Anda di halaman 1dari 13

RINGKASAN MATERI

TEORI AKUNTANSI

KONSEKUENSI EKONOMIS STANDAR AKUNTANSI

KELOMPOK :

Zaini Danu Brata 1515351016

Luh Ade Wahyu Merthadiyanti 1515351022

Ni Putu Yunita Sari 1515351035

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

1
2017

13. Pilihan Kebijakan Akuntansi oleh Manajemen


13.1 Teori Keagenan
Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai
kepentingan yang berbeda (Jensen dan Meckling, 1976). Perusahaan yang memisahkan
fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (Lambert, 2001).
Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak,
sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Dalam
kesepakatan tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat
memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan
perusahaan. Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada
maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat
(utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang
berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham/ pemilik (principal)
dengan manajemen (agent). Pada dasarnya agency theory merupakan model yang digunakan
untuk memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principal).
Dengan adanya hal tersebut, dalam praktik pelaporan keuangan sering menimbulkan
ketidak transparanan yang dapat menimbulkan konflik principal dan agen. Akibat adanya
perilaku manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini akan menjadi
penghalang adanya praktik GCG (Good Corporate Governance) pada perusahaan-perusahaan
karena salah satu prinsip dasar dari GCG adalah Transparency (keterbukaan).
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka menegakan prinsip
GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya prinsip transparasi dan
akuntabilitas,penyajian informasi akuntasi yang berkualitas dan lengkap dalam laporan
tahunan sangat diperlukan. Hal ini akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemakai
laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dalam uraian berikut ini akan
dibahas tentang Agency Theory sebagai awal timbulnya isu tentang Good Corporate
Governance (GCG), kemudian Good Corporate Governance beserta prinsip-prinsip yang
melandasi dan peran akuntan dalam menegakkan prinsip GCG di Indonesia. Konsepsi CG
dalam bahasan ini didasarkan sudut pandang organisasi perusahaan privat sebagai open
system. Burrel dan Morgan (1979) menyatakan bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi
yang sama dengan organisme yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan
hidup,organisasi tersebut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana organisasi
tersebut berada (misal budaya masyarakat,pemerintah,aturan dan regulasi lainnya)

2
Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal,sedangkan managemen sebagai agen.
Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak agar anggota-anggota dalam perusahaan,
dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang
memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen
merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen
berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal
kepadanya.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan
kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang
mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan,return maupun
resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila
kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara
matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian
insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau
teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan
prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).
a. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
b. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,efisiensi
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara
prinsipal dan agen.
c. Asumsi tentang informasi.
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual belikan.

Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal


sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan
agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan
kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang
mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka

3
panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi
wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.
Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang
berbeda saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam
praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh dan
kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi
bagi prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat
menghambat prisipal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi
yang tidak transparan, sedang di lain pihak prinsipal selaku pemilik modal bertindak
semaunya atau sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan
penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah
pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan
yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan
sebagai orang ekonomik (homo economicsus) yang berperilaku ingin memaksimalkan
kepentingannya masing-masing.
Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best
interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya
mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen bisaa
melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan
yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai
kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat
untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut
dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asimmetric Information.
Asimmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena
adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal
seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang
diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilanyang
diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang
diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang
sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang dipercakan kepada agen.
Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2
(dua) permsalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan
melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan permasalahan tersebut adalah :

4
a. Moral Hazard
Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b. Adverse Selection
Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan
yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah
diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut
Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :
a. The monitoring expenditures by the priciple
Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk
juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction,
compensation policies.
b. The bonding expeditures by the agent.
The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan
menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin
bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan.
c. The residual loss
Merupakan penurunan tingkat kesjahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya
agency relationship.

Dari penambahan diatas, bila dibuatkan ringkasan tentang asumsi dan penerapan agency
theory dalam organisasi akan tampak dalam label 1 dibawah ini :

Tabel 1. Asumsi Dasar dalam Agency Theory

Asumsi Manusia : Homo Economicus, yang memaksimalkan


utilitasnya
Model Perilaku
: Self serving behavior

Fakta Penerapannya : Prinsipal dan agen cenderung menerapkan


tujuan secara kaku (rigid)
Akibat yang timbul
: Conflict of Interest

5
Konsekuensi : Timbul agency cost dalam mengawasi
kinerja manager / agen
Pemecahan : Sharing rule antara prinsipal dan agen perlu
dibuat
Reward : Ekstrinsik, yaitu komoditi berwujud dan bisa
dipertukarkan dan memiliki nilai pasar yang
bisa diukur
Asumsi Informasi : Sebagai komoditi yang dapat diperjual
belikan

Aplikasi Agency Theory pada Pengelolaan Perusahaan.

