Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada BAB ini akan di jelaskan mengenai konsep berdasarkan tinjauan teori tentang Konsep
Tumbuh Kembang, Konsep Kejang Demam, Konsep Suhu Tubuh, dan Konsep Asuhan
Keperawatan pada Kejang Demam
2.1 Konsep Teori Tumbuh Kembang
2.1.1 Pengertian
Tumbuh kembang anak menurut Soetjiningsih & IG. N. Gde Ranuh (2013) mencakup dua
peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit di pisahkan yaitu mengenai
pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan apa yang di maksud dengan pertumbuhan dan
perkembangan per definisinya seperti berikut:
1. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau
dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang dapat di ukur dengan ukuran berat (gram,
pound, kg); ukuran panjang dengan cm atau meter, umur tulang, dan keseimbangan metabolik
(retensi kalium dan nitrogen tubuh)
2. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini
menyangkut adanya proses diferensasi sel-sel tubuh, organ dan sistem organ yang berkembang
sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk perkembangan
emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Pertumbuhan menurut Nursalam (2005) adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan
struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena ada multiplikasi (bertambah banyak)
sel-sel tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel. Dan perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan dan struktur/ fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat
diperkirakan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan
sistemnya yang terorganisasi. Seperti berfungsinya jantung untuk memompa darah, kemampuan
untuk bernafas, sampi kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, bicara, memungut
benda-benda di sekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak.
Pertumbuhan menurut Adriana (2011) adalah perubahan besar, jumlah, ukuran, atau dimensi
tingkat sel, organ, maupun individu yang bisa di ukur berat (gram, pon, kilogram), ukuran
panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen
tubuh). Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat di ramalkan, sebaga hasil dari
proses pematangan, menyangkut adanya proses diferensiasi sel tubuh, jaringan tubuh, organ-
organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya.
2.1.2 Tahap Tumbuh Kembang
Menurut Nursalam (2005) Ada beberapa tahapan pertumbuhan dan perkembangan pada
masa kanak-kanak. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Masa Pranatal
Kehidupan bayi pada masa pranatal di kelompokkan menjadi dua periode, yaitu:
1. Masa embrio yang di mulai sejak konsepsi sampai kehamilan delapan minggu. Ovum yang telah
di buahi akan dengan cepat menjadi suatu organisme yang berdeferensiasi secara pesat untuk
membentuk berbagai sistem organ tubuh.
2. Masa janin yang di mulai sejak kehamilan ke 9 minggu sampai kelahiran. Pada 9 bulan masa
kehamilan, kebutuhan bayi bergantung pada ibu. Oleh karena itu kesehatan ibu sangat penting
untuk di jaga dari faktor-faktor resiko terjadinya kelainan bawaan/gangguan penyakit pada janin
yang dapat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya perlu dihindari.
2) Masa Neonatal
Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan, perubahan sirkulasi darah, serta mulai
berfungsinya organ-organ tubuh. Saat lahir berat badan normal dari bayi yang sehat berkisar
antara 3000-3500 gram, tinggi badan sekitar 50 cm, dan berat otak sekitar 350 gram. Selama
sepuluh hari pertama biasanya berat badan bayi akan menurun sekitar 10% dari berat badan lahir,
kemudian berat badan berangsur-angsur akan meningkat. Pada masa ini fungsi pendengaran dan
penglihatan sudah mulai berkembang.
3) Masa Bayi, 1-12 bulan
Pada masa bayi, pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara cepat. Pada umur 5 bulan,
berat badan anak sudah 2 kali lipat berat badan lahir, sementara pada umur 1 tahun, beratnya
sudah menjad 3 kali lipat. Sedangkan untuk untuk panjang badan, pada umur 1 tahun sudah
menjadi satu setengah kali panjang badan saat lahir. Pertambahan lingkar kepala sudah mencapai
50%. Oleh karena itu, di perlukan pemberian gizi yang baik dan memenihi prinsip menu gizi
seimbang.
4) Masa Balita (1-3 tahun)
Pada masa ini, pertumbuhan fisik anak relatif lebih lambat dibandingkan dengan masa bayi,
tetapi perkembangan motoriknya berjalan lebih cepat. Anak sering mengalamipenurunan nafsu
makan sehingga tampak langsing dan berotot, dan anak mulai belajar jalan. Pada mulanya, anak
berdiri tegak dan kaku, kemudian berjalan dengan berpegangan. Sekitar usia 16 bulan, anak
mulai belajar berlari dan menaiki tangga, tetapi masih kelihatan kaku. Oleh karena itu, anak
perlu di awasi. Karena dalam beraktivitas anak tidak memperhatikan bahaya.
5) Masa Prasekolah Akhir (3-5 tahun)
Pada masa ini pertumbuhan gigi susu sudah lengkap. Pertumbuhan fisik relatif pelan, naik
turun tangga sudah dapat di lakukan sendiri, demikian pula dengan berdiri dengan satu kaki
secara bergantian atau melompat. Anak juga mulai mengenal cita-cata, belajar menggambar,
menulis, dan mengenal angka serta bentuk atau warna benda, dan orang tua perlu mulai
mempersiapkan anak untuk masuk sekolah. Bimbingan, pengawasan, pengaturan yang bijaksana,
perawatan kesehatan, dan kasih sayang dari orangtua serta orang-orang di sekelilingnya sangat di
perlukan anak.
6) Masa Sekolah
Menurut Hidayat (2005) pertumbuhan dan perkembangan masa sekolah akan mengalami
proses perceatan pada umur 10-12 tahun, dimana penambahan berat badan pertahun akan dapat
2,5 kg dan ukuran panjang tinggi badan sampai 5 cm pertahunnya. Pada usia sekolah ini secara
umum aktivitas fisik pada anak semakin tinggi dan memperkuat kemampuan motoriknya. Pada
masa ini kebanyakan anak mengembangkan kemampuan interaksi sosial, belajar tentang nilai
moral dan budaya dari lingkungan keluarganya, dan mulai mencoba mengambil bagian dari
kelompok untuk berperan, mengembangkan keterampilan membaca, menulis, serta berhitung,
dan belajar menghargai di sekolah.
7) Masa Remaja
Menurut Hidayat (2005) pada masa remaja proses pertumbuhan dan perkembangan di
tunjukkan terjadi kematangan dalam beberapa fungsi seperti endokrin, kematangan fungsi
seksual, dan pada masa ini terjadi peristiwa yang sangat penting dan perlu perhatian yaitu
peristiwa pubertas. Pubertas akan di alamibaik laki-laki maupun perempuan. Masa remaja ini
akan banyak kita jumpai berbagai permasalahan yang ada karena masa ini merupakan proses
menuju kedewasaan dan anak ingin mencoba bahwa dirinya sudah mampu sendiri.

