Anda di halaman 1dari 15

Rufaidah I.

M
240210150120
Kelompok 7
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini membahas mengenai pengolahan sayur dan buah
dengan fermentasi. Fermentasi merupakan cara untuk memproduksi berbagai
produk yang menggunakan biakan mikroba melalui aktivitas metabolisme baik
secara aerob maupun anaerob. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas
mikroba pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat
menyebabkan perubahan sifat bahan pangan akibat pemecahan kandungan bahan
pangan tersebut (Marliyati, 1992). Menurut Desrosier (1988), faktor-faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi fermentasi adalah derajat keasaman (pH),
kadar alkohol, oksigen dan suhu.
Pengolahan sayur dan buah dengan cara fermentasi dilakukan dengan
penambahan garam pada sayur dan buah. Garam berfungsi sebagai pengawet
karena garam bersifat higroskopis yang dapat menyebabkan terjadinya plasmolisis
sel mikroba serta menghambat aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan
pembusukan. Ketika fermentasi berlangsung garam akan menarik air dan zat-zat
gizi dari jaringan sayuran, sehingga komponen substrat untuk pertumbuhan
mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi dapat tercapai. Penambahan
garam dalam konsentrasi yang cukup akan memungkinkan terjadinya
pertumbuhan yang baik dari bakteri asam laktat dalam urutan yang alamiah,
sehingga dihasilkan sauerkraut (Setiasih dan Kastaman, 2009).
Fermentasi terdapat 2 jenis yaitu fermentasi spontan (tanpa penambahan
starter atau inokulum) dan fermentasi tidak spontan (dengan penambahan starter
atau nokulum) (Tjahjadi dan Marta, 2014). Fermentasi sayuran berlangsung secara
selektif dan spontan. Fermentasi ini disebut spontan karena tejadi secara alamiah
tanpa adanya penambahan mikroba. Dalam fermentasi spontan perlu diperhatikan
kondisi lingkungan yang memungkinkan pertumbuan mikroba pada bahan organik
yang sesuai (Potter, 1980). Berdasarkan bentuk garam yang digunakan, fermentasi
dibagi menjadi dua yaitu fermentsi kering dan fermentasi basah. Fermentasi
kering berarti penggunaan kristal garam tanpa penambahan air sedangkan
fermentasi basah yaitu penggunan garam yang sudah dilarutkan dalam air (larutan
garam). Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang
digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol
(2C2H5OH). Persamaan reaksi kimianya adalah:
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai berikut:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) Alkohol (etanol) + Karbon dioksida +
Energi (ATP).
Produk fermentasi yang dibuat pada praktikum ini adalah sawi asin dan
sauer kraut yang dibuat dengan metode fermentasi kering atau dilakukan
pemberian garam dalam bentuk serbuk, serta pikel dan cabai asin yang dibuat
dengan metode fermentasi kering atau dilakukan pemberian garam dalam bentuk
larutan. Jenis fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi spontan, yaitu
fermentasi tanpa penambahan mikroorganisme sebagai starter proses fermentasi
yang diinginkan.
4.1 Sawi Asin
Tujuan pembuatan sayur asin ini untuk memperpanjang daya simpan
sayuran yang mudah busuk dan rusak. Sayur asin ini selain dibuat dari sawi, juga
dari bahan-bahan lain, seperti genjer, kubis dan lain-lain (Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Teknologi Pangan, 1981). Sawi hijau tidak begitu disukai karena
rasanya pahit. Tujuan dari fermentasi sayur asin ini juga untuk menghilangkan
rasa pahit dari sawi hijau
Prosedur pembuatan sawi asin ini adalah dilakukan sortasi terhadap sawi
hijau yang akan digunakan, lalu sawi dicuci menggunakan air dan ditiriskan.
Selanjutnya, ditaburkan garam sekitar 2-3% dari berat sawi hijau di atas sawi asin,
kemudian dilakukan penggilasan. Penambahan garam berfungsi untuk menarik air
dan nutrisi dari sawi hijau yang kemudian akan digunakan untuk pertumbuhan
bakteri asam laktat, menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, membentuk cita
rasa dan flavor yang khas pada sayur asin (Rahman, 1992). Umumnya konsentrasi
garam yang ditambahkan pada fermentasi sayur asin sekitar 2 - 3% (Fardiaz,
1992). Penggilasan sawi bertujuan untuk merusak jaringan sel sehingga
polisakarida akan keluar dan memudahkan keluarnya cairan atau nutrisi daun sawi
yang menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan menghilangkan rasa
pahit. Selanjutnya sawi dilipat dan diikat menggunakan tali rapia agar tidak
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
menyembul ke luar. Setelah itu, sawi dikemas di dalam jar dan difermentasi
selama 1 minggu, diamati pada hari ke 4 dan hari ke 6. Hasil pengamatan
mengenai karakteristik sawi asin yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Sawi Asin
Kel.
H Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Perlakuan
putih
Renyah
0 kekuninga Khas sawi Asin
(+3)
n
Putih
kekuninga
Khas sawi Asin khas
n (+4) ada Renyah
4 menyenga sawi +
busa (+1)
t + asam asam
dipermuka
an
Putih
kecoklatan,
ada
9 endapan
putih di Khas sawi Asin khas
6 permukaan + asam Lunak sawi +
wadah, ada (+4) asam
gelembung
di
permukaan
cairan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa sawi asin
sebelum di fermentasi memiliki karakteristik warna putih kekuningan, beraroma
khas sawi, rasa asin dan bertekstur renyah, namun setelah di fermentasi selama 4
hari dan 6 hari mengalami perbedaan karakteristik. Pada hari ke 4 warna nya
menjadi lebih kekuningan dan timbul busa di permukaan, sementara aroma nya
timbul aroma asam menyengat dan kerenyahannya menurun. Sementara di hari
ke6 warna yang di lihat ialah kecoklatan serta ada endapan putih di permukaan
dan gelembung di permukaan cairan. Aroma asam nya makin menyengat dan
teksturnya menjadi lunak. Karakteristik sawi asin pada praktikum tidak sesuai
dengan literatur yang menyatakan bahwa sawi asin seharusnya memiliki hijau
muda, beraroma khas sawi asin, citarasa pahit asin dan tekstur renyah.
Ketidaksesuaian karakteristik sawi asin yang dihasilkan dengan seharusnya
dikarenakan adanya kerusakan pada proses fermentasi yang pada umumnya
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
disebabkan karena terjadinya fermentasi yang tidak normal. Mutu hasil fermentasi
sayuran tergantung pada jenis sayuran, mikroba yang berperan, konsentrasi
garam, suhu dan waktu fermentasi, komposisi substrat, pH adan jumlah oksigen
(Pederson, 1981).
Tahap-tahap fermentasi yang terjadi pada produk sawi asin adalah
pertama-tama bakteri yang tumbuh adalah Leuconostoc mesenteroides yang akan
menghambat pertumbuhan bakteri lain dan meningkatkan produksi asam dan
CO2, sehingga menurunkan pH. Fermentasi dilanjutkan oleh bakteri yang lebih
tahan terhadap pH rendah, yaitu Lactobacilus brevis, Pediococcus cereviseae,
Lactobacillus plantarum. Bakteri-bakteri ini menghasilkan asam laktat, CO2, dan
asam asetat (Vaughn, 1985).
Perubahan tekstur produk menjadi lunak dikarenakan adanya kerusakan
yang disebut pelunakan (softening). Pelunakan tekstur ini disebabkan oleh
perubahan kimia biasa sebagai akibat proses pengolahan maupun aktivitas enzim
pektinolitik atau enzim selulolitik yang dihasilkan olek mikroorganisme. Bakteri
yang berperan dalam kerusakan ini antara lain Bacillus subtilis, Bacillus polymixa,
Achromobacter, Erwinia,Enterobacter, Achromonas, dan Eschericia. Selain
bakteri, kapang dan khamir juga berperan dalam terjadinya kerusakan ini. Kapang
yang terlibat adalah Penicillium chrysogenum, sedangkan khamir yang terlibat
adalah Saccharomyces oleaginosus (Vaughn, 1985). Kelunakan sawi asin juga
dapat disebabkan oleh kadar garam yang ditambahkan, semakin tinggi kadar
garam, tekstur nya akan semakin lunak karena mikroorganisme penyebab
pelunakan yang tumbuh lebih banyak dan menyebabkan proses pelunakan lebih
cepat terjadi.
Rasa asam pada sawi asin diperkirakan karena proses fermentasi yang
terjadi terlalu berlebih atau melewati batas, sehingga produk akhir yang dihasilkan
mengandung terlalu banyak asam laktat yang menyebabkan rasa asam. Dapat
Disebabkan juga karena terjadi penurunan pH setelah fermentasi. Proses
fermentasi telah berlangsung ditandai dengan timbulnya gas,jumlah asam laktat
meningkat yang diikuti dengan penurunan pH (Buckle, 1987). Peningkatan
jumlah asam laktat dan turunnya pH selama fermentasi diduga memiliki hubungan
dengan rasa asin dan jumlah atau komposisi BAL (Chao et., al., 2009).
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
4.2 Sauer Kraut
Sauerkraut (kubis asin) merupakan hasil dari proses fermentasi yang
berlangsung secara selektif dan spontan. Sauerkraut adalah hasil fermentasi kubis
yang diambil larutan atau ekstraknya (Buckle et., al., 1987). Prosedur pembuatan
sauerkraut adalah pertama-tama kubis ditimbang sebanyak, lalu dicuci dan
ditiriskan. Selanjutnya, kubis dibuang bagian yang tidak digunakan (trimming)
lalu diiris setipis mungkin. Setelah itu, garam ditaburkan di atas kubis, lalu diaduk
hingga rata. Konsentrasi garam yang digunakan adalah 2% dan 5% dari berat total
kubis yang digunakan. Saat garam ditambahkan ke potongan kubis, menyebabkan
air diekstraksi dari potongan kubis. Air ini mengandung gula yang akan
difermentasi oleh mikroorganisme alami yang hadir pada daun kubis. Dengan
tidak adanya oksigen, gula ini akan diubah menjadi asam laktat (Ayotte, 2017).
Air yang keluar dari dalam kubis hasil dari pemberian garam, merupakan air hasil
pengikatan antara garam dengan komponen substrat kubis, selain itu untuk
membantu pengeluaran air dari dalam kubis dapat pula dilakukan dengan
pengadukan. Langkah terakhir adalah kubis yang sudah ditaburi garam dikemas
menggunakan jar kaca, lalu difermentasi selama 1 minggu. Pastikan semua bagian
kubis terendam dalam larutan garam dan berikan hadespace pada kemasan. Jika
tidak terendam maka dapat diberikan pemberat dengan memasukkan plastik yang
berisi larutan garam dengan konsentrasi yang sama. Pemberat ini bertujuan agar
semua bagian kubis terendam dan dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat.
Konsentrasi larutan yang sama bertujuan untuk mencegah jika terjadi kebocoran
plastik maka konestrasi larutan pemberat tidak merusak larutan yang ada dalam
jar. Kubis disimpan untuk difermentasi dan menjadi sauerkraut.
Menurut Suryani et al., (2004) proses pengisian produk ke dalam kemasan
merupakan faktor penting untuk menunjang keawetan produk. Pengisian
hendaknya dilakukan dalam kondisi steril. Hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya kontaminasi produk yang dapat menyebabkan produk jadi mudah
berjamur. Ruang udara (head space) harus disediakan pada setiap kemasan gelas
yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan untuk mengantisipasi
terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
(Wijaya, 2010). Pengamatan dilakukan terhadap karakteristik warna, rasa dan
aroma. Hasil pengamatan mengenai sauer kraut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pembuatan Sauerkraut
Kel.
H Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Perlakuan
Putih 90% Khas Kol
AsinKhasKo
0 Hijau Muda Keras +5
l
10%
6B Putih 80%, Asam +2 Asin, asam
2 Keras +3
Sauerkraut kuning 20% +2
2% Putih 75% Asam + 4 Asin, asam
4 Keras +2
Kuning 25% +3
Putih 70% AsamBusuk Keras +1, Asin, asam
6
Kuning 30% +5 berair +4
Putih
0 Khas kubis Keras+++ Asin
kekuningan
Putih 95% Asin asam
2 Asam ++ Keras ++
Kuning 5% ++
7B
Putih 90% Asam
Sauerkraut Asin asam
5% 4 Kuning menyengat Keras +
+++
10% ++++
Putih 30% Asam
Keras Asin asam
6 Kuning menyengat
Berair ++ +++++
70% ++++++
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat dilihat pada sauerkraut 2%
selama fermentasi terjadi perubahan warna dari putih yang mendominan hingga
putih yang semakin berkurang dan timbul warna kuning. Aroma yang dihasilkan
dari khas kol segar, berubah menjadi asam hingga beraroma busuk. Tekstur nya
menurun dari keras menjadi berair dan rasa nya menjadi asin yang semakin
meningkat. Sedangkan sauerkraut yang 5% perubahan warna yang terjadi ialah
dari putih kekuningan hingga kuning yang mendominasi. Aroma nya menjadi
asam yang sangat menyengat dan tekstur nya semakin berkurang serta rasa yang
dihasilkan ialah rasa asam asin asam yang sangat meningkat.
Sauer kraut dengan penambahan garam 5% memiliki rasa yang lebih asam
dibandingkan sauer kraut dengan penambahan garam 2%. Hal tersebut
dikarenakan kandungan garam yang lebih tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan
bakteri asam laktat yang lebih banyak, sehingga asam laktat yang dihasilkan lebih
banyak dan rasanya lebih asam. Citarasa sauerkraut semakin lama waktu
fermentasi akan berubah dari asin menjadi asam. Hal ini sesuai dengan literatur.
Menurut Kristek dkk, (2004), sauerkraut memiliki rasa asam yang enak. Rasa
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
asam ini disebabkan karena terjadi penurunan pH setelah fermentasi. Proses
fermentasi telah berlangsung ditandai dengan timbulnya gas,jumlah asam laktat
meningkat yang diikuti dengan penurunan pH (Buckle, 1987).
Daulay dan Rahman (1992), menjelaskan bahwa, fermentasi
sauerkraut pada stadium awal didominasi oleh Leuconostoc mesenteroides dan
stadium selanjutnya diselesaikan oleh Lactobacillus brevis dan Lactobacillus
plantarum, pada temperatur atau kadar garam tinggi mikroorganisme yang
berperan adalah Streptococcus faecalis dan Pediococcus cerevesiae.
Warna putih kecokelatan pada bagian atas sauer kraut dikarenakan
terjadinya proses oksidasi atau pencokelatan enzimatis. Hal tersebut dikarenakan
sauer kraut pada bagian atas tidak terendam larutan garam yang dapat mencegah
tumbuhnya mikroorganisme penyebab kerusakan atau pembusuk.
Pelunakan pada sauer kraut berawal dari kerusakan flavor karena
penyebab kerusakan, yaitu khamir dan kapang, masuk ke dalam seluruh bagian
sauerkraut sehingga menjadi lunak. (Frazier dan Westhoff, 1978). Menurut Marta
(2011), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengolahan sauer kraut adalah
pertama garam menarik air dan zat-zat gizi dari jaringan sayuran. Zat-zat gizi
tersebut melengkapi substrat untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Garam
bersama dengan asam yang dihasilkan oleh fermentasi menghambat pertumbuhan
dari organisme yang tidak diinginkan dan menunda pelunakan jaringan yang
disebabkan oleh kerja enzim oleh bakteri pektinolitik. Selain itu, garam juga
memberikan cita rasa pada produk. Garam dapat membantu memecahkan
karbohidrat dan asam-asam amino secara anaerobik oleh mikroorganisme dalam
proses fermentasi. Garam dan asam laktat inilah yang akan menghambat
pertumbuhan organisme lain yang tidak diinginkan selama proses berlangsung.
Yang kedua, pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi agar fermentasi
berlangsung dengan baik, suhu ruang harus berkisar 300C. Bila suhunya rendah
maka pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung lambat, sehingga tidak cukup
banyak asam dihasilkan sehingga produk menjadi busuk. Suhu selama proses
fermentasi sangat menentukan jenis mikroorganisme dominan yangakan tumbuh.
Yang ketiga, ketersediaaan oksigen harus diatur selama proses fermentasi. Hal ini
berhubungan dengan sifat mikroorganisme yang digunakan.
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
4.3 Cabai Asin
Pembuatan cabai asin juga bertujuan untuk memperpanjang umur simpan
cabai. Prosedur pembuata cabai asin adalah pertama-tama cabai disortasi, dicuci,
dan ditiriskan, kemudian diblansing selama 3 menit. Blansing merupakan
perlakuan pendahuluan yang berfungsi untuk mengoptimalkan proses selanjutnya
karena dapat mengurangi jumlah kontaminasi mikroorganisme dan untuk
menginaktivasi enzim alami yang terdapat dalam bahan untuk mencegah reaksi
pencoklatan (Winarno, 1997). Lalu dikemas di dalam toples dan difermentasi
selama 1 minggu pada ruangan gelap. Penyimpanan dalam ruang gelap bertujuan
untuk menghasilkan fermentasi yang sifatnya anaerob, artinya mikroba yang
akanmembantu dalam proses fermentasi hanya akan hidupjika tidak adanya
oksigen dan tidak terkena cahaya langsung. Hasil pengamatan mengenai
karakteristik cabai asin dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pembuatan Cabai Asin
Kelompo Har Tekstu
Warna Aroma Rasa Gambar
k i r

Merahcera Khascaba Keras Khascaba


0
h i, asam +3 i, asin

Khascaba Keras Khascaba


2 Merah
i, asam +2 i, asin

Khascaba
Merah- Khascaba
4 i +1, Lunak
oranye i, asin
asam

Khascaba
Merah- Lunak Khascaba
6 i +2,
oranye +1 i, asin
asam

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)


Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa cabai asin yang
dihasilkan dari proses fermentasi memiliki warna merah cerah yang berubah
menjadi merah-oranye, aroma nya semakin asam, teksturnya semakin berkurang
hingga menjadi lunak dan mempunyai rasa ang tidak berubah, yaitu khas cabai
asin.
Perubahan warna yang terjadi menjadi oranye atau semakin cerah
dikarenakan Warna cabai ini dikontrol oleh beberapa karotenoid (capsantin,
capsorubin, dan xantofil untuk warna merah; serta -karoten, zeaxantin untuk
warna oranye kekuningan) (Gazanfer dan Tarhan, 2005). Karotenoid merupakan
suatu pigmen berwarna oranye, merah, atau kuning. Fermentasi pada cabai
menurut (Kumoro, 2004) dapat menaikkan jumlah pigmen pada cabai merah
sehingga warna merah akan lebih bagus dan sangat baik untuk diolah. Adanya
perubahan yang terjadi pada cabai asin dikarenakan tumbuhnya bakteri asam
laktat yang menghasilkan asam laktat yang kemudian akan bereaksi dengan
komponen di dalam bahan, sehingga terjadi perubahan warna dan tekstur.
Proses fermentasi yang berlangsung pada pembuatan cabai asin adalah
pada saat sayuran segar yang digunakan pada praktikum ini adalah cabai merah,
dimasukkan ke dalam larutan yang berair menjadi lunak dalam waktu 24 jam dan
mulailah proses pembusukan terjadi, tetapi proses pembusukan dapat ditekan oleh
air garam yang ditambahkan sebelumnya. Penambahan garam tidak mengganggu
pertumbuhan asam laktat yang telah ada, sehingga dihasilkan asam yang cukup
untuk membantu kerja garam. Garam menarik air dan zat-zat gizi dari jaringan
sayur-sayuran (osmosis). Zat-zat gizi tersebut melengkapi substrat untuk
pertumbuhan bakteri asam laktat yang ada di permukaan sayuran. Garam dan
asam yang dihasilkan oleh fermentasi bekerjasama menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak diinginkan. Garam dan asam ini juga menunda
pelunakan jaringan yang dikarenakan aktivitas kerja enzim. Salah satu perubahan
penting yang terjadi dalam fermentasi ini adalah diubahnya cadangan karbohidrat
yang dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat menjadi asam.
4.4 Pikel
Pikel adalah hasil pengolahan buah atau sayuran dengan menggunakan
garam yang diawetkan secara asam, dengan atau tanpa penambahan gula dan
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
rempah-rempah sebagai bumbu (Vaughn, 1982). Menurut Bender (2002), pikel
adalah produk makanan hasil perendaman dalam larutan garam 6-10 % sehingga
mengalami fermentasi asam laktat. Mentimun merupakan produk hasil
holtikultura yang mudah rusak, sehingga perlu diawetkan agar dapat disimpan
lebih lama. Pengolahan mentimun dengan tujuan pengawetan antara lain yaitu
pengasinan dengan menggunakan larutan garam. Praktikum ini dilakukan dengan
memfermentasi sayuran menggunakan larutan garam.
Prosedur pembuatan pikel adalah pertama-tama timun disortasi, dicuci,
dan ditiriskan, kemudian dimasukkan ke dalam jar yang sudah steril, lalu
ditambahkan larutan garam sampai seluruh timun terendam dan diberi headspace.
Konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 8%. Setelah itu jar ditutup rapat
lalu difermentasi selama 1 minggu pada suhu kamar. Hasil pengamatan mengenai
karakteristik pikel yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pembuatan Pickle
Kel.
H Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Perlakuan

Larutan
bening, Khas Khas
0 keras
timun timun timun
hijau putih
10
larutan
keruh,
asam lembek
7 timun asam
hijau
kuning
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa karakteristik
pikel yang dihasilkan ialah miliki warna larutan bening yang berubah menjadi
keruh dan warna timun normal hijau putih menjadi timun hijau kuning, aroma nya
berubah menjadi asam, tekstur yang dihasilkan juga berubah dari keras menjadi
lembek dan mempunyai rasa asam.
Menurut Ali (2014), penambahan garam dalam proses fermentasi pikel
dapat membantu mengurangi kelarutan oksigen dalam air dan dapat menghambat
aktivitas bakteri proteolitik. Pada proses fermentasi jangka pendek sebaiknya
penggunaan garam dibatasi dengan konsentrasi berkisar antara 2,5 hingga 10%.
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
Menurut Sinaga dan Marpaung (1995), kadar garam yang terlalu tinggi (lebih dari
10%) dapat menyebabkan proses fermentasi menjadi terhambat, sedangkan kadar
garam yang terlalu rendah (kurang dari 2,5%) dapat mengakibatkan tumbuhnya
bakteri proteolitik dan selulolitik yang mengganggu proses fermentasi.
Waktu fermentasi pikel timun mempengaruhi karakteristik pikel timun.
Semakin lama waktu fermentasi maka warna timun semakin hijau tua atau
kecoklatan. Hal ini disebabkan karena perubahan klorofil pada timun. Dalam
suasana asam, klorofil yang berwarna hijau berubah menjadi feofitin yang
berwarna hijau kecoklatan akibat subsitusi ion magnesium oleh ion hidrogen
(Rukmana, 1994).
Tekstur timun semakin lama fermentasi maka tingkat kekerasan timun
semakin berkurang. Pelunakan dinding sel berhubungan dengan degradasi
komponen polisakarida oleh beberapa enzim (pectinolityc dan cellulolityc) dan
adanya hidrolisa asam poligalakturonat (Maruvada, 2005). Rasa asin pada pikel
timun disebabkan karena penggunaan larutan garam sebagai media fermentasi.
Namun, waktu fermentasi pikel timun kurang karena belum terbentuk citarasa
asam karena pembentukan asam laktat oleh BAL seperti produk fermentasi
lainnya.
Bakteri yang mungkin tumbuh pada pikel timun yaitu Lactobacillus.
Menurut Fardiaz (1992), Lactobacillus berbentuk batang yang panjang, anaerobik
fakultatif, dan katalase negatif. Lactobacillus sering ditemukan pada makanan
terutama pada permukaan sayuran (berperan daam fermentasi pikel), dan pada
susu serta produk-produk susu.
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
V. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:
1. Pada pembuatan sauerkraut penambahan garam 5% memberikan rasa yang
lebih asam dibandingkan penambahan garam 2%.
2. Warna sauerkraut semakin lama waktu fermentasi intensitas warna hijau
semakin menurun sedangkan sauerkraut larutan garam konsentrasi 5%
semakin lama waktu fermentasi intensitas warna kuning semakin
meningkat.
3. Tekstur sauerkraut semakin lama waktu fermentasi semakin menurun
tingkat kekerasannya.
4. Citarasa sauerkraut semakin lama waktu fermentasi akan berubah dari asin
menjadi asam.
5. Cabai asin yang dihasilkan memiliki warna merah keoranyean dan tekstur
yang lembek.
6. Semakin lama waktu fermentasi maka tekstur sawi asin semakin lembek
dan citarasa sawi asin adalah asin sedikit asam.
7. Warna sawi asin semakin lama waktu fermentasi, warnanya semakin tua
dan kecoklatan.
8. Semakin lama waktu fermentasi maka warna timun semakin hijau tua atau
kecoklatan.
9. Tekstur timun semakin lama fermentasi maka tingkat kekerasan timun
semakin berkurang.
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. 2014. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antimikrobia Bakteri Asam Laktat
yang Diisolat Dari Asinan Rebung Kuning Bambu Betung (Dendrocalmus
asper) Yang Difermentasi pada suhu 15 0C. Skripsi. Universitas Katolik
Soegijapranata: Semarang

Ayotte, Ellen. 2017. Sauerkraut. Jurusan Agrikultru, Universitas Alaska


Fairbanks: US.

Bender. 2002. Dictionary of Nutrions and Food Technologi. Butter worth


scientific: London.

Buckle, K., A, R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M.


Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.

Chao SH, Wu RJ, Watanabe K, Tsai YC. 2009. Diversity of lactic acid bacteria in
suan-tsai and fu-tsai, traditional fermented mustard products of Taiwan. Int
J Food Microbiol. 135(3):203-210.

Daulay, D dan A. Rahman. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan Buah-


Buahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB: Bogor.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta.

Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama:


Jakarta.

Frazier, W. C. and D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology 3th edition. Tata


McGraw-Hill New Delhi.

Gazanfer, E. & Tarhan, S. 2005. Color Retention of Red Peppers by Chemical


Pretreatments During Greenhouse and Open Sun Drying. Journal of Food
Engineering 76 : 446 452.

Kristek, S., Drago B., Hrvoje P., dan Andrija K. 2004. Effect of starter cultures L.
mesenteroides and L. lactis ssp. lactis on sauerkraut fermentation and
quality. Czech J. Food Sci., 22: 125132.

Kumoro, Kunto. 2004. Penanganan Panen dan Pascapanen Cabai Merah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian: Nusa tenggara
Barat.

Marliyati, S.A. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. PAU Pangan
dan Gizi IPB, Bogor.

Marta, Herlina. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas Padjajaran,


Bandung.
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
Maruvada, R. 2005. Evaluation of Importance of Enzimatic and Non-enzimatic
Softening in Low Salt Cucumber Fermentations. Thesis. North Caroline
University.

Pederson, C.S. 1971. Microbiology of food fermentations. The AVI Publishing


Co.Inc. Wesport, Connecticut.

Potter, N.N. 1980. Food Science. The AVI Publishing Company, Inc.: Westport,
Connecticut.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. 1981. Sayur Asin. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. Hal. 27-32.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan Buah- Buahan. PAU


Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Rukmana, R. 1994. Bertanam Petsai dan Sawi. Yogyakarta : Kanisius.

Sinaga, R.M., dan Marpaung, L. 1995. Orientasi Perlakuan Garam, Suhu dan
Lama Fermentasi Terhadap Mutu Acar (Pikel) Bawang Putih. Bul Penel.
Hort. 27(3):134-142.

Suryani A, E. Hambali, dan M. Rivai. 2004. Membuat Aneka Selai. Penebar


Swadaya: Jakarta.

Tjahjadi, C. dan H. Marta. 2014. Pengantar Teknologi Pangan: Volume 1. Jurusan


Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran: Jatinangor.

Vaughn, R.H. 1982. Lactic Acid Fermentation of Cabbage, Cucumber, Olives and
Other Product. In Prescott and Dunns Industrial Microbiology. Fourth
editions. AVI Publishing Co :182-236.

Vaughn, R.H. 1985. The microbiology of vegetable fermentations. Di dalam


B.J.B. Wood (ed.). Microbiology of Fermented Foods, vol. 1, p. 49. Elsevier
Applied Science Publishing Ltd., London.

Wijaya, R., Aprilila. 2010. Proses Pengolahan Selai Nanas Organik dan
Pendugaan Umur Simpannya. Skripsi. IPB: Bogor.

Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rufaidah I.M
240210150120
Kelompok 7
JAWABAN PERTANYAAN

1. Pada pembuatan sayur asin tidak pernah ditambahkan


inokulum/ragi. Menurut anda apa alasannya?
Karena peran ragi sebagai katalisator pertumbuhan bakteri asam laktat
(Leuconostoc mesenteroides dan Lactobacillus brevis) telah digantikan
oleh garam yang dapat membantu memecahkan karbohidrat dan asam-
asam amino secara anaerobik oleh mikroorganisme dalam proses
fermentasi spontan.

2. Apa fungsi larutan garam pada fermentasi spontan?


Penambahan garam berfungsi sebagai pencegahan terhadap pertumbuhan
bakteri lain dan pengekstrak sari sayuran. Garam dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pembusuk sehingga membuat produk sayur asin lebih
awet dan garam juga dapat memberikan efek pengawet dengan cara
menurunkan aw (ketersediaan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
mikroba).

3. Mengapa bahan yang mengandung pati tinggi harus


dimasak/dimatangkan terlebih dahulu sebelum diberi ragi?
Agar karbohidrat mudah dicerna oleh mikroorganisme.

4. Mengapa sayuran harus terendam semua dalam larutan garam?


Penambahan garam menarik keluar air & gula dan menyebabkan
tumbuhnya mikroba asam laktat di dalam larutan garam, sehingga sayuran
menjadi asin.

Anda mungkin juga menyukai