Anda di halaman 1dari 5

TERBENTUKNYA NEGARA KEBANGSAAN INDONESIA

ON 2 KOMENTAR

Indonesia, sejak diproklamirkan kemerdekaan negara ini menganut falsafah bahwa


hanya ada satu bangsa di wilayah negara Republik Indonesia yaitu bangsa Indonesia.
Hal ini sesuai dengan tekad (pakai d atau t sih) para pemimpin Indonesia yang tercetus
pada “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Tetapi, kemudian perlu dipahami lebih dalam
bahwa konteks “satu bangsa” yang diucapkan dalam sumpah pemuda tersebut sangat
bernuansa “historis”, dimana semua manusia atau kelompok manusia (anda boleh
menyebutnya dengan suku bangsa) yang berdiam di wilayah Indonesia punya
“majikan” yang sama yaitu pemerintah Belanda (yang diwakili oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda).
Ini yang kemudian menyebabkan bahwa rasa persatuan atau kesadaran akan
kebutuhan bersama untuk menentang kolonialisme dalam bentuk apapun kemudian
menjadi manifes dengan munculnya “rasa kebangsaan” Indonesia. Tetapi harap diingat
bahwa proses penaklukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang belangsung
cukup sukses hanya di pulau Jawa, sedang di bagian timur dan barat dari Indonesia
malah berlangsung dalam periode yang amat singkat kurang dari 45 tahun. Secara legal
formal dalam hukum internasional mengatur tentang kepemilikan suatu wilayah yang
dinyatakan “terra nullius” oleh hukum internasional, yang kemudian mensyaratkan
adanya keefektifan pemerintahan di wilayah yang dikuasai, baik secara politik, hukum,
dan ekonomi (lihat kasus sipadan dan ligitan), Aceh dan Papua Barat adalah wilayah
terakhir yang kemudian secara efektif dikuasai dan dimasukkan ke dalam wilayah
Hindia Belanda.

Proses Pembentukan Indonesia.


Dari sejak awal pergerakan kemerdekaan dari tindasan pemerintah kolonial Hindia
Belanda dimulai dari daerah-daerah lokal (setingkat propinsi/kabupaten kalau
sekarang), hal ini wajar karena mengingat bahwa rasa kebangsaan di tingkat lokal
sangat kuat (ini terbukti hingga saat ini).
Kemudian setelah pemerintah Belanda menerapkan politik “etis” di Indonesia mulai
terbentuk segolongan elit terdidik dan terpelajar di seluruh kepulauan Indonesia yang
kemudian mentransformasikan dirinya dengan identitas keindonesiaan dalam wujud
perhimpunan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang berwadah dalam
Perhimpunan Indonesia.
Pada saat yang sama, partai-partai politik atau yang menyamai partai politik tidak ada
yang menggunakan identitas keindonesiaan (sebagai contoh Budi Utomo, Sarikat
Islam, NIP), kecuali PKI. Saat itu hanya Partai Komunis Indonesia-lah yang
menggunakan identitas keindonesiaan, walaupun mereka tidak bisa mengklaim bahwa
dalam pergerakan kemerdekaan mereka adalah pelopor penggunaan nama Indonesia
karena pada awalnya pun mereka menggunakan nama Perserikatan Komunis Hindia.
Harus diakui bahwa dua organisasi politik inilah yang memperkenalkan identitas
keindonesiaan pada dunia Internasional (PI untuk ke luar negeri dan PKI untuk ke
dalam negeri), dan kemudian menjadi sandaran bagi partai-partai politik yang berbasis
nasionalisme untuk menggunakan identitas keindonesiaan.
Sehingga proses adanya kesadaran keindonesiaan ini kemudian lebih dikarenakan
adanya penindasan secara politik, ekonomi, dan hukum yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda, tanpa adanya kesadaran luhur akan pentingnya
federasi yang longgar antar bangsa di wilayah Indonesia.

Proses Pemerdekaan dan Kemerdekaan Indonesia


Proses penyatuan Indonesia yang sedikit mengambil bentuk “keterpaksaan” mulai
mengemuka ketika pemerintahan fasis Jepang memberikan sedikit kemerdekaan
untuk merancang proses kemerdekaan Indonesia kepada para pemimpin Indonesia.
Pikiran-pikiran yang kemudian mengemuka kemudian malah menjadi manifes dalam
bentuk negara integralistik yang dalam sejarah perjalanannya justru anti demokrasi
dan menjadikan tiap rejim yang memerintah tidak menghormati hak asasi manusia.
Hal ini kemudian menjadi basis legalitas pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 UUD RI.
Pikiran tentang negara integralistik ini sebenarnya sangat dijiwai oleh paham
kosmologi Jawa yang sangat feodal itu, yang sayangnya justru di adopsi oleh para
pemimpin Indonesia (mungkin ini berkaitan dengan banyaknya pemimpin Indonesia
yang berasal dari Jawa). Yang kemudian justru menciptakan suatu “monster” yang
melenyapkan segala kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia (lihat UU
pemerintahan di desa pada masa rejim orde baru). Dan hal ini kemudian
menuimbulkan resistensi daerah-daerah di luar Jawa yang menolak hegemoni Jawa
atas pemerintahan di Indonesia, sehingga yang diciptakan oleh setiap pemerintahan di
Indonesia bukannya rasa kebangsaan Indonesia tetapi malah memunculkan adanya
“Sentimen Keindonesiaan” .
Proses yang terjadi dengan pemaksaan ini malah diteruskan oleh rejim militer orde
baru. Proses yang sama kemudian terjadi pada wilyah Timor Leste atas nama
“integrasi”, wilayah tersebut dimasukkan (baca;dianeksasi) secara melanggar hukum
internasional ke dalam wilyaah Indonesia, pada saat yang sama di Aceh dan Papua juga
terjadi kekerasan yang sistematis demi melanggengkan ideologi militer yaitu persatuan
dan negara integralistik.

Di Bawah Rejim Korporatis Militer Orde Baru


Masa ini ditandai dengan lenyapnya penghargaan terhadap perbedaan tiap bangsa yang
hidup di Indonesia, dengan diterapkannya suatu kebijakan yang mengharamkan
masalah SARA didiskusikan secara terbuka. Perbedaan yang ada kemudian dicoba
untuk ditutupi dengan slogan semu “bhinneka tunggal ika” versi orde baru dan militer
kemudian secara mencolok diberi “baju baru” sebagai stabilisator dan dinamisator
dalam kehidupan politik nasional.
Di dalam rejim ini paham negara integralistik kemudian sangat menonjol, sehingga
setiap perbedaan pendapat dibungkam dengan cara-cara kekerasan. Kebebasan
akademik kemudian diberangus dengan menempatkan satu unit milisi mahasiswa di
tiap kampus yang diberi baju “Resimen Mahasiswa”. Pada saat ini pula berbagai bibit
ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah mulai bermunculan meskipun dalam
skala lokal dan sangat elitis sekali. Di dua propinsi Indonesia; Aceh dan Papua Barat
serta satu koloni Indonesia –Timor Leste- kemudian secara terbuka mengumumkan
prinsip politiknya untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia.
Penindasan yang dilakukan secara sistematis di dua propinsi dan satu koloni ini
ternyata tidak menyurutkan “niat” untuk merdeka. Bahkan setelah jatuhnya presiden
Soeharto pada tahun 1998, gerakan kemerdekaan di Aceh, Papua Barat, dan Timor
Leste semakin berkibar dan semakin mendapat tempat di hati bangsa Aceh, Papua
Barat, dan Timor Leste serta menjadi pusat perhatian dunia Internasional karena
ditemukan fakta tentang terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia di dua propinsi
dan satu koloni Indonesia itu.

Munculnya Tawaran Otonomi Khusus


Setelah kemenangan bangsa Timor Leste melepaskan diri dari kolonialisme Indonesia,
di Aceh dan Papua Barat semakin bertambah kuat keinginan kemerdekaan ini. Gerakan
Aceh Merdeka justru mulai menampilkan perlawanan bersenjata secara terbuka dan
lebih dari 30 % pemerintahan di tingkat kecamatan telah diambil alih secara efektif
oleh Gerakan Aceh Merdeka. Sementara di Papua Barat dengan diselenggarakannya
Kongres Rakyat Papua II yang salah satu resolusinya adalah meminta pemerintah
Indonesia mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat seperti yang telah dicapai
pada tahun 1961, dan hasil dari Kongres tersebut mendapat dukungan yang meluas di
seluruh wilayah Papua Barat.
Dalam keadaan terdesak seperti ini, disamping dengan maraknya kampanye di dunia
internasional tentang pelanggaran hak asasi manusia, kemudian pemerintah Indonesia
menawarkan resep otonomi khusus. Tawaran ini mendapatkan reaksi yang berbeda
dari rakyat di Aceh dan Papua Barat. Tetapi tawaran ini kemudian malah tidak
didiskusikan secara terbuka dengan bangsa Aceh dan Papua Barat dan malah
kemudian menetapkan secara sepihak materi dalam UU otonomi khusus tersebut.

Bagaimana Sekarang?
Pemerintah Indonesia sebaiknya segera berunding ulang dengan wakil-wakil bangsa
Aceh dan Papua Barat secara terbuka untuk penyelesaian damai di Aceh dan Papua
Barat serta menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Dan tidak lagi
melakukan aksi perdamaian semu serta mulai mengakui bahwa disamping bangsa
Indonesia juga terdapat bangsa Aceh dan Papua Barat serta bangsa-bangsa lain yang
hidup secara berdampingan di wilayah negara Indonesia. Dan kemudian juga
memformulasi ulang bentuk negara kesatuan menjadi negara federal di dalam UUD RI.
Awal Terbentuknya Bangsa dan
Negara Indonesia
Posted on March 1, 2011 by gabrielamarcelina

Para pendiri Republik Indonesia sungguh berjasa, tidak memilih negara keagamaan, tetapi
memilih negara kebangsaan atas prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” dalam mengolah, menata
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dalam mengatasi kemajemukan
Indonesia.
Pada 1928, berpijak dari semangat dan gelora 1908 sebagai basis pergerakan nasional,
lahirnya Budi Utomo dan pergerakan pendidikan nasional lainnya, sejumlah pemuda
menghasilkan kata sepakat yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda yang diperingati setiap
28 Oktober.
Mereka yang menjadi anggota panitia penyelenggara kongres adalah Soegondo Djojopuspito
(PPPI), orang Jawa beragama Islam, Djoko Marsaid (Jong Java) orang Jawa beragama Islam,
Moehammad Jamin (Jong Sumatranen Bond) orang Minangkabau beragama Islam, Amir
Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond) orang Batak beragama Kristen,
Djohan Moeh Tjai (Jong Islamieten Bond) orang Bengkulu keturunan Tionghoa beragama
Islam, Kotjosoengkono (Pemoeda Indonesia) orang Jawa beragama Islam, Sendoek (Jong
Celebes) orang Minahasa beragama Kristen, J Leimena (Jong Ambon) orang Ambon
beragama Kristen, Rochjani (Pemoeda Kaoem Betawi) orang Betawi beragama Islam.
Pengelompokan (kolektivitas) para pemuda tersebut berasal dari berbagai suku, etnis, agama,
sosial serta perbedaan latar belakang yang lain, atas dasar rasa solidaritas yang melampaui
batas-batas suku, etnis, agama, kedaerahan, tanpa harus menyangkal dan meninggalkan
ikatan-ikatan solidaritas (jati-diri) asal dari masing-masing pemuda.
Dasar pengelompokan ini adalah asas kebangsaan Indonesia, semangat dan jiwa sebagai
dasar perjuangan para pemimpin gerakan kebangsaan. Para the founding father dalam
membentuk, membangun bangsa yang merupakan semangat dan jiwa bangsa Indonesia yaitu
solidaritas kebangsaan Indonesia, solidaritas yang melampaui batas-batas suku, etnis, agama,
kedaerahan serta perbedaan latar belakang yang lain.
Melalui proses perjuangan dan pergulatan panjang, para the founding father pada 17 Agustus
1945 telah mewujudkan ikrar kesepakatan, menjadi bangsa yang bersatu, bangsa yang
berwawasan kebangsaan, mendirikan satu Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara
berdasarkan kebangsaan yang dilandasi prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, juga bersepakat menerima Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang
merupakan kristalisasi, manifestasi, cita-cita, tekad, aspirasi rakyat Indonesia. Nilai-nilai
luhur Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,
konstitusi ini tidak sekadar merupakan perangkat hukum yang normatif, tapi konstitusi ini
juga merupakan prasyarat hidup, pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara, sebagai
tolok ukur kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Pancasila selain sebagai pandangan hidup juga adalah sebagai keyakinan/kepercayaan yang
dapat menjamin kelangsungan dan kekuatan bangsa, sebagaimana disampaikan dalam pidato
Bung Karno pada 05 Juni 1958 di Istana Negara, “Maka bangsa Indonesia pun harus
mempunyai belief, mempunyai geloof, mempunyai faith, mempunyai kepercayaan.
Dan faith bangsa Indonesia harus larger than the nation itself, lebih luas daripada bangsa
Indonesia sendiri, berupa Pancasila, saudara-saudara).” Sebagaimana Kongfucu pernah
mengatakan “Suatu bangsa dapat menjadi kuat, apabila keyakinan/kepercayaan (believe)
tidak bisa ditinggalkan”.

Sebagai bangsa Indonesia, sebagaimana pernyataan Socrates “Kenalilah diri kita sendiri”.
Dengan jati diri bangsa Indonesia, kita bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta pemahaman yang benar atas konsep
kebangsaan kita. Itu agar kita tidak keliru memahami saudara-saudara kita sebangsa setanah
air, senasib dan sepenanggung-jawab dalam mengisi kemerdekaan yang dicita-citakan
bersama.
Para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia, membaca penjelasan seorang sejarawan
Prancis bernama Ernest Renan pada abad XIX dalam suatu kuliah umum berjudul “Qu’estce
qu’un nation?”(Apakah nasion itu?) yang diadakan di Universitas Sorbone Prancis (1882),
dan berpegang pada penjelasan yang diberikannya dalam perjuangan mereka. Soekarno dan
Mohammad Hatta sering mengutip rumusan nasion yang diberikan oleh Ernest Renan.
Bangsa Indonesia terbentuk bukan karena kesamaan ras, etnis, suku, agama, bahasa, budaya,
kepentingan atau letak geografi. Nasion Indonesia adalah suatu jiwa, semangat, suatu asas
spiritual, untuk bersatu, suatu kesatuan solidaritas yang besar, yang tercipta oleh perasaan
pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan oleh manusia-manusia Indonesia bersedia
berbuat pada masa yang akan datang.

Jadi nasion atau bangsa mempunyai masa yang lampau, tetapi Ia akan melanjutkan diri pada
masa kini dan masa yang akan datang melalui suatu kenyataan yang jelas. Yaitu kesepakatan
(tekad) untuk tetap hidup bersama dalam suatu kepentingan dan tujuan bersama yaitu
terciptanya bangsa Indonesia merdeka, berdaulat, adil sejahtera, makmur.
Oleh karena itu bangsa Indonesia terdiri atas orang-orang dengan jati dirinya masing-masing
tidak harus sama (uniformitas). Selain punya jati diri bangsa Indonesia, juga mempunyai jati
diri sebagai anggota suatu kesatuan sosial tertentu lainnya.
Nasion Indonesia harus dibedakan dari negara Indonesia, di mana para warga adalah anggota
dari negara, kewarganegaraan seseorang diatur oleh aturan-aturan hukum, konstitusilah yang
menyatakan apakah seseorang adalah warga negara Indonesia atau bukan.

Dengan konsep negara Bangsa “Nasion State” jelas keanggotaan sebagai warga bangsa
adalah bersifat sebagai pribadi (individu) orang-perorang, lepas dari segala atribut yang
disandangnya, bukan sebagai kelompok. Maka sudah selayaknya diadakan koreksi atas
kekeliruan yang telah kita lakukan selama ini dalam menata kehidupan berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat seperti, “istilah-istilah mayoritas dan minoritas, asli dan tidak asli,
pribumi dan non-pribumi”.

Anda mungkin juga menyukai