2.1.3 Perkembangan Motorik, Bahasa, dan Adaptasi Sosial


1) Motorik Kasar
Perkembangan motorik kasar melibatkan otot-otot besar meliputi: perkembangan gerak
kepala, badan, anggota badan, keseimbangan dan pergerakan. Perkembangan motorik
kasar berdasarkan umur menurut Soetjiningsih & IG. N. Gde Ranuh (2013) yang di ambil dari
sumber Needlman (Growth and Development 2004) yaitu:
1. Usia 0-3 bulan
Mengangkat kepala setinggi 45 dan dada di tumpu lengan pada waktu tengkurap dan
menggerakkan kepala dari kiri/ kanan ke tengah.
2. Usia 3-6 bulan
Berbalik dari tengkurap ke telentang, mengangkat kepala 90, dan mempertahankan posisi kepala
tetap tegak dan stabil.
3. Usia 6-9 bulan
Duduk sendiri (dalam sikap bersila), belajar berdiri, kedua kaki menyangga sebagian berat
badan, dan merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
4. Usia 9-12 bulan
Mengangkat badannya ke posisi berdiri, belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di
kursi, dan dapat berjalan dengan di tuntun.
5. Usia 12-18 bulan
Berdiri sendiri tanpa berpegangan, membunguk untuk memungut mainan kemudian berdiri
kembali, dan berjalan mundur 5 langkah.
6. Usia 18-24 bulan
Berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik, dan berjalan tanpa terhuyung-huyung.
7. Usia 24-36 bulan
Jalan menaiki tangga sendiri, dan dapat bermain dan menendang bola kecil.
8. Usia 36-48 bulan
Berdiri pada satu kaki selama 2 detik, melompat dengan kedua kaki di angkat, dan mengayuh
sepeda roda tiga.
9. Usia 48-60 bulan
Berdiri pada satu kaki selama 6 detik, melompat-lompat dengan satu kaki, dan menari.
10. Usia 60-72 bulan
Berjalan lurus, dan berdiri dengan satu kaki selama 11 detik.
2) Motorik Halus
Perkembangan motorik halus adalah koordinasi halus yang melibatkan otot-otot kecil yang di
pengaruhi oleh matangnya fungsi motorik, fungsi visual yang akurat, dan kemampuan intelek
nonverbal. Perkembangan motorik halus berdasarkan umur menurut Soetjiningsih & IG. N. Gde
Ranuh (2013) yang di ambil dari sumber Needlman (Growth and Development 2004) yaitu:
1. Usia 0-3 bulan
Menahan barang yang di pegang, menggapai mainan yang di gerakkan, menggapai ke arah objek
yang tiba-tiba di jauhkan dari pandangannya.
2. Usia 3-6 bulan
Menggenggam pensil, meraih benda yang ada dalam jangkauannya, memegang tangannya
sendiri.
3. Usia 6-9 bulan
Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lain, memungut dua benda masing-masing
tangan memegang satu benda pada saat yang bersamaan, memungut benda sebesar kacang
dengan cara meraup.
4. Usia 9-12 bulan
Mengulurkan lengan/ badan untuk meraih mainan yang diinginkan, menggenggam erat pensil,
dan memasukkan benda ke mulut.
5. Usia 12-18 bulan
Menumpuk dua buah kubus, dan memasukkan kubus ke dalam kotak.
6. Usia 18-24 bulan
Bertepuk tangan, melambai-lambai, menumpuk empat buah kubus, memungut benda kecil
dengan ibu jari dan jari telunjuk, dan menggelindingkan bola ke arah sasaran.
7. Usia 24-36 bulan
Mencoret-coret pensil pada kertas.
8. Usia 36-48 bulan
Menggambar garis lurus, dan menumpuk 8 buah kubus.
9. Usia 48-60 bulan
Menggambar tanda silang, menggambar lingkaran, dan menggambar orang dengan 3 bagian
tubuh (kepala, badan, lengan).
10. Usia 60-72 bulan
Menangkap bola kecil dengan kedua tangan, dan menggambar segi empat.
3) Perkembangan Bahasa
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kelainan pada sistem lainnya, seperti
kemampuan kognitif, sensorimotor, psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak.
Rangsangan sensoris yang berasal dari pendengaran dan penglihatan sangat penting dalam
perkembangan bahasa. Mereka harus melihat dan mendengar pembicaraan yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari maupun pengetahuan tentang dunia di sekitarnya. Mereka harus
belajar mengekspresikan diri, membagi pengalaman dengan orang lain, dan mengemukakan
keinginannya.

Tabel 2.1 Milestone perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif pada anak normal menurut Soetjiningsih
& IG. N. Gde Ranuh (2013)
Umur Bahasa Reseptif Bahasa Ekspresif
(Bulan)
1 Kegiatan anak terhenti akibat suara Vokalisasi yang masih sembarang,
terutama huruf hidup
2 Tampak mendengarkan ucapan Tanda-tanda vokal yang
pembicara, dapat tersenyum pada menunjukkan perasaan senang,
pembicara senyum sosial
3 Melihat ke arah pembicara Tersenyum sebagai jawaban
terhadap pembicara
4 Memberi tanggapan yang berbeda Jawaban vokal terhadap rangsang
terhadap suara bernada marah/ sosial
senang
5 Bereaksi terhadap panggilan Mulai meniru suara
namanya
6 Mulai mengenal kata-kata da da, Protes vokal, seperti berteriak
pa pa, ma ma
7 Bereaksi terhadap kata-kata naik, Mulai mengeluarkan suara mirip
kemari, da da kata-kata kacau
Umur Bahasa Reseptif Bahasa Ekspresif
(Bulan)
8 Menghentikan aktivitas bila Menirukan rangkaian suara
namanya di panggil
9 Menghentikan kegiatan bila Menirukan rangkaian suara
dilarang
10 Secara tepat menirukan variasi Kata-kata pertama mulai muncul
suara tinggi
11 Reaksi atas pertanyaan sederhana Kata-kata kacau mulai dapat
dengan melihat atau menoleh dimengerti dengan baik
12 Reaksi dengan melakukan gerakan Mengungkapkan kesadaran tentang
terhadap berbagai pertanyaan obyek yang telah akrab dan
variabel menyebut namanya

13 Mengetahui dan mengenal nama- Kata-kata yang benar terdengar


nama bagian tubuh diantara kata-kata yang kacau,
sering dengan disertai gerakan
tubuhnya
14 Dapat mengetahui dan mengenali Lebih banyak menggunakan kata-
gambar-gambar objek yang sudah kata daripada gerakan, untuk
akrab dengannya, jika objek mengungkapkan keinginannya
tersebut disebut namanya
15 Akan mengikuti petunjuk yang Mulai mengkombinasikan kata-
berurutan (ambil topimu dan kata (mobil papa, mama berdiri)
letakkan di atas meja)
16 Mengetahui lebih banyak kalimat Menyebut nama sendiri
yang lebih rumit

4) Perkembangan Adaptasi Sosial


Perkembangan sosial menurut Soetjiningsih & IG. N. Gde Ranuh (2013) adalah
perkembangan kemampuan anak berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Mula-
mula anak hanya mengenal orang-orang yang paling dekat dengan dirinya yaitu ibunya,
selanjutnya orang-orang serumah. Dengan bertambahnya usia anak, perlu di kembangkan
pergaulan yang lebih luas. Anak perlu berkawan dan perlu di ajarkan aturan-aturan, disiplin,
sopan santun, dan lain-lain.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang
Menurut Adriana (2011) ada dua faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
Berikut ini adalah faktor internal yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
1) Ras/ etnik atau bangsa
Anak yang di lahirkan dari ras/ bangsa Amerika tidak memiliki faktor herediter ras/ bangsa
indonesia atau sebaliknya.
2) Keluarga
Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek, gemuk, atau kurus.
3) Umur
Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan, dan
masa remaja.
4) Jenis Kelamin
Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat dari pada laki-laki. Akan tetapi
setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat.
5) Genetik
Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri
khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak,
contohnya seperti kerdil.
6) Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan seperti pada
sindroma Downs dan sindroma Turners.
2. Faktor Eksternal
Berikut ini adalah faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
1) Faktor prenatal
(1). Gizi
Nutrisi ibu hamil terutama pada trimester akhir kehamilan akan memengaruhi pertumbuhan
janin.
(2). Mekanis
Posisi fetus yang abnormal bisa menyebabkan kelainan kongenital seperti club foot.
(3). Toksin / zat kimia
Beberapa obat-obatan seperti Aminopterin atau Thalidomid dapat menyebabkan kelainan
kongenital seperti palatoskisis.
(4). Endokrin
Diabetes melitus dapat menyebabkan makrosomnia, kardiomegali, dan hiperplasia adrenal.
(5). Radiasi
Paparan radiasi dan sinar rontgen dapat mengakibatkan kelainan pada janin seperti mikrosefali,
spina bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan kongenital mata, serta
kelainan jantung.
(6). Infeksi
Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH (Toksoplasma, Rubella, Citomegalo
virus, Herpes simpleks) dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti katarak, bisu tuli,
mikrosefali, retardasi mental, dan kelainan jantung kongenital.
(7). Kelainan imunologi
Eritoblastosis fetalis timbul atas dasar perbedaan golongan darah antara janin dan ibu sehingga
ibu membentuk antibodi terhadap sel darah merah janin, kemudian melalui plasenta masuk ke
dalam peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan
hiperbilirubinemia dan kernikterus yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan otak.
(8). Anoksia embrio
Di sebabkan oleh gangguan fungsi plasenta menyebabkan pertumbuhan terganggu.
(9). Psikologi ibu
Kehamilan yang tidak di inginkan serta perlakuan salah atau kekerasan mental pada ibu hamil
dan lain-lain.
2) Faktor persalinan
Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia dapat menyebabkan
kerusakan jaringan otak.
3) Faktor pascapersalinan
(1). Gizi
Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan yang adekuat.
(2). Penyakit kronis atau kelainan kongenital
Tubercolosis, anemia, dan kelainan jantung bawaan mengakibatkan retardasi pertumbuhan
jasmani.
(3). Lingkungan fisik dan kimia
Lingkungan yang sering disebut melieu adalah tempat anak tersebut hidup yang berfungsi
sebagai penyedia kebutuhan dasar anak (provider). Sanitasi lingkungan yang kurang baik,
kurangnya sinar matahari, paparan sinar radioaktif dan zat kimia tertentu (Pb, Merkuri, rokok,
dan lain-lain) mempunyai dampak yang negatif terhadap pertumbuhan anak.
(4). Psikologis
Hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak yang tidak di kehendaki orangtuanya
atau anak yang selalu merasa tertekan, akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
(5). Endokrin
Gangguan hormon, misalnya pada penyakit hipotiroid, akan menyebabkan anak mengalami
hambatan pertumbuhan.
(6). Sosioekonomi
Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan serta kesehatan lingkungan yang jelek
dan ketidaktahuan, hal tersebut menghambat pertumbuhan anak.
(7). Lingkungan pengasuhan
Pada lingkungan pengasuhan, interaksi ibu-anak sangan memengaruhi tumbuh kembang anak.
(8). Stimulasi
Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi, khususnya dalam keluarga, misalnya
penyediaan mainan, sosialisasi anak, serta keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap
kegiatan anak.
(9). Obat-obatan
Pemakaian kortikosteroid jangka panjang akan menghambat pertumbuhan, demikian halnya
dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf yang menyebabkan terhambatnya
produksi hormon pertumbuhan.
2.2 Konsep Teori Kejang Demam
2.2.1 Pengertian
Kejang demam menurut Riyadi & Sukarmin (2013) adalah serangkaian kejang yang terjadi
karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C)
Kejang demam menurut Putri & Baidul (2009) adalah kejang yang terjadi pada saat bayi
atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Tidak ada nilai ambang batas suhu
yang dapat menimbulkan terjadinya kejang demam. Selama anak mengalami kejang demam, ia
dapat kehilangan kesadaran disertai gerakan lengan dan kaki atau justru disertai dengan
kekakuan tubuhnya.
Kejang demam menurut Judha & Nazwar (2011) merupakan kelainan neurologis akut yang
paling sering di jumpai pada anak-anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang di sebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab
demam terbanyak adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas di susul infeksi saluran
pencernaan.
Kejang demam menurut Meadow (2005)adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi
intrakranial atau penyebab yang jelas.
Menurut Ngastiyah (2005) Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik,
sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang
berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.
2.2.2 Etiologi
Menurut Riyadi & Sukarmin (2013) penyebab dari kejang demam adalah kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial
seperti tonsilitis, ostitis media akut, bronchilitis.
Menurut Nurarif & Hardhi (2013) penyebab Kejang demam dibedakan menjadi intrakranial
dan ekstrakranial.
1. Intrakranial, meliputi :
1) Trauma (perdarahan) : perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler
2) Infeksi : bakteri, virus, parasit misalnya meningitis
3) Kongenital : disgenesis, kelainan serebri
2. Ekstrakranial, meliputi :
1) Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na dan
K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya
2) Toksik : intoksikasi, anastesi local, sindroma putus obat
3) Kongenital : gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Menurut Kristanty, dkk (2009) faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam antara
lain:
1) Umur.
2) Kenaikan suhu tubuh.
Kenaikan suhu tubuh biasanya berhubungan dengan penyakit saluran napas bagian atas, radang
telinga tengah, radang paru-paru, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang dapat pula
terjadi padabayi yang mengalami kenaikan suhu sesudah vaksinasi terutama vaksin pertusis.
3) Faktor genetic.
4) Gangguan sistem saraf pusat sebelum dan sesudah lahir.
2.2.3 Patofisiologi
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis, penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang di hasilkan
oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan di respon oleh hipotalamus dengan menaikkan
pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik naiknya
pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain
seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain akan di sertai
pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostagladin. Pengeluaran mediator kimia ini
dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang
merangsang perpndahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam
sel. Peristiwa inilah yang di duga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang. Serangan yang cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami
penurunan respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak berisiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan
spasma bronkus (Riyadi & Sukarmin, 2013)
Pathway
Infeksi pada bronkus, tonsil, telinga
Toksik mikroorganisme menyebar secara hematogen dan limfogen
Kenaikan suhu tubuh di hipotalamus dan jaringan lain (hipertermi)
Pelepasan mediator kimia oleh neuron seperti prostaglandin, epinefrin
Peningkatan potensial membran
Peningkatan masukan ion natrium, ion kalium ke dalam sel neuron dengan cepat
Fase depolarisasi neuron dan otot dengan cepat
Penurunan respon rangsangan dari luar Spasma otot mulut, lidah, bronkus
Resiko cidera Resiko penyempitan atau penutupan jalan nafas
Gambar 2.1 Patofisiologi (Riyadi & Sukarmin, 2013)
2.2.4 Klasifikasi
Menurut Putri & Baidul (2009) kejang demam ini secara umum dapat di bagi dalam dua
jenis, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizures).
Bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang pada hari yang sama. Kejang
demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal, atau mengganggu kepandaian.
Risiko untuk menjadi epilepsi di kemudian hari juga sangat kecil. Sekitar 2% hingga 3%. Risiko
terbanyak adalah berulang kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 50% anak. Risiko-risiko
tersebut lebih besar pada kejang demam kompleks.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizures/ complex partial seizures).
Bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh, berlangsung lebih lama dari 15 menit atau
berulang dua kali atau lebih dalam satu hari.
2.2.5 Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis menurut Riyadi & Sukarmin (2013) manifestasi klinik yang muncul pada
penderita kejang demam :
1) Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38C.
2) Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa detik
setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian
anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
3) Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya (penurunan
kesadaran).
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstonedapat di pakai sebagai
pedoman untuk menentukan manifestasi klinik kejang demam, yaitu:
1) Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2) Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3) Kejang bersifat umum.
4) Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5) Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6) Pemeriksaan EEG yang di buat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan
kelainan.
7) Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali.

