Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan Penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, Penulis yakin masih banyak


kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, 14 Juni 2016

Irfan Nashrulloh

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ........................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 4
C. Tujuan penelitian....................................................................... 4
D. Keguaan penelitian.................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI................................................................... 6
BAB III PEMBAHASAAN....................................................................... 11
A. kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dalam Peradilan di
Indonesia.......................................................................................... 11
B. Kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi
Timbunya penyimpangan............................................................... 18
BAB IV PENUTUP................................................................................... 20
A. Kesimpulan................................................................................ 20
B. Saran.......................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat dalam
konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut dijelaskan
dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
(Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Menurut Galang Asmara yang mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja, pengertian


negara hukum adalah negara yang yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada
hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.[1]

Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan dimana
setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain itu segala
kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada
ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak didasarkan pada ketentuan
hukum, harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap konsep hukum itu sendiri.

Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena dalam
sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun rakyat yang
melanggar ketentuan hukum.[2]

Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan merupakan
salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk memberikan
keadilan dalam rangka menegakkan hukum.[3]

Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD
1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah
..memajukan kesejahteraan umum. Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian
suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu
perekonomian negara adalah pajak. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar
kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun
Negara membebankan tarif pajak kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan
dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya
menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.

Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan
permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran
wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat
pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan
suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa
pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.

Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep
negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum
yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan
hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap
rakyat.

Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun


2002 tentang Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan apabila
terjadisengketa pajak dengan fiscus atau pemungut pajak.[4]

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak


maka penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak. Pengadilan ini
didirikan untuk menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Menurut UU,
pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak yang
terjadi antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.

Berdasarkan uraian diatas mengenai pengadilan pajak dalam peradilan Indonesia, maka
penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai kedudukan pengadilan pajak yang di atur
oleh undang-udang no 14 tahun 2004 tentang pengadilan pajak yang akan dituangkan dalam
makalah yang berjudul Kedudukan Pengadilan Pajak Menurut Undang-Undang No 14
Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan Indonesia

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah
yang dapat di ambil adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Peradilan di Indonesia?

2. Apakah yang menjadi kelemahan peradilan pajak yang dapat menjadi timbunya
penyimpangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.
2. Memberikan gambaran tentang eksistensi peradilan pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak.
3. Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat menjadikan
timbulnya penyimpangan.
4. Memberikan solusi tentang kelemahan dalam aturan peradilan pajak di Indonesia

D. Kegunaan Penelitian.
1. Kegunaan Teoritis.
Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;
a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang Pengadilan pajak.
b. Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik tentang
kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta kelemahannya.
2. Kegunaan Praktis
Mengenai kegunaan praktis adalah sebagai berikut :
a. Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam sengketa
pajak.
b. Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun hakim pengadilan
pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.

BAB II

LADASASAN TEORI

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu
masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[5] Pajak
sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri
menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang, dengan undang-undang
diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi
berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada
Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[6]
Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai
pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat dikenakan
pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya.
Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000
dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat
Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek
pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi
subjek hukum.[7] Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2
menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah:

a. Orang pribadi atau perorangan,

b. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,

c. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,

d. Bentuk usaha tetap.

Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus
memenuhi syarat subjektif juga harus memenuhi syarat objektif yaitu
memenuhi Tatbestandyang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No.
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka
2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik
keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand.Misalnya:

a. Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor,


menempati rumah tertentu.

b. Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah


atau barang.

c. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.[8]

Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang
menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-Undang
Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah sengketa yang
timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
Peradilan adalah suatu proses penegakan hukum maupun memberi perlindungan hukum
bagi pihak-pihak yang bersengketa.[9] Peradilan dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus yang
disebut sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Peradilan pajak adalah suatu proses dalam
hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa pajak, baik kepada
wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai dengan ketentuan undang-
undang/hukum positif.[10]
Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad van
Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam
perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan Peradilan
Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk terbentuknya Badan
Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap dijalankan oleh Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP), namun dengan kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997
hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam
pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang
dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada
Pengadilan Pajak.[11]
Pengadilan pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam Pasal 2 disebutkan Pengadilan Pajak adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung
Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sedangkan sengketa pajak timbul
daridikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat
2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat peradilan yang
terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap
artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut.
Hal ini menimbulkan bahwa pengadilan pajak berada di luar kekuasaan kehakiman seperti yang
diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970.[12]

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Badan Pengadilan Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002


Tentang Pengadilan Pajak Dalam Peradilan Di Indonesia.
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak
bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib
pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah
telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat
Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk
membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.

Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena
adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena, diakui
atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas, kurang tegas
dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua pihak yang
masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda pula.

Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dinyatakan
tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak. Konsekuensi
penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan
Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa.

Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah

Badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999.

Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,


Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 28
tahun 2007 sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah lagi dengan
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam
paragrap pertama Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk menggantikan
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan penyelesaian
Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbukan
ketidakadilan.

Paragrap terakhir Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang


Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam undang-undang ini
bersifat khusus menyangkut acara penyelengaraan persidangan sengketa perpajakan, yaitu:

1. Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun


dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon

2. Banding atau tergugat, sidang dapt dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan


putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

3. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang


mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijzah Sarjana Hukum atau sarjana lain.

4. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa


perpajakan.

5. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib
Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung
memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan
kepadanya.

Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatur hukum
acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi,
Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, mengadili sengketa
pajak. Sengketa pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak pusat ada 7,
yaitu yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Sedangkang dua pajak dikelola oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai yaitu bea dan cukai.[13]

Menurut Istiani,
Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan
pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa
adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat
dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea
tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga
dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk
menanganinya.[14]
Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih
dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan
landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat
angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879).

Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada UU Kekuasaan


Kehakiman, yang saat ini melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dimana ditegaskan
dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009, sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan
niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan
industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan
pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan
Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga
Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:[15]

1. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan
di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak mencakup
seluruh wilayah hukum Indonesia.

2. Kompetensi Absolut

Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan


memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang
berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum sebagai bentuk
perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh
dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam lingkungan peradilan tata
usaha negara.

Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak
ukur sebagai berikut:

1. Tolak Ukur Subyek


Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi :
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib
pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan
keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam
sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak).
Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi antara rakyat
dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha
Negara.[16]

2. Tolak Ukur Obyek

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak Yang menjadi obyek dalam
sengketa pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4 UU
Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam
rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5


Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diamandemen pertama
dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen kedua dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak merupakan


Sengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian dari Sistem Peradilan
Tata Usaha Negara.

B. Kelemahan Peradilan Pajak Yang Dapat Menjadi Timbunya Penyimpangan

Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa
pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan atas pelaksanaan penagihan
pajak atas keputusan pembetulan.[17] Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah berbagai
aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan semangat konstitusi dan
ketundukkan pada integrated justice system. UU Pengadilan Pajak menjadikan institusi
Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan tersendiri di luar MA.

Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77 yang
menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2
menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa
pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan
gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa
pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.

Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana MK
merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final dan
mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan bagian
dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak tidak.

Dengan demikian, dapat di deskripsikan bahwa UU memposisikan pengadilan ini sebagai


badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi dinegeri ini tidak
dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya
hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa dan itupun dengan syarat yang sangat limitatif.
Sehingga dengan kata lain, sebenarnya UU ini ingin mengesampingkan peran MA dalam
penyelesaian sengketa pajak.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Bahwa di dalam penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
dimana Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus bagian dari Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya
memiliki hukum acara tersendiri.

2. Namun jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU Pengadilan Pajak
tersebut, bahwa Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri
terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan, hal
tersebut yang mejadi kelemahan dari UU pengadilan pajak dan dapat dikatakan
menyimpang karena melanggar amanat UUD 1945 bahwa setiap peradilan harus berada
di bawah Mahkamah agung.

B. Saran

Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera
diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan
finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada
dibawah MA

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam
Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1989.
Rochmat Soemitro. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika
Aditama, 1998.
Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2005.
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, Bandung: Refika
Aditama, 1998.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981.

B. Internet
http://robothukum.blogspot.com/2010/11/eksistensi-dan-dualisme
pembinaan_18.html. Diakses tanggal 14 juni 2016.

Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak.


Masyarakat Pemantau Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret
2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 juni 2016)

Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau


Peradilan Indonesia. Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil
(15 Juni 2016)

[1] Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di
Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006, hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 3.
[3] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung:
Alumni, 1989, hlm. 26.
[4] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2005), hlm. 72
[5] Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.2
[6] Ibid halaman 2
[7] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama. Halaman 62
[8] Ibid halaman 101
[9] Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian Sengketa pajak.
Jakarta: Rajawali Pers. Halm.32
[10] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.164.
[11] http://robothukum.blogspot.com/2010/11/eksistensi-dan-dualisme-pembinaan_18.html. Diakses
tanggal 14 juni 2016.
[12] Lock Cit
[13] Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau
Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret 2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 juni 2016)
[14] Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia.
Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (15 Juni 2016)

[15] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62
[16] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1989), hlm. 37
[17] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2005), hlm. 72
Makalah "Hukum Pajak" tentang "Dasar-dasar Hukum Perpajakan di
Indonesia"

Contoh Makalah "Hukum Pajak" tentang "Dasar-dasar Hukum Perpajakan di Indonesia"


Disusun Oleh Muazzin, S.H.I

Alumni Al-Hilal Sigli

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak
bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib
pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah
telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat
Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk
membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan
daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut
adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang
berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk
memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana
dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian
berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak
menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP)
yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja dasar-dasar hukum perpajakan di indonesia?
2. Bagaimanakah Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya?
3. Seberapa efketifkah pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar-Dasar Hukum Perpajakan Di Indonesia


Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan
negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.
Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara
singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945
Pasal 23A yang berbunyi, Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak
dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, Segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu,
redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal
perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor
6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya sebuah
aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di
negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut Tri Dharma Perpajakan. Ketiga
asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek
perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa
sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya,
aritinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak
nasional, asasasas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini.
a. Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun
sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud
pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara
sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya
sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.
d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati
adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum
dinyatakan bersalah apabila belum ada bukti-bukti nyata.
Pengertian Dan Sistematika Hukum Pajak
Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali
kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum
publik, yang mengatur hubungan-hubunganhukum antara negara dan orang-orang atau badan-
badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak. Hukum Pajak mengatur siapa subjek dan
wajib pajak, obyek pajak, kewajiban wajib pajak kepada pemerintah, timbul/hapusnya hutang
pajak, cara penagihan pajak dan cara megajukan keberatan/banding serta pengadilan pajak.
Hukum Pajak secara sistematis dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax
law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law):
Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja
yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar. Hukum pajak material membuat norma-
norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum
yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak ini, berapa besar pajaknya,
dengan kata lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya,dan hapusnya hutang pajak dan pola
hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana
mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa
hukum pajak materiil berisi ketentuanketentuan tentang siapa, apa, berapa dan bagaimana.
Dengan demikian, hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang
mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Yang termasuk
hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk menjelmakan hukum
material tersebut diatas menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara
penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap
penyelenggaranya, kewajiban para wajib pajak (Sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan
pajak), kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam pemungutanya. Maksud hukum formal
adalah untuk melindungi, baik Fiskus maupun wajib pajak. Jadi untuk memberi jaminan bahwa
hukum materialnya akan dapat diselenggarakan setepat-tepatnya. Misalnya hukum pajak
materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP,
maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan
statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
Sanksi Pajak
Pemberian sanksi atau hukuman mempunyai empat buah latar belakang falsafah yakni:
a. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye for an eye yang berbasis balas
dendam; narapidana harus membayar utang mereka kepada masyarakat melalui hukuman yang
sesuai dengan kejahatannya.
b. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan
menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan (general deterrence) dan meyakinkan
narapidana untuk tidak berbuat perbuatan pidana lainnya (specific deterrence).
c. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana tidak berdaya,
bermaksud supaya narapidana diasingkan dari masyarakat sehingga mereka tidak akan lagi
merupakan ancaman atau bahaya bagi yang lainnya.
d. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam masyarakat
melalui program koreksi dan layanan.
Wajib Pajak
Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib pajak bisa
berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan. Wajib pajak pribadi adalah setiap
orang pribadi yang memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, seiap
orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP),
kecuali ditentukan dalam undang-undang.
Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Menurut
pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan
materiil. Yang dimaksud dengan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-
undang perpajakan. Sedangkan kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak
secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai isi dan
jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil meliputi juga kepatuhan formal.
Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama
diadakan. Untuk Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asian Tax
Administration and Research)telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama
adalah Some Aspects of Income Tax Avoidance orEvasion. Upaya untuk mengurangi tax
evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah diadakan oleh IFA pada tahun 1980
di Paris dengan tema yang lunak yakni The Dialogue between the tax administration and the
taxpayer up to the filing of the tax return. Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan
upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion.
Perilaku Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh
Bernard P. Herber, dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance dan tax
delinquency:
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar
undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah
daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya
yang lebih besar daripada yangsebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak.
Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak
melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Perbuatan ini melanggar baik jiwa
atau semangat maupun kalimat-kalimat dalam undang-undang perpajakan. Di
Indonesiaperbuatan yang termasuk dalam tax evasion diancam dengan hukuman pidana
fiscal yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP 2000.
Dalam tax avoidance Wajib Pajak memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada
dalam undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah.
Perbuatannya ini secara harfiah tidak melanggar undangundang perpajakan, tapi dari segi jiwa
undang-undang perpajakan termasuk perbuatan yang melanggar. Misalnya pada bulan Desember
2000 Wajib Pajak A akan menerima penghasilan sebesar Rp 25.000.000,- yang akan terkena tarif
Pajak Penghasilan sebesar 10%.
Adapun cara-cara mencegah Wajib Pajak melakukan tax evasion antara lain dapat berupa
pemeriksaan pajak (tax audit); sistem informasi yaitu dialog dan saling tukar pandangan antara
Wajib Pajak dan fiskus harus tetap diadakan; administrasi pajak dalam arti sebagai prosedur
meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak, penetapan, dan penagihan.;
kemungkinan ketahuan dan penegakan hukum (probability of detection and level of penalties).
Hal ini pada hakikatnya terkait dengan penegakan hukum pajak atau tax law
enforcement serta tingginya tarif pajak, rasa keadilan yang tak terpenuhi dan pemanfaatan dana
pajak.
Subyek Pajak
Subyek Pajak adalah orang yang dituju oleh UU untuk dikenakan pajak. Subyek pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak meliputi
orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha
tetap. Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT atau dalam bahasa Inggris: permanent
establishment) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan
peralatan.Tempat usaha tersebut bersifat Permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi
atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesiamenggunakan agen,
broker atau Perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut
dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan Asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran Premi Asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa
peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan
di Indonesia. Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia, bentuk usaha yang dipergunakan
oleh Subjek Pajak Luar Negeri untuk menjalankan usaha ataumelakukan kegiatan di Indonesia,
dapat dikatakan sebagai BUT yang dapat berupa: tempat kedudukan manajemen; cabang
perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; pertambangan dan penggalian
sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; proyek konstruksi, instalasi, atau
proyek perakitan; pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; orang atau badan yang
bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan agen atau pegawai dari perusahaan
asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

B. Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya


Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding
lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan
pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah
persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa
dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di
negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915
(Staatsblad Nomor 707) dengan namaRaad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding
Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927
Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in
Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959
diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat
pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU
Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak
bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun
1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai
berikut.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut. Sebelum badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan
kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Negara.
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi
sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa
pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang
perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah
menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan
serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat
dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-
ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai
berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.
b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hokum
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar
pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan
pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut.
a. Jalur keberatanpajak dan banding ke BPSP.
b. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c. Jalur melalui peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk
menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan
mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada
kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman
yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu Pengadilan Pajak adalah badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak
yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

C. Dasar Hukum Pengadilan Pajak


Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU
Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai
sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak
seperti di bawah ini.
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III
tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi
semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan
Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya dualisme bahwa seolah-
olah Pengadilan Pajak berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 14
Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas
menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di
bidang pemeriksaan dan pemutusan sengketa di bidang perpajakan. Kasus sengketa pajak yang
sampai pada
tingkat kasasi menjadi kompetensi dari Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata
dan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa, Dengan undangundang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan
di ibukota Negara, maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama halnya
dengan Tax Court di Amerika Serikat, yang hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai
ibukota negara tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negara-negara
lainnya.
Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak
harus in persona(para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah
dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet, dan
sebagainya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentangPengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
2. Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak
(MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997.
Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan
dan kepastian hokum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak
pada 2002.
3. Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen
belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi landasan
Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak.
Selain itu, beberapa pasal jugadikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA
Handoko, Rukiah. Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2000.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002.

Anda mungkin juga menyukai