Anda di halaman 1dari 17

Case Based Discussion (CBD)

HERPES ZOSTER

DiajukangunamelengkapitugasKepaniteraanKlinik
BagianIlmuKesehatanKulit dan Kelamin
RumahSakitIslam Sultan Agung

DisusunOleh:
Evi Kurnia Laely
01.210.6150

Pembimbing:
dr.Hesti Wahyuningsih Karyadini, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Herpes zoster adalah salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu reaktivasi
virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3
kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun.
Meningkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun,
dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV-
AIDS, pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi (Gnan,2002).
Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat
menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat
timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat
menggangu kualitas hidup pasien suatu keadaan yang disebut dengan postherpetic
neuralgia(Gnan,2002). Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus,
komplikasi yang terbanyak adalah postherpetic neuralgia yaitu berupa rasa nyeri yang
persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun,
tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Menurut Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada
tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster merupakan daftar masalah dermatologi yang
perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum
adalah 4A, yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di
mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis, menatalaksana hingga tuntas
kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.
Berkaca dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah
pemahaman klinis tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus ini
diharapkan dapat memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster sehingga
dalam pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan dapat
sepenuhnya tercapai.

2
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster
laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk
dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan
Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu
yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami
reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau
Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000,
semakin meningkat pada usia lebih tua (James,2011).

1.2 PATOGENESIS

Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di
dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal
atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus
rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau
neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor
seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi
malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang,
atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka
menimbulkan gejala gangguan motorik (Handoko,2009).

3
Gambar 1. Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)

1.3 GAMBARAN KLINIS


Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu
sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu
akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang
edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh,
dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster
hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.4
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul,
berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit,
kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral
dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus
trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik
akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang
terkena (Handoko,2009).

4
Gambar 2. Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)

1.4 DERMATOM
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis.
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak.
Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf
spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara
longitudinal sepanjang anggota badan. Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi
terutama oleh satu saraf spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari
kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan
cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan
kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti
infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul
sebagai lesi pada dermatom tertentu (Baehr,2005).

5
Gambar 3.Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus6)

1.5 KLASIFIKASI
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
1. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari
sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata
bengkak dan sukar dibuka.

6
Gambar 1a.. Herpes zoster oftalmikus sinistra.

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2b. Herpes zoster fasialis dekstra.

3. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

7
Gambar 3c. Herpes zoster brakialis sinistra.

4. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4d. Herpes zoster torakalis sinistra.

5. Herpes zoster lumbalis


Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis


Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

8
Gambar 5e. Herpes zoster sakralis dekstra.

1.6 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis
(Tunsuri,2005). Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya :
(1) gejala prodromal berupa nyeri
(2) distribusi yang khas dermatomal
(3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul
(4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus
sensorik
(5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes
simpleks zosterisformis)
(6) nyari dan allodinia ( nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri) pada daerah ruam (dworkin,2007).

1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,


dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila
lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes
simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna
pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus
yang tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu (Dworkin,2007).

9
Gambar 4. Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant
multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau
mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zoster(Gnan,2002).

1.8 DIAGNOSIS BANDING


Herpes simplek
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel serta
limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia
yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari kemudian. Virus HSV
diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di wajah dan bibir
serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi sebagai gingivostomatitis,
vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan secara seksual. Erupsi yang berbentuk
zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform yang pada umumnya jarang terjadi. Infeksi
herpes simplek umumnya melalui kontak langsung kulit dan mukosa, jarang yang menyebar
melalui aerosol.

10
1.9 TATA LAKSANA
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi. Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg
per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari. Kemudian untuk infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotik (Handoko,2009). Sedangkan pemberian antiviral sistemik
direkomendasikan untuk pasien berikut (Gross,2003):
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus).
Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan
menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena
4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca
transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga
seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan
5. Pasien dengan dermatitis atopik berat

Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya,


seperti valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan
pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh
ini belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya
diberikan selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan
tablet 400 mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari,
famsiklovir atau pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih
panjang dari asiklovir.4,10 Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan
dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul lagi (Handoko,2009).
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat
diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan
basah dapat dilakukan kompres terbuka.
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut (Gros,2003):

11
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam
hari;
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg
per hari;
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis
dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan
tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral
untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu
diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus
(Gros,2003). Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat
dianjurkan.

1.10 EDUKASI
Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak
terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat
menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta
berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi
dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio
kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing
yang steril, non-oklusif, dan non-adherent (Gros,2003).

12
BAB III
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Z

Umur : 62 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Banjardowo RT2/2 Kec.Genuk Sari Semarang

Tanggal dirawat : 30 Desember 2015

2.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 4 Januari 2016 bertempat di


Bangsal Baitul Izzah I RSI sultan Agung Semarang.

Keluhan utama : Timbul bintil bintil berisi air di daerah perut dan punggung kiri

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien perawatan di Bangsal Baitul Izzah I atas indikasi pneumonia, dikonsulkan ke


bagian kulit dengan keluhan timbul bintil-bintil berisi air di daerah perut dan
punggung sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu. Bintil tampak berkelompok ada yang
besar dan kecil. Pasien juga mengeluh gatal dan nyeri seperti terbakar. Pada mulanya
hanya timbul kemerahan dan sedikit gatal, namun kemudian timbul bintil kecil yang
makin lama makin bertambah banyak. Kemerahan dan bintil itu menyebar, semula
yang hanya ada didaerah perut lalu meluas ke daerah punggung sebelah kiri yang
diikuti dengan timbulnya rasa nyeri seperti terbakar. Pasien merasa semakin nyeri
bilamana bintil tersebut tergesek kain atau pakaian yang dikenakan. Dan merasa lebih

13
nyaman setelah diminumi obat. Oleh dokter yang menangani saat itu sudah diberikan
obat asiklovir, namun keluhan tetap sama.

Riwayat penyakit dahulu :

- Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan dan gejala kulit yang
serupa.
- Riwayat pernah cacar air saat masih kecil

Riwayat penyakit keluarga


- Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit kulit serupa
Riwayat sosial ekonomi
- Kesan ekonomi cukup

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

2.3.1 STATUS GENERALIS

- Keadaan umum : Baik


- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,8 oC

2.3.2 STATUS DERMATOLOGIS

- Lokasi : perut dan punggung kiri


- UKK : papul eritem, pustul, erosi, eksoriasi, skuama, krusta
- Distribusi : unilateral, dermatom segmental thoracal 8 10 sinistra

14
2.4 DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes zoster

2. Herpes simplek

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Tzanck test

2.6 DIAGNOSIS KERJA

Herpes Zoster Thoracal 8 -10 sinistra

2.7 TERAPI

- Topikal :
o Kompres dengan Nacl 0,9% selama 20 menit
o R/ Caladine lotion fl I
S2dd
Sue
- Oral
o R/ Asiklovir tab 800mg No XL
S 3 d d tab II
o R/ Amitriptilin tab 25mg No. XV
S 2 d d tab I (prn)
2.8 Edukasi
- Istirahat yang cukup
- Tidak menggaruk bila gatal
- Dianjurkan untuk tetap mandi agar gatal berkurang
15
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 62 tahun dirawat di Bangsal Baitul Izzah atas indikasi
pneumonia. Pasien dikonsulkan ke bagian kulit dengan keluhan timbul bintil bintil pada
daerah perut dan punggung kiri sejak 2 hari yang lalu dan disertai dengan rasa nyeri terbakar.
Bintil bintil ditemukan berkelompok dan hanya tersebar di daerah perut dan punggung
sebelah kiri saja. Bintil tidak ditemukan di lokasi lain. Dengan timbulnya lesi seperti ini,
perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan bintil disertai
dengan nyeri yang cukup hebat.Dengan melihat lesi, tampak pada regio thorakal dan terdapat
vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran lentikular,
terletak di atas kulit yang eritematosa.Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes
zoster, yang mana timbul gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan
persarafan.

Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal
berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri seperti terbakar yang
terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit disertai dengan pusing
kepala.Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi
reaktivasi. Pada literatur (Gros,2003) dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu
reaktivasi, namun herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti
yang ditemui pada seorang berusia di atas 50 tahun. Faktor ini diduga dapat menjadi pemicu
reaktivasi herpes zoster.
Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi
sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar air pada saat masih
kecil.Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi.
Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Bintil yang
timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien juga dianjurkan
mengurangi sementara aktivitas fisik sebab saat ini pasien sedang mengalami nyeri dan
tingginya aktivitas fisik dapat meningkatkan gesekan yang dapat menjadi penyebab pecahnya
bintil. Pada riwayat saat ini pasien tinggal dengan suami, namun seringkali cucu pasien
datang ke rumah untuk menginap. Pasien perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum
pernah mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang dapat

16
menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian dalam fase ini sebaiknya pasien
tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum pernah mengalami varicela
sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 3 x 800 mg. Terapi dapat
diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini
masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif
lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab
pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm
jika diperlukan untuk membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi
obat. Asiklovir diberikan selama tujuh hari. Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan
amitriptilin 2x25 mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7
hari kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien.

17

Anda mungkin juga menyukai