Anda di halaman 1dari 11

COOPERATIVE LEARNING 3

KEPERAWATAN KELUARGA

Culturally Sensitive Nursing Care of Families

SGD 1:
Pontersina Nona Marlen (1402105001)
Ni Kadek Pritayani (1402105005)
Ni Luh Putu Nopriani (1402105013)
Ni Putu Diah Sukayanti (1402105017)
Ni Putu Riskia Narayani (1402105024)
Ni Wayan Ika Puspitasari (1402105029)
Kadek Erik Muliawan (1402105049)
I Gusti Ayu Kamala S. (1402105051)
Ni Luh Mega Suryadewi (1402105055)
Pande Putu Krisna Hadi S. (1402105058)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
1. Apakah yang dimaksud dengan budaya dan kepercayaan? Jelaskan
perbedaannya!

Pengertian Budaya

Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Menurut
Koentjaraningrat, budaya merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia
yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi
pekertinya (Noorkasiani et al, 2009).

Pengertian Kepercayaan

Kepercayaan adalah kesediaan seseorang untuk bertumpu dan memiliki perasaan


yakin dan kemudian diberikan orang lain dalam situasi tertentu. Bagaimana
kepercayaan ini didasari oleh ketidakpaksaan atas perasaan menerima apa adanya.
Kepercayaan juga merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi
seseorang dan konteks sosialnya. Kepercayaan (trust) adalah suatu keadaan
psikologis berupa keinginan untuk menerima kerentanan berdasarkan
pengharapan yang positif terhadap keinginan ataupun tujuan dari perilaku orang
lain (Rousseau, 2007).

Perbedaan budaya dengan kepercayaan.

Kepercayaan atau Agama dan Budaya menurut Kuntowijoyo (1991) adalah dua
hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama
mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi
simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi symbol,
agama, dan yang ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan symbol
agama.

Walaupun kepercayaan dan budaya saling berhubungan erat sebab keduanya


mengatur kehidupan social dan saling memiliki keterkaitan, akan tetapi agama
dan budaya harus dapat dibedakan. Perbedaan yang paling signifikanyaitu
kepercayaan merupakan suatu ajaran yang mengatur kehidupan yang
berhubungan dengan Tuhan dan sesama yang berasal dari Tuhan yang dibawa
oleh manusia pilihan. Sedangkan budaya adalah suatu tatanan asyarakat yang
diatur atau yang dibentuk oleh manusia itu sendiri demi kelangsungan bersama.

2. Mengapa perawat perlu mengenal budaya klien?

Budaya menggambarkan sifat non-fisik, seperti nilai, keyakinan, sikap atau adat
istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Pratiwi & Arum, 2011).
Perawat perlu memahami perbedaan antara budaya, spiritual, keyakinan dan
agama guna menghindarkan salah pengertian yang akan mempengaruhi
pendekatan perawat dengan klien. Dalam melaksanakan praktik keperawatan
yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik
keperawatan yang berdasarkan budaya, sehingga perawat perlu mengenal budaya
klien (Pratiwi & Arum, 2011). Penting bagi perawat untuk memahami bahwa
klien mempunyai wawasan pandangan dan interprestasi mengenai penyakit dan
kesehatan yang berbeda, berdasarkan keyakinan sosial-budaya dan agama klien
sehingga terjalin hubungan baik. Hubungan ini akan meningkatkan pemberian
asuhan keperawatan yang aman dan efektif secara budaya (Leininger & Farland,
2002).

3. Apakah akibatnya apabila perawat tidak mengenal budaya klien?

Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman


budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila
hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural
shock (Afifah, 2016). Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi
dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan
kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang
sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa
daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya
dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila
merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangisakan
dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau
berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau
memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah
mengganggu pasien lainnya (Afifah, 2016). Kebutaan budaya yang dialami oleh
perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang
diberikan (Afifah, 2016).

4. Bagaimanakah strategi menerapkan intervensi pada keluarga apabila


berhubungan dengan budaya?

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan
budaya klien. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan
(Sudiharto, 2007) adalah :
A. Strategi I, Perlindungan/mempertahankan budaya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien
dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya,misalnya
budaya berolah raga setiap pagi.
B. Strategi II, Mengakomodasi/negoasiasi budaya.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan,
misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis,
maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani.
C. Strategi III, Mengubah/mengganti budaya klien
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang
biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang
dianut.

5. Jelaskan minimal 3 contoh budaya keluarga yang ada di Indonesia yang


dapat menimbulkan ketegangan dalam pemberian perawatan kesehatan!

A. Budaya masyarakat bali yang masih kental dengan pengobatan tradisional


bahkan lebih ke paranormal (balian) dimana pengobatan tradisional ata
paranormal ini belum bisa di buktikan manfaatnya, bahkan tidak jarang terapi
ini malah memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Pada keluarga yang
fanatik dengan pengobatan tersebut bisa saja menolak untuk di berikan
perawatan kesehatan karena dianggap tidak sesuai dengan budaya yang di
anut. Hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan dalam pemberian
perawatan kesehatan jika perawat tidak mengkaji budaya yang di anut
keluarga. Selain itu teknik komunikasi yang baik sangat di perlukan untuk
menghindari ketegangan dalam pemberian perawatan kesehatan.
B. Budaya masyarakat Papua dimana ibu hamil akan melahirkan di hutan tanpa
di bantu siapa pun karena dianggap tabu jika melahirkan di lihat oleh orang
lain, dan dapat menyebabkan bencana jika hal tersebut dilanggar. Budaya
tersebut masih sangat kuat dianut oleh masyarakat papua sehingga dapat
menimbulkan ketegangan apabila perawat tidak mampu memberikan
penjelasan mengenai teknik melahirkan yang aman untuk keselamatan ibu dan
bayinya serta perawat juga di harapkan mampu untuk membantu keluarga
menyesuaikan budaya yang ada sehingga tidak memberikan dampak negatif
bagi kesehatan (Alwi, 2007).
C. Budaya ada suku Dayak Sanggau seperti menganjuran pada ibu hamil
meliputi pengurangan waktu dan banyak melakukan pekerjaan sehari-hari
yang seperti ke sawah, mencari kayu, menyadap karet. Hal tersebut bertujuan
agar bayi dalam kandungan tidak lengket pada tulang belakang ibu sehingga
mengalami kesulitan pada saat melahirkan, dapat membahayakan kandungan
dan kesehatan ibu. Pada saat nifas ibu dianjurkan untuk makan nasi dengan
garam, sayur daun singkong, dan daun bungkal. Makanan yang dianjurkan
pada ibu nifas tersebut tampaknya bernilai gizi yang rendah. Dengan
demikian, pelaksanaan pantangan dan anjuran tersebut maka akan berakibat
pada penurunan asupan gizi ibu berkurang, yang berpengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas air susu ibu. Hal tersebut akan mempengaruhi asupan
gizi pada bayi dengan segala resikonya. Selain itu, ibu nifas dianjurkan untuk
nyandar yaitu dalam posisi punggung tegak dan kaki lurus. Hal tersebut
dilakukan selama sekitar satu bulan, tetapi ada yang kurang dari itu. Hal
tersebut bertujuan agar darah putih tidak naik ke kepala yang dapat
menyebabkan ibu menjadi gila dan buta. Anjuran tersebut membuat ibu tidak
beristirahat dengan nyaman sehingga dapat mengganggu kesehatan ibu dan
meningkatkan resiko tromboplebitis (Suprabowo, 2006).

6. Apabila Anda bertemu dengan keluarga yanag menolak intervensi yang


Anda berikan dengan alasan tidak sesuai dengan budaya yang dimiliki
keluarga padahal intervensi tersebut penting untuk kesehatan klien. Apa
yang akan Anda lakukan, jelaskan!

Jika terdapat kondisi seperti di atas, maka perawat harus menerapkan prinsip
transcultural nursing dalam memberikan asuhan keperawatan. Prinsip
transcultural nursing yang dapat diterapkan dalam kondisi ini adalah cultural
care accommodation or negotiation dan cultural care repatterning or
restructuring. Tujuan diterapkannya kedua prinsip ini adalah untuk meningkatkan
kesehatan klien dan/atau keluarganya tanpa mengabaikan aspek budaya dan tetap
untuk menghormati hak klien dan/atau keluarga untuk memutuskan tindakan
keperawatan yang dilakukan pada dirinya sendiri dan/atau keluarganya.
Prinsip cultural care accommodation or negotiation adalah tindakan keperawatan
yang membantu klien dengan budaya tertentu untuk beradaptasi dengan upaya
kesehatan tertentu untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Leininger,
2001). Prinsip ini dapat diterapkan jika budaya klien dan keluarga tidak terlalu
bertentangan dengan tindakan keperawatan yang direncanakan. Prinsip ini dapat
diterapkan dengan melakukan tindakan keperawatan tanpa harus mengubah
secara keseluruhan atau menghentikan kebiasaan yang telah menjadi budaya pada
klien. Perawat akan memodifikasi budaya yang dimiliki klien dengan beberapa
tindakan keperawatan yang telah direncanakan. Perawat harus mendiskusikan
terlebih dahulu dengan klien dan keluarga mengenai tindakan-tindakan
keperawatan yang dilakukan serta aspek-aspek budaya yang harus dimodifikasi.
Prinsip cultural care repatterning or restructuring juga dapat diterapkan pada
kondisi ini. Prinsip cultural care repatterning or restructuring adalah mengubah
budaya yang dimiliki klien dan keluarga untuk mencapai tingkat kesehatan yang
optimal (Leininger, 2001). Prinsip ini diterapkan ketika budaya yang dimiliki
klien dan/atau keluarga bertentangan dengan tindakan-tindakan keperawatan yang
direncanakan diberikan kepada keluarga. Perawat harus mendiskusikan terlebih
dahulu dengan klien dan keluarga mengenai budaya yang dianut keluarga dan
efeknya terhadap kesehatan dan keluarga. Perawat juga penting mendiskusikan
bagaimana kebudayaan yang dimiliki klien dan/atau keluarga akan diubah.
Informed consent dari klien dan/keluarga sangat penting untuk menentukan
apakah suatu tindakan keperawatan boleh dilakukan atau tidak. Keberadaan pihak
ketiga dalam memeberikan pandangan terkait dengan budaya yang dimiliki klien
dan/atau keluarga serta tindakan keperawatan yang akan diberikan.

7. Buatlah satu contoh ketegangan budaya yang dapat terjadi antara perawat
dan keluarga dilengkapi dengan solusinya!

Ketegangan budaya yang dapat terjadi antara perawat dan keluarga adalah
masalah komunikasi yaitu timbulnya masalah kesalahpahaman atau perbedaan
persepsi yang diakibatkan oleh perbedaan budaya dan bahasa yang dimiliki oleh
perawat dan keluarga. Perbedaan budaya ini terkait perbedaan intonasi dalam
berbicara dan kendala perbedaan penggunaan bahasa sehingga informasi yang
disampaikan oleh perawat kepada keluarga tidak dapat diterima dengan baik oleh
keluarga bahkan dapat menimbulkan perbedaan persepsi sehingga berdampak
buruk pada hubungan perawat dan keluarga. Contohnya adalah ketika seorang
perawat yang berasal dari suku Batak yang memiliki latar belakang budaya dan
bahasa yang keras dengan intonasi tinggi dan nada suara yang keras juga
berhadapan atau berkomunikasi dengan keluarga yang berasal dari suku Sunda
atau Jawa yang berlatar belakang budaya lembut dengan bahasa dan intonasi yang
lembut, maka apabila perawat dan keluarga tidak memahami perbedaan ini dapat
menimbulkan kesalahpahaman penyampaian informasi. Keluarga bisa saja
mempersepsikan perawatnya galak atau sedang marah karena intonasi yang tinggi
dan nada suara yang keras, padahal perawat tidak bermaksud demikian.

Dalam keadaan seperti ini maka diperlukan sikap saling menghargai baik perawat
dan keluarga untuk dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman akibat
perbedaan budaya. Hal yang dapat dilakukan oleh perawat dalam hal ini adalah
melakukan pengkajian terlebih dahulu mengenai budaya keluarga sehingga
perawat mampu menyesuaikan diri sebelum berhadapan dengan keluarga. Jika
masalah terkait penggunaan bahasa yang berbeda dan perawat tidak memahami
dan tidak menguasai bahasa yang digunakan keluarga, maka perawat dapat
meminta bantuan teman sejawat yang mengerti bahasa yang digunakan keluarga
untuk mentrasfer informasi kesehatan.

Adapun ketegangan budaya yang mungkin terjadi khususnya di Bali yaitu budaya
keluarga yang cenderung berisiko menimbulkan masalah kesehatan yaitu
megibung. Dimana budaya yang sudah ada sejak jaman dahulu ini dan masih
diterapkan sampai sekarang, dapat menimbulkan risiko masalah kesehatan berupa
diare atau penularan penyakit infeksi lainnya. Dalam hal ini perawat perlu
mengkomunikasikan kemungkinan risiko penyakit dari budaya yang dilakukan
oleh masyarakat atau keluarga ini. Menurut Andrew and Boyle tahun 1995 ada
tiga pedoman yang dapat diterapkan mengenai masalah budaya dalam
keperawatan yaitu mempertahankan budaya yang dimiliki klien jika tidak
bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien jika budaya klien
kurang menguntungkan bagi kesehatan dan merubah budaya klien jika budaya
yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. Sebelum mengintervensi
budaya klien, perawat wajib memahami budaya klien terlebih dahulu, karena
apabila perawat tidak memahami budaya klien maka rasa percaya klien terhadap
perawat tidak akan terbangun sehingga hubungan terapeutik perawat dank lien
tidak dapat terjalin.

DAFTAR PUSTAKA
Afifah. (2016). Ringkasan materi unit 2 keragaman budaya dan perspektif
transkultural dalam keperawatan. Retrieved from
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/afifah/material/transkulturalnursing.pdf

Alwi, Q. (2007). Tema budaya yang melatarbelakangi perilaku ibu ibu penduduk asli
dalam pemeliharaan kehamilan dan persalinan Kabupaten Mimika. Panel
kesehatan. 35(3). 137-147

Andrew, M. & Boyle, J. S. (1995). Transcultural concepts in nursing care, 2nd ed,
Philadelphia: JB Lippincot Company

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma islam. Bandung: Mizan.

Leininger, M. & McFarland, M.R, (2002). Transcultural Nursing: Concepts,


Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies.

Leininger, M. (2001). Madeleine Leiningers culture care: diversity and universality


theory. Retrieved from http://nursing.jbpub.com/sitzman/ch15pdf.pdf.
Noorkasiani, Heryati, Ismail, R . (2009). Sosiologi keperawatan. Jakarta : EGC.

Pratiwi & Arum. (2011). Buku ajar keperawatan transkultural. Jogjakarta: Gosyen
Publishing.

Rousseau, J. (2007). Du contract social (perjanjian social). Jakarta : Visimedia.

Sudiharto. (2007). Asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan keperawatan


transkultural cetakan 1. Penerbit: Buku Kedokteran EGC.

Suprabowo, E. (2006). Praktik budaya dalam kehamilan, persalinan dan nifas pada
Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006. Jurnal kesehatan masyarakat. 1(3). 112-
121

Anda mungkin juga menyukai