Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Berbagai fakta empirik telah membuktikan, bahwa tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu
bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia bangsa itu. Seberapapun besarnya
sumber daya alam, modal serta sarana dan prasarana, pada akhirnya ditangan sumber
daya manusia yang handal terletak kemajuan yang ingin dicapai. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Sedarmayanti ; 288) :
Keberhasilan manajemen dalam suatu organisasi, baik organisasi yang bergerak dalam
bidang pemerintahan, maupun organisasi yang bergerak dalam bidang usaha (bisnis),
sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Artinya
manusia yang memiliki daya, kemampuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam setiap
pelaksanaan kegiatan organisasi sehingga terwujud kinerja sebagaimana diharapkan.
Dalam perspektif berpikir seperti itu, rasanya tidak mungkin suatu organisasi atau suatu
bangsa dapat mencapai kemajuan dibidang apapun tanpa mempersoalkan kesiapan
sumber daya manusia yang telah diyakini sebagai faktor diterminan keberhasilan
pembangunan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, guru mempunyai peranan sentral. Hal ini
sesuai dengan pendapat Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan
yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut
dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum
bagi kelasnya. Yang dimaksud dengan guru, seperti yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No 74 tentang guru, Pasal 1 ayat 1 adalah :
Pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut, seorang guru dituntut
memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan
tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan
suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat
terlaksana dengan baik.
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, diantaranya kompetensi
pedagogik.
Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor
pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu mengajar guru
untuk menjadi tenaga profesional, agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil. Hal ini
sesuai dengan pendapat Tilaar (1999), mengatakan bahwa: “peningkatan kualitas
pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya”.
Guru, murid, dan bahan ajar merupakan unsur yang dominan dalam proses pembelajaran di
kelas. Ketiga unsur ini saling berkaitan, saling mempengaruhi serta saling menunjang antara
satu dengan yang lainnya. Jika salah satu unsur tidak ada, kedua unsur yang lain tidak
dapat berhubungan secara wajar dan proses pembelajaran tidak akan berlangsung dengan
baik. Jika proses belajar mengajar ditinjau dari segi kegiatan guru, maka akan terlihat bahwa
guru memegang peranan strategis. Menurut Majid (2005:91) dalam konteks ini guru
berfungsi sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Ketiga hal tersebut
merupakan indikator dari mutu mengajar guru. Apabila ketiga hal tersebut; perencanaan
pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (proses), dan evaluasi pembelajaran
(output) dilakukan oleh guru dengan baik, maka mutu mengajar guru bisa dikatakan baik.
Untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan pembinaan secara
terus-menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu
diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Dengan demikian pekerjaan guru
bukan semata-mata pekerjaan pengabdian namun guru adalah pekerja profesional seperti
pekerjaan yang lain misalnya, dokter, pengusaha, pengacara, akuntan dan sebagainya.
Memandang guru sebagai tenaga kerja profesional maka usaha-usaha untuk membuat
mereka menjadi profesional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik
melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar
lagi, namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin,
pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang
layak dengan keprofesionalannya sehingga memungkinkan guru untuk meningkatkan kinerja
mengajarnya sebagai pendidik.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan harus direncanakan,
diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik.
Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik ke arah
pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat
bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta
didik itu sendiri serta dukungan komponen system pendidikan lainnya. Posisi strategis guru
merupakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian
tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan
peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru
tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar yang
dialami setiap siswa. Komunikasi antara guru dan siswa sebaiknya berjalan dengan lancar.
Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang
menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajarannya. Menurut Satori (2002; 1)
pembelajaran di kelas merupakan core business, jantung kegiatan sekolah dan pendidikan
pada umumnya karena disanalah peserta didik seharusnya mendapatkan layanan belajar
dan jaminan mutu hasil pendidikan.
Akan tetapi masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Salah
satunya adalah belum optimalnya sumber daya manusia yang terdapat pada guru. Fakta
empirik yang sulit terbantahkan saat ini adalah kesulitan untuk mendapatkan guru yang
benar-benar mengabdikan diri dan mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk
melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik. Menurut Mulyasa (2005)
bahwa :
Sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran.
Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta
didik berperilaku negative, menggunakan destruktif discipline, mengabaikan kebutuhan-
kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, merasa diri paling pandai di kelasnya,
tidak adil (diskriminatif), serta memaksa hak peserta didik.
Alasan klasiknya guru belum melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik
adalah gaji dan kesejahteraan guru yang rendah membuat para guru seakan-akan tak
mampu untuk menghadapi tuntutan yang berat yang dibebankan kepadanya. Mereka selalu
terpuruk dan seakan-akan tak berdaya menghadapi hempasan badai keras globalisasi yang
melunturkan semangat pengabdian mereka.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu
pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus
mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam
melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak
merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar
tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran
yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat
sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah:
Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas (sempit ) dan tidak sekonyong- konyong. Pembelajaran bukanlah
seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata.
(Depdiknas,2003:11)
Pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivisme dalam
pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan masih
banyak dijumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan
kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting
bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993:24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak
ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid .
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih
melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakui bahwa banyak faktor penyebabnya
sehingga dapat dilihat akibat yang timbul pada peserta didik, sering dijumpai siswa belajar
hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa
terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan
tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu, merasa
tersisihkan karena tidak dihargai pendapatnya, hak mereka merasa dipenjara, terkekang
sehingga berdampak pada hilangnya motivasi belajar, suasana belajar menjadi monoton,
dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan tersebut, guru mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu
mengajar di sekolah karena guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) dan
bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan
peningkatan kompetensi siswa, dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus
dan tidak lulus. dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah ,
selalu dibebankan kepada guru
Demikian halnya, dengan guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten Sumedang, dimana masih
banyak guru yang belum optimal dalam menjalankan profesinya sebagai guru terutama
dalam melaksanakan proses pembelajaran, seperti : belum memahaminya wawasan atau
landasan kependidikan, belum memahami berbagai keadaan peserta didik, belum
melakukan pengembangan kurikulum atau silabus, belum sempurnanya membuat
perancangan pembelajaran, belum optimal dalam melaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis, belum memanfaatkan teknologi pembelajaran, belum optimal dalam
melakukan evaluasi hasil belajar, dan belum optimal dalam pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini mengakibatkan mutu
pendidikan belum optimal.
Fenomena masih belum optimalnya mutu mengajar guru (proses pembelajaran) di SMA
Negeri se-Kabupaten Sumedang diperoleh melalui hasil studi pendahuluan (survei) dan
diskusi yang dilakukan oleh penulis terhadap teman sesama guru di Kabupaten Sumedang.
Melihat kenyataan ini, kalau dibiarkan akan mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan
khususnya di Kabupaten Sumedang. Oleh karena itu permasalahan tersebut harus segera
diatasi.
Ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan mutu mengajar guru meningkat, namun
penulis mencoba mengkaji masalah supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah
dan budaya sekolah.
Supervisi dalam hal ini adalah mengenai tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembinaan
atau bimbingan yang diberikan oleh kepala sekolah, apakah ada pengaruhnya terhadap
peningkatan mutu mengajarnya.
Supervisi akademik merupakan salah satu tugas kepala sekolah dalam membina guru
melalui fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah pada intinya
yaitu melakukan pembinaan, bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan termasuk
masalah yang dihadapi guru secara bersama dalam proses pembelajaran dan bukan
mencari kesalahan guru.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007
Adapun indikator-indikator dari supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah
terhadap guru menurut Suharsimi Arikunto (1990) adalah sebagai berikut :
1. Tujuan supervisi
2. Hubungan guru dengan supervisor
3. Bimbingan perencanan mengajar
4. Prosedur pelaksanaan supervisi
5. Bantuan dalam memecahkan masalah
6. Hasil dan tindak lanjut supervisi
Guru yang mempunyai persepsi yang baik terhadap supervisi akademik, maka guru akan
mengajar dengan baik, karena supervisi itu berarti pembinaan kepada guru ke arah
perbaikan dalam mengajar. Begitu sebaliknya jika saran dan advis dari supervisor
(pengawas) dari kepala sekolah diabaikan oleh guru maka bisa berdampak pada kegiatan
mengajarnya kurang baik.
Kegiatan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara
psikologis terhadap peningkatan mutu mengajar guru apabila guru menerima supervisi
tersebut sebagai masukan dan motivasi untuk meningkatkan mutu mengajarnya sehingga ia
akan bekerja dengan sukarela yang akhirnya dapat membuat produktivitas kerja guru
menjadi meningkat. Tetapi jika guru tidak menerima supervisi akademik sebagai suatu hal
yang dapat mengakibatkan peningkatan mutu mengajar dan motivasi atau dijadikan beban
maka ia akan bekerja karena terpaksa dan kurang bergairah yang ditunjukkan oleh sikap-
sikap yang negative sehingga mengakibatkan pruduktivitas kerja guru menjadi menurun.
Selain supervisi akademik yang dilakukan oleh kepalas sekolah hal lain yang dapat
mempengaruhi mutu mengajar guru adalah budaya sekolah.
Budaya sekolah yang kerap disebut dengan iklim kerja menggambarkan suasana dan
hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru
dengan tenaga kependidikan lainnya serta antara dinas di lingkungannya merupakan wujud
dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala
sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat
digambarkan melalui sikap saling mendukung (supportive), tingkat persahabatan (collegial),
tingkat keintiman (intimate) serta kerja sama (cooperative). (Hasanah; 2008;12). Kondisi
yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan mutu
mengajar guru.
Budaya yang ada di sekolah dibagi dua, yaitu budaya yang mempunyai nilai- nilai primer,
yaitu : (1) tujuan organisasi sekolah; (2) konsensus dan komitmen terhadap tugas; (3)
keunggulan, (4) kesatuan kepentingan, (5) integritas. Sedangkan budaya yang bernilai
sekunder , yaitu ; (1) penerima layanan, (2) pengendalian yang disiplin, (3) kemandirian, (4)
pengambilan keputusan yang cepat, (5) visioner, (6) pengembangan.
Dari hasil wawancara dan diskusi informal dengan teman sejawat sesama guru di SMA
Negeri se-Kabupaten Sumedang menunjukkan bahwa pada umumnya guru-guru di SMA
Negeri se-Kabupaten Sumedang motivasi kerja, kreativitas, kinerja, dan produktivitas kerja
yang belum optimal dan belum sesuai dengan yang diharapkan, apalagi jika mengacu
kepada standar kerja minimal yang dituntut kepada para guru, khususnya guru-guru di SMA
Negeri se-Kabupaten Sumedang.