A. Definisi
Crush Injury didefinsikan sebagai luka yang hancur pada extremitas atau
anggota badan lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius, meliputi;
kulit dan jaringan lunak dibawa kulit, kerusakan pembuluh darah, persarafan, tendon,
fascia , bone joint ( lokasi penghubung anatara tulang ), kerusakan tulang serta
komponen didalam tulang. Crush injury lebih sering mengenai anggota gerak dibanding
anggota tubuh yang lain.
B. Patofisiologi
Pada crush injury kerusakan lapisan kulit dan subkutan dapat mempermudah
masuknya kuman melalui lokasi luka yang terbuka sehingga sangat penting pada ada
anamnesis dapat diketahui mengenai mekanisme trauma dan lokasi kejadian, agar
dapat mengetahui risiko terjadinya infeksi.
Kerusakan pembuluhh darah dapat disebabkan oleh kekuatan crush injury yang
mengakibatkan hilangnya suplai darah ke otot. Biasanya otot dapat bertahan selama 4
jam tanpa aliran darah ( warm ischemia time) masuk dalam sel otot, kemudian sel-sel
otot akan mati. Selanjutnya terjadi kebocoran membrane plasma sel otot serta
kerusakan pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan intravaskuler akan
terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini dapat dapat menyebabkan hipovelemia
yang signifikan sehingga mengakibatkan terjadi syok hipovolemik, serta kehilangan ion
calcium (Ca+) sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya hipokalsemia.
Kerusakan saraf tibialis, dapat mengakibatkan hilangnya reflek neurologis yang
signfikan pada sebelah distal regio cruris, sebab cabang n.Tibialis dapat menginervasi
regio pedis.
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluhh darah pada kortek,
sum-sum dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan. Perdarahan
terjadi dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak (otot) yang ada disekitarnya.
Hematoma terbentuk pada kannal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian
bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat yang
dicirikan oleh vasodilasi, eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi oleh sel darah putih
lainnya. Kerusakan pada periosteum dan sum-sum tulang dapat mengakibatkan
keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang, sumsum kuning yang keluar
akibat fraktur masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti aliran darah sehingga
mengakibatkan terjadi emboli lemak ( Fat emboly ). Apabila emboli lemak ini sampai
pada pembuluh darah kecil, sempit, dimana diameter emboli lebih besar dari pada
diameter pembuluh darah maka akan terjadi hambatan aliran-aliran darah yang
mengakibatkan perubahan perfusi jaringan. Emboli lemak dapat berakibat fatal apabila
mengenai organ-organ vital seperti otak, jantung, dan paru-paru.
Kerusakan pada otot dan jaringan lunak juga dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena adanya spasme otot. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan dimana tulang dapat menekan
persyarafan pada daerah yang terkena fraktur sehingga dapat menimbulkan penurunan
fungsi syaraf, yang ditandai dengan kesemutan, rasa baal dan kelemahan. Selain itu
apabila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau benturan akan lebih
mudah terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai dengan
anatominya.
Biasanya jika penanganan awal tidak dilakukan dengan baik, akan berkembang
timbul tanda-tanda dari crush syndrome yang mana akibat kerusakan sel-sel otot
sebagai akibat dari crush injury. Crush syndrome ditandai dengan adanya gangguan
sistemik.
D. Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain ; tertindih
oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada Industri, kecelakaan
kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius.
E. Penatalaksanaan.
Pada crush injury , perlu adanya penanganan yang sergera , karena lebih dari 6-
8 jam setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan
kondisi pasien semakin memburuk dan terjadi banyak komplikasi lain yang dapat
memperberat kondisi pasien dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu dengan
prinsip primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau mengurangi
perdarahan dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke rumah sakit.
Penanganan di rumah sakit harus di awali dengan prinsip ATLS. Pemberian
oksigen (O2) guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-organ
vital. Kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan awal harus diarahkan
untuk mengoreksi takikardia atau hipotension dengan memperluas volume cairan tubuh
dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl ( isotonic) atau ringer laktat diguyur
dan kemudian dilanjutkan perlahan ± 1-1.5 L/jam ( Barbera& Macintyre, 1996;
Gonzalez, 2005; Gunal et Al., 2004; Malinoski et Al., 2004; Stewart, 2005).
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi akhir–
akhir ini berupa pemberian cairan Intravena dan manitol untuk mempertahankan
diuresis minimal 300- 400 mL/jam, dalam hal ini penting dipasang folley cateter guna
menghitung balance cairan masuk dan cairan keluar (Malinoski et Al., 2004). Volume
agresif ini dapat mencegah kematian yang cepat dan dikenal sebagai penolong
kematian, dimana dapat memperbaiki perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat
crush injury.
Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia. Hal ini juga akan
meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap di
ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai pH urine mencapai 6,5 untuk
mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal. Disarankan bahwa 50-100 mEq
bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin diperlukan untuk
memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera yang mengancam, biasanya
diberikan:
1. Insulin dan glukosa.
2. Kalsium - intravena untuk disritmia.
3. Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
4. Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayexalate).
5. Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut
Pemberian Manitol intravena memiliki tindakan yang menguntungkan beberapa
korban crush syndrome guna melindungi ginjal dari efek rhabdomyolisis, peningkatan
volume cairan ekstraselular, dan meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu,
intravena manitol selama 40 menit berhasil mengobati sindrom kompartemen, dengan
menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak ( edema).
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram / kg atau ditambahkan ke cairan
intravena pada pasien sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum adalah 200 gm/d,
dosis yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi ginjal. Mannitol boleh diberikan
hanya setelah aliran urin baik yang dikoreksi dengan cairan IV lain sebelumnya.
Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup dengan dressing sterile
dengan kain kasa. Lokasi cedera diangkat lebih tinggi dari posisi jantung akan
membantu untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi. Antibiotik intravena
sering digunakan guna mencegah infeksi, obat-obatan untuk mengontrol rasa sakit (
analgetik) dapat diberikan yang sesuai. Torniket yang kontroversial perlu jika
perdarahan aktif , namun biasanya jarang digunakan.
Amputasi di lapangan atau tempat kejadian digunakan hanya sebagai upaya
terakhir. Ini mungkin sesuai strategi penyelamatan untuk pasien yang hidupnya berada
dalam bahaya langsung dan yang tidak dapat melepaskan diri dengan cara lain. Ini
merupakan bidang yang sulit dengan prosedur yang sangat meningkatkan risiko infeksi
dan perdarahan pada pasien. Amputasi dirumah sakit harus dilakukan oleh dokter ahli
yang berkompeten berdasarkan keahlian.
Pada amputasi bawah lutut dapat dilakukan jika ada kerusakan yang sulit untuk
dipertahan lagi dan kerusakan fungsi komponen yang terdapat pada daerah bawah lutut
( under of knee) yang melibatkan kerusakan kulit , soft tissue, otot, vaskularisasi,
persarafan, tendon, fascia serta tulang. Sehingga amputasi pada daerah bawah lutut
dapat dilakukan dengan cara mempertahankan otot dan komponen lainnya serta
kondilus tulang paha, namun pada kasus crush injury ( Regio cruris) yang
kerusakannya mencapai tulang patella, dapat dilakukan tindakan amputasi daerah
diatas lutut (Amputation above the knee).Pastikan tindakan ini membantu pasien untuk
berlatih seketika setelah amputasi, supaya dapat memperkuat: otot adductor sisa,
mencegah prosthesis gerakkan keluar ketika ia berjalan, dan otot extensors, sebab
kedua fungsi otot ini akan melebarkan pinggul pasien dan prosthesis, yang mana
untuk membentuk lututnya dan juga harus belajar untuk menyeimbangkan pinggulnya
sebagai ganti otot yang diamputasi. Tujuan operasi amputasi bawah lutut adalah untuk
menghasilkan sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas dari jaringan
parut yang sensitif dengan tulang yang cukup baik ditutupi oleh otot dan jaringan
subkutan yang sesuai dengan panjangnya. Ujung puntung sebaiknya dilapisi oleh
jaringan kulit, subkutan, fasia dan otot yang sehat dan tidak melekat.
Dalam hal ini sangat penting pengetahuan yang lebih mengenai anatomi dan
fisiologi pada lokasi amputasi. Oleh karena itu tindakan ini harus dilakukan oleh ahli
orthopedic.
A
dapun indikasi yang sangat penting diketahui yaitu :
(1) Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan yang
mengancam jiwa (perdarahan dan infeksi). Sangat mengancam nyawa bila
dibiarkan, misalnya pada crush injury, sepsis yang berat, dan adanya tumor
ganas.
(2) Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara
maksimal), seperti pada kelainan kongenital dan keganasan. Anggota gerak
tidak berfungsi sama sekali, sensibilitas anggota gerak hilang sama sekali,
adanya nyeri yang hebat, malformasi hebat atau ostemielitis yang disertai
dengan kerusakan tulang hebat. Serta kematian jaringan baik akibat diabetes
melitus (DM), penyakit vaskuler, setelah suatu trauma, dapat di indikasikan
amputasi.
F. Komplikasi
1. Hypotensi
2. Crush Syndrome
3. Renal failure
4. Compartmen Syndrome
5. Cardiac Arrest
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register,
tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
2. Keluhan Utama
Alasan yang menyebabkan lansia masuk ke rumah sakit. Biasanya karena adanya
gangguan pada sistem muskoloskletal.
3. Genogram
Mengkaji silsilah keluarga yang berkaitan dengan penyakit osteomyelitis.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sejak kapan timbul keluhan, apakan ada riwayat trauma. Hal-hal yang menimbulkan
gejala. Timbulnya gejala mendadak atau perlahan. Timbulnya untuk pertama
kalinya atau berulang. Perlu ditanyakan pula tentang ada-tidaknya gangguan pada
sistem lainnya. Kaji lansia untuk mengungkapkan alasan lansia memeriksakan diri
atau mengunjungi fasilitas kesehatan, keluhan utama pasien dan gangguan
muskuloskeletal meliputi :
a) Nyeri : identifikasi lokasi nyeri. Nyeri biasanya berkaitan dengan pembuluh
darah, sendi, fasia atau periosteum. Tentukan kualitas nyeri apakah sakit yang
menusuk atau berdenyut. Nyeri berdenyut biasanya berkaitan dengan tulang
dan sakit berkaitan dengan otot, sedangkan nyeri yang menusuk berkaitan
dengan fraktur atau infeksi tulang. Identifikasi apakah nyeri timbul setelah diberi
aktivitas atau gerakan. Nyeri saat bergerak merupakan satu tanda masalah
persendian. Degenerasi panggul menimbulkan nyeri selama badan bertumpu
pada sendi tersebut. Degenerasi pada lutut menimbulkan nyeri selama dan
setelah berjalan. Nyeri pada osteoartritis makin meningkat pada suhu dingin.
Tanyakan kapan nyeri makin meningkat, apakah pagi atau malam hari. Inflamasi
pada bursa atau tendon makin meningkat pada malam hari. Tanyakan apakah
nyeri hilang saat istirahat. Apakah nyerinya dapat diatasi dengan obat tertentu.
b) Kekuatan sendi : tanyakan sendi mana yang mengalami kekakuan, lamanya
kekakuan tersebut, dan apakah selalu terjadi kekakuan. Beberapa kondisi
seperti spondilitis ankilosis terjadi remisi kekakuan beberapa kali sehari. Pada
penyakit degenarasi sendi sering terjadi kekakuan yang meningkat pada pagi
hari setelah bangun tidur (inaktivitas). Bagaimana dengan perubahan suhu dan
aktivitas. Suhu dingin dan kurang aktivitas biasanya meningkatkan kekakuan
sendi. Suhu panas biasanya menurunkan spasme otot.
c) Bengkak : tanyakan berapa lama terjadi pembengkakan, apakah juga disertai
dengan nyeri, karena bengkak dan nyeri sering menyertai cedera pada otot.
Penyakit degenerasi sendi sering kali tidak timbul bengkak pada awal serangan,
tetapi muncul setelah beberapa minggu terjadi nyeri. Dengan istirahat dan
meninggikan bagian tubuh, ada yang dipasang gips. Identifikasi apakah ada
panas atau kemerahan karena tanda tersebut menunjukkan adanya inflamasi,
infeksi atau cedera.
d) Deformitas dan imobilitas : tanyakan kapan terjadinya, apakah tiba-tiba atau
bertahap, apakah menimbulkan keterbatasan gerak. Apakah semakin
memburuk dengan aktivits, apakah dengan posisi tetentu makin memburuk.
Apakah lansia menggunakan alat bantu (kruk, tongkat, dll)
e) Perubahan sensori : tanyakan apakah ada penurunan rasa pada bagian tubuh
tertentu. Apakah menurunnya rasa atau sensasi tersebut berkaitan dengan
nyeri. Penekanan pada syaraf dan pembuluh darah akibat bengkak, tumor atau
fraktur dapat menyebabkan menurunnya sensasi.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui untuk menentukan hubungan genetik
yang perlu diidentifikasi misalnya (penyakit diabetes melitus yang merupakan
predisposisi penyakit sendi degeneratif, TBC, artritis, riketsia, osteomielitis, dll)
6. Riwayat Lingkungan Hidup
Pengkajian terhadap lingkungan hidup lansia. Seperti lingkungan keluarga,
tetangga, dan lain-lain.
7. Riwayat Rekreasi
Pengkajian terhadap seberapa seringnya lansia melakukan rekreasi.
8. Sumber/Sistem Pendukung
Pengkajian terhadap siapa saja sistem pendukung pada lansia, seperti pasangan,
anak, teman, saudara, atau tetangga.
9. Deskripsi Hari Khusus
Pengkajian terhadap hari khusus yg di miliki oleh lansia.
10. Riwayat Kesehatan dahulu
Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek langsung
atau tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misalnya riwayat trauma atau
kerusakan tulang rawan, riwayat artritis dan osteomielitis.
11. Pemeriksaan Fisik (Tinjauan Sistem)
Pemeriksaan Fisik secara umum (keadaan umum, integument, kepala, mata,
telinga, hidung dan sinus, mulut dan tenggorokan, leher, payudara, pernafasan,
kardiovaskuler, gastrointestinal, perkemihan, muskuloskletal, sistem saraf pusat,
sistem endokrin, reproduksi) tidak mengalami gangguan sehingga tidak menjadi
pengkajian secara khusus. Namun biasanya pada sistem muskuloskeletal perlu
dikaji lebih mendalam.
Adapun hal-hal yang perlu dikaji pada skelet tubuh, yaitu :
1) Adanya deformitas dan ketidaksejajaran yang dapat disebabkan oleh
penyakit sendi
2) Pertumbuhan tulang abnormal. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya tumor
tulang.
3) Pemendekan ekstrimitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak sejajar
secara anatomis
4) Angulasi abnormal pada tulang panjang, gerakan pada titik bukan sendi,
teraba krepitus pada titik gerakan abnormal, menunjukkan adanya patah
tulang.
Pengkajian Tulang Belakang
Deformitas tulang belakang yang sering terjadi perlu diperhatikan yaitu :
1) Skoliosis (deviasi kurvantura lateral tulang belakang)
o Bahu tidak sama tinggi
o Garis pinggang yang tidak simetris
o Skapula yang menonjol
Skoliosis tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), kelainan kongenital,
atau akibat kerusakan otot para-spinal, seperti poliomielitis.
2) Kifosis (kenaikan kurvantura tulang belakang bagian dada). Sering
terjadi pada lansia dengan osteoporosis atau penyakti neuromuskular.
3) Lordosis (membebek, kurvantura tulang bagian pinggang yang
berlebihan. Lordosis bisa ditemukan pada wanita hamil
Pada saat inspeksi tulang belakang sebaiknya baju pasien dilepas untuk
melihat seluruh punggung, bokong dan tungkai. Pemeriksan kurvantura
tulang belakang dan kesimetrisan batang tubuh dilakukan dari pandangan
anterior, posterior dan lateral. Dengan berdiri di belakang pasien, perhatikan
setiap perbedaan tinggi bahu dan krista iliaka. Lipatan bokong normalnya
simetris. Kesimetrisan bahu, pinggul dan kelurusan tulang belakang diperiksa
dalam posisi pasien berdiri tegak dan membungkuk ke depan.
Pengkajian Sistem Persendian
Pengkajian sistem perssendian dengan pemeriksaan luas gerak sendi baik
aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas dan adanya benjolan. Pemeriksaan
sendi menggunakan alat goniometer, yaitu busur derajat yang dirancang
khusus untuk evakuasi gerak sendi.
1) Jika sendi diekstensikan maksimal namun masih ada sisa fleksi, luas
gerakan ini diangap terbatas. Keterbatasan ini dapat disebabkan oleh
deformitas skeletal, patologik sendi, kontraktur otot dan tendon
sekitar.
2) Jika gerakan sendi mengalami gangguan atau nyeri, harus diperiksa
adanya kelebihan cairan dalam kapsulnya (efusi), pembengkakan dan
inflamasi. Tempat yang paling sering terjadi efusi adalah pada lutut.
Palpasi sendi sambil sendi digerakkan secara pasif akan memberi informasi
mengenai integritas sendi. Suara “gemeletuk”dapat menunjukkan adanya
ligamen yang tergelncir di antara tonjolan tulang. Adanya krepitus karena
permukaan sendi yang tidak rata ditemukan pada pasien artritis. Jaringan
sekitar sendi terdapat benjolan yang khas ditemukan pada pasien :
1) Artritits reumatoid, benjolan lunak di dalam dan sepanjang tendon.
2) Gout, benjolan keras di dalam dan di sebelah sendi
3) Osteoatritis, benjolan keras dan tidak nyeri merupakan pertumbuhan
tulang baru akibat destruksi permukaan kartilago pada tulang dalam
kapsul sendi, biasanya ditemukan pada lansia.
Kadang-kadang ukuran sendi menonjol akibat artrofi otot di proksimal dan
distal sendi sering terlihat pada artritis reumatoid sendi lutut.
Pengkajian Sistem Otot
Pengkajian sistem otot meliputi kemampuan mengubah posisi, kekuatan dan
koordinasi otot, serta ukuran masing-masing otot. Kelemahan sekelompok
otot menunjukkan berbagai kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit,
miastenia grafis, poliomielitis dan distrofi otot.
Palpasi otot dilakukan ketika ekstrimitas rileks dan digerakkan secara pasif,
perawat akan merasakan tonus otot. Kekuatan otot dapat diukur dengan
meminta pasien menggerakkan ekstrimitas dengan atau tanpa tahanan.
Misalnya, otot bisep yang diuji dengan meminta klien meluruskan lengan
sepenuhnya, kemudian fleksikan lengan melawan tahanan yang diberikan
oleh perawat.
Tonus otot (kontraksi ritmik otot) dapat dibangkitkan pada pergelangan kaki
dengan dorso-fleksi kaki mendadak dan kuat, atau tangan dengan ekstensi
pergelangan tangan.
Lingkar ekstrimitas harus diukur untuk memantau pertambaan ukuran akibat
edema atau perdarahan, penurunan ukuran akibat atrofi dan dibandingkan
ekstrimitas yang sehat. Pengukuran otot dilakukan di lingkaran terbesar
ekstrimitas, pada lokasi yang sama, pada posisi yang sama dan otot dalam
keadaan istirahat.
Gradasi Ukuran Kekuatan Otot
0 (zero) Tidak ada kontraksi saat palpasi, paralisis
1 (trace) Terasa adanya kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
2 (poor) Dengan bantuan atau menyangga sendi dapat melakukan
gerakan sendi (range of motion, ROM) secara penuh
3 (fair) Dapat melakukan gerakan sendi (ROM) secara penuh
dengan melawan gravitasi, tetapi tidak dapat melawan
tahanan
4 (good) Dapat melakukan ROM secara penuh dan dapat
melawan tahanan tingkat sedang
5 (normal) Dapat melakukan gerakan sendi (ROM) secara penuh
dan dapat melawan gravitasi dan tahanan
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan keterbatasan rentang gerak
3. Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur pemasangan alat invasif.
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Nyeri b/d Tujuan : 1. Pantau tingkat 1. Tingkat dan intensitas
inflamasi dan Setelah dilakukan dan intensitas nyeri merupakan data
pembengkakan perawatan klien nyeri dasar yang dibutuhkan
melaporkan nyeri 2. Lakukan perawat sebagai
berkurang atau imobilisasi pedoman pengambilan
hilang dengan bidai intervensi, sehingga
Kriteria Hasil : 3. Tinggikan setiap perubahan harus
- Skala nyeri 0-4 ekstrimitas yang terus dipantau.
- Grimace (-) nyeri 2. Imobilisasi dapat
- Gerakan melokalisir 4. Ajarkan teknik membantu meringankan
nyeri (-) relaksasi (nafas tugas tulang dalam
dalam) mempertahankan postur
5. Kolaborasi tubuh sehingga tidak
pemberian terjadi kekakuan daerah
analgesik sekitar yang
sesuai program menyebabkan nyeri.
terapi 3. Peninggian ekstrimitas
dapat membantu
meningkatkan aliran balik
vena yang menyebaban
pembengkakan
berkurang sehingga
penekanan daerah
cedera menurun.
4. Teknik relaksasi (nafas
dalam ) dapat membantu
menurunkan tingkat
ketegangan sehingga
diharapkan tekanan otot-
otot sekitar daerah cedera
menurun
5. Analgesik berfungsi untuk
melakukan hambatan
pada sensor nyeri
sehingga sensasi nyeri
pada klien berkurang.
Clifton Rd. (2009). Crush Injury and Crush Syndrome. USA: Centers for Disease
Control and Prevention;
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/blastinjuryfacts.asp