Konsep pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham dan pengelolaan
(management) para agen atau manger dalam perusahaan telah menjadi kajian sejak tahun
1930-an. Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan
sebagaian besar manjemen puncak (top mangement) hanya memiliki saham nominal dalam
peerusahaan yang mereka kelola.
Bila dilihat dari perkembangan teori perusahaan dan hubungannya dengan kebutuhan
GCG, dari perspektif Agency Theory, Tabel 2 berikut ini menunjukan perkembangan akan
kebutuhan GCG pada teori korporasi klaasik.modern,dan post-modern.

Tabel 2. Perkembangan Teori Korporasi dan Implikasinya Terhadap


Good Coorperate Governance

TEORI
TEORI KORPORASI TEORI KORPORASI
KORPORASI
MODERN POST-MODERN
KLASIK

6
KARAKTERISTIK : KARAKTERISTIK : KARAKTERISTIK :
1.Perusahaan dengan 1.Perusahaan dengan banyak 1.Perusahaan dengan banyak
single majority pemegang saham, namun masih pemegang saham, dan tidak
shreholders. ada kepemilikan mayoritas. ada kepemilikan mayoritas.

2.Prinsipal merangkap 2.Fungsi Prinsipal dan Agen mulai 2.Sulit untuk mengidentifikasi
sebagai agen. terpisah. the true principal.

3.Keseimbangan 3.Meskipun pemilik mayoritas 3.Prinsipal umumnya tidak atau


kepentingan antara masih memiliki otoritas yang kurang memahami bisnis.
prinsipal dan agen besaar, kepentingan pemegang
tidak penting. saham minoritas sudah 4.Agen memiliki pengaruh yang
diperhatikan. besar dalam menjalankan
perusahaan.

5.Terjadi ketidakseimbangan
kepentingan (conflict of
interest).

IMPLIKASI: IMPLIKASI : IMPLIKASI :


Aspek Good Corporate Aspek Good Corporate Aspek Good Corporate
Governance tidak Governance mulai diperlukan. Governance sangat diperlukan.
diperlukan.

Dalam uraian diatas tentang Agency Theory diatas disebutkan bahwa adanya perilaku
dari manager/agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan
mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat terjadi karena manjer mempunyai
informasi yang lengkap mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimilki
oleh pemilik perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric Information atau AI).
Adanya AI dan Self Serving Behavior pada manager/agen, memungkinkan mereka
untuk mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena tidak
adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya kepada prinsipal
sebagai pemilik perusahaan. Agency Theory menganalisis dan mencari solusi atas dua
permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para prinsipal (pemilik/pemegang saham)
dan agen (manajemen).

7
13.2 Manajemen Laba
Manajemen laba adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen yang
menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya
yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikkan atau penurunan profitabilitas perusahaan
untuk jangka panjang. Dengan demikian, manajemen laba dapat diartikan sebagai suatu
tindakan manajemen dalam mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberikan manfaat
ekonomi yang keliru kepada perusahaan, sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan
sangat menggangu bahkan membahayakan perusahaan. Definisi manajemen laba menjadi
dua, yaitu:
a. Arti Sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
Earnings management dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku
manajemen untuk bermain dengan komponen discretionary accruals dalam
menentukan besarnya earnings.
b. Arti Luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba
yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa
mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit
tersebut.
Manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses
pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan
dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan
stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang
berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.
Manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.
Tujuan manajemen laba adalah memanipulasi besaran laba yang dilaporkan kepada
para pemegang saham dan mempengaruhi hasil perjanjian yang bergantung pada angka-
angka akuntansi yang dilaporkan. Fischer dan Rosenzweig (1995) memandang earnings
management sebagai serangkaian langkah yang dilakukan manajer untuk meningkatkan atau
menurunkan jumlah laba yang dilaporkan dalam tahun berjalan yang merupakan tanggung
jawabnya tanpa menyebabkan penurunan atau peningkatan keuntungan yang dicapai suatu
badan usaha dalam jangka panjang.

8
Ada tiga sasaran yang dapat dicapai oleh manajer dalam melakukan manajemen laba
meliputi: minimalisasi biaya politik, maksimalisasi kesejahteraan manager, dan minimalisasi
kas pendanaan.
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Manajemen Laba:
a. Manajemen Akrual
Faktor ini biasanya berkaitan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran
kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para
manajer.
b. Penerapan Suatu Kebijaksanaan Akuntansi yang Wajib
Faktor ini berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu
kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu antara
menerapkannya lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat
berlakunya kebijaksanaan tersebut.
c. Perubahan Aktiva Secara Sukarela
Faktor ini biasanya berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau merubah
suatu metode akuntansi tertentu diantara sekian banyak metode yang dapat dipilih
yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada.

Sugiri (2005) menyatakan bahwa salah satu motivasi manajemen laba adalah
mengelabui kinerja ekonomi yang sebenarnya, dan itu dapat terjadi karena terdapat
ketidaksimetrian informasi antara manajemen dan para pemegang saham suatu badan usaha.
Motivasi manajemen laba lainnya adalah mempengaruhi penghasilan (telah diatur dalam
kontrak) yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan dengan asumsi
bahwa manajemen memiliki kepentingan pribadi dan kompensasinya didasarkan pada laba
akuntansi. Faktor-faktor yang memotivasi pihak manajemen untuk melakukan manajemen
laba adalah sebagai berikut:
a. Program Bonus (Bonus Plan)
Adanya asimetri informasi mengenai keuangan perusahaan menyebabkan pihak
manajemen dapat mengatur laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka. Pada
motivasi ini, diasumsikan bahwa manajer meningkatkan keuntungan yang dilaporkan
dalam upaya untuk memaksimalkan imbalan bonus yang akan diterima.
Manajer pada perusahaan yang menerapkan program bonus lebih cenderung untuk
menggunakan metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba
saat ini dengan memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan.

9
b. Kontrak Utang (Debt Covenant)
Semakin dekat suatu perusahaan ke waktu pelanggaran kontrak utang, manajemen
akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode
endatang ke periode berjalan, yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan
perusahaan mengalami technical defauld (kegagalan dalam pelunasan hutang).
c. Motivasi Politis (Political Motivation)
Perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak akan cenderung
menurunkan labanya untuk mengurangi visibilitasnya, misalnya dengan menggunakan
praktik atau prosedur akuntansi, khususnya selama periode kemakmuran tinggi.
d. Motivasi Pajak (Taxation Motivation)
Salah satu insentif yang dapat memicu manajer untuk melakukan rekayasa laba adalah
keinginan untuk meminimalkan pajak atau total pajak yang harus dibayarkan
perusahaan. Hal ini karena laba sering dijadikan landasan untuk mengambil
keputusan, menyusun kontrak maupun penilaian kinerja suatu manajer.
e. Pergantian CEO (Chief Executive Officer)
Banyak motivasi yng timbul disekitar waktu penggantian CEO. Contohnya, CEO
yang mendekati masa pensiun (tugas akhirnya) akan melakukan strategi
memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya.
f. IPO (Initial Public Offering)
Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya dipasar modal belum
memiliki harga pasar, sehingga terdapat masalah bagaimana menetapkan nilai saham
yang ditawarkan. Oleh karena itu, informasi seperti laba bersih dapat digunakan
sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan, sehingga manajemen
perusahaan yang akan go public cenderung melakukan manajemen laba untuk
memperoleh harga lebih tinggi atas sahamnya.
Manajemen laba yang dilakukan manajemen biasanya dilakukan melalui manipulasi
akuntansi. Manipulasi akuntansi merujuk pada pengubahan catatan akuntansi secara
sengaja dari yang seharusnya untuk memperoleh posisi atau kondisi keuangan tertentu
dengan tujuan akhir berupa perubahan sikap pemangku kepentingan sesuai dengan yang
diinginkan pihak manajemen. Manipulasi akuntansi tidak memiliki dampak terhadap
aliran kas atau factor ekonomik real lainnya.
a. Manipulasi yang melanggar PABU
Mencakup pelanggaran nyata terhadap PABU dalam konteks pendekatan akuntansi
berbasis aturan. Macam-macam pelanggaran ini antara lain: transaksi fiktif dengan
10
cara menambah (mark up) atau mengurangi (mark down) nilai transaksi, atau
mungkin dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, percepatan pengakuan
pendapatan dengan mengubah tanggal menjadi lebih awal, pengakuan biaya sebagai
asset, dll.
b. Manipulasi yang selaras dengan PABU
Memanipulasi laba dengan menggunakan fleksibilitas yang diperbolehkan GAAP
(Generally Accepted Accounting Principles). Manipulasi ini dikelompokkan menjadi
3 kelompok yaitu:
1) Pemilihan metode
Cara ini meliputi pengubahan metode yang sebelumnya digunakan ke metode lain
yang lebih menguntungkan. Misalnya pengubahan metode alokasi depresiasi dan
aliran biaya pada sediaan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya berbagai
alternatif yang tersedia di PABU. Namun demikian, cara ini tidak terlalu efektif
untuk memanipulasi laba. Pertama, pemilihan metoda harus diungkap dalam
catatan laporan keuangan sehingga tidak terlalu sulit bagi pihakpihak yang
berkepentingan untuk mendeteksi apa yang terjadi (i.e. manipulasi akuntansi bila
terjadi). Kedua, cara ini tidak dapat seringsering digunakan karena pengubahan
metode yang terlalu sering tentu akan menimbulkan kecurigaan.
2) Pengubahan unsurunsur estimasi
Managemen menggunakan metode ini untuk memanipulasi laba dengan
mengubah estimasi akuntansi. Ini dilakukan dengan mengubah unsurunsur
estimasi seperti pada umur ekonomis dan nilai sisa pada aset jangka panjang,
perkiraan piutang tak tertagih, asset impairments. Manipulasi laba semacam ini
sangat sulit dideteksi oleh investor secara umum.
3) Penstrukturan transaksi
Penstrukturan transaksi, secara akuntansi, dilakukan dengan menyesuaikan
unsurunsur transaksi. Contoh yang umum untuk cara ini adalah penstrukturan
sewa guna usaha (i.e. capital atau operating lease), investasi saham/ekuitas (i.e.
dikonsolidasi atau tidak dikonsolidasi).
Adapun pola dari manajemen laba dapat dilakukan dengan cara berikut ini:
a. Taking a Bath
Hal ini terjadi selama periode pada saat terjadinya reorgenerasi, termasuk adanya
pergantian pimpinan baru. Jika manajer merasa harus melaporkan kerugian, maka

11
ia akan melaporkan dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajer
berharap dapat meningkatkan laba yang akan datang dan kesalahan atas kerugian
perusahaan dapat dilimpahkan kepada manajer lama. Konsekuensinya, mereka
akan menghapus asset, menyediakan biaya yang diharapkan di masa mendatang,
dan secara umum akan meningkatkan probabilitas keuntungan yang dilaporkan di
masa datang.
b. Income Minimization
Pola ini mirip dengan taking a bath tetapi lebih halus. Cara ini dilakukan pada saat
profitabilitas perusahaan sangat tinggi, sehingga jika periode yang akan datang
diperkirakan laba turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode
sebelumnya.
c. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan
untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang besar. Pola ini
dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelaggaran perjanjian hutang. Pola ini
dapat dilakukan dengan mengakui pendapatan terlebih dahulu, dan menunda
pengakuan beban.
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat
mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan dan dapat meningkatkan kemampuan
investor untuk memprediksi aliran kas di masa yang akan datang karena pada
umumnya investor lebih menyukai aliran laba yang relatif stabil.
Perataan laba dapat dihasilkan dari hal-lah berikut ini:
1) Natural income smoothing, yaitu proses pembentukan laba secara inheren
menghasilkan suatu stream earnings yang relatif merata, seperti yang terjadi pada
utilitas publik (Eckel, 1981).
2) Intentional income smoothing, yaitu yang disebabkan oleh tindakan manajemen.
yang dapat digolongkan ke dalam dua hal di bawah ini.
3) Real income smoothing (RIS), yang merupakan respons manajer terhadap
perubahan kondisi perekonomian. Hasil investigasinya menunjukkan hasil bahwa
RIS mempengaruhi aliran kas perusahaan.
4) Artificial income smoothing (AIS), yaitu upaya manajer untuk secara "artifisial"
mengurangi variabilitas laba. Hasil investigasinya menunjukkan hasil bahwa AIS
tidak memiliki dampak langsung terhadap aliran kas perusahaan.

12
Daftar Pustaka

Fischer, M dan K Rosenzweig. 1995. Attitudes of Students and Accounting Practitioners


Concerning the Etrhical Acceptability of Earnings Managemen. Journal of Business
Ethics, 14: 434-444.
Sugiri. 2005. Akuntansi Manajemen. Yogyakarta: BPFE.

13

Anda mungkin juga menyukai