Anda di halaman 1dari 14

Glomerulonefritis Akut Post-Streptococcus pada Anak

Supranata Tedhak

102015014

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Abstrak

Glomerulonefritis akut post streptococcus menggambarkan inflamasi pada glomerulus yang


terjadi paska infeksi saluran pernafasan maupun infeksi kulit akibat kuman Streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan gambaran klasik sindrom nefritik akut yaitu onset cepat dari
hematuria, hipertensi dan insuffisiensi ginjal. PSAGN (Post streptokokal akut
glomerulonefritis) paling sering ditemukan pada anak usia 5 sampai 8 tahun, terutama laki-
laki. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab utama hematuria pada anak. Terapi yang
dapat diberikan adalah pemberian antibiotik, antihipertensi, diuretik, tirah baring, diet rendah
protein dan garam. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain glomerulonefritis kronik, dan
ensefalopati hipertensi.

Kata kunci : Glomerulonefritis akut, streptokokus, infeksi saluran kemih

Abstract

Acute post-streptococcal glomerulonephritis describes inflammation of the glomeruli that


occur after respiratory tract infections and skin infections due to bacteria streptococcus.
Glomerulonephritis is a classic feature of acute nephritic syndrome, a rapid onset of
hematuria, hypertension and kidney insuffisiensi. PSAGN (Poststreptococcal acute
glomerulonephritis) most often found in children of age 5 to 8 years, mainly boys. This disease
is one of the main causes of hematuria in children. Therapies that can be given is the
administration of antibiotics, antihypertensives, diuretics, bed rest, low protein and low salt
diet . Complications that can occur are, among others, chronic glomerulonephritis, and
hypertensive encephalopathy.

Keywords :Acute glomerulonephritis, streptococcus, urinary tract infection

1
Pendahuluan

Di negara berkembang, glomerulonefritis akut pascainfeksi streptokokus (GNAPS)


masih sering dijumpai dan merupakan penyebab lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak.
Sampai saat ini belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini menjadi berat,
karena tidak ada perbedaan klinis dan laboratoris antara pasien yang jatuh ke dalam gagal ginjal
akut (GGA) dan yang sembuh sempurna. Diperkirakan insiden berkisar 0-28% pasca infeksi
streptokokus. Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus Hemolyticus
group A tipe nefritogenik. Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi
secara epidemik atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara
5-8 tahun.1 Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2:1. Glomerulonefritis
merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi sel glomerulus. Peradangan
tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan patologis
glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas. Pada anak, kebanyakan kasus
glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi. Paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus
grup A. Glomerulonefritis dapat menyerang secara mendadak dan menyebabkan peradangan
kronis secara bertahap.

Rumusan Masalah

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dengan keluhan buang air kecil berwarna gelap
seperti teh pekat sejak 1 minggu lalu.

Hipotesis

Anak laki-laki berusia 5 tahun diduga menderita glomerulonefritis akut post-


streptococcus.

Anamnesis

1. Identitas Pasien.
2. Keluhan utama.
3. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan kembali sejak kapan keluhan muncul.
Menanyakan adakah gejala penyerta (muntah, diare, refluks asam, nyeri punggung,
sesak napas, perdarahan gastrointestinal, disuria, dan demam.)

2
Adakah hematuria (tanyakan warna dan bau urin, pernahkah air seni berwarna
kemerahan atau kecoklatan , jika ya, kapan dan berapa kali)
Apakah terdapat pembengkakan pada area mata atau area tubuh lainnya
Adakah gejala saluran kemih (misalnya hesitansi, pancaran kecil, tetesan diakhir
kencing, dan inkontinensia)
Pola kencing (oligouria, dysuria, anuria). Pada GNA post streptococcus biasanya
terjadi oligouria.
4. Riwayat penyakit dahulu.
- Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
- Adakah riwayat faringitis, impetigo, tonsillitis sebelumnya
- Adakah riwayat susah buang air besar
- Adakah riwayat trauma tumpul sekitar mata
5. Riwayat penyakit keluarga.
- Menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan yang
dialami oleh pasien
6. Riwayat pengobatan/obat
- Menanyakan tindakan apa yang telah dilakukan
- Apakah sudah menggunakan obat tertentu dan bagaimana hasilnya
7. Riwayat imunisasi, gizi, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dari hasil anamnesis didapatkan tidak ada riwayat trauma tumpul sekitar mata, 2
minggu lalu sakit tenggorokan.
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

Pada keadaan umum yang dilihat adalah kondisi pasien saat datang pada dokter, mulai
dari compos mentis: kesadaran penuh. Apatis: kesadaran dimana pasien terlihat mengantuk
tetapi mudah di bangunkan dan reaksi penglihatan, pendengaran, serta perabaan normal.
Somnolent: kesadaran dapat dibangunkan bila dirangsang, dapat disuruh dan menjawab
pertanyaan. Bila rangsangan berhenti pasien tidur lagi. Sopor: kesadaran yang dapat
dibangunkan dengan rangsangan kasar dan terus menerus. Coma: Tidak ada reflek motoris
sekalipun dengan rangsangan nyeri.2,3

Tanda-Tanda Vital

3
Suhu, untuk mengetahui adanya peningkatan atau penurunana suhu. Frekuensi nadi,
frekuensi nafas dan tekanan darah. Pada kasus di atas tekanan darah 125/90 mmHg

Inspeksi

Pada inspeksi yang dapat dilihat mulai dari bagian wajah, ada anemia atau tidak dapat
dilihat pada bagian mata, kemudian ada bengkak atau tidak pada bagian wajah, bagian mulut
yang perlu dilihat adalah ada luka atau rasa sakit pada sekitar bibir, ditensi abdomen. Apakah
perutnya mengalami pembengkakan atau tidak. Pada bagian ektermitas bawah dapat dilihat ada
atau tidaknya edema pada tungkai.3

Pada kasus diatas ditemukan pasien dengan palpebral edema ODS, mata tidak merah,
tidak ada kotoran mata.

Palpasi

Dilakukan test shifting dullness. Pada GNAPS dengan oedem atau asites pada daerah
abdomen test akan positif.

Pekusi

Perkusi ginjal yaitu denga perkusi CVA untuk mengetahui ada nyeri atau tidak. Pada
penyakit ginjal dengan infeksi pada bagian atas terdapat nyeri pada pinggang maka CVA +.

Auskultasi

Auskultasi dilakukan pada abdomen biasanya untuk mendengarkan bising usus. Dalam
pemeriksaan untuk urogenital tidak ada kelainan pada abdomen. Pada skenario ditemukan
ronki basah pada kedua lapang paru

Pemeriksaan Penunjang

Urin:
o Proteinuria:

Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi
sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya
gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria
biasanya kurang dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat
melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan
hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa

4
minggu sampai bebrapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan,
bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yaang
menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi
ginjal untuk membuktikannya.4

o Hematuria mikroskopik:

Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya
eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut
kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit tardapat 60-
85 kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit merupakan bantuan sangat penting pada kasus
GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan
glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula
dijumpai pada penyakit ginjal lain seperti nekrosis tubular akut.4

Darah:
o Reaksi Serologis

Infeksi streptococcus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-


produk ekstraseluler streptococcus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat
diukur, seperti Antistreptolisin O (ASTO), Antihialuronidase (AH ase), dan
Antideoksisiribonuklease (AD Nase-B). Titer Aso merupakan reaksi serologis yang
paling sering dipakai karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS.
Sedangkan kombinasi titer ASTO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir
100% menunjukkan adanya infeksi streptococcus sebelumnya. Kenaikan titer ini
dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptococcus dan mecapai
puncaknya pada minggu ke-3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6.
Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh
streptococcus. Titer ASTO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh
pemberian antibiotik, kortikosteriod atau pemeriksaan dini titer ASTO. Sebaliknya titer
ASTO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak
subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap strptococcus sehingga
infeksi streptococcus melalui kulit hanya sekitar 5% kasus menyebabkan titer ASTO
meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit.4

5
o Aktivitas Komplemen

Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan
dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptococcus yang nefritogenik.
Diantara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang
paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Umumnya kadar
C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit
dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170 mg/dl), kemudian menjadi normal
sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
complemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang
dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.4

o Laju Endap Darah (LED)

LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik menhilang.
Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan
GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS denga LED tetap tinggi walaupun gejala klinik
sudah menghilang.4

Diagnosis Kerja

Glomerulonefritis Akut Post-Streptococcus

Glomerulonefritis akut post streptococcus infeksi dapat diduga melalui urinalisis.


Urinalisis menunjukkan adanya hematuria dengan sel darah merah, proteinuria dan
polymorphonuclear leucocytes.Mild normochromic anemia dapat terjadi akibat daripada
hemodilution dan low-grade hemolysis. Selain itu kadar serum C3 akan menurun pada fasa
akut dan kembali normal pada 6-8 minggu selepas onset. Diagnosis dapat dikonfirmasikan
dengan kultur streptococcus yang positif pada kultur tengorokkan. Disamping itu, peningkatan
antibodi titer O dapat mengkonfirmasi adanya infeksi streptococcus. Secara klinis anak yang
diagnosis GNA post streptococcus akan mengalami gejala syndrome nefritis akut, terdapat
infeksi streptococcus dan juga kadar C3 yang rendah.5

6
Diagnosis Banding

Sindrom Nefrotik

Sindroma nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai pada masa
kanak-kanak. Kelainan histopatologik yang terbanyak pada sindrom nefrotik idiopatik pada
anak adalah kelainan minimal. Sindrom nefropati dapat menyerang semua umur, tetapi
terutama menyerang anak-anak berusia antara 2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:3.Sindroma nefrotik berdasarkan 4 gejala klinik
yang khas yaitu:

1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik


Urin terdapat protein 40 mg/m2lpb/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam, atau dalam rasio
albumin/kreatinin pada urin sewaktu >2mg/mg, atau dipstik 2+. Proteinuria pada
sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh
albumin.6,7
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum <2,5 g/dl. Normal, kadar albumin plasma pada anak dengan gizi baik
berkisar 3,6-4,4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru akan terlihat
apabila kadar albumin plasmaturun dibawah 2,5-3,0 g/dl, sedangkan sering dijumpai
kadar albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut.6,7
3. Sembab
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol serum
>200mg/dl.7

Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila
lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disetai
oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Pada pemeriksaan fisik harus
disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut dan tekanan darah. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan antara lain urinalisis dan bila perlu biakan urin, protein urin
kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari,
pemeriksaan darah: darah tepi, kadar albumin dan kolesterol plasma, kadar ureum, kreatinin,
serta klirens klasik atau dengan rumus Schwartz, titer ASTO dan kadar komplemen C3 bila

7
terdapat hematuria mikroskop persisten. Bila dicurigai lupus eritromatosus sistemik
pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan kadar komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti-dsDNA.
Pasien yang menunjukan gambaran klinik dan laboratorium yang tidak sesuai dengan
gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid. Indikasi
biopsi ginjal, saat onset umur kurang dari 1 tahun atau lebih dari 16 tahun.

Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila:


Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi
gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
Tidak ada bukti infeksi streptokokus
Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria
setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap
setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan.6,7
Etiologi

Streptokokus dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kemampuan


menghancurkan sel darah merah, yaitu Streptococcus -haemolyticus jika kuman dapat
melakukan hemolisis lengkap, Streptococcus -haemolyticus jika melakukan hemolisis parsial,
dan Streptococcus -haemolyticus jika tidak menyebabkan hemolisis. Streptococcus -
haemolyticus dapat dibagi menjadi 20 grup serologis yaitu grup A hingga T. Sistem penentuan
serotipe grup A streptokokus dibuat menurut abjad berdasarkan jenis polisakarida dinding sel
(Lancefield group) atas dasar reaksi presipitin protein M atau reaksi aglutinin protein T dinding
sel. Disebut sebagai streptokokus grup A karena dinding sel terdiri dari polisakarida polimer l-
ramnose dan N-asetil-D-glukosamin dengan rasio 2:1. Polisakarida grup A ini mengadakan
ikatan ke peptidoglikan yang disusun dari N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-Dmuraminicacid,
dan tetrapeptida asam d-glutamat, serta d- dan l-lisin pada dinding sel. Streptokokus grup A,
B, C, D, dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan pada manusia. Streptococcus -
haemolyticus grup A merupakan bentuk yang paling virulen. Streptokokus grup A disebut juga
dengan Streptokokus piogenes, dan termasuk kelompok Streptococcus -haemolyticusyang
dapat menyebabkan GNAPS dan demam reumatik. Pada kuman streptokokus grup A ini, telah
diidentifikasi sejumlah konstituen somatik dan produk ekstraselular, namun peranannya dalam
patogenesis GNAPS belum semuanya diketahui.8

8
Epidemiologi

Glomerulonefritis akut post-streptococcus menyertai infeksi tenggorokan atau kulit


oleh strain nefritogenik dari Streptococcus -hemolitikus grup A tertentu. Faktor-faktor yang
memungkinkan bahwa hanya strain streptokokus tertentu saja yang menjadi nefritogenik
tetap belum jelas. Selama cuaca dingin glomerulonefritis streptokokus biasanya menyertai
faringitis streptokokus, sedangkan selama cuaca panas glomerulonefritis biasanya menyertai
infeksi kulit atau pioderma streptokokus. Epidemiologi nefritis telah diuraikan bersama dengan
infeksi tenggorokan (serotipe 12) maupun infeksi kulit (serotipe 49), tetapi penyakit ini
sekarang paling lazim terjadi secara sporadik.5

Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau
sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2:1. Di Indonesia, penelitian multisenter
selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak
menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%).5,8
Patofisiologi

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli
berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan
filtrasi fraksi berkurang samapai di bawah 1%. Kedaaan ini menyebabkan reabsosrbsi di
tubulus proksimal berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses
reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian
lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air di dukung oleh keadaan berikut ini:4

Faktor-faktor endthelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus
Overexpression dari epithelial sodium channel
Sel-sel radang interstial yang meningkatkan aktivitas angiostensin internal

Faktor-faktor inilah yang seacara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air sehingga dapat
menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai
menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekspansi cairan
ekstraseluler seperti renin angiostensin, aldosterin dan diuretik hormon (ADH) tidak
9
meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut me
ningkat.4

Manifestasi Klinis

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6-15 tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun.
GNAPS didahului oleh infeksi melalui saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit
(piodermi), dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA dan 3 minggu pada pioderma. Gejala
klinik bentuk asimptomatik lebih banyak daripada bentuk simptomatik baik sporadik maupun
epidemik. Bentuk asimptomatik diketahui boila rterdapat kelainan sedimen urin terutama
hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.4

GNAPS simptomatik:

Periode Laten
Pada GNAPS yang kahas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus
dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar antara 1-3 minggu, periode 1-2 minggu
didahului oleh ISPA, sedangkam periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi.
Periode ini jarang terjadi di bwah 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit
lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schoenlein.4
Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan mrnghilang pada
akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra),
disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut
(asites) dan genitalia eksterna menyerupai sindrom nefrotik. Edema bersifat pitting sebagai
akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan intersistial yang dalam waktu
singkat akan kembali ke kedududkan semula.4
Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedang kan hematuria
mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Urin tampak coklat kemerah-merahan
seperti teh pekat. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu I dan
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat
berlangsung lebuh lama umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan bahkan sampai 1
tahun.4

10
Hipertensi
merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Umumnya terjadi dalam
minggu I dan menghilang bersama hilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan
kasus dijumpai hipertensi ringan (80-90 mmHg). Keadaan ini tidak perlu diobati tetapi
hanya dengan istirahat yang cukup, dan diet yang teratur. Adanya hipertensi berat
menyebabkan ensolofati hipertensi yaitu hipertensi disertai gejala serebral seperti sakit
kepala, muntah, kesadaran menurun dan kejang-kejang.4

Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di


glomerulus.

Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama dijumpai bila komplikasi yang biasanya timbul dalam
minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi
istirahat di tempat tidur, tetapi tidak dizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya
perawatan tergantung pada keadaan penyakit pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan
prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria
mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari
perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumapai kelainan
laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat
yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari
teman-temannya, sehingga memberikan beban psikologik.4
Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan
tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1
g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oligouria atau
anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti
asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).4
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS samapai sekarang masih sering dipertentangkan. Ada
yang memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk

11
streptococcus, sedangkan yang lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan
negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptococcus. Biakan negatif dapat terjadi
oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten
yang terlalu lama (> 3 mingggu). Pemberian antibiotik ini tidak mempengaruhi perjalann
penyakit tetapi untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain.
Diberikan golongan penisilin berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB im atau
Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap
golongan penisilin, dapat diberikan eritromisin 30 mg/kgbb/hari.4
Simptomatik
- Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
(130/90 mmHg) dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan
darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang (>140-
150/>100 mmHg) atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi captopril (0,3-
2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat
tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin
secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap
30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi barat atau hipertensi dengan gejala
serebral (enselofati hipertensi) dapat diberikan klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb/hari) yang dapat diulang hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari
secara intravena. Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1-3
mg/kgbb iv).4

Pencegahan

Terapi antibiotik sistemik awal untuk streptococcus. Bagi anggota keluarga yang juga
positif menderita GNAPS sebaiknya di kultur untuk menemukan kuman tersebut dan diobati
jika kultur positif. Selain itu, penanganan luka yang efektif bisa mencegah terjadinya infeksi.9

Komplikasi

12
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.6,8
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.6,8
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh
darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
memberat dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.6,8
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.6,8

Prognosis

Penyakit ini dapat sembuh sendiri sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting diseaae. Walaupun sangat
jarang GNAPS dapat kambuh kembali.4

Kesimpulan

Anak laki-laki pada skenario di atas menderita glomerulonefritis akut et causa


streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu bagian dari suatu penyakit ginjal, yang
dimana dapat bermanifestasi menjadi penyakit-penyakit yang lebih parah lagi, penyakit ini
memiliki pencetus yang bermacam-macam dan akan membawa penyakit ini menjadi akut dan
kronik yang bergejala namun tidak menutup kemungkinan bahwa gejala yang timbulnya dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri. Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada anak
dengan GNA adalah hematuria, proteinuria, edem, hipertensi, dan oligo/anuria.

Daftar Pustaka:

13
1. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2007.h.228-43.
2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed 2. Jakarta: EGC; 2005.
3. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi 1. Jakarta: Erlangga; 2007. h.98.
4. Rauf S, Albar H, Aras J. Konsensus glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Jakarta:
Unit Kerja Nefroligi IDAI; 2012.h.3-16
5. Pardede SO. Struktur sel streptokokus dan patogenesis glomerulonefritis akut
paskastreptokokus. Sari Pediatri; 2009: Vol. 11 (1). h.56-65.
6. Robbins LS, dkk. Buku ajar patologi. Edisi Ke-7. Volume 2. Jakarta: EGC; 2007.h.813-
814.
7. Wim de Jong, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi Ke-2. Jakarta: EGC;
2004.h.756-64.

8. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Sari Pediatri; 2003. Vol.
5.h.58-63.
9. Sudoyo WA. Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.25-7, 474-6.

14

Anda mungkin juga menyukai