Anda di halaman 1dari 27

PENDAHULUAN

Cerebral palsy (CP) merupakan terminologi yang digunakan untuk


menunjukkan adanya gangguan fungsi motorik akibat lesi non-progresif (statik)
pada awal proses perkembangan otak. Cerebral palsy dapat disebabkan oleh faktor
genetika, metabolik, iskemik, infeksi, serta etiologi didapat lainnya. Pada
awalnya cerebral palsy disebut sebagai static encephalopathy, namun terminologi
ini kurang tepat mengingat gambaran neurologis cerebral palsy biasanya berubah
seiring dengan waktu. Cerebral palsy biasanya berhubungan dengan gangguan
bicara, penglihatan, serta intelektual. Meskipun demikian, cerebral palsy
merupakan gangguan secara selektif terhadap sistem motorik otak. Banyak anak
dan dewasa dengan cerebral palsy memiliki kemampuan intelektual yang baik dan
menempuh pendidikan tinggi tanpa adanya tanda disfungsi kemampuan
kognitif.1,2,3

Meskipun metode dan peralatan medis untuk perawatan neonatus telah


berkembang secara signifikan, insidensi cerebral palsy tidak mengalami perubahan
dalam lebih dari 4 dekade terakhir. Prevalensi cerebral palsy di negara-negara maju
adalah 2-2.5 kasus per 1000 kelahiran hidup, dimana bayi prematur merupakan
kelompok prevalensi tertinggi. Pada negara berkembang, prevalensi cerebral palsy
tidak begitu jelas diketahui, namun diperkirakan antara 2-2.5 kasus per 1000
kelahiran hidup. Semua kelompok ras memiliki potensi yang sama terkena cerebral
palsy. Status sosioekonomi yang rendah serta jenis kelamin laki-laki merupakan
risiko tinggi kejadian cerebral palsy.1,2,3

Prevalensi cerebral palsy berkisar antara 1.5 hingga 2.5 per 1000 kelahiran
hidup dengan variabilitas yang kecil bahkan hampir tidak ada pada negara-negara
barat. Studi yang dilaksanakan oleh The Collaborative Perinatal Project dengan
melibatkan 45.000 anak yang dimonitor sejak intra-uterus hingga usia 7 tahun
menunjukkan bahwa sebagian besar anak dengan cerebral palsy tidak berhubungan
dengan proses persalinan dan kelahiran. Pada 80% kasus cerebral palsy ditemukan
adanya hubungan faktor antenatal yang menyebabkan terjadinya abnormalitas

1
perkembangan otak. Kurang dari 10% anak dengan asfiksia intrapartum yang
mengalami cerebral palsy. Infeksi intra-uterus (chorioamnitis, inflamasi membran
plasenta, inflamasi tali pusat, cairan amnion berbau busuk, sepsis maternal, suhu
tubuh > 38 saat persalinan, infeksi saluran kemih) diketahui berhubungan secara
signifikan dengan peningkatan risiko cerebral palsy pada bayi dengan berat lahir
normal. Peningkatan kadar sitokin merupakan salah satu indikator bayi baru lahir
dengan prognosis akan menderita cerebral palsy.1,2,3

2
CEREBRAL PALSY

I. DEFINISI
Sekelompok gangguan permanen dari perkembangan gerakan dan
postur tubuh, yang menyebabkan pembatasan aktifitas, gangguan ini tidak
progresif yang terjadi pada saat perkembangan otak janin atau bayi. Gangguan
motorik dari cerebral palsy sering disertai dengan gangguan sensasi, persepsi,
kognisi, komunikasi dan perilaku. 1,2,3,4

II. EPIDEMIOLOGI
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan ditemui pada lebih kurang
17% anak di Amerika Serikat. Angka kejadian palsi serebral di berbagai
negara bervariasi antara 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup. Secara umum,
palsi serebral dibagi atas 4 tipe yaitu spastik, atetoid, ataksia, dan campuran.
Sekitar 70%-80% kasus palsi serebral adalah tipe spastik. Prevalensi PS pada
anak usia 3-10 tahun diperkirakan antara 2-4 kasus per 1000 anak. Prevalensi
PS pada anak usia kurang dari 7 tahun di Cina sebesar 1,6 kasus per 1000
anak atau diperkirakan terdapat 310.000 anak. Saat ini, di Indonesia, belum
terdapat data prevalens kejadian PS. Laju insidens PS adalah 1 tiap 34.000
penduduk. Dengan demikian, jika jumlah penduduk Indonesia diperkirakan
230 juta penduduk, maka diperkirakan terdapat 7.000 penderita PS di
Indonesia. Sejumlah 56 pasien dengan PS berobat ke poliklinik anak Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) antara Januari 2010 Januari 2011.1,2,3

III. ETIOLOGI
Cerebral palsy dapat disebabkan karena perkembangan anomaly dari
system saraf pusat atau cedera otak yang terjadi selama masa prenatal, natal,
dan postnatal. 1,2,3,4

3
1. Prenatal
a. Infeksi intrauterine: Potensi yang mungkin terjadi pada masa prenatal
adalah infeksi pada masa kehamilan. Infeksi merupakan salah satu hal
yang dapat menyebabkan kelainan pada janin misalnya infeksi
TORCH dan sifilis.
b. Asfiksia intrauterine: abrupsio plasenta, plasenta previa, anoksia
maternal, kelainan umbilicus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi,
anemia dan lain-lain.
c. Radiasi
d. Toksemia gravidarum
e. DIC oleh karena kematian prenatal pada salah satu bayi kembar.
2. Perinatal
Pada masa bayi dilahirkan ada beberapa resiko yang dapat menimbulkan
CP antara lain:
1. Anoksia/hipoksia
2. Perdarahan otak
3. Prematuritas
4. Hiperbilirubinemia
5. Bayi kembar
3. Postnatal
Pada masa postnatal bayi bayi beresiko mendapatkan paparan dari luar
yang dapat mempengaruhi perkembangan otak, yang mungkin dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada otak. Kerusakan yang terjadi
pada jaringan otak setelah proses kelahiran yang mengganggu
perkembangan dapat menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada:
a. Trauma kepala
b. Meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan.

4
IV. KLASIFIKASI
Pada otak, terdapat 3 bagian berbeda yang bekerja bersama menjalankan
dan mengontrol kerja otot yang berpengaruh pada pergerakan dan postur
tubuh. Bila terjadi kerusakan pada bagian otak itulah yang membuat
seseorang menderita CP. Bagianbagian otak tersebut adalah sebagai berikut
:. 1,2,3,4

Gambar 1. Bagian-bagian otak yang mengalami kelainan pada beberapa bentuk CP

1. Berdasarkan gangguan motorik.1,2,3,4


a. CP Spastik
Merupakan bentuk yang terbanyak (70-80%), otot mengalami
kekakuan dan secara permanen kontraktur serta melawan untuk
bergerak. pada anak-anak yang mengalami tipe ini harus bekerja keras
untuk berjalan dan bergerak. Jika kedua tungkai mengalami
spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak
bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk
karakterisitik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait gunting
(scissor gait).
b. CP Atetoid/diskinetik
CP atetoid terjadi pada 10%-15% penderita CP. Anak yang mengalami
tipe ini mempunyai gerakan-gerakan yang tidak terkontrol. Gerakan
ini tidak dapat dicegah sehingga dapat mengganggu aktivitas. Gerakan
abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai dan pada

5
sebagian besar kasus otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak
selalu menyeringai dan selalu mengelurakan air liur. Gerakan sering
menigkat selama periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur.
Penderita juga mengalami masalah koordinasi otot lidah.
c. CP ataksid
Jarang dijumpai, < 15% yang menderita tipe ini. Gangguan atau
hilangnya kesimbangan dan kordinasi. Penderita akan bergoyang
ketika sedang berdiri, mempunyai masalah dengan keseimbangan
menyebabkan penderita berjalan dengan kaki terbuka lebar,
meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling berjauhan untuk
menghindar dari jatuh. Mereka juga sering mengalami tremor dan
bicara yang tidak teratur.
d. CP campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu
bentuk CP yang telah dijelaskan di atas. Bentuk campuran yang sering
dijumpai adalah spastik dan gerakan atetoit tetapi kombinasi lain juga
dapat di jumpai.

2. Berdasarkan lokasi gangguan motorik 1,2,3,4


1. Monoplegia: bila kelemahan atau kelumpuhan hanya mengenai satu
ekstremitas saja
2. Hemiplegia: bila kelemahan atau kelumpuhan mengenai kedua
ektremitas atas dan bawah dari salah satu sisi tubuh
3. Diplegia: bila mengenai kedua sisi wajah, kedua ekstremitas atas dan
atau kedua ekstremitas bawah
4. Triplegia: bila mengenai 3 ekstremitas
5. Paraplegia: bila hanya mengenai ekstremitas bawah
6. Quadriplegia: keempat ektremitas terkena.

6
Gambar 2. Ilustrasi CP tipe spastik.2

3. Derajat berdasarkan beratnya penyakit dan kemampuan penderita untuk


melakukan aktivitas normal. 1,2,3,4

Tabel 1. Klasifikasi CP berdasarkan derajat penyakit.2

7
V. MANIFESTASI KLINIS
a. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus
dan refleks babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap
dan tidak menghilang meskipun penderita dalam keadaan tidur.
Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot,
karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi
kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku dan
pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga
posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi,
fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam fleksi plantar dan dan telapak
kaki berputar ke dalam. Tonic neck refleks neonatal menghilang pada
waktunya. 1,2,4,5
b. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas)
dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan
pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi
perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring
tampak flaksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila
dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis,
Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas
ialah refleks neonatal dan tonic neck reflex menetap. 1,2,4,5
c. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak
flaksid, tetapi sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks
neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat
timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak di ganglia
basal disebabkan oleh asfiksia berat atau kern ikterus pada masa neonatus.
1,2,4,5

8
d. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya
flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang lambat.
Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai
berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku.
Kerusakan terletak diserebelum. 1,2,4,5
e. Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan
neurogen terutama persepsi nada tinggi sehingga sulit menangkap kata-
kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis. 1,2,4,5
f. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan
yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar
mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata
dan sering tampak berliur. 1,2,4,5

VI. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari cerebral palsy sangat berkaitan dengan proses
perkembangan otak manusia dan hal-hal yang dapat memperngaruhi
perkembangan tersebut. Perkembangan otak manusia dan waktu puncak
terjadinya meliputi :2,3,5

1. Neurulasi primer Minggu 34 kehamilan


2. Perkembangan prosensefalik Bulan 2-3 kehamilan
3. Proliferasi neuronal Bulan 3-4 kehamilan
4. Migrasi neuronal Bulan 3-5 kehamilan
5. Organisasi Bulan 5 dari kehamilan sampai bertahun-tahun paska kelahiran
6. Mielinisasi Lahir sampai bertahun-tahun paska kelahiran

9
A. Cedera otak atau perkembangan otak abnormal
Mengingat kompleksitas perkembangan otak prenatal dan bayi, cedera atau
perkembangan abnormal dapat terjadi setiap saat, sehingga presentasi klinis
palsi serebral bervariasi (apakah karena kelainan genetik, etiologi toksin atau
infeksi, atau insufisiensi vaskular). Misalnya, cedera otak sebelum 19 minggu
kehamilan dapat mengakibatkan defisit migrasi neuronal, cedera antara minggu
ke-19 dan 34 dapat mengakibatkan leukomalasia periventrikular (foci nekrosis
coagulative pada substantia alba yang berdekatan dengan ventrikel lateral);
cedera antara minggu ke-34 dan ke-40 dapat mengakibatkan cedera otak fokal
atau multifokal.2,3,5
Cedera otak akibat insufisiensi vascular tergantung pada berbagai faktor
pada saat cedera, termasuk distribusi pembuluh darah ke otak, efisiensi aliran
darah otak dan regulasi aliran darah, serta respon biokimia jaringan otak untuk
oksigenasi. 2,3,5

B. Prematuritas
Stres fisik pada bayi prematur dan ketidakmatangan pembuluh darah otak
dan otak dapat menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor resiko
yang signifikan untuk palsi serebral. Sebelum matur, distribusi sirkulasi janin
masih kurang baik, sehingga terjadi hipoperfusi pada substantia alba
periventrikular. Hipoperfusi dapat mengakibatkan perdarahan matriks germinal
atau leukomalasia periventrikular. Antara minggu ke-19 dan 34 usia kehamilan,
daerah substantia alba periventrikular yang berdekatan dengan ventrikel lateral
adalah daerah yang paling rentan mengalami cedera. Karena daerah-daerah
tersebut membawa serat yang bertanggung jawab atas kontrol motorik dan
tonus otot kaki. Cedera ini dapat terjadi dengan manifestasi klinik seperti diplegi
spastik (yaitu, kelemahan tungkai, dengan atau tanpa keterlibatan lengan). 2,3,5

C. Periventrikular leukomalasia
Ketika lesi lebih besar yang menjangkau daerah saraf descenden dari
korteks motor dan melibatkan centrum semiovale dan korona radiata,

10
manifestasi klinik dapat terjadi pada ekstremitas bawah dan atas. Leukomalasia
periventrikular umumnya simetris dan menyebabkan cedera iskemik substantia
alba pada bayi prematur. Cedera asimetris pada substantia alba periventrikular
dapat menghasilkan satu sisi tubuh yang lebih terpengaruh dari yang lain.
Hasilnya hampir sama dengan hemiplegi spastik tetapi lebih terlihat sebagai
kejang diplegia asimetris. Matriks germinal di daerah periventrikular sangat
rentan terhadap cedera hipoksiaiskemik karena lokasinya di zona perbatasan
vaskular antara zona akhir arteri striata dan thalamik. 2,3,5

D. Perdarahan periventrikular intraventrikular


Banyak ahli telah menentukan berat ringannya perdarahan periventrikular-
perdarahan intraventrikular menggunakan sistem klasifikasi sebagai berikut : 2,3,5
a. Grade I Perdarahan subependimal dan/atau matriks germinal
b. Grade II Perdarahan subependimal dengan ekstensi ke dalam ventrikel
lateral tanpa pembesaran ventrikel
c. Grade III Perdarahan subependimal dengan ekstensi ke dalam ventrikel
lateral dengan pembesaran ventrikel
d. Grade IV Sebuah perdarahan matriks germinal yang meluas ke parenkim
otak yang berdekatan, terlepas dari ada atau tidak adanya perdarahan
intraventrikular

E. Cedera vaskuler serebral dan hipoperfusi


Saat matur, ketika sirkulasi ke otak hampir menyerupai sirkulasi serebral
dewasa, cedera pembuluh darah pada saat ini cenderung terjadi paling sering
pada distribusi arteri serebral tengah, mengakibatkan serebral palsy tipe spastik
hemiplegi. Ganglia basal juga dapat terkena, sehingga terjadi palsi serebral tipe
ekstrapiramidal atau diskinetik. 2,3,5

11
VII. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin
besar antara lain adalah : 2,3,4,5
A. Letak sungsang.
B. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda
awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi
tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen.
C. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
D. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan
bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat
sesuai dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
E. Kehamilan ganda.
F. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi
pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
G. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir
kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan
peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.
H. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
I. Kejang pada bayi baru lahir.

12
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1,2,3,4,5
1. Anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal dan pascanatal,
dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy.
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang
tua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak
normal. Bayi dengan CP sering mengalami kelambatan perkembangan,
misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan.
Sebagian mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus
otot/hipotonia bayi tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan
tonus otot/hipertonia, bayi tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada
periode awal tampak hipotonia dan selanjutnya berkembang menjadi
hipertonia setelah 2-3 bulan pertama. Anak-anak CP mungkin
menunjukkan postur abnormal pada satu sisi tubuh.
2. Pemeriksaan fisik lengkap dengan memperhatikan perkembangan
motorik dan mental serta adanya refleks neonatus yang masih menetap.
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan
kemampuan motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari
riwayat kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak.
Refleks adalah gerakan dimana tubuh secara otomatisasi bereaksi
sebagai respon terhadap stimulus spesifik. Sebagai contoh, jika bayi baru
lahir menekuk kepalanya maka kaki akan bergerak ke atas kepala, dan
bayi secara otomatis akan membentangkan lengannya, yang dikenal
dengan refleks moro, yang tampak seperti gerakan akan memeluk. Secara
normal, refleks tersebut akan menghilang pada usia 6 bulan, tetapi pada
penderita CP, refleks tersebut akan bertahan lebih lama. Hal tersebut
merupakan salah satu dari beberapa refleks yang harus diperiksa.
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk
menggunakan tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang obyek
didepan dan pada sisi dari bayi, bayi akan mengambil benda tersebut

13
dengan tangan yang cenderung dipakai, walaupun obyek didekatkan pada
tangan yang sebelahnya. Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum
menunjukkan kecenderungan menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi
bayi dengan spastik hemiplegia, akan menunjukkan perkembangan
pemilihan tangan lebih dini, sejak tangan pada sisi yang tidak terkena
menjadi lebih kuat dan banyak digunakan.
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan
penyakit lain yang menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting,
harus ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah memburuk.
Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai dengan
definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif
kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat masalah
yang berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik, penyakit
muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian metabolik dan
genetik tidak rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP. Riwayat
medis anak, pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus,
pengulangan pemeriksaan akan sangat berguna untuk konfirmasi
diagnostik dimana penyakit lain dapat disingkirkan.
3. Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah
a. Pemeriksaan neuroradiologik
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan
penyebab CP perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan
kepala, yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui
struktur jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang
kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan
informasi dari CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita
CP. MRI kepala, merupakan teknik imaging yang canggih,
menghasilkan gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area
abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang dibanding dengan CT
scan kepala.

14
Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi
anak CP jika etiologi tidak dapat ditemukan. Pemeriksaan ketiga yang
dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak adalah USG
kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala
mengeras dan UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat
dibanding CT dan MRI, tehnik tersebut dapat mendeteksi kista dan
struktur otak, lebih murah dan tidak membutuhkan periode lama
pemeriksaannya.
b. Pemeniksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan
intelektual yang akan menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa
atau sekolah luar biasa.
c. Pemeriksaan lain
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi
lain yang berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan
mental, dan visus atau masalah pendengaran untuk menentukan
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus
dilakukan. EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas
elektrik otak dimana akan menunjukkan penyakit kejang.
Pemeriksaan intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan
derajat gangguan mental. Kadangkala intelegensi anak sulit
ditentukan dengan sebenarnya karena keterbatasan pergerakan sensasi
atau bicara, sehingga anak CP mengalami kesulitan melakukan tes
dengan baik. Jika diduga ada masalah visus, dokter harus merujuk ke
optalmologis untuk dilakukan pemeriksaan jika terdapat gangguan
pendengaran, dapat dirujuk ke otologist.
Identifikasi kelainan penyerta sangat penting sehingga diagnosis
dini akan lebih mudah ditegakkan. Banyak kondisi diatas dapat
diperbaiki dengan terapi spesifik, sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup penderita CP.

15
IX. PENATALAKSANAAN
Perlu ditekankan pada orang tua dari anak dengan kelainan ini, bahwa
tujuan pengobatan bukan membuat anak menjadi seperti anak normal lainnya.
Tetapi mengembangkan sisa kemampuan yang ada pada anak tersebut
seoptimal mungkin, sehingga diharapkan anak dapat melakukan aktifitas
sehari-hari tanpa bantuan atau dengan sedikit bantuan. 1,2,3,4,5
Secara garis besarnya penatalaksanaan pada CP sebagai berikut:
a. Memonitoring pertumbuhan, nutrisi, penglihatan, pendengaran dan
kemampuan sensorinya
b. Terapi fisik dan okupasi, latihan untuk memperbaiki gerakan dan
kekuatan dan latihan untuk melakukan aktifitas sehari-hari, evaluasi
penggunaan alat-alat bantu, latihan keterampilan tangan dan aktivitas.
c. Injeksi toxin botulinum untuk mengurangi spastisitas
d. Injeksi phenol untuk mengurangi spastisitas
e. Baclofen infuse untuk mengurangi spastisitas pada distonik dan
quadriplegi CP
f. Penggunaan brace untuk stabilitas terutama bracing untuk tungkai dan
tubuh, mencegah kontraktur, mencegah kembalinya deformitas setelah
operas, agar tangan lebih berfungsi.
g. Terapi pembedahan ortopedi untuk stabilitas, melemahkan otot yang
terlalu kuat atau untuk transfer dari fungsi.

Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita
CP antara lain:4,5
A. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah
akan menyebabkan anak tampak selalu berliur. Air liur dapat
menyebabkan iritasi berat kulit dan menyebabkan seseorang sulit
diterima dalam kehidupan sosial dan pada akhirnya menyebabkan anak
akan terisolir dalam kehidupan kelompoknya. Walaupun sejumlah terapi
untuk mengatasi drooling telah dicoba selama bertahun-tahun, dikatakan
tidak ada satupun yang selalu berhasil. Obat yang dikenal dengan

16
antikholinergik dapat menurunkan aliran saliva tetapi dapat
menimbulkan efek samping yang bermakna, misalnya mulut kering dan
digesti yang buruk. Pembedahan, walaupun kadang-kadang efektif, akan
membawa komplikasi, termasuk memburuknya masalah menelan.
Beberapa penderita berhasil dengan teknik biofeedback yang dapat
memberitahu penderita saat drooling atau mengalami kesulitan untuk
mengendalikan otot yang akan membuat mulut tertutup. Terapi tersebut
tampaknya akan berhasil jika penderita mempunyai usia mental 2-3
tahun, dimana dapat dimotivasi untuk mengendalikan drooling, dan dapat
mengerti bahwa drooling akan menyebabkan seseorang secara sosial sulit
diterima.

B. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada
mulut, dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat. Nutrisi yang buruk,
pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi dan
menyebabkan gagal tumbuh. Untuk membuat menelan lebih mudah,
disarankan untuk membuat makanan semisolid, misalnya sayur dan buah
yang dihancurkan. Posisi ideal, misalnya duduk saat makan atau minum
dan menegakkan leher akan menurunkan resiko tersedak. Pada kasus
gangguan menelan berat dan malnutrisi, klinisi dapat merekomendasikan
penggunaan selang makanan, yang digunakan untuk memasukkan
makanan dan nutrisi ke saluran makanan, atau gastrostom, dimana dokter
bedah akan meletakkan selang langsung pada lambung.

C. Inkontinentia Urin.
Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi. Inkontinentia
urin ini disebabkan karena penderita CP kesulitan mengendalikan otot
yang selalu menjaga supaya kandung kemih selalu tertutup.
Inkontinentia urin dapat berupa enuresis, dimana seseorang tidak dapat
mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress inkonentia), atau
merembesnya urine dari kandung kemih. Terapi medikasi yang dapat

17
diberikan untuk inkonensia meliputi olah raga khusus, biofeedback,
obat-obatan, pembedahan atau alat yang dilekatkan dengan pembedahan
untuk mengganti atau membantu otot.

Cerebral Palsy tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan


untuk memperbaiki kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat
ini tujuan terapi pada CP adalah mengusahakan penderita dapat hidup
mendekati kehidupan normal dengan mengelola problem neurologis yang
ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku untuk
semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim,
untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan
kelainan-kelainan yang ada dan kemudian menentukan terapi individual
yang cocok untuk setiap penderita.
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan meliputi obat-
obatan untuk mengontrol kejang dan spasme otot, penyangga khusus untuk
kompensasi keseimbangan otot, pembedahan, peralatan mekanis untuk
membantu kelainan yang timbul, konseling emosional dan kebutuhan
psikologis, dan fisik, okupasi, bicara dan terapi perilaku.

Tim Penanganan CP adalah multidisipliner dan anggota tim terapi CP


berdasarkan profesionalisme dengan berbagai spesialisasi, antara lain: 4,5
1. Dokter.
Misalnya spesialis anak, spesialis saraf anak atau psikiatri anak, dilatih
untuk membantu memonitoring dan memperbaiki kecacatan
perkembangan anak. Klinisi tersebut, sering menjadi pemimpin tim,
bekerja untuk membuat kesimpulan/rangkuman semua nasihat
profesional dari seluruh anggota tim hingga dicapai kesepakatan
rencana terapi, implementasi terapi, dan mengikuti perkembangan
penderita selama beberapa tahun.

18
2. Orthopedist.
Dokter spesialisasi dalam bidang tulang, otot, tendon, dan bagian
laindari sistim skeletal tubuh. Orthopedis dilibatkan untuk menentukan
prediksi, diagnosis atau terapi masalah otot yang berkaitan dengan CP.
3. Terapis fisik.
Membuat dan mengimplementasikan program latihan khusus untuk
memperbaiki gerakan dan kekuatan.
4. Terapis okupasi.
Merupakan orang yang dapat membantu kemampuan pemahanan
penderita untuk kehidupan sehari-hari, sekolah dan bekerja.
5. Pelatih bicara dan bahasa.
Spesialisasi dalam diagnosis dan terapi masalah komunikasi.
6. Pekerja sosial.
Bertugas untuk membantu penderita dan keluarga yang hidup dalam
komunitas dan program edukasi.
7. Psikolog.
Psikolog dibutuhkan agar dapat membantu penderita dan keluarga
menghadapi tekanan khusus dan kebutuhan dari penderita CP. Pada
banyak kasus, psikolog dapat mengatur terapi dengan memodifikasi
perilaku yang tidak membantu atau destruktif
8. Guru.
Seseorang yang dapat berperan penting jika terdapat gangguan mental
atau gangguan proses belajar. Penderita, keluarga dan pengasuh
merupakan kunci dari keberhasilan terapi, mereka seharusnya terlibat
jauh pada semua tingkat rencana, pembuatan keputusan, dan
mengaplikasikan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan
keluarga dan determinasi personal adalah dua dari prediktor-prediktor
yang sangat penting untuk mencapai kemajuan jangka panjang. Yang
sering dijumpai, klinisi dan keluarga hanya terfokus terutama pada
gejala individual, terutama kemampuan berjalan, padahal yang

19
terpenting adalah membantu individu untuk bertumbuh menjadi dewasa
dan memiliki kebebasan maksimun dalam bersosialisasi.

D. Terapi Medikamentosa
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat
anti kejang yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang
ulangan. Obat yang diberikan secara individual dipilih berdasarkan tipe
kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat mengontrol semua tipe
kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda walaupun dengan tipe
kejang yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak
orang mungkin membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih
macam obat untuk mencapai efektivitas pengontrolan kejang.
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas
pada penderita CP adalah :
1. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh. Pada anak
usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6
bulan diberikan dengan dosis 0,12 0,8 mg/KgBB/hari per oral dibagi
dalam 6 8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis.
2. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula
spinalis yang akan menyebabkan kontraksi otot. Dosis obat yang
dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:
2 7 tahun :
Dosis 10 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 4 dosis. Dosis
dimulai 2,5-5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis
dinaikkan 5-15 mg/hari, maksimal 40 mg/hari.
8 11 tahun :
Dosis 10 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 - 4 dosis. Dosis
dimulai 2,5-5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis
dinaikkan 5-15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari

20
12 tahun :
Dosis 20 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis
dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan
15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari.
3. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot
sehingga kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai
dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari.

Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk


periode singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum
sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan
efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang pada
sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk
menghindari efek samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru
untuk memberi obat-obat tersebut.
Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-
obatan yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal.
Obat yang sering digunakan termasuk golongan antikolinergik,
bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan
bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel
otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan
antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine
hydrochloride. Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan
alkohol atau injeksi alkohol kedalam otot untuk menurunkan spastisitas
untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering digunakan klinisi saat
hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang
diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa
minggu dan akan memberikan waktu untuk melakukan bracing,
terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut dapat menunda kebutuhan
untuk melakukan pembedahan.

21
a. Botulinum Toxin (BOTOX)
Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat
pelepasan acetilcholine dari presinaptik pada pertemuan otot dan
saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan kelemahan
otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan
otot yang berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau
mencegah kontraktur yang akan berkembang sesuai dengan
pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang
menyebabkan deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya
spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait jalan berjinjit (Toe-
heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut yang menyebabkan
crouch gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai
berkembangnya saraf terminal, yang merupakan proses dengan
puncak terjadi pada 60 hari. Intervensi botulinum dapat digunakan
pada deformitas ekstremitas atas yang secara sekunder akibat tonus
otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering
dijumpai adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan,
pronasi telapak tangan dan fleksi pergelangan tangan dan jari-
jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki kekakuan
siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi
motorik halus tidak banyak mengalami perbaikan. Keuntungan dari
segi kosmetik untuk memperbaiki fleksi siku sangat dramatik.
Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal.
Nyeri akibat injeksi minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari
5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam dan akan
menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu
penggunaan botulinum toksi dilanjutkan tergantung dari derajat
abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan untuk
memelihara fungsi yang diinginkan.

22
b. Baclofen Intratekal
Baclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara
intratekal melalui pompa yang ditanam akan sangat membantu
penderita dalam mengatasi kekakuan otot berat yang sangat
mengganggu fungsi normal tubuh. Karena Baclofen tidak dapat
menembus BBB secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi
diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan jika
dibandingkan dengan cara pemberian intratekal. Dijumpai
penderita dengan baclofen oral akan tampak letargik.
Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980
sebagai obat untuk mengendalikan spasme otot berat akibat trauma
pada tulang belakang. Sejak tahun 1990, metode pengobatan ini
mulai digunakan untuk koreksi pada penderita CP dan
menunjukkan efikasi yang baik.

E. Terapi Bedah
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat
dan menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan
mengukur panjang otot dan tendon, menentukan dengan tepat otot mana
yang bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal
yang sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar, membutuhkan lebih
dari 30 otot utama yang bekerja secara tepat pada waktu yang tepat dan
dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu otot dapat menyebabkan
cara berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot
yang bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan
dokter untuk melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera
yang merekam saat penderita berjalan, komputer akan menganalisis tiap
bagian gait penderita. Dengan menggunakan data tersebut, dokter akan
lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah
yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait untuk
memeriksa hasil operasi.

23
Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut
lebih lemah, pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu diamati
selama beberapa bulan setelah operasi. Karena hal tersebut, dokter
berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena pada satu waktu
jika memungkinkan atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak
dapat dihindarkan, mereka dapat mencopba untuk menjadwalkan operasi
yang terkait secara bersama-sama.
Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root
rhizotomy, ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai
dengan menurunkan jumlah stimulasi yang mencapai otot tungkai
melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir dan
memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol
otot tungkai. walaupun disini terdapat kontroversi dalam
pelaksanaannya.
Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik
cerebellar dan stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik
cerebelar, elektroda ditanam pada permukaan cerebellum yang
merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam koordinasi
gerakan, dan digunakan untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar,
dengan harapan bahwa teknik tersebut dapat menurunkan spastisitas dan
memperbaiki fungsi motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut masih
belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan perbaikan spastisitas dan
fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil sebaliknya.
Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang
merupakan bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ
sensoris. Hal ini efektif hanya untuk menurunkan tremor hemiparesis.

24
X. PROGNOSIS
Beberapa faktor sangat menentukan prognosis CP, tipe klinis CP, derajat
kelambatan yang tampak pada saat diagnosis ditegakkan, adanya refleks
patologis, dan yang sangat penting adalah derajat defisit intelegensi, sensoris,
dan emosional. Tingkat kognisi sulit ditentukan pada anak kecil dengan
gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur. Tingkat kognisi sangat
berhubungan dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat menentukan
kualitas hidup seseorang.2,4,5
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita masalah utama
lainnya selalu dapat berjalan pada usia 2 tahun, kegunaan short brace hanya
dibutuhkan sementara saja. Adanya tangan yang kecil pada sisi yang
hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang lebih runcing dibanding dengan kuku
lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi sensoris parietalis dan defek
sensori tersebut akan membatasi kemampuan fungsi motorik halus pada
tangan tersebut. 25% anak dengan hemiplegia akan mengalami hemianopsia,
karena hal ini anak sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk
memaksimalkan fungsi visus. Kejang dapat merupakan masalah yang terjadi
pada anak yang hemiplegik. Lebih dari 50% anak-anak dengan spastik
diplegia dapat belajar berjalan tersering pada usia 3 tahun, tetapi tetap
menunjukkan gait abnormal, dan beberapa kasus membutuhkan alat bantu,
misalnya kruk. Aktivitas tangan secara umum akan terkena dengan derajat
yang berbeda, walaupun kerusakan yang terjadi minimal. Abnormal gerakan
ekstraokuler relatif sering dijumpai. 2,4,5
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan perawatan total
paling banyak hanya 3% yang dapat berjalan, biasanya setelah usia 3 tahun.
Fungsi intelektual sering seiring dengan derajat CP dan terkenanya otot
bulbar akan menambah kesulitan yang sudah ada. Hipotonia trunkus, dengan
refleks patologis atau kekakuan yang persisten merupakan gambaran yang
menunjukkan buruknya keadaan. Mayoritas anak-anak tersebut memiliki
limitasi intelektual. 2,4,5

25
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius yang
berhubungan dengan spastisitas tipe athetoid kadang-kadang dapat berjalan.
Keseimbangan dan penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit.
Sebagian besar anak-anak yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar
berjalan. Sebaliknya, anak-anak yang masih menunjukkan moro refleks, tonik
neck refleks asimetrik, kecenderungan ekstensi, dan tidak menunjukkan
refleks parasut tidak mungkin dapat belajar berjalan; sebagian dari mereka
yang tidak dapat duduk pada usia 4 tahun dapat belajar berjalan. 2,4,5

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Rethlefsen SA, Ryan DD, etc. Classification system in cerebral palsy.


Elsevier Inc: 2010.
2. Saharso D. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana, IKA FK UNAIR
RSU Dr. Soetomo Surabaya, Openurika Creative Multimedia and
Presentation Division, Surabaya, 2006.
3. Krigger KW, Cerebral Palsy : An Overview, University of Louisville
Scholl of Medicine, Kentucky,2006. Hal. 91 100
4. Sankar C, Mundkur N. Cerebral Palsy-Definition, Classification, Etiology
and Early Diagnosis, Indian Journal of Pediatrics, India, 2005. Hal. 865
868
5. Lely O, Soetjiningsih. Aspek Kognitif dan Psikososial pada Anak dengan
Palsi Serebral, Sari Pediatri, 2000. Hal. 109 112

27

Anda mungkin juga menyukai