STEP 1
STEP 2
STEP 7
Lambang
Keterangan Logo berupa “RANTING Logo berupa “JARI-JARI •Logo berupa “JARI-JARI
Lambang DAUN TERLETAK DALAM DAUN (3 PASANG) DAUN (YANG KEMUDIAN
TERLETAK DALAM MEMBENTUK BINTANG)
LINGKARAN”, dan
LINGKARAN, dan TERLETAK DALAM
ditmpatkan pada bagian ditempatkan pada bagian LINGKARAN, dan
atas sebelah kiri dari atas sebelah kiri dari ditmpatkan pada bagian
wadah/pembungkus/brosur. wadah/pembungkus/brosur. atas sebelah kiri dari
Logo tersebut dicetak Logo tersebut dicetak wadah/pembungkus/brosur.
dengan warna hijau diatas dengan warna hijau diatas Logo tersebut dicetak
dasar putih atau warna lain dasar putih atau warna lain dengan warna hijau diatas
yang menyolok kontras dasar putih atau warna lain
yang menyolok kontras
dengan warna logo. yang menyolok kontras
dengan warna logo dengan warna logo.
Tulisan “JAMU” harus jelas Tulisan “OBAT HERBAL
TERSTANDAR” harus jelas •Tulisan “FITOFARMAKA”
dan mudah dibaca, dicetak
dan mudah dibaca, dicetak harus jelas dan mudah
dengan warna hitam di dengan warna hitam di atas dibaca, dicetak dengan
atas dasar warna putih dasar warna putih atau warna hitam di atas dasar
atau warna lain yang warna lain yang menyolok warna putih atau warna lain
kontras dengan tulisan yang menyolok kontras
menyolok kontras dengan
“OBAT HERBAL dengan tulisan
tulisan “JAMU”. TERSTANDAR”. “FITOFARMAKA”.
Definisi Jamu adalah obat tradisional Sediaan obat bahan alam Sediaan obat yang telah
yang berisi seluruh bahan yang telah dibuktikan dibuktikan keamanan dan
tanaman yang menjadi keamanan dan khasiatnya khasiatnya, bahan bakunya
penyusun jamu tersebut. secara ilmiah dengan uji terdiri dari simplisia atau
praklinik dan bahan sediaan galenik yang telah
bakunya telah di memenuhi persyaratan
standarisasi. yang berlaku.
Kriteria •Aman sesuai dengan •Aman dibuktikan sesuai Aman sesuai dengna
persyaratan yang ditetapkan dengan persyaratan yang persyaratan yang
telah ditetapkan
ditetapkan
•Klaim khasiat dibuktikan
berdasarakan data empiris •Klaim khasiat dibuktikan Klaim khasiat harus
secara ilmiah/pra klinik dibuktikan berdasarkan
•Memenuhi persyaratan yang
uji klinik
telah berlaku. •Telah dilakukan
standarisasi terhadap Telah dilakukan
bahan baku yang standarisasi terhadap
digunakan dalam produk bahan baku yang
digunakan dalam produk
jadi Memenuhi
persyaratan yang telah
berlaku
Peralatan Peralatan sederhana dibutuhkan peralatan yang Diperlukan peralatan
tidak sederhana dan lebih berteknologi modern,
mahal dari jamu tenaga ahli, dan biaya yang
tidak sedikit.
Pembuatan mengacu pada resep Ditunjang oleh pembuktian telah terstandar dgn uji
peninggalan leluhur ilmiah berupa penelitian klinis pada manusia.
praklinis. Penelitian ini
tidak memerlukan pembuktian
meliputi standarisasi
ilmiah secara uji klinis, tetapi
kandungan senyawa
cukup dengan bukti empiris
berkhasiat dalam bahan
penyusun, standarisasi
pembuatan ekstrak yang
higienis, serta uji
toksisitas akut maupun
kronis.
Contoh 1.JAMU GEMPUR BATU 1.Diapet ® SOHO, OHT •Nodiar (POM FF 031 500
(AIR MANCUR) diare (mencret) 361) (PT. Kimia Farma)
- Sonchi fol (daun
tempuyung). 2.Fitolac ® Kimia Farma, Komposisi :
OHT laktagoga (pelancar
- Strobilanthi fol (daun Attapulgite 300 mg
ASI)
kejibeling).
- Orthosiphonis fol (daun 3.Fitogaster ® Kimia Farma, Psidii Folium ekstrak 50 mg
kumis kucing). OHT karminatif (peluruh
kentut) Curcumae domesticae
- Phyllanthi herba (herba
Rhizoma ekstrak 7,5 mg
meniran).
4.Glucogard ® Phapros,
- Imperata rad (akar OHT diabetes (kencing Sebagai anti diare
alang-alang).
manis)
•Rheumaneer (POM FF
- Pinnatae rad (akar aren).
5.Irex Max ® Bintang 032 300 351) (PT. Nyonya
2. JAMU SIRNA KARANG
Toedjoe, OHT lemah Meneer)
(CAP JAGO)
syahwat (impoten -
- Strobilanthus crispus Komposisi:
aphrodisiaka)
(kejibeling)
Curcumae domesticae
- Ortosiphon stamineus 6.Kiranti Pegal Linu ®
Rhizoma 95 mg
(kumis kusing) Orang Tua, OHT pegal linu
Komposisi:
Komposisi:
Eurycomae Radix 50 mg
www.ptphapros.co.id
Pengertian Obat Tradisional berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 1992 adalah bahan atau ramuan bahan berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik, atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Definisi
Obat tradisional Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, No: HK.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksanan Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Tersntandar dan Fitofarmaka
Syarat
Logo berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditmpatkan pada bagian atas sebelah
kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Logo tersebut dicetak dengan warna hijau diatas dasar putih atau warna lain
yang menyolok kontras dengan warna logo
Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna
lain yang menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan Fitofarmaka
Kriteria
Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
Klaim khasiat dibuktikan berdasarakan data empiris
Memenuhi persyaratan yang telah berlaku.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan Fitofarmaka
Merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, hewan,
maupun mineral. Dalam proses pembuatannya, dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal dari
jamu. Obat herbal terstandar umumnya ditunjang oleh pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis. Penelitian ini
meliputi standarisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang
higienis, serta uji toksisitas akut maupun kronis.
Definisi
Sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan
bahan bakunya telah di standarisasi.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, No: HK.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan
Tata Laksanan Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Tersntandar dan Fitofarmaka
Syarat
Logo berupa “JARI-JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN, dan ditempatkan pada
bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Logo tersebut dicetak dengan warna hijau diatas
dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo.
Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas
dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan Fitofarmaka
Kriteria
Aman dibuktikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan
Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik
Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan Fitofarmaka
Contoh :
Merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya telah terstandar
ditunjang oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Karena itu, dalam pembuatannya diperlukan peralatan
berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit.
Secara ringkas kesimpulan dari penjelasan di atas beserta logonya (logo biasanya terletak di pembungkus, wadah,
etiket, atau brosur Obat Tradisional tersebut) masing-masing tabel di bawah ini adalah sebagai berikut :
Definisi
Sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No: 760/Menkes/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka
Syarat
Logo berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM
LINGKARAN, dan ditmpatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Logo tersebut
dicetak dengan warna hijau diatas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo.
Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna
putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka
Ramuan
Standar Bahan Baku
Zat Kimia berkhasiat
Penggunaan zat kimia berkhasiat ( tunggal murni) dalam fitofarma dilarang
Bentuk Sediaan
Standar Fitofarmaka
Setiap fitofarmaka harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman, komponen aktif dan
keamanannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. PAda analisis terhadap ramuan, sebagai baku
pembanding digunakan zat utama atau zat identitas lainnya. Secara bertahap industry harus mempertajam
perhatian terhadap galur fitokimia simplisia yang digunakan.
Khasiat
Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medic, seperti diuretic, spasmolitik, analgetik, antipiretik.
Dukungan Penelitian
Didukung oleh hasil pengujian, dengna protocol pengujian yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pengujian meliputi toksisitas, uji efek farmakologik, uji klinik,uji kualitas dan pengujian lain yang
dipersyaratkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No: 760/Menkes/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka
Kriteria
Aman sesuai dengna persyaratan yang ditetapkan
Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
Memenuhi persyaratan yang telah berlaku
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan Fitofarmaka
Uji klinik
Adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas,
keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit atau pengobatan segala penyakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No: 760/Menkes/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka
Syarat ujinya
Uji pra klinik
Uji klinis
Uji klinis fase 1 : untuk melihat keamanan dan tolerasnsi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang
sehat.
Uji klinis fase 2 : terhadap sejumlah pasien di RS untuk menggunakan keputusan arah penggunaan dan
dosis serta uji khasiat dan keamanan terhadap pasien.
Uji klinis fase 3 : terhadap pasien dalam jumlah besar.
Uji klinis fase 4 : melihat efek setelah di pasarkan
Kriteria
Harus di buat dalam bentuk ekstrak atau fraksi yang terstandar
Jaminan (quality) kualitas, dimana bahan simplisia dan produk akhir harus memenuhi persyaratan tentang
keajegan dari kandungan aktif
Jaminan safety (keamanan), dimana produk akhir harus aman atay tidak toksik pada hewan coba yang
dipersyaratkan.
Contoh
Contoh-contoh Fitofarmaka:
Nodiar (POM FF 031 500 361)
(PT. Kimia Farma)
Komposisi :
Attapulgite 300 mg
Psidii Folium ekstrak 50 mg
Curcumae domesticae Rhizoma ekstrak 7,5 mg
Sebagai anti diare
Tensigrad Agromed ( POM FF 031 300 031, POM FF 031 300 041)
(PT. Phapros)
Komposisi:
Apii Herba ekstrak 95 mg
Sebagai anti hipertensi
Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan Obat Tradisional yang aman :
1. Jangan mengkonsumsi jamu yang tidak terdaftar pada Depkes RI/tidak mencantumkan nomor TR dan nama
pabriknya;
2. Jangan terpengaruh hanya karena bungkus/label yang menarik pada jamu;
3. Jangan mengkonsumsi jamu dengan khasiat dapat menyembuhkan segala macam penyakit
4. Jangan membeli obat jamu dengan bungkus yang sudah rusak atau penandanya yang tidak jelas
5. Jangan membeli jamu yang sudah kedaluwarso
6. Jangan mengkonsumsi jamu dengan penambah obat modern/bahan kimia obat
Penandaan (Label/Etiket)
Memuat sekurang-kurangnya :
1. Nama obat tradisional
2. Ukuran kemasan (berat/isi bersih)
3. Nomor Pendaftaran --> Depkes RI TR/POM RI TR 9 digit
4. Nama dan alamat industri (sekurang-kurangnya nama kota diikuti kata INDONESIA)
5. Komposisi (nama latin bahan baku)
6. Khasiat (kegunaan)
7. Cara penggunaan
8. Peringatan / kontra indikasi (bila ada)
9. Kode produksi
10. Tanggal kadaluwarsa
Tingkat pembuktian?????
Didalam CPOBT ada standar khusus untuk pembuatan obat. Ada tingkat pembuktiannya.
a. Umum
b. Medium menggunakan sampel manusia.
Umumnya, pengujian
bahan-bahan pengobatan
tradisional belum sampai
tahap uji klinis
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik
harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut
hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. Tahapan pengembangan obat
tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut.
1. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti
dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan
adalah:
a. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya
(berdasarkan pola penyakit)
b. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
c. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Sembilan spesies tanaman yang dipilih sebagai tanaman unggulan untuk diteliti lebih lanjut, termasuk uji
klinik, adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), kunyit
(Curcuma domestica Val.), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), sambiloto (Andrographis paniculata
Nees.), jahe (Zingiber officinale Rosc.), mengkudu (Morinda citrifolia L.), salam (Eugenia polyantha Wight.),
dan jambu biji (Psidium guajava L.).
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di kalangan
masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan buah merah
(Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi
fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas
dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan
rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang
dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk
sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji
farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji
toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji
teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan
LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum
efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan
diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji
toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat
diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui
efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas
ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4).
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap
uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
a. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti kanker,
cacat bawaan.
b. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker.
d. Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri
mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in
vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji
dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan
in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang
sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda
efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh
dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung
minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula
prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi
dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut
berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia
yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan
etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30%
didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik
4. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan khasiat dan
keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan
alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji
klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat
tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat
tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-
consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat
menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas
obat tradisional
Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas,tanpa pembanding
Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, denganpembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang
lambat timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping
yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding.
Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II)
guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris tidak
didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara
tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus
sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung
meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional
antara lain karena:
a. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
b. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji
preklinik
c. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
d. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu
kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
e. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam yang digolongkan
sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.
Obat herbal yang diproduksi dan dijual ke masyarakat umum harus memenuhi aturan yang ditetapkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), antara lain mengenai persyaratan obat tradisional, aturan kemasan, serta
pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
– Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari.
Aturan Kemasan
Kemasan obat tradisional memiliki aturan-aturan yang jelas dari BPOM. Desain kemasan obat yang tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan ini akan ditolak oleh BPOM, menjadikan produk tersebut tidak memiliki nomor registrasi dan
menjadi ilegal bila diedarkan.
1. Merek.
2. Ilustrasi.
3. Khasiat.
4. Nomor regristrasi.
5. Logo Obat Tradisional/Jamu dibagian kiri atas. Penggunaan warna logo juga tidak bisa diubah, standar warna
yang digunakan adalah warna hijau tua.
6. Nama produsen.
7. Komposisi produk.
9. Netto/Isi.
10. Khasiat produk pada kemasan obat tradisional harus sama dengan sertifikat yang diberikan oleh BPOM. Khasiat
tidak boleh dilebih-lebihkan.
11. Cantumkan cara penyimpanan agar kandungan produk tidak mudah kadaluarsa.
12. Dosis
13. Nomor produksi dan tanggal kadaluarsa, sehingga mudah mengecek tanggal produksi, ataupun hal lain seperti
pengajuan komplain dari konsumen atas ketidakpuasan isi produk.
1. Bangunan
Memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi
Tahan terhadap pengaruh cuaca, serta dapat mencegah masuknya rembesan dan masuk dan bersarangnya serangga,
binatang pengerat, burung dan binatang lainnya.
Memudahkan dalam pelaksanaan kerja, pembersihan dan pemeliharaan.
Memiliki ruangan atau tempat administrasi, ruangan atau tempat penyimpanan simplisia yang baru diterima dari
pemasok, tempat sortasi, tempat pencucian, ruang tempat pengeringan, tempat penyimpanan simplisia termasuk bahan
baku lainnya yang telah diluluskan, tempat penimbangan, ruang pengolahan, tempat penyimpanan produk setengah
jadi, ruang pengemasan, ruang penyimpan bahan pengemas, ruang penyimpanan produk jadi termasuk karantina
produk jadi, laboratorium atau tempat penguji mutu, toilet, ruang serba guna.
Yang perlu diperhatikan antara lain:
– Ruangan pengolahan tidak boleh digunakan untuk lalu lintas umum dan tempat penyimpanan bahan yang tidak
termasuk dalam proses pengolahan.
– Ruang pengolahan produk tidak digunakan untuk kegiatan lain.
– Mempunyai sarana pembuangan dan atau pengolahan limbah yang memadai dan berfungsi dengan baik.
– Ventilasi udara serta pipa-pipa saluran dipasang sedemikian rupa untuk mencegah timbulnya pencemaran
terhadap produk.
– Bebas dari retakan dan sambungan terbuka serta mudah dibersihkan dan disanitasi.
– Ruangan atau tempat penyimpanan hendaklah cukup luas, terang dan memungkinkan penyimpanan bahan dan
produk jadi dalam keadaan kering, bersih dan teratur, dan lain-lain.
2. Peralatan
Ketentuan untuk peralatan antara lain
Peralatan yang digunakan tidak menimbulkan serpihan atau akibat yang merugikan produk.
Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, menguji, dan mencatat hendaklah diperiksa ketelitiannya
secara teratur serta ditera menurut suatu program dan prosedur yang tepat.
Penyaring yang menggunakan asbes tidak boleh digunakan.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk tujuan khusus, seperti bahan pelumas, bahan penyerap kelembaban, air kondensor
dan sejenisnya tidak boleh bersentuhan langsung dengan bahan yang diolah.
Peralatan pengolahan obat herbal berbentuk kapsul, antara lain:
– Alat ekstraksi bahan sampai mendapat ekstrak/serbuk yang memenuhi syarat yang ditetapkan.
– Alat atau mesin pencampur yang dapat menghasilkan campuran yang homogen.
– Alat atau mesin granulasi bahan untuk sediaan kapsul, bila diperlukan.
– Alat atau mesin pengisi kapsul yang dapat mengisikan campuran bahan ke dalam kapsul dengan bobot seragam.
Karyawan
Beberapa aturan bagi karyawan antara lain:
Hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan baik sebelum diterima menjadi karyawan maupun selama menjadi
karyawan yang dilakukan secara berkala.
Karyawan yang mengidap penyakit atau menderita luka terbuka yang dapat menurunkan kualitas produk dilarang
menangani bahan baku, bahan yang sedang dalam proses, bahan pengemas dan produk jadi sampai sembuh kembali.
Karyawan hendaklah mencuci tangan dengan sabun atau detergent lain sebelum memasuki ruang pembuatan. Untuk
tujuan itu perlu dipasang tanda peringatan.
Karyawan hendaklah melaporkan kepada atasan langsung setiap keadaan pabrik, peralatan atau personalia yang
menuntut penilaian mereka dapat menurunkan kualitas produk.
Karyawan hendaklah menggunakan seragam kerja, penutup rambur, masker, sarung tangan, dan lain sebagainya yang
bersih sesuai dengan tugas yang dilaksanakan. Untuk tujuan itu disediakan tempat khusus untuk ganti pakaian.
Dilarang merokok, makan dan minum serta perbuatan lain yang dapat mencemari mutu produk didalam ruangan
pembuatan dan ruang penyimpanan. Untuk tujuan ini perlu dipasang peringatan.
1.Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala prioritas sebagai berikut:
Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
Jenis obat alami yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar pengalaman pemakaian empiris
sebelumnya
·Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-penyakit yang belum
ada atau masih belum jelas pengobatannya.
• Menghasilkan efek terapetik yang konsisten, reproducible & derajat keamanannya tinggi (dosis terkontrol).
• Semakin banyak obat tradisional dengan efikasi klinis yang dapat diuji pra klinik maupun klinik.
1. Uji toksisitas
Uji toksisitas akut adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat
ditoleransi hewan uji (menggunakan 2 spesies hewan uji). pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui
2 rute pemberian (misalnya oral dan intravena). hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi (dikonversi) pada
manusia. (LD50 adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan 50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati oleh
Uji toksisitas sub akut adalah pengujian untuk menentukan organ sasaran tempat kerja dari obat tersebut,
pengujian selama 1-3 bulan, menggunakan 2 spesies hewan uji, menggunakan 3 dosis yang berbeda. toksisitas
sub-akut sebagai adanya perubahan berat badan serta perubahan lainnya dari hewan percobaan.
- Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan uji toksisitas sub akut, tapi pengujian ini dilakukan selama 6
bulan pada hewan rodent (pengerat) dan non-rodent (bukan hewan pengerat). uji ini dilakukan apabila obat itu
nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas penqaruh farmakologik pada berbagai system biologik. Bila
diperlukan , penelitian dikerjakan pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo.
Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan dipandang belum bias atau belum mungkin
untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik , maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat
untuk lebih lanjut. Tahap pengujian farmakodinamik akan lebih banyak tergantung pada sarana dan prasarana yang ada,
3. Uji klinik
Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi
tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala
penyakit.
- Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan penyakit
- Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan manfaatnya.
Ilmu pengetahuan biomedik adalah ilmu yang meliputi anatomi, biokimia, histologi, biologi sel dan
molekuler, fisiologi, mikrobiologi, imunologi yang dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik.
Pasal 4
1) Ruang lingkup pengobatan komplementer-alternatif yang berlandasakan ilmu pengetahuan
biomedik meliputi:
a. Intervensi Tubuh dan Pikiran (Mind and body interventions): hipnoterapi, mediasi, penyembuhan
spiritual, do’a dan yoga;
b. Sistem Pelayanan Pengobatan Alternatif (Alternative Systems of Medical Practice): akupuntur,
akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda;
c. Cara penyembuhan manual (Manual Healing Methods): chiropractice, healing touch, tuina,
shiatsu, osteopati, pijat urut;
d. Pengobatan farmakologi dan Biologi (Pharmacologic and Biologic Treatments): jamu, herbal,
gurah;
e. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan (Diet and Nutrition the Prevention and
Treatment of Disease): diet makro nutrient, mikro nutrient; dan
f. Cara Lain Dalam Diagnosa dan Pengobatan (Unclassified Diagnostic and Treatment Methods):
terapi ozon, hiperbarik, EECP (Enhanced External Counter Pulsation).
Permenkes RI No. 1109/Menkes/Per/IX/2007 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-
Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.