Anda di halaman 1dari 19

CEREBROVASCULAR ACCIDENT:

INTRAVENTRICULAR HEMORRHAGE (CVA-IVH)

1. DEFINISI
Perdarahan intraventrikel atau yang biasa disebut dengan IVH adalah perdarahan
yang terdapat pada sistem ventrikel otak, dimana cairan serebrospinal di produksi dan
disirkulasikan ke ruang subarachnoid. Perdarahan ini dapat disebabkan karena adanya
trauma ataupun juga perdarahan pada stroke.
Disebutkan pula bahwa Primary Intraventricular Hemorrhage merupakan
perdarahan intraserebral nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel. Sedangkan
perdarahan sekunder intraventrikuler muncul akibat pecahnya pembuluh darah
intraserebral dalam dan jauh dari daerah periventrikular, yang meluas ke
sistem ventrikel. IVH sekunder mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan
intraparenkim atau subarachnoid yang masuk ke system intraventrikel. Kontusio dan
perdarahan subarachnoid (SAH) berhubungan erat dengan IVH. Perdarahan dapat
berasal dari middle communicating artery atau dari posterior communicating artery.
Sepertiga pasien IVH tidak bertahan pada perawatan di rumah sakit (39%). Angka
kejadian IVH di antara seluruh pasien dengan perdarahan intrakranial adalah 3,1%
dengan prognosis yang dilaporkan lebih baik dari prognosis pasien perdarahan
intraventrikel sekunder. IVH menginduksi morbiditas, termasuk perkembangan
hidrosefalus dan menurunnya kesadaran. Dilaporkan terdapat banyak faktor yang
berhubungan dengan IVH, namun hipertensi merupakan faktor yang paling sering
ditemukan. Sering kali kejadian IVH bersamaan dengan munculnya CVA hemoragik lain,
yang tersering adalah ICH (intra cranial Hematoma), sehingga kejadian CVA ICH ini juga
menimbulkan kesan gejala yang sama dengan CVA yang terjadi setelah atau
bersamaan.
Selain itu kejadian IVH lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan orang
dewasa. Pada bayi IVH banyak terjadi pada bayi yang prematur atau BBLR, ha ini
dikarenakan belum matangnya pembentukan pembuluh darah, terutama di otak.
Ketidakmatangan inilah yang akan mengakibatkan adanya ruptur pembuuh darah pada
sistem ventrikel. Sedangkan pada orang dewasa IVH banyak terjadi karena perdarahan
dari sistem atau tempat disekitar ventrikel otak.
2. ETIOLOGI
Etiologi PIVH bervariasi dan pada beberapa pasien tidak diketahui. Tetapi
menurut penelitian didapatkan :
a. Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan hipertensi
pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan
sistem ventrikuler.
b. Kebiasaan merokok dan Alkoholisme
Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke perdarahan pada
pasien merokok dan konsumsi alkohol. Kandungan (zat) yang terkandung dalam
rokok, terutama nikotin dapat menyebabkan penurunan elastisitas dinding vaskuler.
Konsumsi alkohol dengan jumlah banyak maupun sedikit namun dalam jangka
waktu yang lama akan berefek pada sistem kardiovasluler, gangguan yang mungkin
muncul pada sistem jantung diantaranya adalah berhubungan dengan fungsi
fisiologis jantung, yang tersering diantaranya adalah fungsi sebagai “pompa” darah,
sedangkan pada sistem vaskuler, konsumsi alkohol dapat mengganggu lipid profile
yang kedepannya akan mengakibatkan gangguan pada lemak di vaskuler yang
nantinya dapat menyebabkan penyempitan vaskuler.
c. Etiologi lain yang mendasari PIVH di antaranya adalah anomali pembuluh dara
hserebral, malformasi pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan
aneurisma serebri merupakan penyebab tersering PIVH pada usia muda. Pada
orang dewasa, PIVH disebabkan karena penyebaran perdarahan akibat
hipertensiprimer dari struktur periventrikel.

3. FAKTOR RESIKO
a. Usia tua
b. Kebiasaan merokok
c. Alkoholisme
d. Tekanan darah lebih dari 120 mmHg.
e. Lokasi dari Intracerebral hemoragik primer.
f. Perdarahan yang dalam, pada struktur subkortikal lebih beresiko menjadi
intraventrikular hemoragik, lokasi yang sering terjadi yaitu putamen (35-50%),
lobus(30%), thalamus (10-15%), pons (5%-12%), caudatus (7%) dan serebelum
(5%). Adanya perdarahan intraventrikular meningkatkan resiko kematian yang
berbanding lurus dengan banyaknya volume IVH.
4. PATOFISIOLOGI

Hipertensi
abnormalitas formasi vaskuler otak

Tek. Vaskuler melebihi tek. Menyebabkan vaskuler mudah ruptur


Maksimal vaskuler otak karena formasi vaskuler sendiri

Perdarahan yang terjadi menyebabkan


penekanan pada area otak (desak ruang)

Penekanan Penekanan pada area


pada area Peningkatan TIK tertentu pada otak
sensitif nyeri dapat menybabkan
gangguan fisiologis otak
Apabila dibiarkan akan terjadi seperti :gangguan
Nyeri kepala edema otak bicara (area broca),
gangguan gerak, dll

Gangguan kesadaran (penurunan)

5. GEJALA
Pada dasarnya gejala dari IVH sama dengan gejala pada perdarahan intraserebral
lainnya, seperti sakit kepala mendadak, mual dan muntah, perubahan/penurunan
status mental atau level kesadaran.
a. Sakit kepala mendadak
b. Kaku kuduk
c. Muntah
d. Letargi.
e. Penurunan Kesadaran.
f. Gangguan atau penurunan fisiologis pada bagian tubuh tertentu misal pada anggota
gerak.
6. PROGNOSA
Prognosa IVH akan sangat buruk apabila merupakan hasil dari perdarahan intraserebral
yang disebabkan katena hipertensi, dan prognosa akan bertambah buruk apabila
hydrocephalus mengikuti. Hal ini dapat menyababkan peningkatan TIK dan dapat
menyebabkan hernia otak. Darah yang berapa pada ventrikrl otak dapat menggumpal
dan akan menyumbat aliran dari CSF sehingga dapat terjadi hydrochepalus yang dapat
dengan cepat meningkatkan TIK dan dapat menyebabkan kematian. Kemudian, produk-
produk pemecahan bekuan darah dapat merangsang pelepasan agen-agen inflamsi
yang dapat merusak granulasi dari arachnoid, menghalangi reabsorbsi CSF dan dapat
menyebabkan hydrochepalus permanen.

7. KOMPLIKASI
a. Hidrosefalus (Octaviani, 2011)
Hal ini merupakan komplikasi yang sering dan kemungkinan disebabkan karena
obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau berkurangnya absorpsi meningeal.
Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan berhubungan dengan
keluaran yang buruk.
b. Perdarahan ulang (rebleeding) (Octaviani, 2011)
Dapat terjadi setelah serangan hipertensi.
c. Vasospasme. (Octaviani, 2011)
Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular hemorrhage
(IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri, yaitu: 1). Disfungsi arteriovena
hipotalamik berperan dalam perkembangan vasospasme intrakranial. 2).
Penumpukkan atau jeratan dari bahan spasmogenik akibat gangguan dari sirkulasi
cairan serebrospinal

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis klinis dari PIVH sangat sulit dan jarang dicurigai sebelum CT scan meskipun
gejala klinis menunjukkan diagnosis mengarah ke IVH, namun CT Scan kepala diperlukan
untuk konfirmasi. CT sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut dan
dipertimbangkan sebagai baku emas. Rekomendasi AHA Guideline 2010 untuk pencitraan
pada kasus stroke adalah:
a. Computed Tomography-Scanning (CT- scan).
CT Scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS (perdarahan intra
serebral/ICH) dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat
diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan
mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami
peningkatan volume perdarahan.
b. Magnetic resonance imaging (MRI).
MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama
setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi
hemoglobinoksihemoglobin-deoksihemogtobin-methemoglobin-ferritin dan
hemosiderin.
c. CT angiografi, CT venografi, contrast-enhanced CT, contrast-enhanced MRI,
magnetic resonance angiography, and magnetic resonance venography dapat
digunakan untuk mengevaluasi lesi struktural yang mendasari, termasuk malformasi
pembuluh darah dan tumor jika terdapat kecurigaan klinis atau radiologis.

9. PEMERIKSAAN SYARAF KRANIAL


a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan
pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan
seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
 Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan.
Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan
snellenchart untuk jarak jauh.
 Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta
untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan
mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari
arah luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat benda
tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur
berapa derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan
opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
 Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan
ptosis kelopak mata
 Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
 Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal)
yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien
mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
 Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan
ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
 Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di
ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.
 Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga
area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana yang merasakan
sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
 Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang
digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien
mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
 Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke
depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat
refleks menutup mata.
 Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa
otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien
melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.
e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
 Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke
ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam
 Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua
al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri.
Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata
kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk
menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
 cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan
weber test dan rhinne test
 Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak,
kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh,
minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat
mempertahankan posisi
g. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
 Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula
terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
 Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
 Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menelan air sedikit,
observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara
saat klien berbicara.
h. Fungsi saraf kranial XI (N. Asesoris)
 Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu
secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
 Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke
kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri
bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi
 Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan
kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa
sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
 Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk
menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan
kekuatan daya dorong
i. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
 Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi
kesimetrisan gerakan lidah
 Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan
ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi
dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain
10. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls
berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan
bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
a. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
b. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai
persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan
berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan
pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
 Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut
kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada
tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan
otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi
extremitas klien.
 Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan
terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.
 Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
c. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan
tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan
diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai
0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
11. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara
pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh
sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang
lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena
pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap
beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis
stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai
perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa
dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang
keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan
sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai
untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti:
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.
12. PEMERIKSAAN FUNGSI REFLEKS
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu:
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah:
a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300.
Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan
refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari
lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah
ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon
m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian
dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi
pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok dengan
refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-
otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang
diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan
plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores
seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.
Reflek Patologis
a. Babinski
Stimulus: penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior
Respons: ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari – jari kaki
b. Chaddock
Stimulus: penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis
dari posterior ke anterior
Respons : seperti babinski
c. Oppenheim
Stimulus: pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal
Respons : seperti babinski.
d. Gordon
Stimulus: penekanan betis secara keras
Respons : seperti babinski
e. Schaeffer
Stimulus: memencet tendon achilles secara keras
Respons : seperti babinski
f. Gonda
Stimulus: penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat. Respons : seperti
babinski.
g. Hoffman
Stimulus: goresan pada kuku jari tengah pasien.
Respons : ibu jari, telunjuk dan jari – jari lainnya berefleksi.
h. Tromner
Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien.
Respons : seperti Hoffman.
Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput
otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan:
a. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
b. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan
tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak
terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara
pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.
c. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara
pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
d. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan
tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai
bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan
rasa sakit terhadap hambatan.

