discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/283714301
CITATIONS READS
0 849
1 author:
Saefudin Juhri
Kyushu University
7 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Bachelor Thesis: Geokimia Fluida Panas Bumi di Sekitar Gunung Slamet View project
All content following this page was uploaded by Saefudin Juhri on 12 November 2015.
KARYA REFERAT
DISUSUN OLEH
SAEFUDIN JUHRI
12/333298/TK/39700
YOGYAKARTA
JUNI
2015
Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi
LEMBAR PENGESAHAN
KARYA REFERAT
Yogyakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
Panas Bumi” yang disusun untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah referat.
Selain itu, dalam penyelesaian laporan ini penulis juga dibantu oleh beberapa
pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agung
Harijoko, S.T., M.Eng. selaku dosen pembimbing referat yang telah memberi
Dalam penyusunan referat ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Sehingga penulis berharap kritik yang membangun, saran, koreksi, dan
masukan dari para pembaca demi peningkatan kemampuan penulis dalam membuat
suatu karya yang bermanfaat. Terakhir, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat
memberi manfaat seluas-luasnya bagi para pembaca, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Saefudin Juhri
12/333298/TK/39700
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
SARI vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 4
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan 5
1.4. Metode Penyusunan 5
BAB VI PEMBAHASAN 38
DAFTAR PUSTAKA 43
DAFTAR GAMBAR
oleh fasa cair (liquid dominated) dengan relief rendah (Nicholson, 1993) 9
Gambar 2.2. Struktur konseptual untuk sistem panas bumi yang didominasi
Gambar 2.3. Skema pembentukan mineral deposit pada sistem kaldera Creede
Gambar 3.1. Manifestasi air panas klorida (chloride spring) yang dikelilingi
oleh sinter 20
Gambar 3.2. Manifestasi mud pool atau kolam lumpur panas pada sistem
panas bumi 22
Gambar 6.1. Bagan hubungan sistem hidrotermal, tipe fluida, tipe alterasi,
DAFTAR TABEL
SARI
Panasbumi merupakan energi alternatif yang kini mulai dikembangkan di
negara-negara yang memiliki potensi panasbumi. Selain karena ramah lingkungan,
energi panasbumi juga bersifat terbarukan. Indonesia merupakan salah satu Negara
dengan potensi energi panasbumi yang sangat besar. Untuk itu perlu pengetahuan
yang cukup luas dan komprehensif untuk mendukung perkembangan energi
panasbumi di Indonesia. Referat ini membahas mengenai alterasi hidrotermal
akibat interaksi fluida asam dengan batuan di permukaan. Diawali dengan
pemaparan menganai sistem hidrotermal itu sendiri, kemudian fluida panas bumi,
dan mineral apa saja yang dapat terbentuk akibat alterasi ini, serta dipaparkan pula
beberapa studi kasus yang diambil dari penelitian terdahulu di berbagai lokasi untuk
menunjukkan keterkaitan mineral hasil alterasi dengan fluida yang mengalterasi.
Dari hasil studi pustaka mengenai teori-teori panasbumi dan mineral alterasi,
disertai dengan studi kasus di beberapa lapangan panasbumi, disimpulkan bahwa
alterasi pH asam di permukaan akan membentuk mineral-mineral seperti kaolinit,
dickite, opal, kristobalit, jarosit, alunit, dan oksida besi. Selain mineral-mineral
tersebut, dapat juga terbentuk mineral lain yang memiliki asosiasi dengan mineral
tadi.
BAB I
PENDAHULUAN
Panas bumi merupakan energi yang dihasilkan dari aktivitas tektonik bumi
yang masih aktif hingga sekarang. Aktivitas tektonik ini dapat berperan langsung
dalam pembentukan panas bumi maupun secara tidak langsung yaitu melalui
aktivitas vulkanisme.
negara tersebut umumnya berada pada batas antara lempeng yang saling
Beberapa negara yang berada di batas konvergen antar lempeng antara lain Chili,
Selandia Baru, Jepang, Filipina, bahkan negara kita Indonesia (Ellis dan Mahon,
1977). Adapula negara yang berada di batas lempeng divergen, seperti Iceland,
Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Sulawesi; juga tumbukan Lempeng
Australia dengan Lempeng Pasifik yang menghasilkan busur kepulauan Papua dan
antar lempeng, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang cukup besar.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung api aktif yang ada di Indonesia.
Gunung api merupakan bukti nyata bahwa di daerah tersebut terjadi transfer panas
dari bawah bumi menuju ke permukaan. Transfer panas inilah yang nantinya dapat
digunakan sebagai sumber energi panas bumi. Selain itu banyak pula manifestasi
permukaan yang ada di Indonesia yang dapat membuktikan bahwa prospek panas
bumi cukup besar di sini. Misalnya mataair panas, geyser, fumarol, solfatara, dan
sebagainya.
Energi panas bumi di Indonesia sendiri sudah berkembang. Pada tahun 1925-
1928 bahkan sudah ada pengeboran panas bumi hingga kedalaman 66 meter di area
Kawah Kamojang (Ellis & Mahon, 1977). Ellis & Mahon (1977) menjelaskan
bahwa hingga saat ini kawasan ini sudah mampu menghasilkan energi listrik
panas bumi juga sudah ada di kawasan Gunung Sibayak yang mampu menghasilkan
menghasilkan 60 Mwe, dan Gunung Salak dengan kapasitas 330 MWe. Serta
Melihat potensi panas bumi yang sangat besar di Indonesia, kita tentu dapat
bumi. Meski begitu, kebutuhan energi di Indonesia justru masih didominasi oleh
energi fosil yang notabene tidak dapat diperbaharui dan lebih tidak ramah
lingkungan dibandingkan dengan energi panas bumi. Hal ini disebabkan perhatian
pemerintah yang hingga saat ini masih berfokus pada energi fosil.
Meski begitu kita juga perlu memahami bahwa tidak semua panas bumi dapat
lapangan memang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas bumi atau justru
juga perlu memahami bahwa suatu lapangan panas bumi yang sudah bisa ‘dipanen’
adalah lapangan panas bumi yang sudah matang dan potensi bahayanya sudah
menurun. Teknologi saat ini tidak memungkinkan kita untuk dapat memanfaatkan
energi panas bumi di daerah gunung api aktif seperti Gunung Merapi atau Gunung
Krakatau. Sehingga kita perlu mengeksplor dimana energi panas bumi yang dapat
Metode eksplorasi yang baik mencakup 3G, yaitu Geologi, Geokimia, dan
daerah, mencakup litologi, struktur geologi, morfologi, dan sejarah geologi daerah
batuan reservoar, karakteristik fluida hidrotermal, dan prospek energi panas yang
dapat diekstrak. Dan sebagai tahap akhir adalah analisa geofisika untuk mengetahui
secara pasti dimanakah titik akumulasi fluida panas yang dapat diambil.
Salah satu analisa awal yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
yang umum ditemukan antara lain solfatara yaitu lubang erupsi hidrotermal yang
mengeluarkan fluida dengan kandungan gas sulfur, fomarol yaitu lubang erupsi
yang menghasilkan fluida didominas H2O, mata air panas, geyser, kolam alami
Selain manifestasi tadi, salah satu fenomena yang dapat mencirikan adanya
proses perubahan mineralogi pada batuan yang diakibatkan oleh interaksi antara
fluida panas bumi dengan batuan. Alterasi ini umumnya terjadi di sekitar
manifestasi panas bumi. Pemahaman tentang alterasi ini sangat penting untuk
Sehingga kita mampu menganalisa apa yang terjadi di bawah permukaan. Hal ini
sangat berkaitan dalam penentuan potensi positif dan negatif dari suatu lapangan
panas bumi. Sehingga pemahaman mengenai alterasi, mineral alterasi, batuan yang
teralterasi, dan fluida yang mengalterasi sangat penting dalam pengembangan dan
Maksud dibuatnya referat ini adalah mempelajari lebih lanjut dan secara
khusus berfokus pada alterasi pH asam di permukaan pada lingkungan panas bumi
sebagai panduan untuk memahami kondisi sistem panas bumi di suatu daerah.
klasifikasinya
permukaan
d. Mengetahui dan memahami mineral alterasi apa yang dapat terbentuk akibat
Pembahasan pada referat ini akan meliputi berbagai sistem panas bumi serta
peneliti, manifestasi apa saja yang menandakan adanya sistem hidrotermal, jenis-
jenis fluida hidrotermal, fluida apa yang dapat terbentuk di permukaan beserta
karakterisitiknya, mineral alterasi apa saja yang dapat terbentuk akibat interaksi
alterasi tersebut.
melakukan studi literatur dengan cara mengambil atau menyitir dari media
textbook, jurnal, serta tulisan ilmiah lain, baik berupa media cetak maupun media
elektronik, yang berkaitan dengan sistem panas bumi dan alterasi hidrotermal.
Penyusunan sitiran dari literatur dilakukan sesuai kaidah penulisan ilmiah yang
diakui.
BAB II
SISTEM HIDROTERMAL
mengantarkan energi panas dari dalam bumi ke permukaan dengan media fluida air.
Dalam mengantarkan energi panas dari bawah ke permukaan, fluida panas bumi
yang mempengaruhi perilaku dan hasil dari sistem panas bumi tersebut.
sistem hidrotermal terbentuk oleh sistem geotermal yang menggunakan fluida air
sebagai media untuk menyalurkan energi panas dari bawah ke permukaan. Sistem
geotermal sendiri menurut Ellis & Mahon (1977) adalah suatu lapangan atau area
geotermal yang memiliki batas permukaan dan berada pada kondisi hidrologi-
tertentu memiliki karakteristik yang dapat dibedakan dengan sistem geotermal lain
hidrotermal yang meliputi suhu, tekanan, dan komposisi kimia dari fulida tersebut.
lain:
a. Sumber panas
Sumber panas dari suatu sistem hidrotermal umumnya berupa tubuh intrusi
magma. Namun ada juga sumber panas hidrotermal yang bukan berasal dari batuan
menjadi 2, yaitu :
dari aktivitas magma. Tipe ini umumnya menghasilkan fluida dengan temperatur
yang tinggi. Perbedaan tubuh magma yang mengintrusi juga dapat berpengaruh
pada perbedaan sistem geotermal. Intrusi magma yang bersifat andesitik, umumnya
membentuk geometri intrusi dengan diameter kecil namun secara vertikal dekat
tubuh yang berdiameter lebar, namun secara vertikal jauh di bawah permukaan. Hal
Selain itu, perbedaan tubuh intrusi ini juga dapat menghasilkan perbedaan
manifestasi di permukaan.
berkaitan dengan aktivitas magmatik. Pada sistem ini, panas dihasilkan bukan dari
magma, tapi dari aktivitas tektonik pada suatu daerah. Panas dapat dihasilkan dari
peristiwa uplift basement rock yang masih panas, atau bisa juga berasal dari
sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan akibat adanya perlipatan atau
patahan. Sistem ini dapat menghasilkan fluida dengan temperatur tinggi atau
rendah.
Jenis fluida yang bersirkulasi dalam sistem hidrotermal juga berperan penting
dalam menentukan karakter suatu sistem hidrotermal. Ellis & Mahon (1977)
Air juvenil, yaitu air yang berasal dari batuan magma primer yang
Air magmatik, yaitu air yang berasal dari magma, namun tidak harus berupa
air juvenil. Karena magma juga dapat berasosiasi dengan air meteorik yang
Air connate atau air formasi, yaitu air yang sudah tidak lagi termasuk dalam
sirkulasi atmosfer. Jenis air ini awalnya termasuk air meteorik yang
terperangkap oleh batuan sedimen yang sangat dalam dan sudah tidak
berkontak lagi dengan air meteorik dan sirkulasi atmosfer dalam skala waktu
geologi yang panjang. Air ini umumnya berasal dari air laut, namun sudah
Air metamorfik, ialah air yang berasal dari modifikasi khusus dari air
connate yang berasal dari rekristalisasi mineral hydrous menjadi mineral yang
Fluida yang berperan pada sistem geotermal dapat berupa gas maupun cairan.
mendominasi reservoar, apakah gas (vapour daminated) seperti pada gambar 2.2
atau cairan (liquid dominated) seperti pada gambar 2.1. Pada banyak lapangan
panas bumi, umumnya kedua fluida tersebut hadir pada zona dua fasa (two-phase
Gambar 2.1. Struktur konseptual untuk sistem hidrotermal yang didominasi oleh fase cair
Gambar 2.2. Struktur konseptual untuk sistem panas bumi yang didominasi oleh fase gas
c. Zona permeabel
Agar suatu sistem hidrotermal dapat bersirkulasi dengan baik, fluida tersebut
diperolehnya dari tubuh magma. Jalan untuk berpindahnya fluida tersebut kita sebut
sebagai zona permeabel, yaitu zona yang dapat melalukan fluida. Zona permeabel
dapat berupa berbagai fitur, baik struktur geologi maupun berupa litologi.
Zona permeabel berupa struktur geologi umumnya berupa sesar atau kekar.
Sesar atau kekar ini dapat menyisakan ruang atau celah atau rekahan yang dapat
dapat menjadi zona permeabel adalah litologi yang bersifat dapat meloloskan air
dalam jumlah yang signifikan. Litologi ini umumnya disebut sebagai akuifer. Sifat
ini dapat dimiliki oleh litologi tersebut selama proses sedimentasi maupun setelah
sedimentasi.
d. Batuan reservoar
Batuan reservoar adalah batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air
dalam jumlah yang signifikan. Batuan ini umumnya memiliki porositas dan
permeabilitas yang cukup baik. Kedua karakter tadi sangat berpengaruh terhadap
suhu reservoar lebih kecil dari 150oC diklasifikasikan sebagai temperatur rendah,
sedangkan jika suhu reservoar diatas 150oC disebut temperatur tinggi. Suhu
reservoar ini berpengaruh terhadap pemanfaatan panas dari suatu sistem panas
bumi. Temperatur tinggi umumnya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, dan sisa
uap yang suhunya sudah menurun dapat digunakan untuk penggunaan langsung,
Batuan reservoar juga sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dari fluida
reservoar yang akan merubah karakter kimia dari fluida tersebut. Akibat reaksi ini,
kita dapat mengetahui jenis batuan reservoar yang menyimpan fluida hidrotermal
hidrotermal dengan karakter kimia yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah suatu sistem panas bumi
e. Batuan impermeabel
menghasilkan mineral mineral yang bersifat kedap air, yaitu mineral lempung.
Mosier dkk. (1986) dalam Livo, dkk. telah membuat model pembentukan
mineral lempung untuk tipikal sistem hidrotermal asam sulfat seperti pada gambar
2.3. Model ini menggambarkan bagaimana fluida mampu bergerak naik ke atas dan
Mineral yang terbentuk di daerah yang dalam adalah kuarsa, adularia, illite, dan
sirkulasi fluida dan secara umum dibagi menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup.
Sistem tertutup adalah apabila fluida hidrotermal tidak mengalami sirkulasi, fluida
konduksi, yaitu perpindahan panas melalui media tanpa ada perpindahan material
dari media tersebut. Sedangkan sistem terbuka adalah apabila fluida hidrotermal
mengalami sirkulasi, ada fluida yang masuk reservoar (in flow) dan ada fluida yang
keluar dari reservoar (out flow). Perpindahan kalor atau panas terjadi secara
Tabel 1. Klasifikasi sisem panas bumi berdasarkan Ellis & Mahon (1977)
Basis Klasifikasi
Origin dari Cyclic Storage
fluida
Temperatur High-temperatutre Warm
reservoar water
Sumber panas Volcanic Tectonic
activity
Asal fluida Sedimentary Metamorphic
basin system
Ada/tidaknya Open Close
caprock
Ellis & Mahon (1977) membagi sistem panas bumi berdsarkan asal dari fluida
Cyclic system yaitu apabila suatu fluida hidrotermal berasal dari air meteorik
terpanaskan, dan bergerak naik ke permukaan sebagai fluida panas. Pada sistem ini,
air meteorik mengalami recharge dari hujan yang mengalami infiltrasi, sehingga
siklus sistem berjalan terus menerus. Ellis & Mahon (1977) juga menjelaskan
bahwa untuk membentuk sistem ini, dibutuhkan beberapa persyaratan, yaitu (1)
sirkulasi air tanah dalam, (2) adanya sumber panas, (3) kemampuan air yang
memadai, (4) waktu yang tepat dan luas permukaan yang tepat untuk pertukaran
panas agar air dapat dipanaskan, serta (5) adanya jalur untuk air bergerak ke
permukaan.
Ellis & Mahon (1977) membagi sistem ini berdasarkan suhu yaitu sistem
bersuhu panas dan sistem bersuhu hangat. Sistem bersuhu panas dibagi lagi
dengan vulkanik dan sistem bersuhu panas di zona aktivitas tektonik non-vulkanik.
tipe andesitik, dasitik, dan riolitik; jarang yang berasosiasi dengan vulkanik tipe
basaltik (McNith, 1970 dalam Ellis & Mahon, 1977). Ada banyak lapangan
geotermal yang memiliki struktur geologi yang terbentuk akibat aktifitas tektonik
seperti blok patahan, pembentukan graben, maupun lembah rifting, namun tidak
adalah pada perpotongan batas patahan utama pada blok struktur. Contohnya adalah
dan lapangan Cerro Prieto di Meksiko yang berasosiasi dengan graben utama.
Adapula lapangan yang berasosiasi dengan struktur kaldera dan ada yang
bumi di Indonesia.
Air pada sistem panas bumi ini berasal dari air meteorik yang mengalami
itu air mengalami pemanasan dan bergerak naik kembali akibat gaya konvektif.
Sebagian besar jalan air untuk naik keatas berupa rekahan yang dihasilkan akibat
patahan maupun rekahan yang terbentuk akibat intrusi magma. Pada zona yang
berporositas tinggi, air yang telah terpanaskan tersebut dapat menyebar luas. Pada
kedalaman yang lebih dangkal, mungkin terjadi resirkulasi sistem konveksi air yang
mengalami pendinginan akibat terjadi boiling pada tekanan yang rendah dekat
permukaan, sedangkan proses mixing dapat terjadi di pertemuan antara fluida panas
dengan zona air dingin pada semua kedalaman. Adanya batuan impermeable yang
ke permukaan, namun adanya kebocoran membuat fluida tetap dapat keluar dalam
bentuk fumarola jika yang keluar adalah uap pada elevasi yang tinggi dan dalam
hingga mengenai fluida. Proses transfer panas ini dapat dibantu dengan adanya
rekahan yang terbentuk karena tekanan akibat adanya panas. Agar sistem ini dapat
berjalan terus-menerus, perlu adanya sirkulasi fluida yang mengenai tubuh magma.
Selain dari air meteorik, magma juga dapat mengeluarkan fluida yang disebut
fluida magmatik. Penambahan fluida magmatik ini akan menambah salinitas fluida
Ellis & Mahon (1977) sebagai system panas bumi bersuhu panas namun tak
Larderello di Itali dan Lapangan Kizildere, Turki. Kedua lapangan panas bumi
tersebut memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh lapangan panas bumi
lainnya.
Ciri lithologi di daerah tersebut dipaparkan oleh Ellis & Mahon (1977) berupa sekis
bersama lapisan batuan sedimen berupa batulempung, shale, dan batupasir; dimana
(Burgassi, 1964 dalam Ellis & Mahon, 1997). Kemudian terjadi subsidence pada
Post-Pliosen (Burgassi, 1964 dalam Ellis & Mahon, 1997). Sedangkan menurut
Marinelli (1969) dalam Ellis Mahon (1997) Larderello terbentuk dari graben pada
bagian puncak dari dome yang dihasilkan oleh intrusi granit di bawahnya. Struktur
inilah yeng menjadi zona permeabel sehingga fluida hidrotermal dapat bergerak
naik ke permukaan.
Aktivitas panas di daerah ini berupa urat uap air dan air yang terpanaskan oleh
uap. Sedangkan pengeboran sumur pada daerah ini menghasilkan uap yang bersuhu
150˚ hingga 260˚ dengan tekanan maksimum 39 bar. Mineral hasil alterasi yang
umum ditemukan di daerah ini berupa adularia, zeolite, klorit, kalsit, kuarsa,
anhidrit dan pistasit yang ditemukan pada basement berupa kuarsit dan slate
(Marinelli, 1969 dalam Ellis & Mahon, 1977). Marinelli juga menyebutkan bahwa
sirkulasi fluida dari kedalaman yang lebih dangkal yang melewati litologi
batugamping.
Sistem ini umumnya terbentuk di daerah yang tersusun oleh batuan beku dan
batuan metamorf yang mengalami pengkekaran atau sesar yang signifikan. Struktur
ini memberikan jalan kepada air dari kedalaman yang dangkal untuk bersirkulasi
hingga kedalaman yang lebih dalam. Air ini kemudian akan mengalami
yang lebih tinggi. Air yang telah terpanaskan kemudian bergerak naik kembali
menghasilkan mataair hangat dengan temperatur dibawah titik didih (100˚ C). Air
Storage System terbentuk apabila air tersimpan pada batuan dalam skala
waktu geologi yang cukup lama dan terpanaskan secara insitu, baik sebagai fluida
dalam formasi maupun sebagai air dari proses hidrasi pada mineral. Storage system
ini dibagi berdasarkan host atau batuan tempat tersimpannya fluida tersebut, dapat
(Metamorphic system).
terendapkan pada lingkungan laut yang merupakan penampung air terbesar. Air
yang terdapat pada batuan tersebut lama-kelamaan akan berkurang akibat proses
kimia, mineralogi dan biologis yang terjadi selama proses litifikasi. Salinitas pada
air yang dihasilkan oleh air formasi ini umumnya lebih tinggi dibanding salinitas
pada air magmatik. Selain itu, air yang berasal dari air laut ini juga akan
mengakibatkan komponen ion klorida pada air formasi yang mengalami pemanasan
akan meningkat.
Terdapat beberapa proses yang dapat mengubah sifat air pada sistem
cekungan sedimen ini, antara lain presipitasi, rekristalisasi, hidrasi atau dehidrasi,
dengan air lain, pelarutan material sedimen, dan ultrafiltrasi atau reverse osmosis.
b. Metamorphic system
oleh White et al (1973) dalam Ellis & Mahon (1997) sebagai origin dari mataair
panas di bagian utara dari pesisir California dimana endapan merkuri atau raksa
umumnya berasosiasi dengan area ini. Mata air panas tersebut mengeluarkan air
yang bersifat sodium bikarbonat dengan kandungan amonia dan boron yang cukup
signifikan, serta kandungan isotop oksigen dan hidrogen yang diduga bukan berasal
dari air meteorik namun dari pelepasan air saat proses metamorfisme batuan
sedimen asal laut berjalan. Pemboran pada daerah ini menghasilkan fluida
BAB III
FLUIDA HIDROTHERMAL
diantaranya adalah pH, suhu dan komposisi. Perbedaan komposisi pada fluida ini
merupakan hasil dari proses interaksi antara batuan dan fluida di bawah permukaan
bumi, selain itu juga dipengaruhi oleh asal dari fluida tersebut. Nicholson (1993)
3.1. Klorida
air klorida. Tipe air ini disebut juga sebagai “alkali-klorida” atau “klorida netral”.
Tipe air ini memiliki kandungan anion dominan berupa ion klorida (Cl-). Tipe air
ini merupakan tipe fluida geotermal dalam yang umum ditemukan pada sistem
temperatur tinggi. Mata air panas yang mengandung klorida dalam jumlah besar di
sistem hidrotermal berdasarkan reliefnya, munculnya mata air panas klorida belum
tentu mengindikasikan adanya up flow. Air klorida umumnya keluar pada mata air
panas seperti dicontohkan pada Gambar 3.1. yang merupakan chloride spring yang
ada di Sumatera atau kolam air panas dengan aliran yang baik, dan geyser.
Gambar 3.1. Manifestasi air panas klorida (chloride spring) yang dikelilingi oleh sinter
(Anonim, 2015)
Nicholson (1993) juga menjelaskan bahwa kandungan ion utama pada air ini
adalah ion klorida, dengan kandungan bikarbonat dan sulfat yang bervariasi namun
umumnya kurang dari komposisi klorida. Kandungan silika dan boron cukup
signifikan dan juga mengandung sodium dan potassium yang cukup banyak sebagai
kation utamanya. Bila berinteraksi dengan air laut atau air formasi pada beberapa
sistem dapat terjadi pencampuran antara klorida dari air yang asli dengan klorida
dari air laut atau air formasi tersebut. Kandungan ion klorida bisa mencapai 100.000
mg/kg hingga 10.000 mg/kg. Kondisi pH umumnya mendekati netral meski kadang
Fluida atau air klorida apabila berinteraksi dengan batuan sekitar umumnya
umum terbentuk adalah silika (amorf, kristobalit atau kuarsa), albit, adularia, ilit,
klorit, apidot, zeolit, kalsit, pirit, pirhotit, dan sulfida logam dasar lainnya
(Nicholson, 1993).
3.2. Sulfat
Disebut juga sebagai air asam sulfat, hal ini disebabkan karena tipe air ini
umumnya memiliki pH yang rendah atau bersifat asam. Tipe air ini umumnya
terbentuk di dekat permukaan sebagai hasil reaksi antara gas atau uap panas yang
mengandung H2S yang beraksi dengan H2O yang ada pada zona vadose
menghasilkan H2SO4 yang bersifat asam. Gas yang bereaksi tersebut merupakan
gas yang berasal dari reservoar panas bumi, pada reservoar terjadi peristiwa boiling
yang menyebabkan adanya pemisahan antara fase gas dengan fase liquid, sehingga
gas-gas akan bergerak naik hingga permukaan, sedangkan liquid akan bergerak
Nicholson (1993) selain terbentuk di dekat permukaan atau pada kedalaman yang
dangkal, air sulfat juga dapat ditemukan atau dapat bersirkulasi ke kedalaman yang
lebih dalam apabila terdapat kekar atau sesar yang menjadi zona permeabel. Di
daerah yang dalam, air sulfat akan mengalami pemanasan dan bercampur dengan
Air asam sulfat umumnya keluar di permukaan dalam bentuk kolam panas
(Gambar 3.3.) atau kolam lumpur panas (Gambar 3.2.), namun bisa juga dalam
bentuk mata air. Seiring dengan pemisahan antara uap dan air di bagian dalam, uap
mendidih atau tanah beruap. Proses ini dapat terjadi pada bentuk manifestasi
fumarola (Gambar 3.4.). Sifat air yang asam dapat membuat batuan mengalami
Gambar 3.2. Manifestasi mud pool atau Gambar 3.3. Manifestasi kolam air
kolam lumpur panas pada sistem panas
panas (hot pool) (Stewart, 2015)
bumi (Anonim, 2015))
(Anonim, 2015)
Komposisi anion utama berupa asam sulfat (H2SO4) yang dihasilkan dari
keasamaan air. Selain ion H dari reaksi H2S dengan O2, ion H juga dihasilkan dari
reaksi antara CO2 dengan H2O yang menghasilkan H2CO3 berdasarkan reaksi:
minimum 2.8, sedangkan jika pH kurang dari 2, maka kemungkinan besar sudah
Klorida dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sangat sedikit, serta
bikarbonat juga hadir dalam jumlah yang sedikit atau bahkan tidak ada dan semakin
sedikit seiring berkurangnya pH karena H2CO3 akan pecah dan mengeluarkan gas
CO2. Gas gas lain yang dapat ditemukan pada tipe air ini adalah NH3, As, dan B
yang juga dihasilkan dari pemisahan gas dan air pada peristiwa boiling di zona yang
lebih dalam. Reaksi antara batuan dengan air asam sulfat di dekat permukaan juga
dapat melepas ion-ion logam seperti Na, K, Mg, dan Fe dari batuan dan larut ke
dalam air, sehingga konsentrasi ion logam di dalam air semakin meningkat.
Alterasi yang dihasilkan oleh tipe larutan ini adalah argilik lanjut (Nicholson,
1993) karena sifat asam yang menyebabkan batuan mengalami leaching secara
haloynit, dan alunit sebagai mineral penciri. Selain itu, prose leaching yang luas
dapat menghasilkan endapan silica. Mineral anhidrit, hematit, dikit, jarosit, pirit,
dan campuran hematit-goetit serta sulfur juga sering ditemukan (Nicholson, 1993).
3.3. Bikarbonat
Menurut Nicholson (1993), yang termasuk tipe air ini antara lain air yang
kaya akan CO2 dan air bikarbonat-sulfat netral. Nicholson juga menjelaskan bahwa
keduanya terbentuk oleh gas dan uap yang terkondensasi pada air yang sedikit
mengandung oksigen. Fluida seperti ini dapat terbentuk pada zona bocor yang
berbentuk seperti payung yang menutupi sistem geotermal, juga dapat terbentuk
pada daerah batas dari suatu sistem geotermal. Umumnya memiliki bentuk
manifestasi permukaan berupa mata air panas dan mata air “soda” bersuhu rendah.
netral, hal ini diakibatkan oleh reaksi antara air tersebut dengan batuan sekitar
selama mengalir secara lateral dekat permukaan yang menyebabkan air tersebut
mengalami netralisasi yang awalnya bersifat asam. Komponen utama air ini adalah
ion bikarbonat sebagai anion dan sodium sebagai kation. Sulfat mungkin ada
dengan konsentrasi yang beragam dan klorida umumnya hadir dalam konsentrasi
yang kecil atau bahkan tidak sama sekali (Mahon, dkk. 1980 dalam Ellis & Mahon,
1977). Sifat air ini sangat reaktif, sehingga pada pemboran panas bumi sangat
Alterasi yang dihasilkan dari reaksi antara tipe air ini dengan batuan sekitar
berupa alterasi argilik dengan mineral sekunder yang dapat terbentuk antara lain
mineral lempung seperti kaolin dan monmorilonit; mordinit, kalsit, dan kadang
3.4. Sulfat-Klorida
- Bercampurnya air asam sulfat dan air klorida pada berbagai kedalaman
klorida
- Adanya air klorida yang melewati batuan dengan komposisi kaya sulfur
Dari beberapa proses di atas, proses yang paling umum membentuk air sulfat-
klorida adalah proses pertama. Air ini umumnya muncul ke permukaan sebagai
1993) dengan komposisi klorida dan sulfat yang relatif seimbang. Sedangkan air
yang terbentuk dari proses kondensasi gas magmatik dekat permukaan dan
kondensasi uap magmatik pada zona yang dalam cenderung menghasilkan air
dengan konsentrasi Cl, SO4 dan F yang tinggi. Tipe air ini juga dapat memiliki pH
hingga 2 - 0 namun akibat reaksi dengan batuan sekitar yang menyebabkan adanya
1993).
Menurut Nicholson (1993) alterasi yang dihasilkan oleh tipe air ini umumnya
Dengan mineral sekunder yang umum terbentuk antara lain kaolin, sisa silika,
Menurut Nicholson (1993) tipe air ini terbentuk oleh pengenceran fluida yang
bersifat klorida oleh air tanah maupun oleh air bikarbonat selama pergerakan
lateral. Keterdapatan larutan ini umumnya terbatas pada tepi dari zona up flow dan
struktur out flow pada system bertemperatur tinggi. Umumnya muncul sebagai mata
utama berupa klorida dengan bikarbonat dalam konsentrasi yang bervariasi. Tipe
alterasi mirip dengan alterasi akibat air klorida namun kurang berkembang
(Nicholson, 1993).
3.6. Summary
Tempat Manifestasi
Tipe air pH Mineral alterasi
terbentuk permukaan
Klorida Mendekati Sub-surface Mata air Silika (amorf, kristo-
netral panas, kolam, balit atau kuarsa), albit,
dan geyser adularia, ilit, klorit,
apidot, zeolite, kalsit,
pirit, pyrhotite, dan
sulfida logam dasar
lainnya
Sulfat Asam Near- Mud pool, Kaolin, kristobalit,
Surface cloudy pool, haloynit, dan alunit
spring (mineral penciri),
anhidrit, hematit, dikit,
jarosit, pirit, dan
campuran hematit-
goetit serta sulfur.
Bikarbonat Mendekati Sub-surface Mata air panas Mineral lempung
netral atau hangat; seperti kaolin dan
mata air montmorilonit;
“soda” dingin mordinit, dan kalsit.
Sulfat-Klorida Asam Sub-surface Mata air panas Kaolin, sisa silika,
atau near- atau hangat kristobalit, alunit,
surface klorit, kalsit, adularia,
anhidrit, pirofilit,
smektit, dan
pencampuran hematit
dan goetit
Klorida encer Mendekati Sub-surface Mata air panas Seperti air klorida
netral atau hangat
BAB IV
Alterasi merupakan hasil dari interaksi antara fluida yang biasanya berupa
likuid, dengan batuan pada suhu hangat (<100˚C) hingga suhu panas (>500˚C)
sekunder yang terbentuk akibat proses alterasi. Thompson & Thompson (1996)
formation dari suatu batuan, itu artinya mineral alterasi menjadi kunci untuk
menjelaskan proses apa yang terjadi setelah batuan terbentuk atau proses sekunder.
Proses alterasi umumnya disebabkan oleh fluida yang bersifat reaktif yang
menyebabakn terjadinya reaksi dengan batuan, fluida yang reaktif ini menyebabkan
adanya suatu kondisi kesetimbangan baru yang memaksa mineral primer berubah
menjadi mineral baru (sekunder) yang lebih stabil. Kondisi kestabilan ini
bergantung pada temperatur dan karakteristik kimia fluida yang bereaksi. Mineral-
mineral tertentu stabil pada suhu rendah seperti talk, sedangkan mineral lain dapat
stabil pada berbagai temperature tapi dengan pH yang rendah seperti kaolinit,
mineral lain seperti siderit stabil pada temperatur yang tinggi (Morrison, 1997).
- Alterasi Argilik, adalah alterasi yang terjadi pada suhu relatif rendah yaitu
sekitar <230˚C, dengan karakter fluida asam hingga netral, dan salinitas
yang rendah. Mineral yang umum terbentuk adalah kaolinit, smektit, dan
- Argilik lanjut, merupakan alterasi yang terjadi pada suhu tinggi dan fluida
yang bersifat asam (pH rendah). Mineral yang umumnya terbentuk adalah
Mineral alterasi ini umumnya terbentuk dari uap magmatik yang bersifat
kondensasi fluida asam sulfat yang terbentuk dari uap kondensat yang
- Alterasi filik, yaitu alterasi yang terbentuk pada suhu sedang hingga tinggi,
dari fluida yang asam hingga netral dan dengan salinitas yang bervariasi.
Mineral yang umum terbentuk adalah mineral illit atau serisit dan kuarsa,
bersama dengan pirit dan mungkin anhidrit. Bisa juga terbentuk klorit,
kalsit, dan anhidrit. Adapula tipe alterasi propilitik bersuhu tinggi yang
terbentuk dari karakter fluida yang sama namun pada suhu yang lebih
(Morrison, 1997)
kuat, dengan salinitas tinggi, berinteraksi dengan batuan pada suhu tinggi
(>300˚C). Mineral yang umum terbentuk akibat alterasi ini adalah mineral
biotit, ortoklas, kuarsa dan magnetit. Mineral aksesoris yang umum adalah
anhidrit, namun bisa juga terbentuk albit, titanit, atau rutil (Morrison,
1997)
- Alterasi skarn adalah alterasi yang terjadi akibat fluida yang memiliki
salinitas tinggi berkontak dengan batuan yang kaya akan kalsium (Ca).
Alterasi ini terjadi pada rentang suhu 300˚-700˚C. Mineral yang terbentuk
magnetit, dan kalsit. Biotit, K-feldspar, kuarsa dan klorit dapat hadir dalam
Dari berbagai macam alterasi diatas, dapat kita simpulkan bahwa alterasi
yang umum terjadi akibat interaksi fluida yang bersifat asam adalah alterasi argilik
Mineral alterasi yang terbentuk pada pH asam umumnya berupa mineral hasil
alterasi tipe argilik atau argilik lanjut. Tipe alterasi ini akan menyebabkan batuan
argilik maupun argilik lanjut dapat terjadi di permukaan maupun di zona yang lebih
dalam, karena suhu pembentukan yang bervariasi dari rendah hingga tinggi.
(1997) adalah:
- Kaolinit
Biasanya terbentuk akibat interaksi dengan fluida yang bersifat asam, dapat pula
terbentuk akibat fluida dengan salinitas rendah. Suhu pembentukan relatif rendah,
umumnya pada rentang suhu <220˚C bergantung pada kondisi pH. Biasanya
berasosiasi dengan mineral kuarsa, opal, alunit, pirit (asam) atau smektit (netral).
- Dickite
- Opal
Mineral opal terbentuk akibat replacement komponen batuan asal pada vuggy
dan urat. Fluida yang berinteraksi umumnya bersifat asam dimana opal terbentuk
sebagai hasil alterasi, namun juga bisa terbentuk dari fluida netral. Suhu
pembentukan relatif rendah pada rentang suhu dibawah 120˚C. Dapat berasosiasi
- Kristobalit
umumnya terbentuk di sekitar solfatara dan dapat menjadi scale pada sumur
pemboran. Fluida yang berperan bersifat asam hingga netral, namun lebih sering
fluida yang bersifat asam. Suhu pembentukan bervariasi dari rendah hingga sedang,
umumnya kurang dari 200˚C. Umumnya hadir bersama kuarsa, alunit, dan sulfur.
- Jarosite
supergene atau bisa juga terbentuk akibat alterasi asam dari mineral pirit atau
- Alunit
Terbentuk dari replacement mineral plagioklas dan matriks, urat dan vuggy,
serta pada mata air yang bersifat asam, tinggi kandungan SO4, dan bersuhu tinggi
namun kurang dari 220˚C. dapat berasosiasi dengan mineral halloysite, kaolinit,
atau dickite, kuarsa, pirit, opal, kristobalit, pirofilit, diaspor, sulfur, vuggy kuarsa,
dan zunyite.
- Oksida/Hidroksida besi
Mineral yang termasuk oksida besi antara lain goethite dan limonit.
urat dan vuggy. Fluida yang berkontribusi bersifat asam dengan suhu relatif dingin,
kurang dari 260˚C. Umumnya berasosiasi dengan mineral pirit, hematit, dan
mineral lempung.
Tabel 3. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi)
Mineral 0 100 200 300
Kaolinit
Dickite
Opal
Kristobalit
Jarosit
Alunit
Oksida besi
(Goethite)
BAB V
STUDI KASUS
Lapangan Panas bumi Otake dilakukan oleh Taguchi, dkk. (2006). Penelitian yang
dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui genesis dari mineral alterasi yaitu alunit.
mineral.
Lapangan panas bumi Otake ini terletak di lereng barat laut G. Kuju dengan
ketinggian sekitar 900 mdpl. Tipe manifestasi di lapangan panas bumi ini adalah
mata air panas, fumarola, dan tanah beruap (steaming groundi). Sedangkan tipe
alterasi yang ditemukan berupa alterasi argilik lanjut dengan mineral penciri dibagi
menjadi 3 zona utama, yaitu zona alunit, zona kaolin, dan zona smektit yang
dkk, 2006)
Zona alunit merupakan zona pusat yang paling dekat dengan manifestasi
panas bumi. Pada zona ini mineral alterasi yang ditemukan antara lain alunit dan
kristobalit serta kuarsa, kaolin dan anatase dalam jumlah sedikit. Zona kaolin
tersebar mengelilingi zona alunit dengan mineral utama yang ditemukan berupa
kaolin dan kristobalit serta kuarsa kuarsa di bagian yang lebih dalam. Zona kaolin
ini terdapat di permukaan dengan geometri yang tipis serta terdapat juga di bawah
permukaan. Sedangkan zona smektit berada di paling luar atau paling jauh dari
menyimpulkan bahwa sumur pemboran O-9 berada di pusat naiknya fluida asam di
masa lampau. Jalur fluida asam hipogen di masa lampau kemungkinan ditempati
oleh zona upflow air dengan pH mendekati netral dari sirkulasi dalam di masa kini.
Penelitian ini dilakukan oleh Mas dkk. (1996). Lapangan panas bumi
Copahue sendiri berlokasi di sebelah barat Buenos Aires, dengan elevasi sekitar
2000 mdpl. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara
Lapangan panas bumi Copahue ini memiliki 5 manifestasi yang masih aktif
seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.2 yang terdiri dari fumarol, mata air panas,
Copahue yang tersebar di beberapa area yaitu Las Maquinas, Termas de Copahue,
mineral alterasi yang terdapat di lapangan ini antara lain alunit, kaolinit, kuarsa,
kristobalit, pirit, sulfur, dan jarosit. Mineral-mineral tersebut merupakan hasil dari
leaching batuan oleh fluida asam yang mengandung H2SO4 dengan konsentrasi
tinggi dari reaksi gas H2S yang berasal dari boiling di bawah permukaan dengan air
Gambar 5.2. Peta Lapangan Panas bumi Copahue, Argentina serta daerah alterasinya
alunit, kaolinit, kuarsa, jarosit, dan oksida besi. Daerah yang memiliki tingkat
keasaman paling tinggi adalah Las Maquinas dengan adanya mineral alunit dan
memiliki tingkat keasamaan yang mirip walaupun mungkin Las Maquinitas lebih
Sedangkan Las Maquinitas berasosiasi dengan perpotongan antara sesar N55˚E dan
mineralogy yang berbeda yang menunjukkan adanya evolusi atau perubahan tingkat
keasaman. Alterasi yang lebih dulu menunjukkan sifat fluida lebih asam yang
dicirikan oleh adanya alunit, kaolinit, dan silica kriptokristalin. Sedangkan alterasi
yang datang belakangan menunjukkan sifat fluida yang mendekati netral yang
dicirikan oleh mineral monmorilonit dan silica sinter. Perubahan keasaman ini
Panas bumi Unzen yang berada di pusat semenanjung Shimabara yang berasosiasi
manifestasi panas bumi berupa mataair panas, tanah beruap, dan kolam lumpur.
Tipe alterasi yang ditemukan berupa alterasi argilik lanjut. Fluida geotermal di
tempat ini diindikasi bersuhu sekitar 240˚C. Struktur geologi yang terdapat di
Mineral alterasi yang ditemukan di daerah ini berupa kristobalit dan tridimit
yang tersebar di bagian tenggara daerah penelitian, serta kuarsa yang tersebar di
Kaolinit juga banyak ditemukan di sekitar mata air panas, kaolin umumnya
terbentuk pada suhu diatas 200˚C, hal ini menunjukkan bahwa batuan tersilisifikasi
tersebut terbentuk pada suhu diatas 200˚C. Sedangkan dickite, nacrite ditemukan di
sebelah selatan dan timur batuan yang tersilisifikasi. Dari analisa isotop sulfur yang
diambil dari ion sulfat pada mata air panas menunjukkan pH air berada di rentang
2,3 hingga 3,5 yang kemungkinan sulfur tersebut berasal dari H2S. Sehingga dapat
penelitian tidak terbentuk pada masa sekarang tapi akibat fluida vulkanik yang
bersifat asam pada masa lampau, kemudian tererosi hingga 100 m dan tersingkap
di permukaan.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada eksplorasi panas bumi dengan pendekatan geokimia, salah satu hal yang
paling penting adalah dengan melihat tipe alterasi yang ada di permukaan. Tipe
alterasi ini dapat memberikan gambaran fluida yang bekerja di sistem panas bumi
di sekitar daerah alterasi tersebut, sehingga kita bisa mengetahui potensi serta
dengan batuan yang berkontak dengan fluida tersebut. Tipe alterasi ini dapat
dicirikan dengan mineral alterasi yang dihasilkan. Alterasi pada kondisi pH asam
sendiri, seperti yang sudah dijelaskan, dapat menghasilkan tipe alterasi argilik dan
atau argilik lanjut. Alterasi ini, pada sistem panas bumi dapat terjadi baik di
mencirikan tipe alterasi ini, seperti Kaolinit, Dickite, Opal, Kristobalit, Jarosit,
kondisi pH rendah atau asam, dengan suhu pembentukan sekitar 0˚C sampai kurang
dari 300˚C. Sedangkan suhu fluida di permukaan, pada tekanan 1 atm, hanya akan
mencapai suhu maksimal 100˚C. Itu artinya, hanya mineral yang stabil atau mineral
yang terbentuk pada suhu sekitar 100˚C yang dapat terbentuk pada alterasi pH asam
di permukaan.
mineral, kita bisa melihat bahwa mineral-mineral tersebut dapat stabil pada suhu
sekitar 0-300˚C. Itu artinya mineral-mineral tersebut secara teori dapat terbentuk
pada suhu fluida 100˚C. Sehingga kita dapat berasumsi bahwa mineral-minera
Tabel 4. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi)
Mineral 0 100 200 300
Kaolinit
Dickite
Opal
Kristobalit
Jarosit
Alunit
Oksida besi
(Goethite)
macam-macam fluida yang dapat terbentuk pada sistem panas bumi, kita bisa
mengetahui bahwa fluida yang dapat menghasilkan tipe alterasi pH asam adalah
fluida yang bersifat asam, diantaranya adalah fluida sulfat, sulfat-klorida, dan
bikarbonat. Ketiga jenis fluida ini dapat menghasilkan alterasi dengan pH asam
H2CO3. Secara teoritis, senyawa H2SO4 memiliki pH yang lebih rendah atau lebih
asam dibanding senyawa H2CO3, bahkan H2CO3 juga disebut sebagai asam
hipotesis karena senyawa tersebut pada larutan akan segera terurai menjadi H2O
dan CO2. Itu sebabnya, fluida asam sulfat dan sulfat-klorida cenderung lebih
Senyawa asam sulfat (H2SO4) yang terkandung dalam fluida asam sulfat
ataupun fluida sulfat-klorida sendiri umumnya terbentuk dari reaksi H2S dengan O2
dimana H2S umum terdapat pada sistem hidrotermal dalam bentuk gas. Gas H2S ini
umunya terbentuk pada proses boiling baik dibawah permukaan maupun di dekat
permukaan. Proses boiling pada sistem panas bumi ini menandakan bahwa sistem
tersebut memiliki suhu yang relatif panas. Gas H2S sendiri menurut Nicholson
(1993) merupakan gas pada sistem hidrotermal yang terbentuk dari alterasi batuan
pada reservoar atau dari sumber magmatik. Itu artinya, gas ini umum terbentuk pada
sistem panas bumi bersuhu tinggi, terutama yang berkaitan dengan sistem vulkanik.
yang menghasilkan leaching batuan secara pervasive, sehingga terjadi alterasi tipe
argilik atau argilik lanjut. Alterasi tersebut nantinya membentuk mineral alterasi
Dari pemaparan tadi, hubungan antara sistem panas bumi, jenis fluida, tipe
alterasi dengan mineral alterasi yang terbentuk, dapat digambarkan dalam bagan
Gambar 6.1. Bagan hubungan sistem hidrotermal, tipe fluida, tipe alterasi dan mineral
hasil alterasi
kaolinit, alunit, dll. terbentuk dari alterasi argilik dan argilik lanjut, sedangkan tipe
alterasi tersebut terjadi akibat adanya fluida sulfat atau fluida sulfat-klorida. dan
kedua fluida tersebut mungkin terbentuk oleh sistem hidrotermal bersuhu tinggi
BAB VII
KESIMPULAN
Dari pemaparan teori-teori yang terkait dengan sistem hidrotermal, juga data
serta studi kasus yang telah dipaparkan, kita dapat mengambil beberapa poin
kesimpulan, diantaranya:
air asam sulfat, air sulfat-klorida, dengan tipe alterasi berupa alterasi
alterasi argilik lanjut, sedangkan pada suhu yang lebih rendah akan
DAFTAR PUSTAKA
Juni 2015)
(http://www.waikatoregion.govt.nz/Services/Regional-services/Regional-
Juni 2015)
Ellis, A.J. dan Mahon, W.A.J. 1997. Chemistry and Geothermal Systems. Academic
Livo, K.E., Kruse, F.A., Clark, R.N., Kokaly, R.F., dan Shanks, W.C.,
Mas, G.R., Mas, L.C., dan Bengochea, L. 1996. Hydrothermal, Surface Alteration
Stanford.
Springer-Verlag, London.
Stewart, C. Hot springs, mud pools and geysers - Hot springs and related features.
(http://www.TeAra.govt.nz/en/document/6484/frying-pan-lake, diakses
Taguchi, S., Kubo, Y., Yoshii, S., Tanaka, Y., dan Chiba, H. Hypogene Acid
Japan.
Taguchi, S., Shimada, Y., Arikado, Y., Motomura, Y., dan Chiba, H. 2006. Acid