2. Manifestasi klinis menurut Nurarif & Hardhi (2013), manifestasi klinis yang muncul adalah:
1) Kejang umum biasanya di awali kejang tonik kemudian klonik berlangsung 10 15 menit, bisa
juga lebih.
2) Takikardia: pada bayi frekuensi sering diatas 150 200 per menit.
3) Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat menurunnya curah
jantung.
4) Gejala bendungan system vena:
a. Hepatomegali.
b. Peningkatan vena jugularis.
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan penunjang menurut Judha & Nazwar (2011) pemeriksaan penunjang yang dapat di
lakukan tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat. Pemeriksaan yang dapat di
lakukan meliputi:
1) Darah
a. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200 mq/dl)
b. BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat
dari pemberian obat.
c. Elektrolit: K, Na.
Ketidak seimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang.
Kalium (N 3,80 5,00 meq/dl)
Natrium (N 135 144 meq/dl)
2) Cairan Cerebro Spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.
3) Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
4) Transiluminasi: suatu cara yang di kerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2
tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5) EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui
fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6) CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral oedem, trauma, abses,
tumor dengan atau tanpa kontras.
2. Pemeriksaan penunjang menurut Nurarif & Hardhi (2013), yang dapat di lakukan adalah:
1) Pemeriksaan Laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap elektrolit, dan glukosa darah
dapat dilakukan walaupun kadang tidak menunjukkan kelainan yang berarti.
2) Indikasi Lumbal Pungsi pada kejang demam adalah untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Indkasi lumbal pungsi pada pasien kejang demam meliputi:
a. Bayi<12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis sering tidak jelas.
b. Bayi antara 12 bulan sampai 1 tahun dianjurkan untuk melakukan lumbal pungsi kecuali pasti
bukan meningitis.
3) Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas.
4) Pemeriksaan foto kepala, CT-Scan, dan / atau MRI tidak di anjurkan pada anak tanpa kelainan
neurologist karena hampir semuanya menunjukkan gambaran normal. CT Scan atau MRI
direkomendaskan untuk kasus kejang fokal untuk mencari lesi organik di otak.
2.2.7 Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya / komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
kejang demam antara lain:
1. Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi.
2. Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang ada di sekitar anak.
3. Dapat terjadi perlukaan akibat terjatuh.
Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat pemberian obat
antikonvulsan yang dapat terjadi di rumah sakit. Misalnya:
1. Karena kejang tidak segera berhenti padahal telah mendapat fenobarbital kemudian di berikan
diazepam maka dapat berakibat apnea.
2. Jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan.
2.2.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan menurut Kristanty, dkk. (2009) terdapat 3 pada klien dengan kejang demam.
Antara lain:
1) pemberian antipiretik.
2) Pemberian anti konvulsan.
3) Pemberian oksigen jika ada gangguan pernafasan.

2. Penatalaksanaan menurut Judha & Nazwar (2011) dalam penanggulangan kejang demam ada 4
faktor yang perlu di kerjakan, yaitu: Pemberantasan kejang secepat mungkin, apabila seorang
anak datang dalam keadaan kejang, maka:
1) Segera diberikan diazepam dan pengobatan penunjang.
2) Pengobatan penunjang
Saat serangan kejang adalah semua pakaian ketat di buka, posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
3) Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance: 8-10 mg/kg BB di bagi 2 dosis pada hari pertama, kedua
diteruskan 4-5 mg/kg BB di bagi 2 dosis pada hari berikutnya.
4) Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis media akut.
Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit tersebut. Pada pasien yang di
ketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, kalium, magesium,
kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dan lain-
lain.

3. Penatalaksanaan menurut Ngastiyah (2005) yang di lakukan saat terjadi kejang yaitu:
1) Baringkan pasien di tempat yang rata, kepala di miringkan dan pasangkan sudip lidah yang telah
dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu
pernapasan (misal: ikat pinggang, gurita, dan lain sebagainya)
3) Isap lendir sampai bersih, berikan O boleh sampai 4 L/menit. Jika pasien jatuh apnea lakukan
tindakan pertolongan (lihat pada tetanus).
4) Bila suhu tinggi berikan kompres.
5) Setelah pasien bangun dan sadar, berikan minum hangat (berbeda dengan pasien tetanus yang
jika kejang tetap sadar).
6) Jika dengan tindakan ini kejang tidak segera berhenti, hubungi dokter apakah perlu pemberian
obat penenang (lihat di status mungkin ata petunjuk jika pasien kejang lama / berulang).
2.2.9 Pencegahan
Menurut Ngastiyah (2005) cara mencegah jangan sampai timbul kejang bisa menjelaskan
kepada orang tua, seperti:
1. Harus selalu tersedia obat penurun panas yang di dapatkan atas resep dokter yang telah
mengandung antikonvuslan.
2. Jangan menunggu suhu meningkat lagi. Langsung beri obat jika orang tua tau anak panas, dan
pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selam 24 jam berikutnya.
3. Apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama walaupun telah di berikan obat, segera
bawa anak ke rumah sakit.

2.3 Konsep Suhu Tubuh


2.3.1 Pengertian
Menurut Potter & Perry (2010) Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang
dihasilkan tubuh dengan jumlah panas yang hilang kelingkungan luar (Panas yang dihasilkan -
panas yang hilang = suhu tubuh). Mekanisme kontrol suhu pada manusia menjaga suhu inti
(suhu jaringan dalam) tetap konstan pada kondisi lingkungan dan aktivitas fisik yang ekstrim.
Suhu normal pada manusia berkisar dari 36 sampai 38C.
Menurut IDAI (2008) Suhu tubuh terdiri dari suhu permukaan (shell temperature) dan suhu
inti (core temperature). Suhu permukaan adalah suhu yang terdapat pada permukaan tubuh yaitu
pada kulit dan jaringan sub kutan, sedangkan suhu inti adalah suhu yang terdapat pada organ
visera yang terlindungi dari paparan suhu lingkungan sekitar. Suhu inti sering diartikan sebagai
suhu organ otak tempat pusat pengaturan suhu tubuh berada.
2.3.2 Konsep Fisiologi Pengaturan Suhu
Menurut IDAI (2008) pengaturan suhu tubuh memerlukan mekanisme perifer yang utuh,
yaitu keseimbangan produksi dan pelepasan panas, serta fungsi pusat pengatur suhu hipotalamus
yang mengatur seluruh mekanisme.
1. Produksi Panas
Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung tiroid, pankreas, dan
kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel yang melibatkan adenosin
tifosfat (ATP).
2. Pelepasan Panas
Tubuh melepas panas melalui 4 cara. Yaitu: radiasi, penguapan, konveksi, dan konduksi.
3. Pengaturan Suhu Tubuh
Pengaturan suhu tubuh di tujukan untuk mengukur suhu inti tubuh. Nilai suhu tubuh sangat
dipengaruhi metabolisme tubuh dan aliran darah, serta hasil pengukuran akan berbeda sesuai
dengan tempat pengukuran. Beberapa pengukuran suhu tubuh menurut tempat pengukuran
adalah sebagai berikut:
a. Arteri Pulmonalis
Suhu tubuh yang di anggap paling mendekati suhu yang terukur oleh thermostat di hipotalamus
adalah suhu darah arteri pulmonalis.
b. Esofagus
Suhu esofagus dianggap suhu yang mendekati suhu inti karena dekat dengan arteri yang
membawa darah dari jantung ke otak.
c. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan tempat lain yang digunakan untuk pengukuran suhu tubuh, karena
urin adalah hasil filtrasi darah yang ekivalen. Namun tingkat keakuratan pengukuran suhu tubuh
sangat tergantung dari jumlah urin yang keluar.
d. Rektal
Suhu rektal di anggap baku emas dalam pengukuran suhu karena bersifat praktis dan akurat
dalam estimasi rutin suhu tubuh.
e. Oral
Suhu sublingual cukup relevan secara klinis karena arteri utamanya merupakan cabang arteri
karotid eksterna dan mempunyai respon yang cepat.
f. Aksila
Pengukuran suhu aksila relatif mudah bagi pemeriksa, nyaman bagi pasien, dan mempunyai
risiko yang paling kecil untuk menyebar penyakit.
g. Membran Timpani
Teoritis membran timpani merupakan tempat yang ideal untuk pengukuran suhu inti karena
terdapat arteri yang berhubungan dengan pusat termoregulasi.
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suhu Tubuh
Menurut Potter & Perry (2010) banyak faktor yang mempengaruhi suhu tubuh. Antara lain:
1. Usia
Pada bayi dan balita belum terjadi kematangan mekanisme pengaturan suhu sehingga dapat
terjadi bperubahan suhu tubuh yang drastis terhadap lingkungan. Seorang bayi baru lahir dapat
kehilangan 30% panas tubuh melalui kepala sehingga ia harus menggunakan tutup kepala untuk
mencegah kehilangan panas. Sushu tubuh bayi baru lahir berkisar antara 35,5-37,5 C.
Regulasi tubuh baru mencapai kestabilan saat pubertas. Suhu normal akan semakin menurun saat
seseorang semakin tua.
2. Olahraga
Aktivitas otot membutuhkan lebih banyak darah serta peningkatan pemecahan karbohidrat dan
lemak. Berbagai bentuk olahraga meningkatkan metabolisme dan dapat meningkatkan produksi
panas sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.
3. Kadar Hormon
Umumnya wanita mengalami flukturasi suhu tubuh yang lebih besar. Hal ini di karenakan
adanhya variasi hormonal saat terjadi siklus menstruasi. Saat progesteron rendah, suhu tubuh
berada di bawah suhu dasar, yaitu sekitar 1/10nya. Suhu ini bertahan sampai terjadi ovulasi. Saat
ovulasi kadar progesteron yang memasuki sirkulasi akan meningkat dan menaikkan suhu tubuh
ke suhu dasar atau suhu yang lebih tinggi.
4. Irama Sirkardian
Suhu tubuh yang normal berubah 0,5 sampai 1 C selama periode 24 jam. Suhu terendah berada
di antara pukul 1 sampai 4 pagi. Pada siang hari, suhu tubuh meningkat dan mencapai
maksimum pada pukul 6 sore, lalu menurun kembali sampai pagi hari. Di butuhkan 1 sampai 3
minggu untuk terjadinya pembalikan siklus. Secara umum, irama suhu sirkardian tidak berubah
seiring usia.
5. Stres
Stres fisik maupun emosional meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan saraf.
Perubahan fisiologis ini meningkatkan metabolisme, yang akan meningkatkan produksi panas.
Klien yang gelisah akan memiliki suhu normal yang lebih tinggi.
6. Lingkungan
Lingkungan memengaruhi suhu tubuh. Tanpa mekanisme kompensasi yang tepat, suhu tubuh
manusia akan berubah mengikuti suhu lingkungan. Suhu lingkungan lebih berpengauh terhadap
anak-anak dan dewasa tua karena mekanisme regulasi suhu mereka yang kurang efisien.
7. Perubahan Suhu
Perubahan suhu tubuh di luar kisaran normal akan memengaruhi titik pengaturan hipotalamus.
Perubahan ini berhubungan dengan produksi panas berlebihan, produksi panas minimal,atau
kombinasi hal di atas. Sifat perubahan akan memengaruhi jenis masalah klinis yang di alami
klien.
2.3.4 Konsep Kompres
Kompres Hangat menurut Rumah Sakit Baptis Kediri
1. Pengertian
Memberi rasa hangat dengan mempergunakan alat yang menimbulkan hangat pada bagian
tubuh yang memerlukan.
2. Tujuan
1) Memperlancar sirkulasi darah.
2) Mengurangi/ menghilangkan rasa sakit.
3) Memperlancar pengeluaran cairan (exudat).
4) Merangsang peristaltik.
5) Memberi ketenangan dan kesenangan pada klien.
3. Kebijakan
Setiap pasien bayi dan anak yang di rawat di Rumah Sakit Baptis Kediri yang memerlukan
tindakan kompres hangat sehingga perawat harus mempu menyiapkan dan memberikan kompres
hangat sesuai dengan peraturan Direktur No 022/01/Per.Dir/RSBK/VI/2013 tentang Kebijakan
Pelayanan Keperawatan Anak Di Rumah Sakit Baptis Kediri.
4. Prosedur
1) Cuci tangan
2) Siapkan waskom/ ember dan isi dengan air hangat.
3) Bawa peralatan ke dekat pasien.
4) Tanyakan nama pasien sesuai dengan identitas pasien.
5) Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan di lakukan.
6) Rendam waslap kedalam waskom/ ember yang sudah disiapkan.
7) Peras waslap kemudian tempelkan pada bagian yang akan dikompres.
8) Anjurkan kepada keluarga untuk mau bekerjasama dalam melakukan kompres hangat.
9) Setelah selesai, rapikan pasien dan jelaskan bahwa tindakan sudah selesai.
10) Bereskan peralatan.
11) Cuci tangan.
12) Dokumentasikan tindakan dalam status pasien.
5. Unit Terkait
1) Instalasi Rawat Inap (IRNA)
2) Instalasi Perawatan Instensif (IPI)

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan pada Kejang Demam


2.4.1 Pengakajian
1. Pengkajian menurut Riyadi & Sukarmin (2013) terdapat 3 pengkajian yang harus di lakukan,
antara lain:
1) Riwayat Pengkajian
Pada anak kejang demam riwayat yang menonjol adalah adanya demam yang di alami oleh anak
(suhu rektal di atas 38C). Demam ini dilatarbelakangi adanya penyakit lain yang terdapat pada
luar kranial seperti tonsilitis, faringitis. Sebelum serangan kejang pada pengkajian status
kesehatan biasanya anak tidak mengalami kelainan apa-apa. Anak masih menjalani aktivitas
sehari-hari seperti biasanya.
2) Pengkajian Fungsional
Pengkajian fungsional yang sering mengalami gangguan adalah terjadi penurunan kesadaran
anak dengan tiba-tiba sehingga kalau di buktikan dengan tes GCS skor yang di hasilkan berkisar
antara 5 sampai 10 dengan tingkat kesadaran dari apatis sampai somnolen atau mungkin dapat
koma. Kemungkinan ada gangguan jalan nafas yang di buktikan dengan peningkatan frekwensi
pernapasan >30 x/menit dengan irama cepat dan dangkal, lidah terlihat menekuk menutup faring.
Pada kebutuhan rasa aman dan nyaman anak mengalami gangguan kenyamanan akibat
hipertermi, sedangkan keamanan terjadi ancaman karena anak mengalami kehilangan kesadaran
yang tiba-tiba beresiko terjadinya cidera secara fisik maupun fisiologis. Untuk pengkajian pola
kebutuhan atau fungsi yang lain kemungkinan belum terjadi gangguan kalau ada mungkin
sebatas ancaman seperti penurunan personal hygiene, aktivitas, intake nutrisi.
3) Pengkajian Tumbuh Kembang Anak
Secara umum kejang demam tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini di
pahami dengan catatan kejang yang di alami anak tidak terlalu sering terjadi atau masih dalam
batasan yang dikemukakan oleh Livingstone (1 tahun tidak lebih dari 4 kali) atau penyakit yang
melatarbelakangi timbulnya kejang seperti tonsilitis, faringitis, segera dapat di atasi. Kalau
kondisi tersebut tidak terjadi anak dapat mudah mengalami keterlambatan pertumbuhan misalnya
berat badan yang kurang karena ketidak cukupan nutrisi sebagai dampak anoreksia, tinggi badan
yang kurang dari umur semestinya sebagai akibat penurunan asupan mineral. Selain gangguan
pertumbuhan sebagai dampak kondisi atas anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan
seperti penurunan kepercayaan diri akibat sering kambuhnya penyakit sehingga anak lebih
banyak berdiam diri bersama ibunya kalau di sekolah, tidak mau berinteraksi dengan teman
sebaya. Saat dirawat di rumah sakit anak terlihat pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang
ada di sekitar, jarang menyentuh mainan. Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan
perkembangan yang lain seperti penurunan kemampuan motorik kasar (meloncat, berlari).

2. Pengkajian menurut Judha & Nazwar (2011) adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan
data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. Langkah-
langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan
diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan
atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data
didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara
inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh
data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama),
literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar). Pengumpulan data pada
kasus kejang demam ini meliputi :
1) Data subyektif
a) Biodata/ Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk
mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, alamat.
b) Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang
(1) Gerakan kejang anak
(2) Terdapat demam sebelum kejang
(3) Lama bangkitan kejang
(4) Pola serangan
(5) Frekuensi serangan
(6) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
(7) Riwayat penyakit sekarang
(8) Riwayat Penyakit Dahulu
c) Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas
sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-
obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau
dengan tindakan (forcep atau vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan
selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.
d) Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan
imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek
sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
e) Riwayat Perkembangan
(1) Personal sosial (kepribadian atau tingkah laku sosial), kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan
berinteraksi dengan lingkungannya.
(2) Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot
kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda,
dan lain-lain.
(3) Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
(4) Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara
spontan.
f) Riwayat kesehatan keluarga.
(1). Anggota keluarga menderita kejang
(2). Anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf
(3). Anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular
yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
g) Riwayat sosial
(1). Perilaku anak dan keadaan emosional
(2). Hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebaya
h) Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
(1). Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan serta
kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis.
(2). Pola nutrisi
Asupan kebutuhan gizi anak, kualitas dan kuantitas makanan, makanan yang disukai, selera
makan, dan pemasukan cairan.
(3). Pola Eliminasi
a. BAK : frekuensi, jumlah, warna, bau, dan nyeri
b. BAB : frekuensi, konsistensi, dan keteraturan
(4). Pola aktivitas dan latihan
Kesenangan anak dalam bermain, aktivitas yang disukai, dan lama berkumpul dengan keluarga.
(5). Pola tidur atau istirahat
Lama jam tidur, kebiasaan tidur, dan kebiasaan tidur siang.
2) Data Obyektif
a) Pemeriksaan tanda-tanda vital.
(1) Suhu Tubuh.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui rektal, axila, dan oral yang digunakan untuk menilai
keseimbangan suhu tubuh yang dapat digunakan untuk membantu menentukan diagnosis dini
suatu penyakit.
(2) Denyut Nadi
Dalam melakukan pemeriksaan nadi sebaiknya dilakukan dalam posisi tidur atau istirahat,
pemeriksaan nadi dapat disertai dengan pemeriksaan denyut jantung
(3) Tekanan Darah
Dalam melakukan pengukuran tekanan darah, hasilnya sebaiknya dicantumkan dalam posisi atau
keadaan seperti tidur, duduk, dan berbaring. Sebab posisi akan mempengaruhi hasil penilaian
tekanan darah (Nursalam, 2005)
b) Pemeriksaan fisik
(1) Pemeriksaan kepala
Keadaan ubun-ubun dan tanda kenaikan intrakranial.
(2) Pemeriksaan rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta katakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi
energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah
dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
(3) Pemeriksaan wajah
Paralisis fasialis menyebabkan asimetris wajah, sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis
atau tertawa sehingga wajah tertarik ke sisi sehat, tanda rhesus sardonicus, opistotonus, dan
trimus, serta gangguan nervus cranial.
(4) Pemeriksaan mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan.
(5) Pemeriksaan telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan
dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
(6) Pemeriksaan hidung
Pernapasan cuping hidung, polip yang menyumbat jalan nafas, serta secret yang keluar dan
konsistensinya.
(7) Pemeriksaan mulut
Tanda-tanda cyanosis, keadaan lidah, stomatitis, gigi yang tumbuh, dan karies gigi.
(8) Pemeriksaan tenggorokan
Tanda peradangan tonsil, tanda infeksi faring, cairan eksudat.
(9) Pemeriksaan leher
Tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran vena jugularis.
(10) Pemeriksaan Thorax
Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah
retraksi, adakah intercostale pada auskultasi, adakah suara tambahan.
(11) Pemeriksaan Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung, serta irama jantung, adakah bunyi tambahan, adakah
bradicardi atau tachycardia.
(12) Pemeriksaan Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen, bagaimana turgor kulit, peristaltik
usus, adakah tanda meteorismus, adakah pembesaran lien dan hepar.
(13) Pemeriksaan Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya, apakah terdapat oedema,
hemangioma, bagaimana keadaan turgor kulit.
(14) Pemeriksaan Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise, terutama setelah terjadi kejang. Bagaimana suhu pada
daerah akral.
(15) Pemeriksaan Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, adakah tanda-tanda infeksi pada
daerah genetalia.
2.4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Berdasarkan patofisiologi penyakit, dan manifestasi klinik yang muncul maka diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan kejang demam menurut Riyadi &
Sukarmin (2013) adalah:
1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme otot
bronkus.
2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.
3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat lain.
4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan
nutrisi.
5) Risiko gangguan perkembangan (kepercayaan diri) berhubungan dengan peningkatan frekwensi
kekambuhan.
6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon terhadap
lingkungan.

2. Menurut Judha & Nazwar (2011) diagnosis keperawatan yang muncul antara lain:
1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat pengaturan suhu.
2) Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.
3) Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hipertermi.
5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi.
2.4.3 Intervensi Keperawatan
1. Menurut Riyadi & Sukarmin (2013), intervensi dan rasional yang muncul adalah:
1) Risiko tinggi obstruksi jalan nafas berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme otot
bronkus.
Hasil yang di harapkan: Frekwensi pernapasan meningkat 28-35 x/menit, irama pernafasan
regular dan tidak cepat, anak tidak terlihat terengah-engah.
Rencana tindakan:
(1). Monitor jalan nafas, frekwensi pernafasan, irama pernafasan tiap 15 menit saat penurunan
kesadaran.
Rasional: frekwensi pernapasan yang meningkat tinggi dengan irama yang cepat sebagai salah
satu indikasi sumbatan jallan nafas oleh benda asing, contohnya lidah.
(2). Tempatkan anak pada posisi semifowler dengan kepala ekstensi.
Rasional: posisi semifowler akan menurunkan tahanan intra abdominal terhadap paru-paru.
Hiperekstensi membuat jalan nafas dalam posisi lurus dan bebas dari hambatan.
(3). Pasang tongspatel saat timbul serangan kejang.
Rasional: mencegah lidah tertekuk yang dapat menutupi jalan nafas.
(4). Bebaskan anak dari pakaian yang ketat
Rasional: mengurangi tekanan terhadap rongga thorax sehingga terjadi keterbatasan
pengembangan paru.
(5). Kolaborasi pemberian anti kejang (diazepam dengan dosis rata-rata 0,3 Mg/KgBB/kali
pemberian.
Rasional: diazepam bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sistem
persyarafan pusat sehingga dapat terjadi penurunan pada spasma otot dan persyarafan perifer.
2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigen darah.
Hasil yang di harapkan: jaringan perifer (kulit) terlihat merah dan segar, akral teraba hangat.
Rencana tindakan:
(1). Kaji tingkat pengisian kapiler perifer.
Rasional: kapiler kecil mempunyai volume darah yang relatif kecil dan cukup sensitif sebagai
tanda terhadap penurunan oksigen darah.
(2). Pemberian oksigen dengan memakai masker atau nasal bicanul dengan dosis rata-rata 3
liter/menit.
Rasional: oksigen tabung mempunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen lingkungan
sehingga mudah masuk ke paru-paru. Pemberian dengan masker karena mempunyai prosentase
sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran pernafasan.
(3). Hindarkan anak dari rangsangan yang berlebihan baik suara, mekanik, maupun cahaya.
Rasional: rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persarafan yang dapat menaikkan
kebutuhan oksigen jaringan.
(4). Tempatkan pasien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang baik (ventilasi memenuhi dari
luas ruangan).
Rasional: meningkatkan jumlah udara yang masuk dan mencegah hipoksemia jaringan.
3) Hipertermi berhubungan dengan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat lain.
Hasil yang diharapkan: suhu tubuh perektal 36-37C, kening anak tidak teraba panas. tidak
terdapat pembengkakan, kemerahan pada tongsil atau telinga.mleukosit 5.000-11.000 mg/dl
Rencana tindakan:
(1). Pantau suhu tubuh anak tiap setengah jam.
Rasional: peningkatan suhu tubuh yang melebihi 39C dapat beresiko terjadinya kerusakan saraf
pusat karena akan meningkatkan neurotransmiter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.
(2). Kompres anak dengan alkohol atau air dingin.
Rasional: saat di kompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan untuk
mengkompres karena suhu tubuh relatif tinggi.
(3). Beri pakaian anak yang tipis dari bahan yang halus seperti katun.
Rasional: pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan.
Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat
kulit sensitif terhadap cidera.
(4). Jaga kebutuhan cairan anak tercukupi melalui pemberian intravena.
Rasional: cairan yang cukup akan menjaga kelembapan sel, sehingga sel tubuh tidak mudah
rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.
(5). Kolaborasi pemberian antipiretik (aspirin dengan dosis 60 mg/tahun/kali pemberian), antibiotik.
Rasional: antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus. Antipiretik juga akan
mempengaruhi penurunan neurotransmiter seperti prostaglandin yang berkontribusi timbulnya
nyeri saat demam.
4) Risiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan
nutrisi.
Hasil yang di harapkan: orang tua anak menyampaikan anaknya sudah gampang makan dengan
porsi makan di habiskan setiap hari (1 porsi makan)
Rencana tindakan:
(1). Kaji berat badan dan jumlah asupan kalori anak.
Rasional: berat badan adalah salah satu indikator jumlah massa sel dalam tubuh, apabila berat
badan rendah menunjukkan terjadi penurunan jumlah dan massa sel tubuh yang tidak sesuai
dengan umur.
(2). Ciptakan suasana yang menarik dan nyaman saat makan seperti di bawa ke ruangan yang banyak
gambar untuk anak dan sambil di ajak bermain.
Rasional: dapat membantu peningkatan respon korteks serebri terhadap selera makan sebagai
dampak rasa senang pada anak.
(3). Anjurkan orangtua untuk memberikan anak makan dengan kondisi makanan hangat.
Rasional: makanan hangat akan mengurangi kekentalan sekresi mukus pada faring dan
mengurangi respon mual gaster.
(4). Anjurkan orang tua memberikan makanan pada anak dengan porsi sering dan sedikit.
Rasional: mengurangi massa makanan yang banyak pada lambung yang dapat menurunkan
rangsangan nafsu makan pada otak bagian bawah.
5) Risiko gangguan perkembangan (kepercayaan diri) berhubungan dengan peningkatan frekwensi
kekambuhan.
Hasil yang di harapkan: anak terlihat aktif berinteraksi dengan orang di sekitar saat di rawat di
rumah sakit,frekwensi kekambuhan kejang demam berkisar 1-3 kali dalam setahun.
Rencana tindakan:
(1). Kaji tingkat perkembangan anak terutama percaya diri dan frekwensi demam.
Rasional: fase ini bila tidak teratasi dapat terjadi krisis kepercayaan diri pada anak. Frekwensi
demam yang meningkat dapat menurunkan penampilan anak.
(2). Berikan anak terapi bermain dengan teman sebaya di rumah sakit yang melibatkan banyak anak
seperti bermain lempar bola.
Rasional: meningkatkan interaksi anak terhadap teman sebaya tanpa melalui paksaan dan doktrin
dari orang tua.
(3). Beri anak reward bila anak berhasil melakukan aktivitas positif misalnya melempar bola dengan
tepat, dan support anak bila belum berhasil.
Rasional: meningkatkan nilai positif yang ada pada anak dan memperbaiki kelemahan dan
kemauan yang kuat.
6) Risiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon terhadap
lingkungan.
Hasil yang di harapkan: anak tidak terluka atau jatuh saat serangan kejang.
Rencana tindakan:
(1). Tempatkan anak pada tempat tidur yang lunak dan rata seperti bahan matras.
Rasional: menjaga posisi tubuh lurus yang dapat berdapak pada lurusnya jalan nafas.
(2). Pasang pengaman di kedua sisi tempat tidur.
Rasional: mencegah anak terjatuh.
(3). Jaga anak saat timbul serangan kejang.
Rasional: menjaga jalan nafas dan mencegah anak terjatuh.
2. Menurut Judha & Nazwar (2011), intervensi dan rasional yang harus di lakukan adalah:
1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat pengaturan suhu.
Tujuan : Terjadi penurunan suhu tubuh
Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan RR dalam rentang normal
Intervensi dan Rasional
(1) Pantau suhu tubuh anak tiap setengah
Rasional : peningkatan suhu tubuh yang melebihi 390C dapat berisiko terjadinya kerusakan saraf
pusat karena akan meningkatkan neurotransmitter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.
(2) Kompres anak dengan air dingin/ hangat
Rasional : pada saat dikompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan
untuk mengompres karena suhu tubuh relatif lebih tinggi.
(3) Beri pakaian anak yang tipis dan bahan yang halus seperti katun
Rasional : pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan.
Bahan katun akan menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat
kulit sensitif terhadap cidera.
(4) Jaga kebutuhan cairan anak tercukupi melalui pemberian intravena
Rasional : cairan yang cukup akan menjaga kelembaban sel, sehingga sel tubuh tidak mudah
rusak akibat suhu tubuh yang tinggi.
(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik
Rasional : antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus.
2) Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hipertermi
Tujuan :
Klien tidak mengalami kejang selama hipertermi
Kriteria hasil :
(1) Tidak terjadi serangan kejang ulang
(2) Suhu 36-37,50C
(3) Nadi 100-110x/menit
(4) Respirasi 24-28x/menit
(5) Kesadaran composmentis
Intervensi dan Rasional
(1) Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.
(2) Berikan kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduksi
(3) Berikan ekstra cairan (susu, sari buah)
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
(4) Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional : pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.
(5) Batasi aktivitas selama anak panas
Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.
(6) Berikan pengobatan antipiretik sesuai advis dokter.
Rasional : menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.
3) Potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Kriteria Hasil :
(1) Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
(2) Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
(3) Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
Intervensi dan Rasional :
(1) Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan sisi tempat tidur yang rendah.
Rasional : meminimalkan injuri saat kejang.
(2) Tinggallah bersama klien selama fase kejang.
Rasional : meningkatkan keamanan klien.
(3) Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.
(4) Letakkan klien di tempat yang lembut.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter
berkurang.
(5) Catat tipe kejang (lokasi, lama) dan frekuensi kejang.
Rasional : membantu menurunkan lokasi area serebral yang terganggu.
(6) Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang.
Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi.
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh 36-370C, Nadi 100-110x/menit, kesadaran composmentis, anak tidak rewel.
Intervensi dan Rasional :
(1) Kaji faktor-faktor terjadinya hiperthermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi karena penambahan pakaian/selimut dapat
menghambat penurunan suhu tubuh.
(2) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam sekali.
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan
yang selanjutnya.
(3) Pertahankan suhu tubuh normal.
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu tubuh lingkungan,
kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
(4) Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala/ketiak.
Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.
(5) Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun.
Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap
keringat.
(6) Atur sirkulasi udara ruangan.
Rasional : penyediaan udara bersih.
(7) Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum.
Rasional : kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
(8) Batasi aktivitas fisik.
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.
5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi.
Tujuan :
Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria Hasil :
(1) Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
(2) Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
(3) Keluarga mentaati setiap proses keperawatan.
Intervensi dan Rasional :
(1) Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi
yang didapat.
(2) Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan
keluarga.
(3) Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.
Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.
(4) Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam
antara lain :
(1) Jangan panik saat kejang.
(2) Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
(3) Kepala dimiringkan.
(4) Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut
(5) Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan tenang.
(6) Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum.
(7) Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi
masalah kesehatan.
(5) Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas.
Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang.
(6) Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau
teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu.
Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang.
(7) Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada
petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam.
Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam.

