Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENELITIAN HUKUM

DISUSUN OLEH:

NAMA : CHANDRA DERA BINANDA


NPM : 1502090063

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN METRO LAMPUNG
TAHUN 2017
A. Fungsi Teori dalam Penelitian Hukum
Dalam mempelajari dasar-dasar penelitian, orang harus terlebih dahulu
memahami sebaik-baiknya. Apa yang disebut teori. Teori dibutuhkan sebagai
pegangan-pegangan pokok secara umum.
Dalam hubungannya dengan data, teori dibangun dengan data yang
tersusun dalam satu sistem pemikiran yang sistematik. Karena itu maka
pengumpulan data dilakukan hanya sesudah segala sesuatupun mengenai
masalah penelitian telah selesai direncanakan. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa teori tidak tepat disamakan dengan pengertian semacam
metafisik yang tidak praktis, justru segala tindakan praktis di dalam
kehidupan didasarkan atas satu sudut pandangan dan teori tertentu. Misalnya
tindakan paedagogik tertentu bagi seorang guru didasarkan atas dasar teori
perubahan tingkah laku. Juga segala tindakan praktis pemerintah di bidang
moneter didasarkan atas teori kenegaraan walaupun mungkin teori itu
berubah-ubah dari pemerintah satu dengan yang lain.1
Ada tiga fungsi teori dalam penelitian. Pertama, sebagai
pensistematiskan temuan-temuan penelitian. Kedua, sebagai pendorong untuk
menyusun hipotesis. Dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari
jawaban-jawaban serta membuat ramalan-ramalan atas dasar penemuan.
Ketiga, sebagai penyaji penjelasan dalam menjawab pertanyaan. Jika
dijabarkan ada tujuh fungsi teori dalam penelitian yaitu:
1. Sebagai penyusun generalisasi atas fakta-fakta
2. Menjadi kerangka orientasi untuk pengumpulan, pengolahan, dan analisa
data
3. Pembuat prediksi terhadap fenomena baru yang akan terjadi
4. Pengawas lowongan dalam pengetahuan dengan cara deduksi
5. Sebagai rujukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian
6. Sebagai kerangka penalaran logis

1
Cholid Narbuko, Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. (Jakarta: Bumi Aksara, 2016)., hal.
28
Pada ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, maka kelangsungan
perkembangan suatu ilmu senantiasa tergantung pada unsur-unsur, sebagai
berikut:
1. Teori;
2. Metodologi;
3. Aktivitas penelitian;
4. Imajinasi sosial.

Dengan teori diartikan sebagai suatu sistim yang berisikan proposisi-


proposisi yang telah diuji kebenarannya. Apabila berpedoman pada teori,
maka seorang ilmuan akan dapat menjelaskan, aneka macam gejala sosial
yang dihadapinya walalupun hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan
terhadap masalah yang dihadapi. Suatu teori juga mungkin memberikan
pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan, dan memberikan taraf
pemahaman tertentu.

B. Macam-macam Penelitian Hukum


Oleh karena penelitian dapat ditinjau dari berbagai macam sudut, maka
hasilnya adalah adanya bermacam-macam penelitian. Secara singkat, maka
macam-macam penelitian tersebut mencakup:2
1. Dari sudut sifatnya:
a. Penelitian eksploratoris atau penjelajahan;
b. Penelitian deskriptif;
c. Penelitian eksplanatoris.

2. Dari sudut bentuknya


a. Penelitian diagnostik;
b. Penelitian preskriptif;
c. Penelitian evaluatif;

3. Dari sudut tujuannya


a. Penelitian fact-finding;
b. Penelitian problem-identification;

2
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: IU Press, 1986)., hal. 50
c. Penelitian problem-solution.

4. Dari sudut penerapannya


a. Penelitian murni/dasar/fundamentil;
b. Penelitian yang berfokuskan masalah;
c. Penelitian terapan/terpakai.

Dari sudut tujuan penelitian hukum sendiri terdapat:


1. Penelitian hukum normatif, yang mencakup:
a. Penelitian terhadap azas-azas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf singkhronisasi hukum;
d. Penelitian sejarah hukum.

2. Penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang terdiri dari:


a. Penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis);
b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.

Sejalan dengan hal di atas, Soetandyo Wingjosoebroto, membagi


penelitian hukum ke dalam:
1. Penelitian Doktrinal, yang terdiri atas:
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif;
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah
(dokma atau doktrin) hukum positif;
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.
2. Penelitian Nondoktrinal
Penelitian nondoktrinal, yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses
bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Tipologi penelitian yang terakhir
ini sering disebut socio legal research.

Hal-hal tersebut di atas, sebenarnya dapat digabungkan secara serasi,


sehingga diperoleh sistematika mengenai macam-macam penelitian secara
umum dan pembagiannya menurut tujuan penelitian hukum. Misalnya,
penelitian terhadap azas-azas huku, dapat merupakan penelitian fact-finding
belaka, atau mungkin penelitian-penelitian problem-finding, problem
identification dan problem solution. Penelitian terhadap efektivitas hukum,
umpamanya, dapat merupakan penelitian diagnostik, yang kemudian
dilanjutkan dengan penelitian preskriptif dan penelitian yang kemudian
evaluatif. Jadi, yang menjadi unsur penentu adalah tujuan penelitian
hukumnya, dan unsur tambahan atau pendukungnya adalah macam-macam
penelitian secara umum sebagaimana dijabarkan secara garis besar di muka.

C. Penelitian Hukum Normatif


Penelitian yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas
dalam ilmu hukum. Asas tersebut menurut Pasal 5 dan 6 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
adalah sebagai berikut:
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundag-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan, dan;
g. Keterbukaan

Pasal 6
(1) Materi muatan Praturan Perundang-undangan mengandung asas;
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka tunggal ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Sebagai contoh
doktrin iktikad baik, doktrin fakta hukum, dan sebagainya.

1. Penelitian terhadap Asas-asas Hukum


Penelitian terhadap asas-asas hukum merupakan suatu penelitian hukum
yang bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif
yang berlaku. Penelitian tipe ini lazim disebut Studi dogmatic atau
penelitian doktrinal (doktrinal research). Dalam penelitian ini, peneliti
bekerja secara analitis induktif. Prosesnya bertolak dari premis-premis
yang berupa norma-norma hukum positif yang diketahui, dan berakhir
pada penemuan asas-asas hukum, yang menjadi pangkal tolak pencarian
asas adalah norma-norma hukum positif. Sebagai contoh harta yang dicari
sendiri boleh habis, harta di kampung tidak boleh habis. Norma hukumnya
adalah harta pencarian terserah pada kekuasaan pemiliknya, harta
kampung family-keluarga, kembali ke asal, sedangkan norma hukum
positifnya harta pencarian selama perkawinan, penggunannya ditentukan
oleh kehendak suami istri. 3
Untuk penelitian asas hukum tersebut, dapat memanfaatkan beberapa
metode, yaitu metode historis, deskriptif dan eksperimental. Pemanfaatan
metode ini berkaitan dengan dimensi waktu yang meliputi: (1) penjelasan
tentang masa lampau, (2) penjelasan tentang apa yang sekarang sedang
berlangsung/berlaku, dan (3) penjelasan tentang masa yang akan datang.

2. Penelitian terhadap Sistematika Hukum


Penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuannya adalah untuk
mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar hak dan

3
Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2014)., hal. 24
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, objek hukum. Penelitian
ini penting artinya. Sebab, masing-masing pengertian pokok/dasar tersebut
mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum. Sebagai contoh,
pengertian pokok/dasar peristiwa hukum yang mempunyai arti penting
dalam kehidupan hukum, mencakup keadaan kejadian tersebut, misalnya
dapat memiliki sifat, yaitu:
a. Alamiah, misalnya dalam Pasal 362 dan 363 KUHP. Hal ini diuraikan
sebagai berikut.
Pasal 362
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.

Pasal 363
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Pencurian ternak;
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang;
3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki
oleh yang berhak;
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih;
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan
merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai
anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan
salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

b. Psikis, misalnya dalam pasal 44 KUHP yang diuraikan sebagai berikut:


Pasal 44 KUHP
(2) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(3) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada
pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu
karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang
itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
(4) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi dan Pegadilan Negeri.

c. Sosial, misalnya dalam Pasal 49 KUHP. Hal ini, diuraikan sebagai


berikut.
Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan
kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada
serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu
yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan
atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

3. Penelitian terhadap Taraf Sinkronisasi Hukum


Penelitian terhadap taraf sinkronisasi yang menjadi objek penelitian adalah
sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi
satu sama lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui dua faktor, yaitu (a)
vertikal, dan (b) horizontal. Kedua hal ini, diuraikan sebagai berikut:
a. Vertikal
Untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku terhadap bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu
dengan yang lain atau menurut hierarki peraturan perundang-undangan
yang ada. Misalnya, jenis dan hierarki perundang-undangan menurut
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
c. Peraturan pemerintah;
d. Peraturan presiden;
e. Peraturan daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/wali
kota;
c. Peraturan Desa / peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala
desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

b. Horizontal
Apabila dua dan/atau lebih peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang sama, misalnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (LN-RI Tahun 1974 Nomor 38) dengan
Undang-Undang 1979 Nomor 56), dan Undang-Undang RI Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

D. Konsep Dasar Penelitian Hukum Sosiologis


1. Penelitian terhadap Identifikasi Hukum (Hukum tidak Tertulis)
Penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis),
dimaksudkan untuk mengatahui hukum yang tidak tertulis berdasarkan
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hukum tidak tertulis dalam sistem
hukum di Indonesia, yaitu hukum adat dan hukum Islam. Sebagai contoh
dapat disebut hukum pidana adat, hukum pidana Islam, hukum waris adat
dan waris Islam, hukum tata negara dalam hukum adat, hukum tata negara
dalam hukum Islam, dan sebagainya.
Dalam penelitian tersebut, peneliti harus berhadapan dengan warga
masyarakat yang menjadi objek penelitian sehingga banyak peraturan-
peraturan yang tidak tertulis berlaku dalam masyarakat.salah satu
peraturan yang tidak tertulis tersebut, yakni pada orang-orang Islam yang
berkewajiban mengeluarkan zakat, ia memberikan langsung uang zakatnya
kepada orang yang dianggap berhak menerima zakat menurut karakteristik
hukum Islam. Akibatnya, uang zakat itu tidak melembaga sehingga tidak
mampu mengurangi kemiskinan bagi penerima zakat. Padahal salah satu
fungsi sosial uang zakat itu adalah mengurangi kemiskinan atau mampu
memberdayakan orang miskin menjadi orang yang berkecukupan yang
pada akhirnya akan mampu mengeluarkan zakat.
2. Penelitian terhadap Efektivitas Hukum
Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang
membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat, penelitian ini
sangat relevan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, penelitian
ini mensyaratkan penelitiannya di samping mngetahui ilmu hukum juga
mengetahui ilmu sosial, dan memiliki pengetahuan dalam penelitian ilmu
sosial (social science research).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam
masyarakat, yaitu:
a. Kaidah Hukum
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam
hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal ini, diungkapkan
sebagai berikut:
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatnya atau terbentuk
atas dasar yang telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut
efektif. Artinya, kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori
kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari
masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap
kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur kaidah di atas,
sebab: (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka
ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) apabila hanya
berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu
menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis,
maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang
dicita-citakan (ius constituendum).
Sulitnya penegakan hukum di Indonesia berawal dari sejak peratuan
perundang-undangan dibuat, paling tidak ada dua alasan untuk
mendukung pernyataan ini.
Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi
perhatian cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan
atau tidak. Pembuat peraturan perundang-undangan sadar ataupun
tidak telah mengambil asumsi aturan yang dibuat akan dengan
sendirinya dapat berjalan.
Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak
realistis. Hal ini terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-
undangan yang merupakan pesanan dari elit politik, negara asing
maupun lembaga internasional.

b. Penegak Hukum
Di Indonesia secara tradisional institusi hukum yang melakukan
penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, badan peradilan, dan
advokat. Di luar institusi tersebut masih ada diantaranya, Direktorat
Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal
Imigrasi. Peroblem dalam penegakan hukum yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia perlu untuk dipotret dan dipetakan. Tujuannya agar
para pengambil kebijakan dapat mengupayakan jalan keluar.
Dalam hal penegakan hukum tersebut, kemungkinan penegak hukum
menghadapi hal-hal sebagai berikut:
1) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang
ada.
2) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan.
3) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas
kepada masyarkat.
4) Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasa yang
diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas
yang tegas berkenan wewenangnya.

Berdasarkan keterangan singkat dari contoh kasus di atas, faktor


petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum
dan/atau menyalahgunakan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas penegak hukum rendah dan/atau tahu tapi tidak mau
mengetahui dan memfungsikan hukum maka akan ada masalah.
Demikian pula, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas
petugas baik, mungkin pula timbul masalah-masalah hukum.

c. Sarana atau Fasilitas


Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu
peraturan perundang-undangan tertentu. Ruang lingkup sarana
tersebut, terutama sarana fisik, berfungsi sebagai faktor pendukung.
Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik
yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara
mengenai suatu kejahatan.Kalau peralatan sudah ada, maka faktor-
faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting.
Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan
secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan
mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang
sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang
belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu
pengadaannya; (3) apa yang kurang perlu dilengkapi; (4) apa yang
telah rusak diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan;
(6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.

d. Kesadaran Hukum Masyarakat


Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat, yaitu berupa kesadaran warga masyarakat untuk mematuhi
suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara
sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai
berikut:
1) Derajat kepatuhan terhadap terhadap rambu-rambu lalu lintas
adalah tinggi, maka peraturan lalu lintas tersebut, akan berfungsi
mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh
karena itu, bila rambu-rambu lalu lintas warna kuning menyala,
maka para pengemudi diharapkan pelan-pelan. Namun sebaliknya,
semakin melaju kencang kendaraan yang dikemudikan, semakin
besar kemungkinan akan terjadi tabrakan.
2) Bagi orang Islam Indonesia yang mendiami ibu kota negara
(Jakarta) sebagian besar tahu dan paham bahwa Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, melahirkan dualisme sistem
perbankan Indonesia, yaitu: (1) sistem perbankan konvensional
yang menggunakan bunga dalam operasionalnya, dan (2) sistem
perbankan syariah yang menggunakan bagi hasil (tidak pakai
bunga) dalam sistem operasionalnya. Undang-undang tersebut,
lahir untuk mengayomi penduduk Indonesia yang mayoritas
muslim berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga
bank identik dengan riba dan riba adalah haram. Meskipun
demikian, masih banyak warga masyarakat Islam lebih kental
berhubungan dengan sistem perbankan konvensional dibandingkan
perbankan yang menggunakan prinsip syariah. Apabila hal ini
dibandingkan dengan negara-negara muslimnya minoritas seperti
Inggris, Amerika dan beberapa negara lainnya justru perbankan
syariah di sana lebih maju bila dibandingkan dengan Indonesia.

Berdasarkan kedua contoh tersebut, persoalannya adalah: (1) apabila


peraturan baik, sedangkan warga masyarakatnya tidak mematuhinya,
faktor apakah yang menyebabkannya? (2) apabila peraturan baik serta
petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang
tidak mematuhi peraturan perundang-undangan?
Masalah kesadaran hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut
faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui,
dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya
mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran
hukumnya lebih rendah dari pada mereka yang memahaminya, dan
seterusnya. Hal itulah yang disebut legal consciousness atau
knowledge and opiniom about law. Hal-hal yang berkaitan kesadaran
hukum akan diuraikan sebagai berikut:
1) Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan
seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu.
Apabila pertanyaan tersebut dijawab oleh masyarakat dengan
benar, kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah
mempunyai pengetahuan hukum yang benar.
2) Pemahaman hukum
Pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat belum cukup,
sehingga diperlukan pemahaman hukum yang berlaku. Pemahaman
tersebut, diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-
undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya
diatur oleh peraturan perundang-undangan.
3) Penataan hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab.
Sebab-sebab itu dapat dicontohkan sebagai berikut:
a) Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar
b) Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
c) Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
d) Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
e) Kepentingannya terjamin
4) Pengharapan terhadap hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila
ia telah mengetahui, memahami dan menaatinya. Artinya, dia
benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan
ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya
berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari
segi batiniah.
5) Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogiyanya dilakukan melalui
penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar
perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar
warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum
tertentu, misalnya peraturaan perundang-undangan tertentu
mengenai zakat, pajak, dan seterusnya. Peraturan tersebut
dijelaskan melalui penerangan dan penyuluhan hukum dengan
menjelaskan pasal-pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-
undangan, agar masyarakat merasakan manfaatnya.

3. Penelitian Perbandingan Hukum


Penelitian perbandingan hukum adalah suatu penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dengan membandingkan undang-undang suatu
negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lainnya
mengenai hal yang sama. Selain itu, dapat juga dibandingkan putusan
pengadilan di beberapa negara mengenai kasus yang sama. Kegunaan
pendekatan tersebut, untuk memperoleh kesamaan dan perbedaan di antara
undang-undang tersebut dan/atau perbedaan dan persamaan mengenai
putusan pengadilan. Dengan demikian, peneliti akan mengetahui filosofi
hukum yang terkandung di dalam setiap peraturan perundang-undangan
yang menjadi objek perbandingan dan/atau filosofi beberapa pengadilan
mengenai kasus yang serupa.
Para ahli hukum melihat bahwa penelitian perbandingan itu sebagai
suatu bidang ilmu. Namun demikian sesungguhnya hal itu mencakup juga
perbandingan hukum sebagai suatu metode. Oleh karena itu harus diakui
bahwa di kalangan para ahli hukum pada umumnya mengakui tentang
penelitian perbandingan hukum. Dalam penelitian tersebut yang
dibandingkan adalah unsur-unsur sistem sebagai titik tolak perbandingan,
yang mencakup, (1) struktur hukum yang meliputi lembaga-lembaga
hukum; (2) substansi hukum yang meliputi perangkat kaidah atau perilaku
literatur; dan (3) budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nilai yang
dianut. Ketiga unsur tersebut, dapat dibandingkan masing-masing satu
sama lainnya, atau pun secara kumulatif baik yang menyangkut kesamaan
maupun yang berkaitan dengan perbedaan.

4. Penelitian Sejarah Hukum


Penelitian sejarah hukum merupakan suatu metode dalam melakukan
penelitian terhadap suatu hukum. Sebagai metode, sejarah hukum berusaha
untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan
hukum yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah
peraturan perundang-undangan. Di samping kajian terhadap
perkembangan hukum, lazimnya juga diadakan identifikasi terhadap
faktor-faktor hukum, sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan, yang
paling penting adalah pelaksanaan aktivitas ilmiah untuk menyusun
penahapan perkembangan hukum atau perkembangan suatu peraturan
perundang-undangan.
Kalau peraturan perundang-undangan di Indonesia hendak diteliti
dengan menggunakan metode sejarah, biasanya diadakan penahapan
dahulu atau periodesasi perkembangan hukum atau perkembangan
peraturan perundang-undangan. Periodesasi itu diungkapkan sebagai
berikut:
1) Masa Besluiten Regering (sekitar tahun 1800-1855)
2) Masa Regering Reglemen (sekitar 1855-1927)
3) Masa Indische Staatsregeling (sekitar 1927-1942)
4) Masa penjajahan Jepang (sekitar 1942-1945)
5) Masa kemerdekaan Indonesia (sesudah tahun 1945).
a) Masa Republik Indonesia 1945
b) Masa Republik Indonesia Serikat
c) Masa Republik Indonesia 1950
d) Masa Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Sesudah periodesasi penahapan disusun, dilakukan identifikasi beberapa


permasalahan yang ingin diteliti. Misalnya siapa pembentuk undang-
undang dalam arti materil, untuk siapa dan di mana berlakunya undang-
undnag itu, dan seterusnya.
5. Penelitian Psikologi Hukum
Penelitian Psikologi Hukum adalah suatu penelitian yang mengamati
tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut menjadi objek kajian
sehingga mengamati tingkah laku manusia yang sesuai dengan hukum
(normal) dan tingkah laku manusia yang menyimpang dari ketentuan
hukum (tidak normal). Pengamatan tersebut, dapat berarti orang berbuat
sesuai dan tidak sesuai karena adanya keyakinan untuk berbuat.
Sejalan hal di atas, Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Leon
Petraxyci (1867-1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur
psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur utama.
Leon Petraxyci berpendapat bahwa fenomena hukum itu terdiri atas
proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat menggunakan metode
instropeksi. Oleh karena itu, bila mempersoalkan hak-hak kita serta hak-
hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua
itu bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan, melainkan
semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus berbuat
seperti itu.
Penelitian psikologi hukum bukan hanya mengamati masalah
perilaku manusia sesuai hukum dan tidak sesuai hukum, melainkan lebih
jauh mengamati hal-hal apakah yang menyebabkan orang taat dan tidak
taat terhadap hukum. Hal-hal inilah yang diidentifikasi dan kemudia
diteliti oleh peneliti. Hasil penelitian ini disebut penelitian psikologi
hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Cholid Narbuko, Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. (Jakarta: Bumi Aksara,


2016

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: IU Press, 1986

Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2014

Anda mungkin juga menyukai