Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

I.KONSEP MEDIS

A.Definisi

AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus
(HIV). (Mansjoer, 2000:162)

AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah melawan bibit
penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)

AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh
retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan
perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)

AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang dapat mempermudah
terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik.
( FKUI, 1993 : 354)

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat
mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

B.Etiologi

HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+.
Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi
sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang
bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

C.Patofisiologi

HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor
viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan
responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.

HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor
viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan
responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan
penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun
kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang
dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral
penjamu dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah
bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi
pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai
reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan
menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa
usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling
konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering
sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi
infeksi lain atau autoimun.

Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering simtomatik, disertai
viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi viral, selama individu biasanya
bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral.
Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes,
dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan
fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering
dengan perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.

Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun priode inkubasi atau interval
sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada
infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama
berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih
universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai
6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin
secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan
keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering
merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-
anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS
periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang
untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan
perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi
HIV anak.

D.Manifestasi Klinik

Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan imunologis normal saat
lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV,
meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang
lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada
beberapa tahun pertama. Selain itu, pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV
tanpa infeksi dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting untuk
merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin menggunakan
parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.

Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang diagnostic. Gejala HIV tidak
spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam,
kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan
sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis,
dan diare. Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan
gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi
memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah
diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi
terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis, limfadenopati persistem,
hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata
paling sering pada bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.

PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV PADA ANAK

Kelas P-O: infeksi intermediate

Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi HIV

Kelas P-1: infeksi asimtomatik

Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau
abnormal (P-1B)

Kelas P-2: infeksi sitomatik

P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal berkembang,limfadenopati,
hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren atau persistem yang tidak spesifik.

P-2B: penyakit neurologi yang progresif

P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid

P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren, kandidiasis oral persisten, stomatitis
herpes rekuren, atau zoster multidermatomal.

P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma otak

P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS.
Banyak dari bayi ini akan menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai
6 bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat
terjadinya PCP.

Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa derajat kegagalan berkembang,
demam rekuren atau kronik, keterlambatan perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali.
Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Melebihi
ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun.
Penunjukan AIDS merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi
deskriptif infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan
penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-
masing dibahas secara singkat dibawah:

Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator AIDS paling sering, yang
terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata untuk munculnya penyakit adalah
sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang
berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan
infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan demam, batuk,
takipnea, dan ronki. PCP sulit dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-
sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan penyakit menyebabkan
perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi
beresiko dengan gambaran klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal
penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali bahwa penyakit
yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP
dengan trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan kehilangan
limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda dengan perkembangan gejala
terkait HIV yang cepat.

Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah ditentukan pada orang dewasa
yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap
berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-
serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi yang terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra
dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka
yang dapat dipercaya untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa
tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul pada infeksi HIV
dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok gejala dengan
hipergamaglobulinemia yang nyata dan parotitis.

Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren adalah dua atau lebih
episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat
pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus
rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia
merupakan isolate darah yang paling sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-
negatif, dan bahkan bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada
anak yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu imunitas lain.
Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya pajanan membuat
anak yang terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan
immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius.

Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat munculkan tanda infeksi system
saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya
bermanifestasi pada tahun pertaman dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan,
terjadi ensefalopati progresif, dengan kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik
dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba,
atau klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan sering
tidak berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan menyebabkan perbaikan yang
dramatic pada beberapa anak dengan deficit perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan
pada laporan terisolasi.

Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi pada sekitar 10% bayi
dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai
kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV
primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada
masalah yang menjengkelkan ini.

Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi AIDS, meskipun setelah
PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi
kompleks, Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran
cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar
panjang pathogen yang menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus
respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.

Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering mengambil bentuk organ
yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik
berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati
dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri,
atau banyak agen infeksius lain. Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi
protenuria. Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang
paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh anak
semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi
pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang paling sering
ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa
kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi
bersama dengan virus miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun
mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder
lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV.
E.Pemeriksaan Penunjang

Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa,
latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes
western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain
reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan
pada bayi lahir dengan ibu HIV.

F.Diagnosis

Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal bayi yang beresiko HIV
lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk
mengubah ibu dan bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan
konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.

Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta pada bayi merupakan komplikasi
pemakaian uji antibody konversional dalam mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi
seperti ini dapat menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis infeksi
pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau adanya antigen HIV (antigen
p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan
HIV darah perifer dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya) diagnosis
infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan dengan tepat mempunyai angka
positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua
usia. Sensitivitas pada tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes
serial. Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic dianjurkan sekurang-
kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi,
konfirmasi dan tinjauan semua uji laboratorium dianjurkan.

Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV tampak dengan gambaran atau
tanda yang cocok dengan defisiensi imun, diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain.
Kenyataan bahwa infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada anak yang
lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua berkenang dengan uji serologi.

Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif yang dikonfirmasi untuk
antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk
menegakkan diagnosis infeksi HIV. Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan
memiliki antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi diharapkan.
Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada serologi saja adalah bayi yang terinfeksi
HIV yang tidak menghasilkan antibody spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi
yang menjadi seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody itu
sendiri.

G.Komplikasi
1.Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan
cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak
diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang
menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).

2.Neurologik

ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex).
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif,
perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global,
kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.

Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual,
muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan
serebospinal.

3.Gastrointestinal

Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria
diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari
atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang
dapat menjelaskan gejala ini.

-Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan
efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.

-Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia,
mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

-Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi,
dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.

4.Respirasi

Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada,
hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh
Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.

5.Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi
scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi
oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang
nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik
dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan
folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis
atopik seperti ekzema dan psoriasis.

6.Sensorik

-Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek
kebutaan

-Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang
berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

H.Pemeriksaan Penunjang

1.Tes untuk diagnosa infeksi HIV :

-ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)

-Western blot (positif)

-P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)

-Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase
atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)

2.Tes untuk deteksi gangguan system imun.

-LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)

-CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)

-Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)

-Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).

-Kadar immunoglobulin (meningkat)

I.Penatalaksanaan

1.Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi
infeksi
Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada

Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin
(AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi
transkripsi DNA HIV

Mengatasi dampak psikososial

Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan
oleh tenaga medis

Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan
universal (universal precaution)

2.Pengobatan

Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan
evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak
dikategorikan dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik
dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda supresi berat.
Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang
tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).

Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan terhadap mencegah dan


menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin),
videks dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan
DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim)
dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali
berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi
disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak
diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden, 2002).

J.Pencegahan

Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan memengaruhi epidemil
global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor
resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama
diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga
secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama usaha pencegahan ini.
Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The American Medical Assosiation dan The American
Academy of Pediatrics yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan
kompetensi yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat dengan pencegahan infeksi pada
perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil.
Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol
pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi
angka transmisi dari ibu ke bayi.

Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 mengurangi penularan HIV-1 terhadap
bayi secara dermatis. Penggunaan zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14
minggu kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada neonatus (180 mg/m2
secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada 26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien
zidovudin, suatu perbedaan yang sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan
pedoman untuk penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1
perinatal. Wanita yang HIV-1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak
limfosid CD4 +200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan
menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus
menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses kelahiran. Pada semua keadaan
dimana ibu mendapat zidovudin untuk mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin
(2 mg/kg setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-1
positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin
sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru
lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-
kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian yang merugikan
jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk
melaksanakan pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan
wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.

Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran pertukaran cairan-cairan


tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara
seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa
pada remaja yang terinfeksi HIV-1.

Anda mungkin juga menyukai