Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)

DISUSUN OLEH
NAMA : NUR CAHYO
NPM : 0520022511

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)

DI PUSKESMAS WIRADESA KAB.PEKALONGAN

Telah disahkan
Pada tanggal :

Mengetahui :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Anik Indriyono. S.Kep.,Ns Woko Hendriyanto.Skep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2017
BAB I1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan
jantung adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian
jantung terhenti sehingga sel otot jantung mengalami kematian. Proporsi
penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun sebagai penyebab kematian.
Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit
kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner adalah sebesar 26,4%.
Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable
Angina(UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non
STsegment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI).
Kejadian STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga
merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis
secepatnya. Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan
segera yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun
Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang
terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih
mengeluh nyeri dada yang khas infark.
Komplikasi yang ditimbulkan oleh IMA antara lain gangguan irama dan
konduksi jantung, syok kardiogenik, gagal jantung, ruptur jantung, regurgutasi
mitral, trombus mural, emboli paru, dan kematian.Angka mortalitas dan
morbiditas komplikasi IMA yang masih tinggi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti keterlambatan mencari pengobatan, kecepatan serta
ketepatan diagnosis dan penanganan dokter yang menangani. Kecepatan
penanganan dinilai dari time windowantara onset nyeri dada sampai tiba di
rumah sakit dan mendapat penanganan di rumah sakit. Apabila time
windowberperan dalam kejadian komplikasi, maka perlu dikaji apa saja yang
menjadi faktor keterlambatannya. Ketepatan dinilai dari modalitas terapi yang
dipilih oleh dokter yang menangani. Evaluasi tentang kecepatan dan
ketepatan penanganan terhadap pasien IMA diperlukan untuk mencegah
timbulnya komplikasi.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Untuk Mengetahui dan Memahami Tentang Konsep Dasar Teori dan
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan ST ELEVASI
MIOKARD INFARK (STEMI)
1. Tujuan Khusus
Diharapkan penulis dan pembaca mampu :
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori dari Sindrom Koroner Akut.
2. Untuk mengetahui konsep dasar Askep teoritis pada pasien dengan
Sindrom Koroner Akut dengan meliputi Pengkajian, Diagnosa
Keperawatan, Intervensi, implementasi dan evaluasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN

IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori,


yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark
miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi
segmen ST pada EKG (Muttaqin, A. 2009).
Sindroma koroner akut dengan elevasi segment ST atau disebut juga
STEMI (ST Elevasi Myocard Infarction) adalah oklusi koroner akut dengan
iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan menyebabkan
kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi tergantung pada
letak dan lamanya sumbtan aliran darah , ada atau tidaknya kolateral, serta
luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat
(SPM RSJP Harapan Kita , 2009).
Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG :

No Lokasi Gambaran EKG

1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5

2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3

3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan


aVL

4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi


gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan


V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan Avf

7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3

8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-


V3. Gelombang T tegak di V1-V2

9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).


Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.
B. ETIOLOGI

Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya


rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus,
terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI,
antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit
dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2
(dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor
resiko yang dapat dirubah.

a) Faktor yang tidak dapat dirubah :


1) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ
pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia
antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat
lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).
2) Jenis kelamin
Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause kecuali
jika terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah
menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan
atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan
dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan pengaruh dari hormon
estrogen (Kumar, et al., 2007).
3) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang
kulit putih.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50
tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

b) Faktor resiko yang dapat dirubah :


1) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida
serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180
mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan
peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi
240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar
kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung
terhadap penyakit ini (Muttaqin, A. 2009).
2) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan
darah systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi
dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan,
sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal
jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena
stroke (Kumar, et al., 2007).
3) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu
yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%.
Berhenti merokok dapat menurunkan risiko secara substansial
(Kumar, et al., 2007).
4) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua
kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada
tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang
menderita diabetes mellitus
5) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung
koroner.
6) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

C. PATOFISIOLOGI

STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-
tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner
berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular.
Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika
permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak
tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis
(terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada
pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi
pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat
terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane
A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih
lanjut.
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan
membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul
multivalent yang dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan,
menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi
mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang
rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X
menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami
oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang
fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri
koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit
sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang
disebabkan oklusi koroner tergantung:
a) daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b) apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c) durasi oklusi koroner
d) kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada
jaringan yang terkena
e) kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun
secara tiba-tiba
f) faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g) keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri
koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 45 menit akan menyebabkan


kerusakan seluler yang irreversibel dan kematian otot atau nekrosis. Bagian
miokardium yang mengelami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi
secara permanen. Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu
daerah iskemik yang berpotensi dapat hidup. Bila pinggir daerah infark
mengalami nekrosis maka besar dearah infark akan bertambah besar,
sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil daerah nekrosis.
Otot yang mengalami infark akan mengalami serangkaian perubahan
selama berlangsungnya proses penyembuhan, mula-mula otot yang
mengalami infark tampak memar dan sianotik akibat terputusnya alioran
darah regional kemudian dalam jangka waktu 24 jam akan timbul edema pda
sel-sel, respon peradangan disertai infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantung
akan terlepas dari sel-sel ini, menjelang hari kedua atau ketiga mulai terjadi
proses degradasi ringan dan pembuangan semua serabut nekrotik. Selama
fase ini dinding nekrotik relatif tipis, kira-kira pada minggu ketiga mulai
terbentuk jaringan parut. Lambat laun jaringan penyambung fibrosa
menggantikan otot yang nekrosis dan mengalami penebalan yang progresif.
Pada minggu keenam parut sudah terbentuk dengan jelas.
Akibat yang terjadi karena infark miokardiun adalah daya kontraksi
menurun, gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang dinding
ventrikel, pengurangan curah sekuncup, pengurangan fraksi ejeksi,
peningkatan volume akhir sistolok dan akhir diastolik ventrikel serta
peningkatan akhir diastolik ventrikel kiri.

D. MANIFESTASI KLINIK

a) Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada
pasien dengan STEMI. Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan
visceral, yang biasa dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti
diremas, seperti ditusuk, atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada
STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya
terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri
biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan
menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada
abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai
dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et
al., 2008).
b) Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang
menunjukkan ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pallor yang
berhubungan dengan keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga
sering ditemukan pada pasien dengan STEMI. Nyeri dada substernal yang
berlangsung selama >30 menit dan diaphoresis menunjukkan terjadinya
STEMI. Meskipun sebagian besar pasien menunjukkan tekanan darah dan
frekuensi nadi yang normal selama satu jam pertama STEMI, sekitar 25%
pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas sistem
saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50% pasien dengan
infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi
dan/atau hipotensi).

E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI

a) Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan
dengan ukuran dan lokasi infark.
b) Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
c) Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
d) Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung
kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
e) Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel
dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi
koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic,
dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
f) Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan
diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru
menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat
masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
g) Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke
dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran
retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu
pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri
dan vena pulmonalis
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis


STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker,
cardiac imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a) Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1) Lead II, III, aVF : Infark inferior
2) Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3) Lead V2-V4 : Infark anterior
4) Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5) Lead I, aVL : Infark high lateral
6) Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7) Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8) Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b) Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari
otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan
pelepasan protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi
intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker
kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik
kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark
berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1) cTnT dan cTnI
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I
(cTnI) memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini
yang ada dalam otot skeletal. Perbedaan tersebut memungkinkan
dilakukannya quantitative assay untuk cTnT dan cTnI dengan
antibody monoclonal yang sangat spesifik. Karena cTnT dan cTnI
secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu normal tetapi
meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai
normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai
pemeriksaan diagnostic. Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap
meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI.
2) CKMB
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan
umumnya kembali normal setelah 48-72 jam. Pengukuran penurunan
total CK pada STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK
juga mungkin meningkat pada penyakit otot skeletal, termasuk infark
intramuscular. Pengukuran isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik
untuk STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat dalam jumlah yang
signifikan pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada miokarditis,
pembedahan kardiak mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim
MB dalam serum.
c) Cardiac Imaging
1) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI.
Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial
sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography,
prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka nada
atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan
indikasi terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat
mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler,
efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler
echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan
regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
2) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution
cardiac MRI.
3) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri

H. PENATALAKSANAAN

a) Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar
tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi
elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar
kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga
elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
b) Hospital
1) Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa
awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien
dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam
pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus
didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung
kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam
pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya
menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan
komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi
dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua
atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185
m minimal tiga kali sehari.
2) Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI,
pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-
12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung
kolesterol 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-
55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium,
magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
3) Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri
seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien
mengalami konstipasi
c) Farmakoterapi
1) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena
infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus
berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat
diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi
nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan.
2) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek
vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat
diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
3) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai
dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
4) Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki
hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan
ukuran infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia.
5) Terapi reperfus
BAB III
PEMBAHASAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama,
suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi,
status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
2. Status kesehatan saat ini
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
3. Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
a) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan
istirahat.
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
c) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas
pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta
ketidakmampuan bahu dan tangan.
d) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang
0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan.
Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
e) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh
infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah
dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark
miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.
4. Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan
hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada
masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi di
masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.
5. Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada
anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
6. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap,
jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
7. Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah TD, DM.
Tanda:
a) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk/berdiri
b) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
c) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.
d) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
e) Friksi; dicurigai perikarditis.
f) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
g) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal
jantung/ventrikel.
h) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
8. Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,
marah pada penyakit/perawatan yang tak perlu, khawatir tentang keluarga,
pekerjaan dan keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
9. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
10. Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda: penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan
perubahan berat badan
11. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri
12. Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
13. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
a) Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan
aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
b) Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat
menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti
epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher
c) Kualitas nyeri crushing, menusuk, berat, menetap, tertekan, seperti
dapat dilihat.
d) Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin pengalaman
nyeri paling buruk yang pernah dialami.
e) Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan
DM, hipertensi dan lansia.
Tanda:
a) Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
b) Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
c) Menarik diri, kehilangan kontak mata
d) Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, pernapasan,
warna kulit/kelembaban, kesadaran.
14. Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda: peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih
atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
15. Interaksi social
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan
menarik diri dari keluarga
16. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit
vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau
Pengkajian fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:

Tingkat kesadaran
Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)
Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak
mencukupinya oksigen ke dalam miokard
Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan,
perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan
miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume
Warna dan suhu kulit
Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-
tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika
merupakan potensial komplikasi yang fatal
Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya
tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria
(Wilkinson. 2012)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan menumpuknya sekret


pada jalan nafas.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (terganggunya sistem
termoregulasi).
3. Risiko cedera berhubungan dengan adanya kejang
C. INTERVENSI

NO DIAGNOSA INTERVENSI TUJUAN ATAU RASIONAL


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1 Jalan nafas tidak 1. Berikan posisi Tujuan: Tidak 1. agar jalan napas
efektif miring pada terjadi aspirasi tetap terbuka
berhubungan pasien 2. membersihkan
dengan 2. Lakukan suction KH: jalan napas jalan napas
menumpuknya 3. Lakukan bebas, tidak ada 3. untuk
sekret pada jalan nebulizer suara napas mengencerkan
nafas. 4. Observasi tambahan, tidak secret
tanda-tanda vital ada sekret yang 4. mengetahui tingkat
pasien menumpuk perkembangan
5. Kolaborasi pasien
dengan tim 5. mempercepat
medis/ dokter kesembuhan
dalam penyakit
pemberian terapi
2 Hipertermi 1. Berikan Tujuan: suhu 1. keluarga pasien
berhubungan penjelasan pada tubuh normal dapat mengerti
dengan proses keluarga pasien dalam waktu 30 tentang penyebab
penyakit tentang menit - 1 jam demam
(terganggunya penyebab 2. untuk
sistem termogulasi) peningkatan KH: suhu tubuh mempercepat
suhu tubuh 36,5 C, tidak penguapan
2. Ganti pakaian keluar keringat 3. mengetahui tingkat
pasien dengan dingin, pasien perkembangan
pakaian yang tenang pasien
mudah 4. menurunkan
menyerap demam
keringat
3. Observasi
tanda-tanda vital
pasien
4. Kolaborasi
dengan tim
medis dalam
pemberian obat
antipiretik
3 Risiko cedera
1. Tujuan: cedera 1. menghindari
berhubungan 1) Jaga kepala pada saat terjadi cedera saat
dengan adanya terhadap benda- kejang dapat kejang
kejang benda yang dapat dicegah 2. mengetahui
menimbulkan tingkat
cedera KH: tidak terjadi perkembangan
2) Observasi tanda- cedera, pederita pasien
tanda vital pasien tidak jatuh, lidah 3. membuka saluran
tiap 15 menit pasien tidak nafas agar nafas
selama fase akut tergigit pasien tidak
3) Buka pakaian yang tertekan
menekan 4. menghindari
4) Berikan cedera atau jatuh
pengamanan pada 5. memberi rasa
tempat tidur aman
5) Memasang label 6. menambah
atau gelang resiko pengetahuan
cedera keluarga tentang
6) Bantu ADL dan penanganan awal
edukasi keluarga kejang
penanganan kejang
berulang
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Demam merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Demam


yang tinggi pada anak bisa menimbulkan terjadinya kejang demam. Demam yang
memicu terjadinya kejang ditandai dengan suhu tubuh anak yang mencapai 380
C. Pertolongan pertama pada anak dengan kejang demam yaitu membawa anak
ke rumah sakit dengan diberikan diazepam rectal yang berfungsi untuk
mengatasi kejang, serta obat penurun demam yang berupa injeksi maupun oral.
Kejang demam yang berlangsung singkat ( kurang lebih 5 menit ) pada umumnya
tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa, yaitu rusaknya neuron otak.
Komplikasi yang mungkin terjadi jika anak terkena kejang demam adalah yang
berlangsung lama yaitu lebih dari 15 menit, yang dapat mengakibatkan
kerusakan otak dengan mekanisme eksitotoksik, selain itu penurunan mental,
dan kerusakan pada daerah medial lobus temporalis yang memicu terjadinya
epilepsi.

B. SARAN

Saran yang dapat diberikan mengenai permasalahan kejang demam antara lain
sebagai berikut:

1. Bagi Institusi Pendidikan Memberikan tambahan referensi tentang kejang


demam, bagaimana cara penatalaksaan medisnya, apa saja terapi yang harus
diberikan dan hal apa saja yan medisnya, apa saja terapi yang harus diberikan
dan hal apa saja yang dapat dilakukan untuk terhindar dari kejang demam.
2. Bagi Tenaga Kesehatan Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien
untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi
3. Bagi Mahasiswa Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan medis
terhadap penderita kejang demam, apa saja penyebab, tanda-tanda gejala
klinisnya dan terapi apa saja yangf dapat diberikan pada penderita kejang
demam serta bagaimana cara mencegh terjadinya demam yang memicu
terjadinya kejang.

-
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM, .1995. Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada


Anak. Jakarta: Gaya Baru
Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta: Media Action
Rendle John. 1999. Ikhtisar Penyakit Anak. Edisi ke 6. Jakarta: Binapura Aksara

Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta :
EGC
LEMBAR KONSULTASI
LAPORAN PENDAHULUAN/RESUME/ANALISA SINTESA KEJANG DEMAM
DI RUANG IGD RSUD BENDAN KOTA PEKALONGAN

Nama : Nur Cahyo


NPM : 0520022511
Institusi : Universitas Pekalongan

NO TANGGAL PROBLEM KETERANGAN PARAF CI


KONSULTASI

Anda mungkin juga menyukai