2.4.4 Evaluasi
Menurut Judha & Nazwar (2011), Evaluasi yang muncul adalah :
1) Suhu tubuh dalam rentang normal.
2) Tidak terjadi serangan kejang ulang.
3) Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
4) Suhu tubuh 36-37C.
5) Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin & Hardhi, 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC Jilid 2,Media Action Publising, Yogyakarta

Hidayat, Aziz Alimul A, 2006, Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan, Salemba Medika,
Jakarta

Hidayat, Aziz Alimul A, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1, Salemba Medika, Jakarta

Judha, Mohammad, 2011, Sistem Persyarafan (Dalam Asuhan Keperawatan), Gosyen


Publishing, Yogyakarta

Kusyati, Eni, 2006, Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar, EGC, Jakarta

Muscari, Mary E, 2005, Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta

Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, Ed 2, EGC, Jakarta

Nursalam, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan), Salemba
Medika, Jakarta

IDAI, 2008, Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi krdua, Badan penerbit IDAI, Jakarta.

Potter, Paricia dan Anne G Perry, 2010, Fundamentals of Nursing Fundamental


Keperawatan,Salemba Medika, Indonesia

Purtri, Triloka dan Baidul Hasniah, 2009, Menjadi Dokter Pribadi bagi Anak Kita,Katahati,
Jogjakarta

Meadeow, Sir roy dan Simon J Newell, 2005, Lecture Notes: Pediatrica, Erlangga, Jakarta

Krisanty, Paula dkk, 2009, Asuhan Keperawatan Gawat Darurat, TIM, Jakarta

Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2013, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Graha Ilmu, Yogyakarta

Soetjiningsih,IG. N. Gde Ranuh, 2013, Tumbuh Kembang Anak, Ed 2, EGC, Jakarta

Adriana, Dian, 2011, Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak, Salemba Medika,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai