Anda di halaman 1dari 6

Kesalahan-Kesalahan Dalam Manasik Haji Dan Umrah

(2)
muslim.or.id /17044-kesalahan-kesalahan-dalam-manasik-haji-dan-umrah-2.html
Abu Yazid Nurdin 6/27/2013
Bismillaahirrahmaanirrahiim

2. Kesalahan seputar pakaian ihram[1]

A. Menggunakan kain ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti rok

Penulis baru menyadari fenomena ini tepatnya awal Ramadhan yang lalu (1432 H), ketika menemani
syaikh kami bertugas di As-Sail Al-Kabiir (Qarn Al-Manaazil), miqatnya penduduk Najd. Pada waktu itu
banyak di antara mutamiruun (orang-orang yang menunaikan umrah) menggunakan rok ihram ini.
Kebanyakan mereka ragu apakah rok ihram ini boleh digunakan atau tidak. Yang mengatakan boleh,
karena banyak dan bebas dijual di toko-toko di sekitar miqat. Akan tetapi ketika mereka menanyakannya,
sebagian besar masyaikh mengatakan tidak boleh. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan pakaian
semacam ini untuk ihram? Berikut penjelasannya:

Dalil-dalil seputar pakaian ihram

1. Hadits Ibnu Umar





:










:








































Dari Abdullah bin Umar radhiyallaahu anhumaa dia berkata, Seseorang bertanya kepada
Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallamtentang pakaian yang boleh dipakai seorang muhrim[2].
Beliau bersabda, Janganlah ia memakai gamis, imamah[3], saraawiilaat[4], baraaniis[5], dan
sepatu khuf[6]. Kecuali bagi orang yang tidak memiliki sandal, maka boleh baginya memakai
sepatu khuf, (dengan catatan) hendaknya ia memotong bagian atas sepatu yang menutup kedua
mata kaki. (HR. Al-Bukhari no.1542, dan Muslim no. 1177)
2. Hadits Ibnu Abbas




















:












:





Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhumaa dia berkata, Aku mendengar Rasulullaah shallallaahu
alaihi wa sallam berkhutbah di Arafah,Barangsiapa yang tidak memiliki sandal, hendaknya dia
memakai sepatu khuf. Dan barangsiapa yang tidak memiliki kain, boleh bagi seorang muhrim
memakai saraawiil. (HR. Al-Bukhari no. 1841, dan Muslim no. 1179) [7]
3. Hadits Ibnu Umar











Dari Ibnu Umar radhiyallaahu anhumaa dia berkata, Rasulullaahshallallaahu alaihi wa
sallam bersabda, Hendaknya seseorang itu berihram dengan memakai izaar[8], ridaa[9], dan
sandal. (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Syuaib berkata, Hadits ini shahih.)[10]

Rok ihram termasuk jenis saraawiil


Pakaian ihram untuk bagian bawah badan yang berbentuk seperti rok itu oleh orang arab disebut sebagai
nuqbah. Dalam bahasa ammiyyah sering disebut dengan tannuurah. Disebut demikian karena
bentuknya yang mirip tungku peleburan besi, di mana bagian atasnya sempit sedangkan bagian
bawahnya semakin luas. Di negeri kita pakaian semacam ini disebut dengan rok.

Jika kita merujuk ke kamus-kamus bahasa arab, maka akan kita dapatkan penjelasan para ulama bahasa
bahwa nuqbah itu adalah termasuk ke dalam jenis saraawiil (celana panjang). Ibnu Manzhur berkata,
Nuqbah adalah sejenis pakaian yang bagian atasnya seperti celana (karena dibuat melingkar yang di
dalamnya dimasukkan sejenis karet -pen) , sedangkan bagian bawahnya seperti kain sarung. Beliau juga
menambahkan, Ada juga yang mengatakan, Nuqbah itu adalah saraawiil tanpa belahan untuk
kaki [11]

Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa nuqbah atau tannuurah atau rok ihram ini termasuk pakaian
yang dilarang untuk dipakai dalam ihram. Hendaknya kita tidak menggunakannya dalam rangka bersikap
hati-hati walaupun banyak orang yang menjualnya. Kebanyakan mereka (para penjual) ketika ditanya
boleh atau tidaknya rok ihram ini menjawab bahwa ada ulama yang berfatwa boleh memakainya. Ketika
diminta menunjukkan fatwa tersebut, mereka tidak mampu menunjukkannya. Hatta jikalau memang benar
ada ulama yang menfatwakan bolehnya memakai rok ihram ini, sebaiknya kita lebih bersikap hati-hati
dengan mengambil yang lebih selamat. Wallaahu alam.

B. Melakukan idhthiba sejak mulai ihram sampai dengan tahallul

Idhthiba berasal dari kata dhabun yang mengikuti pola iftial.Dhabun itu sendiri artinya adalah
pertengahan lengan atas. Terkadang pula yang dimaksud adalah ketiak (ibth), karena berdekatan
dengan pertengahan lengan atas. Oleh karena itu, secara bahasa seseorang dikatakan ber-idhthiba jika
dia memasukkan sesuatu di bawah ketiaknya.

Idhthiba di dalam istilah manasik maksudnya adalah mengenakan pakaian ihram dengan cara
memasukkan tengah kain di bawah ketiak sebelah kanan dan meletakkan kedua ujung kain di atas bahu
sebelah kiri. Dengan demikian, bahu sebelah kanan dibiarkan terbuka.[12]

Sebagian besar jamaah haji beranggapan bahwa memakai pakaian ihram identik dengan idhthibaa. Ini
salah kaprah yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan:

Kemungkinan yang pertama: tidak begitu paham tentang manasik. Orang-orang seperti ini biasanya
bermodalkan pengamatan belaka tanpa pengolahan data observasi. Mereka melihat jamaah haji
melakukan suatu perbuatan, lalu serta-merta mereka pun mengikutinya.

Kemungkinan yang kedua: terlalu fanatik dengan madzhab tertentu. Mereka tidak mau tau apakah
pendapat madzhab tersebut benar atau salah, sesuai dengan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah atau
tidak. Yang penting bagi mereka adalah apa yang dikatakan oleh madzhab, itulah yang benar dan wajib
diikuti. Inilah yang disebut dengan taklidbuta. Kewajiban kita adalah ittiba (mengikuti dengan memahami
dalil), bukan taklid buta (mengekor tanpa memahami dalil).

Kapan idhthibaa itu disyariatkan?

Idhthibaa disyariatkan hanya pada saat thawaf qudum saja, yaitu thawaf ketika tiba di Makkah.

Dari Yala bin Umayyah radhiyallaahu anhu dia berkata, Nabi shallallaahu alaihi wa sallam melakukan
thawaf sambil melakukan idhthibaa dengan kain berwarna hijau. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, Hadits ini shahih.)[13]

Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata, Idhthibaa itu disunnahkan hanya pada saat thawaf qudum saja,
karena ketiadaan dalil yang menerangkan sunnahnya pada saat selain thawaf qudum [14].

Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma berkata, Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wa
sallam dan para shahabat menunaikan umrah dari Jiranah. Mereka melakukan ramal[15], dan
memasukkan pakaian ihram mereka di bawah ketiak sebelah kanan, sedangkan kedua ujung kain
tersebut disematkan di atas bahu sebelah kiri (idhthibaa -pen). (HR. Abu Dawud, no.1884, Syeikh Abdul
Muhsin Al-Abbad mengatakan isnad hadits ini hasan.) [16]

Adapun hadits Ibnu Abbas tersebut di atas yang menunjukkan idhthibaa juga berlaku pada saat thawaf
umrah dapat dijelaskan bahwa thawaf umrah yang dimaksud adalah berkedudukan sama sebagai thawaf
qudum, yaitu thawaf yang dilakukan sesampainya seorang muhrim di Makkah. Jika ia telah menunaikan
umrahnya, kemudian ingin melaksanakan umrah berikutnya untuk orang lain seperti ibunya atau ayahnya
yang sudah meninggal -misalkan saja-, maka dia tidak perlu keluar menuju miqat yang lima. Karena saat
itu ia berkedudukan sama seperti penduduk Makkah. Dia cukup keluar dari daerah haram menuju daerah
halal (seperti Tanim dan Jiranah) sebagai miqatnya. Untuk umrah yang kedua ini, thawaf umrahnya tidak
dikatakan lagi sebagai thawaf qudum, karena statusnya masih berada di Makkah. Sehingga dengan
demikian, pada thawaf umrah yang kedua ini tidak disunnahkan melakukan idhthibaa. Wallaahu alam.

Idhthibaa merupakan kekhususan thawaf

Syaikh Manshur Al-Buhuti berkata, Apabila telah selesai dari thawaf, maka hendaknya ia kembali
mengenakan pakaian ihramnya seperti biasa (maksudnya tidak beridhthibaa lagi -pen).[17]

Syaikh Al-Hajjaawiy berkata, Dan tidak melakukan idhthibaa pada saat sai. Syaikh Al-Buhuti
menjelaskan, (Yang demikian itu) dikarenakan tidak ada dalilnya. Al-Imam Ahmad mengatakan, Kami
tidak pernah mendengarkan hadits yang membicarakan hal itu (tentang idhthibaa pada saat sai -
pen).[18]

Syubuhat dan Bantahannya

Syubhat 1

Ada yang mengatakan, Madzhab kami berpendapat bahwa idhthibaa itu disunnahkan pada saat thawaf
dan sai. Kami mengikuti madzhab kami, sebagaimana kalian mengikuti madzhab kalian.

Bantahannya: Kita katakan bahwa yang diikuti dalam hal ini adalah kebenaran. Kebenaran itu
sumbernya dari Al-Quran dan As-Sunnah. Bermadzhab merupakan salah satu sarana dalam memahami
fiqh atau syariat. Bermadzhab bukanlah tujuan dalam beragama. Kita tidak dilarang bermadzhab
sebagaimana para ulama dan para imam terdahulu bermadzhab. Yang dilarang adalah fanatik terhadap
madzhab tertentu dengan menganggap bahwa madzhabnya adalah mashum dari kesalahan dan
kekeliruan. Kita tidak mengingkari adanya perbedaan pendapat di kalangan madzhab. Yang dituntut dari
kita adalah mengambil pendapat yang paling dekat dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-
Sunnah.

Untuk permasalahan idhthibaa para ulama berbeda pendapat.

1. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa idhthibaa itu disunnahkan pada saat thawaf, sedangkan pada
saat sai tidak disunnahkan. Tidak semua thawaf disunnahkan idhthibaa, hanya untuk thawaf yang
diikuti dengan sai saja.[19]
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa idhthibaa itu tidak dianjurkan baik pada saat thawaf maupun
sai.[20]
3. Madzhab Syafii berpendapat bahwa idhthibaa itu disunnahkan baik pada thawaf maupun sai.[21]
4. Madzhab Hanbali berpendapat bahwa idhthibaa itu disunnahkan hanya pada saat thawaf,
sedangkan pada saat sai tidak. Idhthibaa hanya disunnahkan pada saat thawaf qudum saja, baik
setelahnya diikuti dengan sai ataupun tidak.[22]

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa idhthibaa tidak
disyariatkan pada saat sai. Hanya madzhab Syafii saja yang berpendapat sunnah.

Al-Aini berkata, Al-Imam Asy-Syafii berpendapat sunnahnya idhthibaa pada saat sai mengqiyaskan
hukumnya dengan thawaf.[23]

Ibnu Qudamah menjelaskan, Al-Imam Asy-Syafii berpendapat sunnahnya idhthibaa pada saat sai.
Beliau beralasan karena sai merupakan salah satu bentuk thawaf. Sai mirip seperti thawaf mengelilingi
kabah. Yang benar adalah Nabi tidak melakukan idhthibaa pada saat sai. Sunnahnya adalah mencontoh
beliau shallallaahu alaihi wa sallam. Al-Imam Ahmad berkata, Kami tidak pernah mendengar sebuah
hadits pun tentang hal itu (idhthibaa pada saat sai -pen). Qiyas tidak dibenarkan kecuali dalam hal yang
dapat dipahami maknanya. Dan ini merupakan ibadah murni (yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan
dalil yang shahih dan sharih -pen).[24]

Penulis mengatakan bahwa hukum asal memakai ridaa adalah meletakkannya di atas kedua bahu. Ketika
di sana terdapat perintah baik itu perkataan maupun perbuatan dari Rasulullaah shallallaahu alaihi wa
sallam yang memalingkan dari hukum asal ini, maka penerapannya hanya pada hal, tempat dan waktu
yang ditunjukkan oleh perintah tersebut. Jika tidak ada perintahnya pada hal, tempat dan waktu yang
berbeda, maka penerapannya dikembalikan kepada hukum asal.

Untuk kasus idhthibaa, ini merupakan perbuatan Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam berdasarkan
hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Dalil-dalil yang ada hanya menunjukkan idhthibaa itu
hanya pada waktu thawaf qudum saja. Dikarenakan tidak adanya dalil yang
memerintahkan idhthibaa pada waktu sai, maka cara memakai ridaa kembali kepada asalnya, yaitu
diletakkan di atas kedua bahu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Imam Ahmad dalam masalah ini lebih kuat
dibandingkan dengan pendapat Al-Imam Asy-Syafii. Wallaahu alam.

Wa shallallaahu alaa nabiyyinaa Muhammad.

Riyadh, 16 Dzulqadah 1432

Catatan Kaki:
[1] Pembahasan kali ini khusus untuk pakaian ihram bagi laki-laki. Insya Allah, kesalahan-kesalahan
manasik khusus wanita akan disusun tersendiri di lain waktu. Semoga Allah memudahkannya.

[2] Muhrim adalah orang yang melakukan ihram. Ini yang benar. Bukan seperti yang dimaksud oleh
kebanyakan orang di negeri kita bahwa muhrim adalah orang yang haram untuk dinikahi. Ini juga
termasuk salah sebut. Istilah yang benar untuk orang-orang yang haram dinikahi adalah mahram.
Hendaknya kita bisa membedakan kedua istilah ini dan menempatkan pada tempatnya.

[3] Imamah adalah pakaian khusus kepala. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan sorban. Termasuk
ke dalam hukum imamah adalahsyimagh dan ghuthrah (tutup kepala model orang saudi), kopiah, peci,
dan yang sejenisnya.

[4] Saraawiilaat bentuk jamak dari saraawiil, yaitu pakaian untuk bawah badan. Biasa disebut dengan
celana panjang.

[5] Baraanis bentuk jamak dari burnus, yaitu baju yang memiliki penutup/tudung kepala.

[6] Khuf adalah sepatu yang menutup mata kaki, biasanya terbuat dari kulit.

[7] Hadits ini merupakan naasikh terhadap hadits sebelumnya. Maksudnya hadits Ibnu Abbas menghapus
hukum yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar. Jika kita melihat sekilas, hadits Ibnu Abbas lebih umum
daripada hadits Ibnu Umar. Dalam hadits Ibnu Umar terdapat penjelasan tentang memotong bagian atas
khuf yang menutupi mata kaki, sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas tidak disebutkan keterangan
tersebut. Para ulama menjelaskan bahwa ini masuk ke dalam babnaasikh dan mansuukh, bukan bab
umum dan khusus yang dengannya menjadikan hadits yang umum dibawa penerapannya kepada hadits
yang khusus. Alasannya, karena hadits Ibnu Umar itu ketika Nabi berada di Madinah, sedangkan hadits
Ibnu Abbas ketika Nabi berkhutbah di Arafah. Kaum muslimin pada saat di Arafah lebih banyak daripada
yang hanya di Madinah. Yang berada di Arafah sebagian besar mereka tidak mendengar jawaban beliau
ketika di Madinah. Ketika ditanya di Arafah, Nabi tidak memerintahkan untuk memotong bagian atas khuf.
Kalau seandainya memotong khuf tersebut adalah wajib hukumnya, pasti Nabi sudah menjelaskannya,
karena mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan tidak dibenarkan dalam syariat. Dengan kata
lain, tidak diperintahkannya sesuatu pada waktu penjelasan itu dibutuhkan, menunjukkan
ketidakwajibannya. (At-Tahqiiq wa Al-Iidhaah, hal. 74, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih
Al-Ushaimi)

[8] Izaar adalah kain untuk menutupi bagian bawah badan.

[9] Ridaa adalah kain yang menutupi bagian atas badan, biasanya diletakkan di atas kedua bahu (untuk
menutupi bahu).

[10] At-Tahqiiq wa Al-Iidhaah, hal. 41, Maktabah Ibnu Baaz, tahqiq: DR. Shaalih Al-Ushaimi.

[11] Lisaan Al-Arab, 1/768, Daar Shaadir, Beirut.

[12] Lisaan Al-Arab, 8/216, Daar Shaadir, Beirut.

[13] Taudhiih Al-Ahkaam, no. 630, 4/114, Maktabah Al-Mushthafa.

[14] Ibid, hal. 115.

[15] Ramal adalah berjalan cepat dengan langkah-langkah yang pendek.

[16] Tabshiiru An-Naasik bi Ahkaami Al-Manaasik , Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad, hal.102-103
[17] Ar-Raudh Al-Murbi, hal. 175, Daar Al-Kitaab Al-Arabiy, Beirut.

[18] Kasyfu Al-Qinaa, hal. 1158, Daar Aalam Al-Kutub, Riyadh.

[19] Haasyiyah Ibn Aabidiin, 2/481, Daar Al-Fikr, Beirut.

[20] Fath Al-Baari, no. 1605, 3/534, Daar Al-Hadiits, Kairo.

[21] Al-Majmuu Syarhu Al-Muhadzdzab, 8/27, Maktabah Al-Irsyaad, Jeddah.

[22] Al-Mughni, 3/339, Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.

[23] Al-Binaayah Syarhu Al-Hidaayah, 4/195, Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.

[24] Al-Mughni, 3/340, Maktabah Al-Qaahirah, Kairo.

Penulis: Abu Yazid Nurdin


Artikel Muslim.Or.Id

Dukung pendidikan Islam yang berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus
shalih dengan mendukung pembangunan SDIT YaaBunayya Yogyakarta http://bit.ly/YaaBunayya
Kaum Salaf, Makna Surat An Nas, Orang Yang Mendapat Rahmat
Dan Rido Dari Allah, Hadits Yang Melarang Mengkonsumsi Narkoba,
Mengapa Manusia Dilarang Berbuat Kerusakan Dibumi, Peran
Perempuan Dalam Islam, Sabda Nabi Muhammad S.a.w Tentang Makan,
Hukum Laki Laki Makai Celak Serbul, Gambar Hubungan Suami Istri
Dalam Islam, Kajian Hati, Sholat Dzuhur Terlewat, Hadist Gambar, Dalil
Dalil Tentang Riba, Bacaan Dalam Sholat Sunnah, Hukum Menjual
Tanah Waqof, Yaa Muqollibal Qulub Artinya, Cara Sujid Sahwi, Lupa
Dalam Puasa Sunnah, Sejarah Tahun 1, Ziarah Wali Songo Menurut
Islam

2015 Yayasan Pendidikan Islam Al Atsary, Yogyakarta

Kembali ke atas

Anda mungkin juga menyukai