ON 2 KOMENTAR
Bagaimana Sekarang?
Pemerintah Indonesia sebaiknya segera berunding ulang dengan wakil-wakil bangsa
Aceh dan Papua Barat secara terbuka untuk penyelesaian damai di Aceh dan Papua
Barat serta menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Dan tidak lagi
melakukan aksi perdamaian semu serta mulai mengakui bahwa disamping bangsa
Indonesia juga terdapat bangsa Aceh dan Papua Barat serta bangsa-bangsa lain yang
hidup secara berdampingan di wilayah negara Indonesia. Dan kemudian juga
memformulasi ulang bentuk negara kesatuan menjadi negara federal di dalam UUD RI.
Awal Terbentuknya Bangsa dan
Negara Indonesia
Posted on March 1, 2011 by gabrielamarcelina
Para pendiri Republik Indonesia sungguh berjasa, tidak memilih negara keagamaan, tetapi
memilih negara kebangsaan atas prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” dalam mengolah, menata
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dalam mengatasi kemajemukan
Indonesia.
Pada 1928, berpijak dari semangat dan gelora 1908 sebagai basis pergerakan nasional,
lahirnya Budi Utomo dan pergerakan pendidikan nasional lainnya, sejumlah pemuda
menghasilkan kata sepakat yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda yang diperingati setiap
28 Oktober.
Mereka yang menjadi anggota panitia penyelenggara kongres adalah Soegondo Djojopuspito
(PPPI), orang Jawa beragama Islam, Djoko Marsaid (Jong Java) orang Jawa beragama Islam,
Moehammad Jamin (Jong Sumatranen Bond) orang Minangkabau beragama Islam, Amir
Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond) orang Batak beragama Kristen,
Djohan Moeh Tjai (Jong Islamieten Bond) orang Bengkulu keturunan Tionghoa beragama
Islam, Kotjosoengkono (Pemoeda Indonesia) orang Jawa beragama Islam, Sendoek (Jong
Celebes) orang Minahasa beragama Kristen, J Leimena (Jong Ambon) orang Ambon
beragama Kristen, Rochjani (Pemoeda Kaoem Betawi) orang Betawi beragama Islam.
Pengelompokan (kolektivitas) para pemuda tersebut berasal dari berbagai suku, etnis, agama,
sosial serta perbedaan latar belakang yang lain, atas dasar rasa solidaritas yang melampaui
batas-batas suku, etnis, agama, kedaerahan, tanpa harus menyangkal dan meninggalkan
ikatan-ikatan solidaritas (jati-diri) asal dari masing-masing pemuda.
Dasar pengelompokan ini adalah asas kebangsaan Indonesia, semangat dan jiwa sebagai
dasar perjuangan para pemimpin gerakan kebangsaan. Para the founding father dalam
membentuk, membangun bangsa yang merupakan semangat dan jiwa bangsa Indonesia yaitu
solidaritas kebangsaan Indonesia, solidaritas yang melampaui batas-batas suku, etnis, agama,
kedaerahan serta perbedaan latar belakang yang lain.
Melalui proses perjuangan dan pergulatan panjang, para the founding father pada 17 Agustus
1945 telah mewujudkan ikrar kesepakatan, menjadi bangsa yang bersatu, bangsa yang
berwawasan kebangsaan, mendirikan satu Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara
berdasarkan kebangsaan yang dilandasi prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, juga bersepakat menerima Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang
merupakan kristalisasi, manifestasi, cita-cita, tekad, aspirasi rakyat Indonesia. Nilai-nilai
luhur Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,
konstitusi ini tidak sekadar merupakan perangkat hukum yang normatif, tapi konstitusi ini
juga merupakan prasyarat hidup, pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara, sebagai
tolok ukur kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Pancasila selain sebagai pandangan hidup juga adalah sebagai keyakinan/kepercayaan yang
dapat menjamin kelangsungan dan kekuatan bangsa, sebagaimana disampaikan dalam pidato
Bung Karno pada 05 Juni 1958 di Istana Negara, “Maka bangsa Indonesia pun harus
mempunyai belief, mempunyai geloof, mempunyai faith, mempunyai kepercayaan.
Dan faith bangsa Indonesia harus larger than the nation itself, lebih luas daripada bangsa
Indonesia sendiri, berupa Pancasila, saudara-saudara).” Sebagaimana Kongfucu pernah
mengatakan “Suatu bangsa dapat menjadi kuat, apabila keyakinan/kepercayaan (believe)
tidak bisa ditinggalkan”.
Sebagai bangsa Indonesia, sebagaimana pernyataan Socrates “Kenalilah diri kita sendiri”.
Dengan jati diri bangsa Indonesia, kita bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta pemahaman yang benar atas konsep
kebangsaan kita. Itu agar kita tidak keliru memahami saudara-saudara kita sebangsa setanah
air, senasib dan sepenanggung-jawab dalam mengisi kemerdekaan yang dicita-citakan
bersama.
Para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia, membaca penjelasan seorang sejarawan
Prancis bernama Ernest Renan pada abad XIX dalam suatu kuliah umum berjudul “Qu’estce
qu’un nation?”(Apakah nasion itu?) yang diadakan di Universitas Sorbone Prancis (1882),
dan berpegang pada penjelasan yang diberikannya dalam perjuangan mereka. Soekarno dan
Mohammad Hatta sering mengutip rumusan nasion yang diberikan oleh Ernest Renan.
Bangsa Indonesia terbentuk bukan karena kesamaan ras, etnis, suku, agama, bahasa, budaya,
kepentingan atau letak geografi. Nasion Indonesia adalah suatu jiwa, semangat, suatu asas
spiritual, untuk bersatu, suatu kesatuan solidaritas yang besar, yang tercipta oleh perasaan
pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan oleh manusia-manusia Indonesia bersedia
berbuat pada masa yang akan datang.
Jadi nasion atau bangsa mempunyai masa yang lampau, tetapi Ia akan melanjutkan diri pada
masa kini dan masa yang akan datang melalui suatu kenyataan yang jelas. Yaitu kesepakatan
(tekad) untuk tetap hidup bersama dalam suatu kepentingan dan tujuan bersama yaitu
terciptanya bangsa Indonesia merdeka, berdaulat, adil sejahtera, makmur.
Oleh karena itu bangsa Indonesia terdiri atas orang-orang dengan jati dirinya masing-masing
tidak harus sama (uniformitas). Selain punya jati diri bangsa Indonesia, juga mempunyai jati
diri sebagai anggota suatu kesatuan sosial tertentu lainnya.
Nasion Indonesia harus dibedakan dari negara Indonesia, di mana para warga adalah anggota
dari negara, kewarganegaraan seseorang diatur oleh aturan-aturan hukum, konstitusilah yang
menyatakan apakah seseorang adalah warga negara Indonesia atau bukan.
Dengan konsep negara Bangsa “Nasion State” jelas keanggotaan sebagai warga bangsa
adalah bersifat sebagai pribadi (individu) orang-perorang, lepas dari segala atribut yang
disandangnya, bukan sebagai kelompok. Maka sudah selayaknya diadakan koreksi atas
kekeliruan yang telah kita lakukan selama ini dalam menata kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat seperti, “istilah-istilah mayoritas dan minoritas, asli dan tidak asli,
pribumi dan non-pribumi”.