TIM
Mitayani. 2009. Asuhan keperawatan maternitas. Jakarta: Salemba Medika
______, 1998. Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi obstetri patologi. Jakarta: EGC
Sulistyawati, A. 2009. Buku ajar asuhan kebidanan pada ibu nifas. Yogyakarta: ANDI
Varney, Helen., Jan M. Kriebs., dan Carolyn L. Gegor, 2002. Buku saku bidan. Jakarta: EGC
WHO, 2013. Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Jakarta: -
______, 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Edisi pertama. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka.