Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kemoterapi dalam tatalaksana kanker masih merupakan tindakan utama

disamping radiasi dan pembedahan. Pemberian sitotoksika atau antikanker

merupakan tindakan utama untuk mengeliminasi sel-sel kanker dalam tubuh.

Namun demikian penggunaan antikanker ini sering menimbulkan efek samping

yang sangat merugikan bagi penderita. Salah satu efek samping antikanker yang

sering muncul adalah mual dan muntah (chemotherapy induce emesis). Hal ini

menyebabkan pasien-pasien kanker yang mendapat kemoterapi sering takut pada

mual dan muntah walaupun hal itu jarang yang mengancam jiwa (Grunberg &

Hesketh, 1993). Mual dan muntah pada pemberian sitotoksika merupakan gejala

atau keluhan yang menduduki peringkat I dan II pada pasien yang mendapat

kemoterapi. Mual dan muntah dialami sebanyak 70-80% pasien yang diberi

kemoterapi (Agoes, 2001).

Untuk mengatasi efek samping mual dan muntah akibat pemberian

antikanker, sering diberikan obat-obat antimual dan antimuntah (antiemetik).

Pemberian antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah dapat mempertahankan

kualitas hidup penderita yang menjalani kemoterapi. Pemberian antiemetik juga

dapat mengurangi biaya perawatan pasien yang disebabkan oleh muntah, seperti

dehidrasi, malnutrisi, gangguan metabolisme, pneumonia akibat aspirasi. Mual

dan muntah yang berat dapat menyebabkan robeknya esophagus, herniasi gaster

1
fraktur tulang dada, dan bergesernya diskus tulang vertebratae yang akhirnya

menurunkan kualitas hidup (Oettle, 2001; Marrow dkk., 2002).

Berat ringannya mual-muntah tergantung beberapa faktor; antara lain

tingkat atau sifat emetogenik antikanker, dan karakteristik pasien. Antikanker

dengan emetogenik tinggi seperti cisplatin, dakarbazin, daktinomisin, nitrogen

mustard, prokarbazin, dan streptosin menyebabkan muntah lebih dari 75% pasien

yang menjalani kemoterapi. Antikanker dengan emetogenik sedang seperti

epirubisin dan vinblastin, menyebabkan muntah sekitar 25-75% pasien, sedangkan

antikanker dengan emetogenik ringan seperti 5-fluorourasil (5FU), vinkristin,

siklofosfamid, dan metotreksat menyebabkan muntah kurang dari 25% pasien

sesudah kemoterapi diberikan (Grunberg & Hesketh, 1993; Mc Laughlin, 1994).

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya mual dan muntah antara lain besarnya

dosis sitotoksika dan cara pemberian obat seperti pemberian intravena maupun

oral. Semakin besar dosis antikanker semakin besar risiko muntah, sedangkan

pemberian intravena lebih besar risiko muntahnya dibandingkan oral.

Karakteristik pasien seperti penderita kanker usia muda biasanya lebih peka

terhadap efek mual dan muntah bila dibanding dengan pasien usia tua, penderita

perempuan umumnya lebih peka terhadap mual muntah sehingga perlu perhatian

dalam antisipasi kemoterapi (anticipatory vomiting) (Hesketh, 2002).

Mual dan muntah akibat kemoterapi dapat dibedakan berdasarkan

frekuensi muntahnya yaitu mual muntah level 1 (satu) jika frekuensi muntah

kurang dari 10%, level 2 (dua) jika frekuensi muntah 10%-30%, level 3 (tiga) jika

frekuensi muntah 30%-60%, level 4 (empat) jika frekuensi muntah 60%-90%,

2
level 5 (lima) jika frekuensi muntah lebih dari 90% (Hesketh & Longstreth, 2002).

Terapi mual dan muntah umumnya disesuaikan dengan risiko terjadinya muntah.

Risiko muntah menengah sampai berat (level 3-5), obat yang efektif adalah

metoklopramid dosis tinggi, kortikosteroid dan antagonis serotonin (5-

hidroksitriptamin).

Terapi antiemetik diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan terapi

kanker. Ada tiga tipe muntah yang diidentifikasikan pada pasien yang menerima

kemoterapi yaitu (a) Akut (chemotherapy induces emesis acute) adalah suatu

kejadian emesis yang terjadi dalam durasi 24 jam, biasanya terjadi pada saat

sedang pemberian sitostatika. Tanpa pengobatan antiemetik, obat sitostatika

dengan potensial mual muntah sedang sampai berat diperkirakan dapat

menyebabkan mual muntah yang berulang atau terus menerus; (b) Tertunda

(delayed emesis) adalah suatu tipe emesis yang terjadi setelah 24 jam pertama

sejak pemberian obat sitostatika dan akan mengalami onset 3-5 hari, pada

beberapa kasus pada emesis tipe ini dapat menyebabkan anoreksia. Puncaknya

mencapai 48-72 jam setelah pemberian cisplatin dan mungkin sampai satu

minggu bahkan lebih; (c) Antisipator (anticipatory nausea and vomiting) yaitu ini

terjadi pada pasien yang sudah merasa mual atau rasa tidak enak perut dan cemas,

padahal obat sitostatika belum diberikan (Anne dkk., 2002). Ada beberapa

regimen antiemetik yang digunakan pada pasien yang menjalani kemoterapi.

Pemilihan masing-masing regimen tergantung jenis kemoterapi yang digunakan

dan kondisi pasien (Anne dkk., 2002).

3
Dalam penelitian ini dikaji adalah antiemetik dan rumah sakit yang

menjadi tempat pemantauan adalah RS Kanker Dharmais Jakarta. Pemilihan RS

Kanker Dharmais sebagai tempat penelitian didasarkan karena rumah sakit ini

merupakan pusat rujukan nasional untuk penyakit kanker dan spesifikasi penyakit

kankernya lebih variatif; penggunaan antiemetik di RS Kanker Dharmais atas

dasar indikasi yang kuat di samping terapi antikanker dan harus sesuai dengan

aturan pakainya, mengingat pemakaian yang sembarangan dapat mengakibatkan

efek samping yang dapat memperparah keadaan pasien itu sendiri; antiemetik

yang digunakan di RS Kanker Dharmais adalah salah satu obat yang sudah cukup

banyak dilaporkan dapat meningkatkan keberhasilan dalam terapi antikanker.

Dengan berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, maka evaluasi

penggunaan antiemetik ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai

profil penggunaan antiemetik di RS Kanker Dharmais Jakarta, apakah sudah

sesuai dengan standar-standar terapi yang ada, apakah efektif dan aman secara

klinis, ataukah terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan obat tersebut,

tanpa disadari oleh tenaga kesehatan serta pasien. Diharapkan dapat memberikan

masukan yang bermanfaat bagi rumah sakit, dan mendorong para klinisi untuk

melakukan penelitian di lapangan agar pemakaian obat yang dapat dipakai sebagai

acuan pengobatan yang tepat dan aman bagi pasien.

4
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan bahwa:

1. Kemoterapi masih merupakan tindakan utama dalam terapi kanker

disamping pembedahan dan radiasi.

2. Kemoterapi sering menimbulkan efek samping mual dan muntah.

3. Antiemetik banyak digunakan untuk mengatasi mual dan muntah, namun

belum dikaji seberapa besar penggunaan dan efektivitasnya.

Maka diajukan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi

dengan cisplatin atau kombinasi cisplatin dengan menggunakan obat

antiemetik yang menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais Jakarta

periode bulan Januari Oktober 2012?

2. Bagaimana profil penggunaan antiemetik pada pasien kanker yang

menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais Jakarta periode bulan

Januari Oktober 2012?

3. Bagaimana gambaran penggunaan obat antiemetik terhadap insidensi mual

muntah pada pasien kanker di RS Dharmais Jakarta periode bulan Januari

Oktober 2012?

Karena keterbatasan waktu dan biaya, maka lingkup permasalahan dibatasi

pada pasien kanker yang menerima kemoterapi cisplatin atau kombinasi cisplatin

dengan terapi antiemetik selama periode bulan Januari Oktober 2012.

5
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan

antiemetik pada pasien kanker selama pemberian kemoterapi cisplatin atau

kombinasi cisplatin di RS Kanker Dharmais Jakarta periode bulan Januari

Oktober 2012.

Penelitian ini secara khusus bertujuan:

1. Memperoleh gambaran pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi

dengan cisplatin atau kombinasi cisplatin dengan menggunakan obat

antiemetik yang menjalani kemoterapi di RS Dharmais Jakarta periode

bulan Januari Oktober 2012

2. Memberikan gambaran mengenai profil penggunaan antiemetik pada

pasien kanker selama menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais

Jakarta selama periode bulan Januari Oktober 2012

3. Mengetahui insidensi mual muntah pada penggunaan antiemetik pada

pasien yang menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais Jakarta periode

bulan Januari Oktober 2012.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menambah referensi mengenai pola penggunaan antiemetik, efektivitas

dan efisiensinya dalam mengurangi efek mual dan muntah pada pasien

kanker yang menjalani kemoterapi.

6
2. Mendukung proses terapi pada pasien kanker oleh dokter maupun

pelaksanaan praktek farmasi klinik oleh farmasis di rumah sakit khususnya

dalam penanganan efek mual dan muntah karena kemoterapi.

3. Membantu meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien akibat

penggunaan antiemetik yang tidak efisien.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian terhadap efektivitas antiemetik pada pasien kanker yang

menjalani kemoterapi telah dilakukan oleh beberapa peneliti di negara-negara

maju. Beck dkk., (1993) melakukan penelitian antiemetik pada pasien kanker

yang diberi siklofosfamid hasilnya menunjukkan bahwa antiemetik oral

ondansetron lebih aman dan efektif bila dibanding plasebo.

The Italian Group for Antiemetic Research (1995), melaporkan bahwa

kombinasi granisetron dengan deksametason lebih efektif mencegah muntah level

sedang akibat kemoterapi. The Italian Group for Antiemetic Research (2000),

menyarankan pemberian antiemetik 24 jam setelah dimulainya kemoterapi untuk

memperoleh efek yang optimal terhadap delayed emesis bagi pasien.

Deksametason bila diberikan bentuk tunggal cukup kuat melindungi efek delayed

emesis pada pasien yang menerima kemoterapi level rendah.

Antagonis serotonin menjadi pilihan utama untuk profilaksis terhadap

muntah pada penderita kanker dan telah ditetapkan sebagai antiemetik pada

chemoterapy induce nausea & vomitus (Goodin & Cunningham, 2002). Pada

penelitian lain dilaporkan antagonis serotonin mampu memberikan perlindungan

7
terhadap timbulnya muntah akibat kemoterapi antara 40%-60% bila diberikan

sendiri dan 58%-92% bila dikombinasikan dengan deksametason (Perez, 1998).

Antagonis serotonin digunakan sebagai profilaksis mual dan muntah pada

pasien yang mendapat kemoterapi. Efektivitas granisetron untuk profilaksis mual

dan muntah akibat kemoterapi cisplatin pada dosis 1mg PO/IVdan 2mg per oral

(PO). Granisetron oral dapat mencegah muntah dalam 24 jam sebesar 41,4%-

54,5% dan 54,7% setelah kemoterapi (Hesketh dkk., 1997; Abang dkk., 2000),

sedangkan dosis granisetron 3mg IV memberikan perlindungan 36%-65,7%

(Gebbia dkk.,1994; Latreille dkk., 1995; Handberg dkk., 1998; Baudner dkk.,

1999; Abang dkk., 2000; Aysin dkk., 2000). Granisetron dikombinasi dengan

deksametason juga dapat mencegah muntah sebesar 63%-93% (Latreille

dkk.,1995; Silva dkk., 1996; Barrajan dan Ramon, 2000; Chua dkk., 2000).

Profilaksis mual dan muntah dengan ondansetron 8mg, 24mg, dan 32mg

masing-masing memberikan perlindungan muntah dalam 24 jam setelah

kemoterapi sebesar 30%-59%, 52%-58%, dan 51%-58,3% (Ruff dkk., 1994;

Aysin dkk., 2000; Hesketh, 1997; Mabro, 1999; Park dkk., 1999). Sedangkan

kombinasi ondansetron dengan deksametason, dapat memberikan perlindungan

muntah 71%-83% (Cunningham dkk., 1996; Krzakowski dkk., 1998; Chua dkk.,

2000).

Profilaksis mual dan muntah dengan tropisetron 5mg mencegah muntah

dalam 24 jam sebesar 58,8%-70%. Apabila dikombinasi deksametason, akan

dapat 75% (Yalcin dkk., 1999; Atsin dkk., 2000; Chua dkk., 2000). Profilaksis

granisetron pada kemoterapi cisplatin dengan dosis 1mg dan 3mg dapat mencegah

8
muntah dengan dosis 3mg (90%) dibanding dosis 1mg (57,9%) (Wahyuningsih,

2004). Hasil penelitian di salah satu rumah sakit di Yogyakarta pada tahun 2003

menunjukkan bahwa pemilihan obat antiemetik yang diberikan pada pasien

kanker yang mendapat sitostatika dengan tingkat emetogenik ringan, sedang dan

berat belum sesuai dengan guidelines Pharmacist of Australia (Perwitasari, 2006).

Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian yang

bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antiemetik pada pasien kanker RS

Kanker Dharmais Jakarta periode bulan Januari Oktober 2012.

Anda mungkin juga menyukai