Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

REAKSI ALERGI DAN ANAFILAKTIK

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik


SMF Ilmu Anestesiologi

Disusun oleh:
Pany Chandra Lestari
NIM 406161002

Dokter Pembimbing:
dr. Donni Indra Kusuma, Sp.An, Msi.Med

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


RSUD K.R.M.T WONGSONEGRO KOTA SEMARANG
PERIODE 25 SEPTEMBER-28 OKTOBER
2017

0
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ 1
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN...................................................................................3
2.1 DEFINISI.............................................................................................3
2.2 KLASIFIKASI.....................................................................................3
2.3 EPIDEMIOLOGI.................................................................................4
2.4 ETIOLOGI...........................................................................................5
2.5 PATOFISIOLOGI................................................................................6
2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Tipe Cepat) ...........................6
2.5.2 Mekanisme Reaksi Anafilaktik................................................10
2.5.3 Mediator Anafilaksis................................................................12
2.6 FAKTOR RISIKO...............................................................................14
2.7 MANIFESTASI KLINIS............................... .....................................15
2.8 DIAGNOSIS........................................................................................18
2.8.1 Penegakkan diagnosis................................................................18
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang.............................................................21
2.9 DIAGNOSIS BANDING.....................................................................23
2.10 PENATALAKSANAAN...................................................................25
2.10.1 Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut.....................................25
2.10.2 Obat-obatan pada reaksi anafilaksis.........................................28
2.10.3 Observasi..................................................................................30
2.11 PROGNOSIS......................................................................................31
2. 12 PENCEGAHAN....................................................................................22
BAB 3. PENUTUP.................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................36

1
BAB 1. PENDAHULUAN

Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar


disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang
fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir
1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi
anafilaksis di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang
per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59%
dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis
(Sampson, 2004).
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih
sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya
meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi
terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah
pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat
kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-
beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya
terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan
oleh sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan
terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut (Sampson, 2004).

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis) (Longecker, 2008).
Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,
berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ (Rachman dkk, 2007).
Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaksis non alergi (reaksi
anafilaktoid) yang secara klinis sama dengan anafilaksis alergi, akan tetapi tidak
disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaksis nonalergi
disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga
menyebabkan terlepaskan mediator (Rachman dkk, 2007).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi (Longecker, 2008).

2.2 KLASIFIKASI
Reaksi Hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963)
dibagi dalam 4 tipe reaksi, yaitu Tipe I (Reaksi Ig E), Tipe II (Reaksi sitotoksik
IgG atau IgM), Tipe III (Reaksi kompleks imun), dan Tipe IV (Reaksi seluler).
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan ikatan antara antigen dan IgE yang

3
diikat sel mast dan basofil melepas mediator vasoaktif. Manifestasinya terbagi
atas reaksi anafilaksis sistemik dan reaksi anafilaksis lokal. Reaksi anafilaksis
sistemik dapat berupa syok, dan bentuk lokalnya dapat berupa rhinitis, asma,
urtikaria, alergi makanan, dan ekzema (Rachman dkk, 2007).

Gambar 2.1. Klasifikasi reaksi anafilaksis berdasarkan etiologi (F.Estelle, 2002)

Berdasarkan etiologinya, reaksi anafilaksis terbagi meenjadi tiga yaitu


anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan anafilaksis idiopatik.
a. Anafilaksis alergi
Bila reaksi diperantarai oleh suatu mekanisme imunologi. Anafilaksis
alergi diperantarai oleh IgE (Ig-E mediated allergic anaphylaxis).
b. Anafilaksis non alergi
Bila diperantarai oleh penyebab non imunologi (dahulu disebut reaksi
anafilaktoid)
c. Anafilaksis idiopatik
Bila alergen penyebab maupun faktor fisik yang merangsangnya tak
teridentifikasi (Rachman dkk, 2007).

2.3 EPIDEMIOLOGI
Insidensi pasien anafilaksis di unit gawat darurat diperkirakan 1 hingga 4
per 1000 pasien (0,1% to 0,4%), hanya 1 hingga 3 yang mengetahui pencetus
reaksi anafilaktik. Makanan adalah pencetus paling utama, dilanmjutkan dengan

4
sengatan dan obat-obatan. Makanan misalnya kacang, ikan, susu, telur, dan
makanan laut adalah produk makanan yang menimbulkan reaksi fatal.
Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu
sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalensi
1.5%, Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai
sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat (IDAI, 2010).
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop (Cheng A, 2011).

2.4 ETIOLOGI
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin,
sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau
jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti bisa ular (Rachman dkk, 2007).
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopakm bromsulfalein,
benzilpenisilol-polilisin. Demikian pula dengan anastetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilaksis misalnya bisa ular,
ssemut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan
yang telah dikenal sebagi penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang,
kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang (Rachman dkk, 2007).
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah

5
putih kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan
antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan
(Mustafa, 2013).

2.5 PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam
hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I
diklasifikasikan menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya
menyerang kulit atau traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi,
dermatitis atopi, dan asma alergi. Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya
urtikaria, angioedema, dan anafilaksis. Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka
hanya akan menyerang kulit (urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema),
namun ketika reaksi yang terjadi berat maka akan berakibat menyeluruh
(generalisata) dan bersifat life-threatening medical emergency (anafilaksis)
(Butterworth, 2013).
2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Tipe Cepat)
Hipersensitivitas tipe cepat terdiri dari serangkaian mekanisme efektor
tubuh yang dijalankan oleh IgE. Reaksi berantai tersebut terdiri dari sensitisasi
atopik (Gambar 2.2) dan reaksi atopik (Gambar 2.3). Rangkaian reaksi
hipesensitivitas tipe cepat tersaji pada Tabel 2.1 berikut.

6
Gambar 2.2 Sensititasi atopik (OL Frick, 1984)

Gambar 2.3 Reaksi atopik (OL Frick, 1984)

Tabel 2.1 Rangkaian reaksi hipersensitivitas tipe cepat (Rachman, 2007)


Sensitisasi alergi Reaksi alergi
1. Pajanan antigen (alergen) 4. Terpapar ulang dengan antigen yang sama
2. Respons pembentukan IgE 5. Interaksi antigen IgE spesifik di sel mast
3. Terikatnya IgE pada sek 6. Pelepasan mediator oleh sel mast
mast 7. Efek mediator pada berbagai organ

7
a) Alergen
Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respon imun spesifik berupa
pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat
yang mampu beraksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen
selalu bersifat antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten,
kecuali kalau bergabung dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2
kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan sel molekul rendah
(hapten).
Alergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang
pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen
yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag dan sel T untuk
mengembangkan aktivasi sel B. Yang termasuk kelompok ini misalnya serbuk
sarim bulu binatang, serum anti tetanus (ATS), dan serum antidifteri (ADS).
Alergen dengan berat molekul redan tidak dapat menimbulkan respons
antibodi berupa IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten
harus berikatan dengan protein jaringan atau protein serum in vivo membentuk
kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons antibodi IgE. Yang
termasuk kelompok ini misalnya adalah obat-obatan (Rachman, 2007).
b) Antibodi
Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif antar
makrofag, sel T dans el B. Alergen yang masuk melalui traktus respiratorius,
traktus gastrointestinalis atau kulit akan difagosit oleh makrofag untuk diproses
dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang tersensitisasi akan merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang mensintesis dan mensekresi IgE spesifik.
Sel plasma yang memproduksi IgE terutama terdapat dalam lamina propria
traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta jaringan limfoid
bersangkutan. Kadar total IgE serum adalah jumlah IgE yang dihasilkan oleh
ketiga organ tersebut, yang secara pasif berdifusi ke dalam kompartemen vaskular.
IgE mempunyai sifat biologik unik, yaitu dapat terikat pada sel mast untuk jangka
waktu yang panjang (6 minggu).

8
Pengikatan IgE oleh sel mast mempunyai konsekuensi penting. Karena
IgE serum terikat pada sel mast diseluruh tubuh maka sel mast dibawah kulit
lengan bawah juga sensitif terhadap alergen yang masuk melalui traktus
gastrointestinalis atau traktus respiratorius. Disamping itu mungkin sebagian besar
sel mast telah sensitif terhadap alergen tertentu, sehingga pajanan terhadap alergen
tersebut dapat memacu sel mast secara sistemik yang akan melibatkan banyak
sistem dan akan menimbulkan syok anafilaktik. Pengikatan oleh sel mast
menyebabkan IgE merupakan suatu fraksi dengan waktu paruh yang lebih panjang
(2-3 hari). Walaupun mempunyai waktu paruh yang lama, IgE tidak dapat
melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat ditransfer secara pasif
kepada fetus.
Aktivasi penting lainnya adalah bila IgE berikatan dengan alergen. Hal ini
dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif sehingga dihasilkan
anafilaktoksin (C3 dan C5a) dan zat kemotaktik lain yang penting pada respons
inflamasi (Rachman, 2007).
c) Sel Mast
Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel
mast diselimuti oleh IgE yang terikat pada reseptor spesifik untuk bagian Fc rantai
epsilon. Setiap sel mast dapat mengikat bermacam IgE spesifik sehingga sel mast
dapat beraksi dengan berbagai macam antigen. Jumlah IgE pada satu sel basofil
sangat bervariasi, dan diperkirakan berkisar diantara 5.000-500.000 molekul per
sel basofil.
Walaupun penderita alergi mempunyai molekul IgE yang tinggi pada
basofilnya bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak alergi, terdapat suatu
overlapping yang luas dalam jumlah IgE yang terdapat pada kedua golongan
tersebut. Jumlah IgE yang terikat pada sel merupakan refleksi kadar IgE dalam
serum, akan tetali banyaknya molekul IgE pada satu sel tidak berhubungan
dengan derajat sensitivitas. Faktor yang menentukan perbedaan besar sensitivitas
seseorang sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, newly synthesized

9
mediator, ECF-A, PAF, dan heparin. Beberapa mediator disimpan dalam lisosom
(heparin, histamin) yang berada dalam sitoplasma sel mast, dan dilepaskan bila
terdapat rangsangan yang cukup. Rangsangan alergi dimulai dengan cross-linking
dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen.
Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik
yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ kedalam
sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Degranulasi sel mast dapat diatur oleh sejumlah zat. Zat yang menurunkan
cAMP atau menaikkan cGMP seperti adrenergik , zat kolinergik atau
prostaglandin F2a, memperhebat degranulasi sel mast. Sebaliknya zat yang
meningkatkan cAMP, seperti epinefrin, teofilin, dan prostaglandin E1 dan E2
menghalangi degranulasi sel (Rachman, 2007).

2.5.2 Mekanisme Reaksi Anafilaktik


Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala (Ewan, 1998).
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators (Longecker, 2008).

10
Gambar 2.4 Patofisiologi Reaksi Anafilaksis
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi (Longecker, 2008).
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat

11
terjadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan
disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan
pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit
(Mustafa, 2013).
Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh
mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius,
traktus gastrointestinalis, dan kulit.

2.5.3 Mediator Anafilaksis


Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator
kimia yang sangat kuat, memacu peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala
anafilaksis.
a) Histamin
Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin.
Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel
gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil, histamin
disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsang
yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama 10 menit dan
inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat.
Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2.
Reseptor H1 terdapat terutama pada sel otot polos bronkiolo dan vaskular,
sedangkan reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster, Beberapa tipe
antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antihistamin lain
menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat pada
beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil.
Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai
organ. Histamin dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskuler
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuliuh darah yang lebih
besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin
meinggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskuler
ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi

12
sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila
penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat
meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas (Rachman, 2007).
b) Newly Synthesized Mediator (Leukotrien, Prostaglandin, Tromboxan)
Newly Synthesized Mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin, dan
tromboxan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas, dan sekresi mukus.
Newly Synthesized Mediator berbeda dengan histamin, heparin, ECF-A,
mediator ini tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Newly
synthesized mediator berasal dari fosfolipid membran sel yang disintesis oleh
enzim fosfolipase A2 menjadi asam arakidonat dan lyso-platelet activating factor
(Lyso-PAF). Kemudian asam arakidonat disintesis menjadi leukotrien oleh enzim
lipooksigenase serta prostaglandin dan tromboksan oleh enzim siklooksigenasem
sedangkan lyso-PAF menjadi PAF. Pengaruh dari mediator ini tidak dijalankan
melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh antihistamin. Epinefrin dapat
menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang disebabkan oleh newly
synthesized mediator (Rachman, 2007).
c) Eosinophyl chemotacting factor- anaphylaxsis (ECF-A)
ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan
segera waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi
anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-
antibodi yang ada dan menghalangi aksi newly synthesized mediator dan histamin
(Rachman, 2007).
d) Platelets Activating Factor (PAF)
PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas
pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah
diaktifkan akan menginduksi pembuatan bradikinin (Rachman, 2007).
e) Bradikinin
Bradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat
menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama, dan hebat.

13
Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula pasca
kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut
saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang
peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin
menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor
histamin atau newly synthesized mediator (Rachman, 2007).
f) Serotonin
Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit
dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin
juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar,
sehingga tidak penting perannya pada anafilaksis (Rachman, 2007).
g) Prostaglandin
Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi
pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan
kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan
prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos
bronkus (Rachman, 2007).
h) Kalikrein
Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas
pembuluh darah dan tekanan darah (Rachman, 2007).

2.6 FAKTOR RISIKO


Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko
anafilaksis antara lain:
a) Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien
anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa
atopi merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi
anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap
radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada
reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.

14
b) Cara dan waktu pemberian
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral
lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya
tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang
alergi setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama
dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.
Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik
seiring waktu.
c) Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma (Longecker, 2008).

2.7 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala klinisnya dapat
berupa reaksi lokal dan sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan
angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat
tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada organ target seperti traktus
respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab
(Mustafa, 2013).
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut (Longecker, 2008).
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan
diaphoresis (Mustafa, 2013).

15
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa (Mustafa,
2013).
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut (Sampson, 2006).
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare (Sampson,
2006).
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
(Sampson, 2006).
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan sistemik, anafilaksis
juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.

16
a) Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian
perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan.
Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan
peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air
mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan
antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari
atau lebih pada kasus kronik.
b) Reaksi sistemik sedang
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan
pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan
napas, dispnu, batuk, dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum,
mual, dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas,
dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama
dengan reaksi sistemik ringan.
c) Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksis sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam
beberapa menit (kadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan
edema laring disertai serak, stridor, dispnu beratm sianosism dan kadangkala
terjadi henti napas. Edema faring gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan
disfagia, kejang perut hebat, diare, dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat
disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps
kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma.
Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal nafas dan kolaps
kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala obyektif
pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya
masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa, Pada anak
penyebab kematian paling sering adalah edema laring (Rachman, 2007).

17
2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Penegakkan diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.

Gambar 2.5 Mekanisme Penegakan Diagnosis

18
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-
lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% (Sampson, 2006).
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis adalah sebagai berikut:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresfi yang cepat dari gejala
- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari onset
- Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan
lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan
lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.
- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending

19
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa
tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.
Breathing Problems :
- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
- Wheezing
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest
Circulation Problems:
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau
keduanya
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.

20
- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan (Simons and Camargo, 2013).

2.8.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan
diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis
secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom
yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan
penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal (Mustafa,
2013).
Untuk membedakan reaksi anafilaktik alergi dan non alergi dapat
dilakukan hitung eosinofil perifer maupun nasal dan pemeriksaan konsentrasi
tryptase serum, apabila konsentrasinya > 10 mg/ml menunjukkan adanya aktivasi
dari sel mast. Untuk alergi yang diperantarai IgE, dilakukan pemeriksaan IgE total
serum. Untuk alergen protein (inhalan/makanan) dan obat perlu dilakukan uji
tusuk kulit, sedangkan untuk alergi obat juga dapat menggunakan 1 tetes larutan
obat : 1000 cc Na Cl disertai kontrol positif dan negatif. Pengujian intradermal
menggunakan 0,02 ml larutan obat dibanding 1000 cc Na Cl disertai kontrol
positif dan negatif (Rachman, 2007).
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain (Ewan, 1998).

21
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgEmediated adalah
dengan melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji
Radio Allergo Sorbent Test /RAST). Jika hasil positif maka dilakukan eliminasi
(penghindaran) makanan yang --mengandung protein susu sapi. Jika hasil negatif
maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung --protein susu sapi.
Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.
a) Uji tusuk kulit (Skin prick test )
Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk
antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2. Uji
tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika
didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil). Batasan usia
terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Bila uji kulit positif, kemungkinan
alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit
negatif berarti alergi susu sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena
nilai duga negatif sebesar > 95%.
b) IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit,
tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk
kulit dengan uji IgE RAST. Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan antara lain karena --adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah
pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin. Bila
hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi > 5 kIU/L pada --anak
usia 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun maka hasil ini
mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan
spesifisitas 94%.
c) Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan
berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji
RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah
dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji

22
provokasi yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi
dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan
mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi.
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi
dan satu minggu kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula
susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawasi
kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah
uji provokasi.

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ.
Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah
diagnosis banding urtikaria dan angioedema, yaitu sengatan serangga multipel dan
angioedema herediter. Pada sengatan serangga, terlihat titik ditengah bentol. Pada
angioedema herediter, terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai
rasa sakit dan terkadang disertai edema laring, disertai keluhan sama pada
keluarga (Matondang dkk, 2007).
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik
adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.

23
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak
terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang
menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada .
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant
syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut
nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor
pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada
pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,
buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin (Mustafa, 2013).

2.10 PENATALAKSANAAN
2.10.1 Alur Penatalaksanaan anafilaksis akut

24
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
(Mulkus et al, 2013)
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation
dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
a) Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
b) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit melalui masker (Mulkus et al, 2013). Oksigen harus diberikan
pada penderita yang mengalami sianosis, dispnu yang jelas, atau penderita
dengan mengi (Rachman, 2007).
c) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar (Mulkus
et al, 2013).
Apabila anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstrimitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah

25
suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan
elama 1-2 menit.

Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan anafilaksis akut (Liberman, 2005)

Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis
atau Ringer Laktat sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi, lalu

26
dilanjutkan dengan cairan maintenance. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma (Mulkus et al, 2013).

2.10.2 Obat-obatan pada reaksi anafilaksis


a) Adrenalin
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan (Mulkus et al, 2013).
Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg
(larutan 1:1000) diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas
atau paha. Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin
kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk
mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan
jarak waktu 5 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau
tidka bersepon dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,01-
0,05 mg/kgBB(larutan1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2
menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit (Rachman, 2007).
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi

27
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat (Mulkus et al, 2013).
b) Difenhidramin
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi
dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin (Rachman, 2007).
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat 5-10
menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai
dosis tunggal, tergantung beratnya reaksi. Difenhidramin bukan merupakan
substitusi adrenalin. Obat ini dapat diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24
jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema.
Jika penderita tidak berspon dengan tindakan tersebut, dalam artian tetap hipotensi
dan dispnu, maka perlu dilakukan perawatan intensif.
c) Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah
paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20
menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan
melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena
selama 20-30 menit setiap 6 jam (Rachman, 2007).
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol).
Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4
ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi (Mulkus et al, 2013).
d) Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai
suntikan tunggal secara lambat dnegan memonitor aritmia jantung, bila terjadi
aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi jika
diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1ml) dalam 250 ml cairan intravena

28
dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama
infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
e) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Kortikosteroid juga berguna
untuk mencegah gejala lama yang rekuren. Mula-mula diberikan Hidrokortison
intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau
deksametason 2-6 mg/kg BB (Mulkus et al, 2013). Pengobatan dihentikan
sesudah 2-3 hari (Rachman, 2007).

2.10.3 Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit (Mulkus et al, 2013).

29
Gambar 2.7 Tatalaksana anafilaksis secara umum (Young, 2003)

2.11 PROGNOSIS
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi
anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,

30
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

2. 12 PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila
pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena
dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan (Mulkus et al,
2013).

31
BAB III PENUTUP

Anafilaksis alergi adalah suatu respon klinis hipersensitivitas tipe akut,


berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada
sel mast. Sel mast dan Basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek
farmakologik terhadap berbagai macam organ. Berdasarkan etiologinya, reaksi
anafilaksis terbagi meenjadi tiga yaitu anafilaksis alergi, anafilaksis non alergi, dan
anafilaksis idiopatik.
Meskipun gejala klinis dan tanda klinis dapat mengarah ke sistem organ,
namun manifestasi kutaneus misalnya urtikaria, pruritus, angioedema, dan
kemerahan muncul pada kebanyakan anak (80-90%) dengan anafilaksis. Pada
gejala yang lebih berat, gangguan nafas muncul sekitar 60-70% pada anak. Gejala
kardiovaskular lebih sedikit terjadi, yaitu sekitar 10-30% dengan gejala anafilaktik
anak misalnya pusimg, hipotensi, hingga sinkop
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anastetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Ekstrak alergen
biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS, dan anti bisa
ular
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan

32
diagnosis banding. Pada reaksi sitemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya
adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema.
Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan. Hitung eosinofil darah tepi
dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test). Pemeriksaan secara invivo
dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick
test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/ SET).
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik
adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras
dan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis
atau Ringer Laktat sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi,.
Larutan adrenalin (epinefrin) sebanyak 0,01 mg/kgBB, maksium 0,3 mg (larutan
1:1000) diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha.
Bila anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3
ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi
absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 5
menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidka
bersepon dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,01-0,05

33
mg/kgBB(larutan1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit)
serta dapat diulang dalam 5-10 menit
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat 5-10
menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai
dosis tunggal, tergantung beratnya reaksi. Apabila bronkospasme menetap,
diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan
intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini
diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat
bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-
1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila
cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol
bitartrat (Aramine) 0,01 mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal
secara lambat dnegan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung,
pengobatan dihentikan segera. Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata
laksana akut anafilaksis
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan serta interval waktu
dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan
injeksi adrenalin.

34
DAFTAR PUSTAKA

Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy


Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.

Cheng, A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children: Pediatric


Child Health. Vancouver. 2011; Jan 16(1): 35-40

Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-
1445.

Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.


2008; Chapter 88, hal 1948-1963.

Matondang, CS., Soepriadi, M., Setiabudiawan, B. Urtikaria-Angioedema dalam


Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Edisi Kedua. 2007. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI

Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management.
2006. Available at: https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-
diagnosis-and-management . Accessed on October 19, 2013

Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on October
18, 2013.

Rachman O, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Anafilaksis dalam Buku Ajar Alergi


Imunologi Anak. Edisi Kedua. 2007. Jakarta: Balai Penerbit IDAI

Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006.

Sampson HA, Leung DY. Anaphylaxis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18.Philadelphia:
WB Saunders Co; 2004. h. 983-5.

Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment. In:
Bochner BS. August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-treatment .
Accessed on October 19, 2013

35

Anda mungkin juga menyukai