Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan Penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Irfan Nashrulloh
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 4
C. Tujuan penelitian....................................................................... 4
D. Keguaan penelitian.................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI................................................................... 6
BAB III PEMBAHASAAN....................................................................... 11
A. kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dalam Peradilan di
Indonesia.......................................................................................... 11
B. Kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi
Timbunya penyimpangan............................................................... 18
BAB IV PENUTUP................................................................................... 20
A. Kesimpulan................................................................................ 20
B. Saran.......................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat dalam
konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut dijelaskan
dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
(Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan dimana
setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain itu segala
kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada
ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak didasarkan pada ketentuan
hukum, harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap konsep hukum itu sendiri.
Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena dalam
sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun rakyat yang
melanggar ketentuan hukum.[2]
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan merupakan
salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk memberikan
keadilan dalam rangka menegakkan hukum.[3]
Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD
1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah
..memajukan kesejahteraan umum. Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian
suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu
perekonomian negara adalah pajak. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar
kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun
Negara membebankan tarif pajak kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan
dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya
menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan
permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran
wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat
pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan
suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa
pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep
negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum
yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan
hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap
rakyat.
Berdasarkan uraian diatas mengenai pengadilan pajak dalam peradilan Indonesia, maka
penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai kedudukan pengadilan pajak yang di atur
oleh undang-udang no 14 tahun 2004 tentang pengadilan pajak yang akan dituangkan dalam
makalah yang berjudul Kedudukan Pengadilan Pajak Menurut Undang-Undang No 14
Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan Indonesia
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah
yang dapat di ambil adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Peradilan di Indonesia?
2. Apakah yang menjadi kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi timbunya
penyimpangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.
2. Memberikan gambaran tentang eksistensi peradilan pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak.
3. Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat menjadikan
timbulnya penyimpangan.
4. Memberikan solusi tentang kelemahan dalam aturan peradilan pajak di Indonesia
D. Kegunaan Penelitian.
1. Kegunaan Teoritis.
Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;
a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang Pengadilan pajak.
b. Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik tentang
kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta kelemahannya.
2. Kegunaan Praktis
Mengenai kegunaan praktis adalah sebagai berikut :
a. Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam sengketa
pajak.
b. Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun hakim pengadilan
pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.
BAB II
LADASASAN TEORI
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu
masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[5] Pajak
sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri
menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang, dengan undang-undang
diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi
berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada
Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[6]
Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai
pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat dikenakan
pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya.
Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000
dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat
Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek
pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi
subjek hukum.[7] Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2
menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah:
b. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
c. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus
memenuhi syarat subjektif juga harus memenuhi syarat objektif yaitu
memenuhi Tatbestandyang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No.
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka
2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik
keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand.Misalnya:
Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang
menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-Undang
Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah sengketa yang
timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
Peradilan adalah suatu proses penegakan hukum maupun memberi perlindungan hukum
bagi pihak-pihak yang bersengketa.[9] Peradilan dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus yang
disebut sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Peradilan pajak adalah suatu proses dalam
hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa pajak, baik kepada
wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai dengan ketentuan undang-
undang/hukum positif.[10]
Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad van
Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam
perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan Peradilan
Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk terbentuknya Badan
Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap dijalankan oleh Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP), namun dengan kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997
hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam
pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang
dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada
Pengadilan Pajak.[11]
Pengadilan pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam Pasal 2 disebutkan Pengadilan Pajak adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung
Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sedangkan sengketa pajak timbul
daridikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat
2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat peradilan yang
terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap
artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut.
Hal ini menimbulkan bahwa pengadilan pajak berada di luar kekuasaan kehakiman seperti yang
diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970.[12]
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena
adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena, diakui
atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas, kurang tegas
dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua pihak yang
masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda pula.
Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dinyatakan
tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak. Konsekuensi
penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan
Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa.
Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah
Badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999.
5. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib
Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan
kepadanya.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatur hukum
acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi,
Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, mengadili sengketa
pajak. Sengketa pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak pusat ada 7,
yaitu yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Sedangkang dua pajak dikelola oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai yaitu bea dan cukai.[13]
Menurut Istiani,
Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan
pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa
adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat
dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea
tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga
dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk
menanganinya.[14]
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih
dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan
landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat
angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879).
Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan
Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga
Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:[15]
1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan
di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak mencakup
seluruh wilayah hukum Indonesia.
2. Kompetensi Absolut
Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak
ukur sebagai berikut:
Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam
sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak).
Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi antara rakyat
dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha
Negara.[16]
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak Yang menjadi obyek dalam
sengketa pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4 UU
Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam
rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa
pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan atas pelaksanaan penagihan
pajak atas keputusan pembetulan.[17] Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah berbagai
aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan semangat konstitusi dan
ketundukkan pada integrated justice system. UU Pengadilan Pajak menjadikan institusi
Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan tersendiri di luar MA.
Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77 yang
menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2
menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa
pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan
gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa
pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.
Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana MK
merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final dan
mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan bagian
dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak tidak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Bahwa di dalam penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
dimana Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus bagian dari Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya
memiliki hukum acara tersendiri.
2. Namun jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU Pengadilan Pajak
tersebut, bahwa Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri
terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan, hal
tersebut yang mejadi kelemahan dari UU pengadilan pajak dan dapat dikatakan
menyimpang karena melanggar amanat UUD 1945 bahwa setiap peradilan harus berada
di bawah Mahkamah agung.
B. Saran
Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera
diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan
finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada
dibawah MA
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam
Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1989.
Rochmat Soemitro. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika
Aditama, 1998.
Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2005.
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, Bandung: Refika
Aditama, 1998.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981.
B. Internet
http://robothukum.blogspot.com/2010/11/eksistensi-dan-dualisme
pembinaan_18.html. Diakses tanggal 14 juni 2016.
[1] Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di
Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006, hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 3.
[3] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung:
Alumni, 1989, hlm. 26.
[4] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2005), hlm. 72
[5] Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.2
[6] Ibid halaman 2
[7] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama. Halaman 62
[8] Ibid halaman 101
[9] Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian Sengketa pajak.
Jakarta: Rajawali Pers. Halm.32
[10] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.164.
[11] http://robothukum.blogspot.com/2010/11/eksistensi-dan-dualisme-pembinaan_18.html. Diakses
tanggal 14 juni 2016.
[12] Lock Cit
[13] Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau
Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret 2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 juni 2016)
[14] Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia.
Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 Juni 2016)
[15] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62
[16] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1989), hlm. 37
[17] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2005), hlm. 72
Makalah "Hukum Pajak" tentang "Dasar-dasar Hukum Perpajakan di
Indonesia"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak
bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib
pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah
telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat
Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk
membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan
daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut
adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang
berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk
memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana
dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian
berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak
menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP)
yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja dasar-dasar hukum perpajakan di indonesia?
2. Bagaimanakah Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya?
3. Seberapa efketifkah pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentangPengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
2. Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak
(MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997.
Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan
dan kepastian hokum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak
pada 2002.
3. Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen
belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi landasan
Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak.
Selain itu, beberapa pasal jugadikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Handoko, Rukiah. Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2000.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002.