13. TATALAKSANA
a. CT Scan kepala sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut dan
dipertimbangkan sebagai gold standard.
b. Terapi konvensional PIVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan peningkatan
tekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan mencegah
komplikasi seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :
a. Resusitasi cairan intravena
b. Elevasi kepala pada posisi 300
c. Mengoreksi demam dengan antipiretik.
d. Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
sangatberalasan, karena peningkatan tekanan intrakranial yang berat
berhubungandengan herniasi dan iskemi. Rasio mortalitas yang lebih rendah
konsisten ditemukan pada kebijakan terapi dengan: 1) Penggunaan keteter
intraventrikuler untuk mempertahankan TIK dalam batas normal dan 2) Usaha untuk
menghilangkan bekuan darah dengan menyuntikkan trombolitik dosis rendah.
Rekomendasi AHA Guideline 2009:
a. Pasien dengan nilai GCS <8, dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial, atau
dengan IVH yang nyata atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk monitor dan
tatalaksana TIK. Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg beralasan
untuk dipertahankan tergantung dari autoregulasi serebri.
b. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan pada
pasiendengan penurunan tingkat kesadaran.
c. Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah
saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP)
Shuntmerupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana
hidrosefalus,yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.Menurut
Butler et gambaran klinis pada PIVH dapat berbeda tergantung dari jumlah
perdarahan dan daerah kerusakan otak di sekitarnya.Pada CT Scan kepala pasien
tampak bahwa darah sebagian besar mengisi ventrikelsebelah kiri, hal ini yang
menjelaskan terdapatnya hemiparesis dekstra pada pasienini. Kerusakan pada
reticular activating system (RAS) dan talamus selama fase akutdari perluasan
perdarahan dapat menyebabkan menurunnya derajat kesadaran.
Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah merupakan tahap awal dari proses perawatan yaitu suatu pendekatan
yang sistematis dimana sumber data, diperoleh dari klien, keluarga klien.
1. Anamnesia/Identitas.
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, bangsa/suku, pendidikan,
bahasa yang digunakan dan alamat rumah.
2. Keluhan Utama.
Biasanya pada klien mengeluh sakit kepala, kadang-kadang nyeri, awalnya bisa pada
waktu melakukan kegiatan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Klien biasanya datang dengan keluhan pusing yang sangat, parase pada extrimitis,
yang didapat sesudah bangun tidur baik sinistra atau dextra, gangguan fokal,
menurunnya sensasi sensori dan tonus otot biasanya tanpa disertai kejang,
menurunnya kesadaran seperti CVA Bleeding.
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pada klien dengan CVA didapat hipertensi, aktivitas dan olahraga yang tidak adekuat,
kadang klien juga cidera kepala di masa mudah dan punya riwayat DM.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Dari pihak keluarga resesif mempunyai riwayat DM dan hipertensi atau punya anggota
keluarga yang punya atau pernah mengalami CVA Bleeding maupun infark
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan.
Resiko tinggi terjadi CVA berada pada lingkungan yang kurang sehat seperti gizi yang
jelek, aktivitas yang kurang adekuat dan pola hidup yang kurang sehat
7. Riwayat Psikososial.
Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologi klien dengan timbul gejala-
gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penerimaan terhadap
penyakitnya.
8. Pola Sehari-hari :
1. Pola Nutrisi dan Metablisme
Biasanya pada klien dengan CVA makanan yang disukai atau tidak disukai oleh
klien, mual – muntah, penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi status
nutrisi
2. Pola Eliminasi.
Kebiasaan dalam BAB didapatkan, sedangkan kebiasaan BAK akan terjadi
retensi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.
3. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dengan CVA tidak bisa melakukan aktivitas, badan terasa lemas,
muntah dan terpasang infus.
4. Pola tidur dan istirahat.
Biasanya klien sebelum tidur, lama tidur siang dan malam karena nyeri kepala
yang hebat maka kebiasaan tidur akan terganggu.
5. Pola persepsi dan konsep diri.
Didalam perubahan konsep diri itu bisa berubah bila kecemasan dan kelemahan
tidak mampu dalam mengambil sikap.
6. Pola sensori dan kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.
7. Pola reproduksi sexual
Pada pria reproduksi dan seksual pada klien yang telah/sudah menikah akan
terjadi perubahan
8. Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan peran dan peran
serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
9. Pola penanggulangan stress
Stress timbul apabila seorang klien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
11. Pola tata dan kepercayaan.
Timbulnya distress dalam spiritual pada klien, maka klien akan menjadi cemas dan
takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
# Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan umum
Biasanya klien CVA mengalami badan lemah, nyeri kepala, penurunan kesadaran,
tensi meningkat, suhu, nadi, pernafasan.
2. Kepala dan leher
Keadaan rambut, kepala simetris atau tidak, ada tidaknya benjolan kepala, panas atau
tidak, maka simetris atau tidak, keadaan sclera, puppi reflek terhadap cahaya, hidung
simetris atau ada tidaknya polrip, epistaksis mulut, leher simetris serta ada
pembesaran kelenjar tiroid
3. Thorax dan abdomen
Biasanya klien CVA tidak terdapat kelainan, bentuk dada simetris.
4. Sistem respirasi
Apa ada pernafasan abnormal, tidak ada suara tambahan dan tidak terdapat
pernafasan cuping hidung
5. Sistem kardio vaskuler
Pada umumnya klien dengan CVA ditemukan tekanan darah normal/meningkat akan
tetapi bisa didapatkan Tachicardi atau Bradicardi
6. Sistem integument
Pada umumnya klien CVA turgor kulit menurun, kulit bersih, wajah pucat, berkeringat
banyak
7. Sistem eliminasi
Pada sistem eliminasi urine dan alvi biasanya tidak ditemukan kelainan
8. Sistem muskulos keletal
Apakah ada gangguan pada extriminitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan
9. Sistem endoksin
Apakah didalam penderita CVA ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil
10. Sistem persyarafan
Apakah kesadaran itu penuh atau apatis, somnolen dan koma dalam klien CVA

Diagnosa yang Mungkin Muncul


1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial
2. Defisit Perawatan diri b.d berkurangnya kemampuan ADL klien
3. Gangguan Mobilitas Fisik b.d gangguan neuromuskular
Rencana Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b/d interupsi aliran darah, vasospasme
serebral
Kriteria hasil:
- Mempertahankan/meningkatnya tingkat kesadaran fungsi kognitif dan motorik/sensori.
- Mendemontrasikan tanda-tanda vital stabil.
- Mual, muntah dan sakit kepala berkurang
Intervensi keperawatan
1) Ubah Posisi klien secara bertahap
R/ klien dengan penurunan kesadaran memiliki resido untuk mengalami luka
dekubitus. Perubahan posisi secara perkala setiap 2 jam akan dapat meminimalkan
tekanan pada sisi tertentu.
2) Atur posisi klien bed rest
R/ bed rest berujuan untuk mengurangi kerja fisik, beban kerja jantung:
meminimalkan hipertensi
3) Jaga suasana tenang
R/ suasana tenang akan dapat memberikan kenyanyamanan pada klien dan
mencegah ketegangan
4) Kurangi cahaya lingkungan
R/ cahaya merupakan suatu rangsangan yang beresiko terhadap peningkatan TIK
5) Tinggikan kepala
R/ membantu drainase vena untuk mengurangi kongesti serebrovaskuler
6) Angkat kepala dengan hati-hati
R/ tindakan yang kasar dan kurang berhati-hati akan dapat meningkatkan TIK
7) Awasi kecepatan tetesan cairan IV
R/ mencegah adanya pemasukan cairan berlebih yang dapat menyebabkan atau
memperburuk edema serebri
8) Berikan makanan menggunakan sonde sesuai jadwal
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien
9) Pasang pengaman tempat tidur
R/ mencegah klien untuk jatuh dari tempat tidur akibat tidak sadar
10) Hindari prosedur non-esensial yang berulang
R/ meminimalkan peningkatan TIK
11) Pantau tanda gejala peningkatan TIK dengan GCS
R/ fungsi kortikal dapat dikaji dengan mengevaluasi pembukaan mata dan respon
motorik. Tidak ada repon menunjukkan kerusakan mesenfalon.
12) Kaji perubahan TTV
R/ perubahan TTV menandakan adanya peningkatan TIK. Perubahan Nadi
menunjukkan tekanan batang otak, pada awalnya akan melambat kemudian akan
meningkat untuk mengkompensasi hipoksia
13) Catat adanya muntah, sakit kepala (konstan, letargi), gelisah, pernafasan yang
kuat, gerakan yang tidak bertujuan, dan perubahan fungsi
R/ muntah akibat dari tekanan pada medula. Perubahan yang jelas (letargi, gelisah,
pernafasan kuat, gerakan yang tidak bertujuan, dan perubahan fungsi mental)
merupakan akibat dari kompresi pergerakan syaraf, peningkatan TIK, dan
peningkatan nyeri.
2. Defisit Perawatan diri b.d berkurangnya kemampuan ADL klien
Kriteria hasil:
- Klien tampak bersih dan rapi
- Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
- Mengidentifikasi sumber pribadi.
Intervensi Keperawatan
(1) Lakukan bantuan untuk oral hygene, mandi, dan pemenuhan ADL lainnya
R/ klien dalam kedaan penurunan kesadaran tidak dapat melakukan pemenuhan
ADLnya secara mandiri
(2) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari.
R/ membantu dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan secara individual.
(3) Pertahankan dukungan sikap, yang tegas, beri pasien waktu ya cukup untuk
mengerjakan tugasnya.
R/ Pasien akan memerlukan empati tetap perlu untuk mengetahui pemberi asuhan
yang akan membantu pasien secara konsisten.
(4) Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang keutuhannya.
R/ tidak dapat mengatakan kebutuhannya pada fase pemulihan akut tetapi biasanya
dapat mengontrol kembali fungsi sesuai perkembangan proses penyembuhan.
(5) Kolaborasi
- Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.
R/ memberikan bantuan untuk mengembangkan rencana terapi dan meng-
identifikasikan kebutuhan alat penyokong khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Arboix, Adria, dkk. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage: Clinical
Features and Early Outcome. Medical Journal of Neurology International Scholarly
Research Network. 2012 (07) 22 : 1-7.
Boderick, Joseph, Connoly, Sander. 2007. Penuntun Manajemen Perdarahan Intraserebral
Spontan Usia Dewasa. AHA Journal. 2007 (04) 5 :1-36.
Deputy, Stephen. 2009. Neurological Emergencies.
http://facesofneurosurgery.blogspot.com/2011/10/ acute-management-of-adult.html,
diakses 01 September 2013.
Hinson, Holly E, dkk. 2010. Management of Intraventricular Hemorrhage. NIH (national
Institute of Health) Journal of Nourology. 2010 (03) 2 :1-16.
Kumar, raj, dkk. 2007. Delayed intraventricular hemorrhage with hydrocephalus following
evacuation of post traumatic acute subdural hematoma. Indian Journal of Neurotrauma
(IJNT). Vol. 4, No. 2. 2007 (06) 5 :119-122.
Octaviani, Donna, dkk. 2011. Perdarahan Intra Ventrikuler Primer. Jurnal Indonesian
Medical Association. Volume: 61. 2011. (05) 5: 210-217.
Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan GangguanSistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai