Anda di halaman 1dari 53

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/283714301

ALTERASI HIDROTERMAL LINGKUNGAN pH


ASAM DI PERMUKAAN PADA SISTEM PANAS
BUMI

Research · November 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.4938.6962

CITATIONS READS

0 849

1 author:

Saefudin Juhri
Kyushu University
7 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Bachelor Thesis: Geokimia Fluida Panas Bumi di Sekitar Gunung Slamet View project

Referat View project

All content following this page was uploaded by Saefudin Juhri on 12 November 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

KARYA REFERAT

ALTERASI HIDROTERMAL LINGKUNGAN pH ASAM DI


PERMUKAAN PADA SISTEM PANAS BUMI

DISUSUN OLEH
SAEFUDIN JUHRI
12/333298/TK/39700

YOGYAKARTA
JUNI
2015
Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

LEMBAR PENGESAHAN

KARYA REFERAT

ALTERASI HIDROTERMAL LINGKUNGAN pH ASAM DI

PERMUKAAN PADA SISTEM PANAS BUMI

Diajukan untuk memenuhi syarat kurikulum program strata-1

Jurusan Teknik Geologi

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

Yogyakarta, 29 Juni 2015

Dosen Pembimbing Penyusun

Dr. Agung Harijoko, S.T. M.Eng. Saefudin Juhri


NIP. 196812062002121001 12/333298/TK/39700

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 i


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah

memberikan anugerah dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

berjudul “Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan pada Sistem

Panas Bumi” yang disusun untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah referat.

Selain itu, dalam penyelesaian laporan ini penulis juga dibantu oleh beberapa

pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Agung

Harijoko, S.T., M.Eng. selaku dosen pembimbing referat yang telah memberi

arahan, masukan, dan pengetahuan demi terselesaikanya referat ini

Dalam penyusunan referat ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan

kekurangan. Sehingga penulis berharap kritik yang membangun, saran, koreksi, dan

masukan dari para pembaca demi peningkatan kemampuan penulis dalam membuat

suatu karya yang bermanfaat. Terakhir, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat

memberi manfaat seluas-luasnya bagi para pembaca, baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Yogyakarta, Juni 2015


Penulis,

Saefudin Juhri
12/333298/TK/39700

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 ii


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

SARI vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 4
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan 5
1.4. Metode Penyusunan 5

BAB II SISTEM HIDROTERMAL


2.1. Definisi Sistem Hidrotermal 6
2.2. Komponen Sistem Hidrotermal 6
2.3. Klasifikasi Sistem Hidrotermal 12

BAB III FLUIDA HIDROTERMAL


3.1. Klorida 19
3.2. Sulfat 21
3.3. Bikarbonat 24
3.4. Sulfat-Klorida 25
3.5. Klorida Encer-(Bikarbonat) 26
3.6. Summary 26

BAB IV MINERAL ALTERASI HIDROTERMAL


4.1. Alterasi dan Mineral Alterasi 28
4.2. Mineral Alterasi pH Asam di Permukaan 30

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 iii


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB V STUDI KASUS


5.1. Lapangan Panasbumi Otake, Kyushu, Jepang 33
5.2. Lapangan Panasbumi Copahue, Argentina 34
5.3. Lapangan Panasbumi Unzen Jigoku, Kyushu, Jepang 36

BAB VI PEMBAHASAN 38

BAB VII KESIMPULAN 42

DAFTAR PUSTAKA 43

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 iv


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur konseptual untuk sistem hidrotermal yang didominasi

oleh fasa cair (liquid dominated) dengan relief rendah (Nicholson, 1993) 9

Gambar 2.2. Struktur konseptual untuk sistem panas bumi yang didominasi

oleh fase gas (vapour dominated) menurut Nicholson, 1993 9

Gambar 2.3. Skema pembentukan mineral deposit pada sistem kaldera Creede

tipikal untuk sistem asam sulfat (Mosier, dkk., 1986) 12

Gambar 3.1. Manifestasi air panas klorida (chloride spring) yang dikelilingi

oleh sinter 20

Gambar 3.2. Manifestasi mud pool atau kolam lumpur panas pada sistem

panas bumi 22

Gambar 3.3. Manifestasi kolam air panas (hot pool) 22

Gambar 3.4. Manifestasi fumarola 22

Gambar 5.1. Peta persebaran zona alterasi di Lapangan Panasbumi Otake

(Taguchi, dkk., 2006) 33

Gambar 5.2. Peta Lapangan Panasbumi Copahue, Argentina serta daerah

alterasinya (Mas, G.R., dkk., 1996) 35

Gambar 6.1. Bagan hubungan sistem hidrotermal, tipe fluida, tipe alterasi,

dan mineral hasil alterasi 40

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 v


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi sisem panas bumi 13

Tabel 2. Rangkuman karakteristik fluida hidrotermal 26

Tabel 3. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997


dengan modifikasi) 32

Tabel 4. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997


dengan modifikasi) 39

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 vi


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

SARI
Panasbumi merupakan energi alternatif yang kini mulai dikembangkan di
negara-negara yang memiliki potensi panasbumi. Selain karena ramah lingkungan,
energi panasbumi juga bersifat terbarukan. Indonesia merupakan salah satu Negara
dengan potensi energi panasbumi yang sangat besar. Untuk itu perlu pengetahuan
yang cukup luas dan komprehensif untuk mendukung perkembangan energi
panasbumi di Indonesia. Referat ini membahas mengenai alterasi hidrotermal
akibat interaksi fluida asam dengan batuan di permukaan. Diawali dengan
pemaparan menganai sistem hidrotermal itu sendiri, kemudian fluida panas bumi,
dan mineral apa saja yang dapat terbentuk akibat alterasi ini, serta dipaparkan pula
beberapa studi kasus yang diambil dari penelitian terdahulu di berbagai lokasi untuk
menunjukkan keterkaitan mineral hasil alterasi dengan fluida yang mengalterasi.
Dari hasil studi pustaka mengenai teori-teori panasbumi dan mineral alterasi,
disertai dengan studi kasus di beberapa lapangan panasbumi, disimpulkan bahwa
alterasi pH asam di permukaan akan membentuk mineral-mineral seperti kaolinit,
dickite, opal, kristobalit, jarosit, alunit, dan oksida besi. Selain mineral-mineral
tersebut, dapat juga terbentuk mineral lain yang memiliki asosiasi dengan mineral
tadi.

Kata kunci: Panas bumi, alterasi, pH asam, permukaan

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 vii


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Panas bumi merupakan energi yang dihasilkan dari aktivitas tektonik bumi

yang masih aktif hingga sekarang. Aktivitas tektonik ini dapat berperan langsung

dalam pembentukan panas bumi maupun secara tidak langsung yaitu melalui

aktivitas vulkanisme.

Banyak negara yang telah memanfaatkan energi ini, baik melalui

pemanfaatan langsung (direct use) maupun pemanfaatan tidak langung. Negara-

negara tersebut umumnya berada pada batas antara lempeng yang saling

berinteraksi. Interaksi ini dapat berupa konvergen, divergen, maupun transform.

Beberapa negara yang berada di batas konvergen antar lempeng antara lain Chili,

Selandia Baru, Jepang, Filipina, bahkan negara kita Indonesia (Ellis dan Mahon,

1977). Adapula negara yang berada di batas lempeng divergen, seperti Iceland,

Ethiopia, dan Uganda; atau di batas transform seperti di Amerika Serikat.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihasilkan dari pertemuan

antara Lempeng Australia dengan Lempeng Eurasia menghasilkan busur kepulauan

Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Sulawesi; juga tumbukan Lempeng

Australia dengan Lempeng Pasifik yang menghasilkan busur kepulauan Papua dan

Maluku. Akibat pembentukan kepulauan di Indonesia yang dihasilkan dari interaksi

antar lempeng, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang cukup besar.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung api aktif yang ada di Indonesia.

Gunung api merupakan bukti nyata bahwa di daerah tersebut terjadi transfer panas

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 1


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

dari bawah bumi menuju ke permukaan. Transfer panas inilah yang nantinya dapat

digunakan sebagai sumber energi panas bumi. Selain itu banyak pula manifestasi

permukaan yang ada di Indonesia yang dapat membuktikan bahwa prospek panas

bumi cukup besar di sini. Misalnya mataair panas, geyser, fumarol, solfatara, dan

sebagainya.

Energi panas bumi di Indonesia sendiri sudah berkembang. Pada tahun 1925-

1928 bahkan sudah ada pengeboran panas bumi hingga kedalaman 66 meter di area

Kawah Kamojang (Ellis & Mahon, 1977). Ellis & Mahon (1977) menjelaskan

bahwa hingga saat ini kawasan ini sudah mampu menghasilkan energi listrik

sebesar 140 MWe. Selain di kawasan Kawah Kamojang, pengembangan energi

panas bumi juga sudah ada di kawasan Gunung Sibayak yang mampu menghasilkan

2 MWe, kawasan Lahendong menghasilkan 20 MWe, Dataran Tinggi Dieng

menghasilkan 60 Mwe, dan Gunung Salak dengan kapasitas 330 MWe. Serta

kawasan Wayang Windu dan kawasan Darajat.

Melihat potensi panas bumi yang sangat besar di Indonesia, kita tentu dapat

optimis bahwa Indonesia mampu mencukupi kebutuhan energinya dengan panas

bumi. Meski begitu, kebutuhan energi di Indonesia justru masih didominasi oleh

energi fosil yang notabene tidak dapat diperbaharui dan lebih tidak ramah

lingkungan dibandingkan dengan energi panas bumi. Hal ini disebabkan perhatian

pemerintah yang hingga saat ini masih berfokus pada energi fosil.

Meski begitu kita juga perlu memahami bahwa tidak semua panas bumi dapat

dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kita perlu mengidentifikasi apakah suatu

lapangan memang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas bumi atau justru

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 2


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

potensi kebencanaannya lebih besar daripada potensi kemanfaatannya. Serta kita

juga perlu memahami bahwa suatu lapangan panas bumi yang sudah bisa ‘dipanen’

adalah lapangan panas bumi yang sudah matang dan potensi bahayanya sudah

menurun. Teknologi saat ini tidak memungkinkan kita untuk dapat memanfaatkan

energi panas bumi di daerah gunung api aktif seperti Gunung Merapi atau Gunung

Krakatau. Sehingga kita perlu mengeksplor dimana energi panas bumi yang dapat

kita manfaatkan untuk diekstrak energi panasnya.

Metode eksplorasi yang baik mencakup 3G, yaitu Geologi, Geokimia, dan

Geofisika. Eksplorasi panas bumi dimulai dengan pemahaman geologi suatu

daerah, mencakup litologi, struktur geologi, morfologi, dan sejarah geologi daerah

tersebut. Kemudian dilakukan analisa geokimia untuk mengetahui karakteristik

batuan reservoar, karakteristik fluida hidrotermal, dan prospek energi panas yang

dapat diekstrak. Dan sebagai tahap akhir adalah analisa geofisika untuk mengetahui

secara pasti dimanakah titik akumulasi fluida panas yang dapat diambil.

Salah satu analisa awal yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

energi panas bumi di suatu daerah adalah adanya manifestasi permukaan.

Manifestasi merupakan kenampakan di permukaan bumi yang diakibatkan proses

perpindahan panas dari bawah bumi. Manifestasi menandakan bahwa di bawah

permukaan daerah tersebut sedang berlangsung perpindahan panas. Manifestasi

yang umum ditemukan antara lain solfatara yaitu lubang erupsi hidrotermal yang

mengeluarkan fluida dengan kandungan gas sulfur, fomarol yaitu lubang erupsi

yang menghasilkan fluida didominas H2O, mata air panas, geyser, kolam alami

yang mendidih, tanah beruap, dan sebagainya.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 3


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Selain manifestasi tadi, salah satu fenomena yang dapat mencirikan adanya

prospek panas bumi adalah alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal merupakan

proses perubahan mineralogi pada batuan yang diakibatkan oleh interaksi antara

fluida panas bumi dengan batuan. Alterasi ini umumnya terjadi di sekitar

manifestasi panas bumi. Pemahaman tentang alterasi ini sangat penting untuk

mengetahui bagaimana perilaku fluida saat berkontak dengan batuan sekitarnya.

Sehingga kita mampu menganalisa apa yang terjadi di bawah permukaan. Hal ini

sangat berkaitan dalam penentuan potensi positif dan negatif dari suatu lapangan

panas bumi. Sehingga pemahaman mengenai alterasi, mineral alterasi, batuan yang

teralterasi, dan fluida yang mengalterasi sangat penting dalam pengembangan dan

pemanfaatan energi panas bumi.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dibuatnya referat ini adalah mempelajari lebih lanjut dan secara

khusus berfokus pada alterasi pH asam di permukaan pada lingkungan panas bumi

sebagai panduan untuk memahami kondisi sistem panas bumi di suatu daerah.

Sedangkan tujuan referat ini antara lain:

a. Mengetahui dan memahami berbagai macam sistem panas bumi dan

klasifikasinya

b. Mengetahui manifestasi apa saja yang dapat terbentuk di permukaan

c. Mengetahui berbagai jenis fluida hidrotermal serta fluida yang terbentuk di

permukaan

d. Mengetahui dan memahami mineral alterasi apa yang dapat terbentuk akibat

interaksi fluida hidrotermal ber-pH asam dengan batuan di permukaan

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 4


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Pembahasan pada referat ini akan meliputi berbagai sistem panas bumi serta

klasifikasinya berdasarkan basis klasifikasi yang berbeda-beda menurut beberapa

peneliti, manifestasi apa saja yang menandakan adanya sistem hidrotermal, jenis-

jenis fluida hidrotermal, fluida apa yang dapat terbentuk di permukaan beserta

karakterisitiknya, mineral alterasi apa saja yang dapat terbentuk akibat interaksi

fluida asam dengan batuan di permukaan, serta bagaimana karakterisitik mineral

alterasi tersebut.

1.4. Metode Penyusunan

Metode yang digunakan dalam menyusun referat ini adalah dengan

melakukan studi literatur dengan cara mengambil atau menyitir dari media

textbook, jurnal, serta tulisan ilmiah lain, baik berupa media cetak maupun media

elektronik, yang berkaitan dengan sistem panas bumi dan alterasi hidrotermal.

Penyusunan sitiran dari literatur dilakukan sesuai kaidah penulisan ilmiah yang

diakui.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 5


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB II

SISTEM HIDROTERMAL

2.1. Definisi Sistem Hidrotermal

Sistem hidrotermal dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang dapat

mengantarkan energi panas dari dalam bumi ke permukaan dengan media fluida air.

Dalam mengantarkan energi panas dari bawah ke permukaan, fluida panas bumi

memiliki berbagai komponen yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan.

Komponen-komponen yang saling berhubungan ini, dapat membentuk konfigurasi

yang mempengaruhi perilaku dan hasil dari sistem panas bumi tersebut.

Sistem hidrotermal tidak dapat dilepaskan dari sistem geotermal. Karena

sistem hidrotermal terbentuk oleh sistem geotermal yang menggunakan fluida air

sebagai media untuk menyalurkan energi panas dari bawah ke permukaan. Sistem

geotermal sendiri menurut Ellis & Mahon (1977) adalah suatu lapangan atau area

geotermal yang memiliki batas permukaan dan berada pada kondisi hidrologi-

batuan tertentu. Nicholson (1993) menambahkan bahwa suatu sistem geotermal

tertentu memiliki karakteristik yang dapat dibedakan dengan sistem geotermal lain

serta memiliki potensi yang tertentu pula.

2.2. Komponen Sistem Hidrotermal

Sistem hidrotermal sangat dipengaruhi oleh komponen yang membentuknya.

Setiap komponen tersebut dapat menentukan karakteristik akhir dari fluida

hidrotermal yang meliputi suhu, tekanan, dan komposisi kimia dari fulida tersebut.

Komponen-komponen yang berpengaruh terhadap suatu sistem hidrotermal antara

lain:

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 6


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

a. Sumber panas

Sumber panas dari suatu sistem hidrotermal umumnya berupa tubuh intrusi

magma. Namun ada juga sumber panas hidrotermal yang bukan berasal dari batuan

beku. Nicholson (1993) membagi sistem geotermal berdasarkan sumber panasnya

menjadi 2, yaitu :

Volcanogenic system : yaitu sistem hidrotermal yang sumber panasnya berasal

dari aktivitas magma. Tipe ini umumnya menghasilkan fluida dengan temperatur

yang tinggi. Perbedaan tubuh magma yang mengintrusi juga dapat berpengaruh

pada perbedaan sistem geotermal. Intrusi magma yang bersifat andesitik, umumnya

membentuk geometri intrusi dengan diameter kecil namun secara vertikal dekat

dengan permukaan. Sedangkan magma yang bersifat asam, umumnya memiliki

tubuh yang berdiameter lebar, namun secara vertikal jauh di bawah permukaan. Hal

ini berimplikasi pada perbedaan teknik eksplorasi dan eksploitasi hidrotermal.

Selain itu, perbedaan tubuh intrusi ini juga dapat menghasilkan perbedaan

manifestasi di permukaan.

Non-volcanogenic system : sistem hidrotermal yang sumber panasnya tidak

berkaitan dengan aktivitas magmatik. Pada sistem ini, panas dihasilkan bukan dari

magma, tapi dari aktivitas tektonik pada suatu daerah. Panas dapat dihasilkan dari

peristiwa uplift basement rock yang masih panas, atau bisa juga berasal dari

sirkulasi air tanah dalam yang mengalami pemanasan akibat adanya perlipatan atau

patahan. Sistem ini dapat menghasilkan fluida dengan temperatur tinggi atau

rendah.

b. Fluida yang bersirkulasi

Jenis fluida yang bersirkulasi dalam sistem hidrotermal juga berperan penting

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 7


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

dalam menentukan karakter suatu sistem hidrotermal. Ellis & Mahon (1977)

membagi jenis fluida atau air hidrotermal menjadi 4 macam:

 Air juvenil, yaitu air yang berasal dari batuan magma primer yang

sebelumnya belum pernah menjadi bagian dari hidrosfer.

 Air magmatik, yaitu air yang berasal dari magma, namun tidak harus berupa

air juvenil. Karena magma juga dapat berasosiasi dengan air meteorik yang

berada jauh di bawah permukaan atau air dari material sedimen

 Air meteorik, yaitu air yang termasuk dalam sirkulasi atmosfer

 Air connate atau air formasi, yaitu air yang sudah tidak lagi termasuk dalam

sirkulasi atmosfer. Jenis air ini awalnya termasuk air meteorik yang

terperangkap oleh batuan sedimen yang sangat dalam dan sudah tidak

berkontak lagi dengan air meteorik dan sirkulasi atmosfer dalam skala waktu

geologi yang panjang. Air ini umumnya berasal dari air laut, namun sudah

mengalami perubahan akibat berinteraksi dengan batuan wadah dalam waktu

yang sangat panjang.

 Air metamorfik, ialah air yang berasal dari modifikasi khusus dari air

connate yang berasal dari rekristalisasi mineral hydrous menjadi mineral yang

kurang hydrous selama proses metamorfisme.

Fluida yang berperan pada sistem geotermal dapat berupa gas maupun cairan.

Nicholson (1993) membagi sistem geotermal berdasarkan jenis fluida yang

mendominasi reservoar, apakah gas (vapour daminated) seperti pada gambar 2.2

atau cairan (liquid dominated) seperti pada gambar 2.1. Pada banyak lapangan

panas bumi, umumnya kedua fluida tersebut hadir pada zona dua fasa (two-phase

zones) dimana uap dan air bercampur.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 8


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Gambar 2.1. Struktur konseptual untuk sistem hidrotermal yang didominasi oleh fase cair

(liquid dominated) dengan relief rendah (Nicholson, 1993)

Gambar 2.2. Struktur konseptual untuk sistem panas bumi yang didominasi oleh fase gas

(Vapour dominated) menurut Nicholson, 1993

c. Zona permeabel

Agar suatu sistem hidrotermal dapat bersirkulasi dengan baik, fluida tersebut

membutuhkan jalan agar dapat berpindah dan menghantarkan panas yang

diperolehnya dari tubuh magma. Jalan untuk berpindahnya fluida tersebut kita sebut

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 9


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

sebagai zona permeabel, yaitu zona yang dapat melalukan fluida. Zona permeabel

dapat berupa berbagai fitur, baik struktur geologi maupun berupa litologi.

Zona permeabel berupa struktur geologi umumnya berupa sesar atau kekar.

Sesar atau kekar ini dapat menyisakan ruang atau celah atau rekahan yang dapat

menjadi ruang untuk berpindahnya fluida hidrotermal. Sedangkan litologi yang

dapat menjadi zona permeabel adalah litologi yang bersifat dapat meloloskan air

dalam jumlah yang signifikan. Litologi ini umumnya disebut sebagai akuifer. Sifat

ini dapat dimiliki oleh litologi tersebut selama proses sedimentasi maupun setelah

sedimentasi.

d. Batuan reservoar

Batuan reservoar adalah batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air

dalam jumlah yang signifikan. Batuan ini umumnya memiliki porositas dan

permeabilitas yang cukup baik. Kedua karakter tadi sangat berpengaruh terhadap

kecepatan sirkulasi fluida panas bumi.

Nicholson (1993) membagi sistem geotermal berdasarkan suhu reservoar. Jika

suhu reservoar lebih kecil dari 150oC diklasifikasikan sebagai temperatur rendah,

sedangkan jika suhu reservoar diatas 150oC disebut temperatur tinggi. Suhu

reservoar ini berpengaruh terhadap pemanfaatan panas dari suatu sistem panas

bumi. Temperatur tinggi umumnya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, dan sisa

uap yang suhunya sudah menurun dapat digunakan untuk penggunaan langsung,

contohnya sebagai pemanas ruangan pada greenhouse, pengeringan furniture, dan

sebagainya. Sedangkan jika suhu reservoar rendah, umumnya panas yang

dihasilkan hanya dapat digunakan untuk penggunaan langsung.

Batuan reservoar juga sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dari fluida

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 10


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

hidrotermal. Sebab fluida hidrotermal akan mengalami reaksi dengan batuan

reservoar yang akan merubah karakter kimia dari fluida tersebut. Akibat reaksi ini,

kita dapat mengetahui jenis batuan reservoar yang menyimpan fluida hidrotermal

melalui analisis kimia. Nicholson (1993) menjelaskan bahwa batuan vulkanik,

sedimen klastik, dan batuan karbonat umumnya akan menghasilkan fluida

hidrotermal dengan karakter kimia yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Pengetahuan tentang batuan reservoar yang mempengaruhi komposisi akhir dari

fluida panas bumi sangat penting karena dapat diaplikasikan sebagai

geotermometer dan prediksi pada pembentukan kerak (scaling) di sumur pemboran.

Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah suatu sistem panas bumi

bersifat ekonomis atau justru merugikan.

e. Batuan impermeabel

Batuan impermeabel pada sistem panas bumi umumnya merupakan batuan

yang telah mengalami alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal ini mampu

menghasilkan mineral mineral yang bersifat kedap air, yaitu mineral lempung.

Mosier dkk. (1986) dalam Livo, dkk. telah membuat model pembentukan

mineral lempung untuk tipikal sistem hidrotermal asam sulfat seperti pada gambar

2.3. Model ini menggambarkan bagaimana fluida mampu bergerak naik ke atas dan

bereaksi dengan batuan samping (wallrock) dan menghasilkan mineral alterasi.

Mineral yang terbentuk di daerah yang dalam adalah kuarsa, adularia, illite, dan

sulfida. Sedangkan mineral yang terbentuk di dekat permukaan adalah kuarsa,

alunit, dan kaolinit.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 11


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

White dkk. (1975) dalam Livo,

dkk. juga melakukan penelitian

tentang alterasi pada sistem asam

sulfat di daerah Porcelain Terrace di

Norris Geyser Basin. White

menyimpulkan bahwa pada

kedalaman 600-1000 kaki, mineral

lempung yang terbentuk adalah

lapisan campuran antara illite-

montmorilonite dengan pirit. Pada

kedalaman yang lebih dangkal yaitu

200-600 kaki, yang terbentuk adalah

kaolinit, sparse montmorilonite,

Gambar 2.3. Skema pembentukan mineral kristobalit, kalsedon, goetit, dan


deposit pada sistem kaldera Creede tipikal
untuk sistem asam sulfat (Mosier dkk, sanidin. Dan pada daerah permukaan
1986)
hingga kedalaman 200 ft alunit,

kaolinit, kristobalit, dan sanidin terbentuk.

2.3. Klasifikasi Sistem Hidrotermal

Umumnya para peneliti mengklasifikasikan sistem hidrotermal berdasarkan

sirkulasi fluida dan secara umum dibagi menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup.

Sistem tertutup adalah apabila fluida hidrotermal tidak mengalami sirkulasi, fluida

hanya dipanaskan dan tetap di reservoar. Transfer panas berlangsung secara

konduksi, yaitu perpindahan panas melalui media tanpa ada perpindahan material

dari media tersebut. Sedangkan sistem terbuka adalah apabila fluida hidrotermal

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 12


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

mengalami sirkulasi, ada fluida yang masuk reservoar (in flow) dan ada fluida yang

keluar dari reservoar (out flow). Perpindahan kalor atau panas terjadi secara

konveksi, yaitu perpindahan panas melalui media bersamaan dengan perpindahan

material dari media tersebut.

Tabel 1. Klasifikasi sisem panas bumi berdasarkan Ellis & Mahon (1977)
Basis Klasifikasi
Origin dari Cyclic Storage
fluida
Temperatur High-temperatutre Warm
reservoar water
Sumber panas Volcanic Tectonic
activity
Asal fluida Sedimentary Metamorphic
basin system
Ada/tidaknya Open Close
caprock

Ellis & Mahon (1977) membagi sistem panas bumi berdsarkan asal dari fluida

panas bumi tersebut menjadi:

Cyclic system yaitu apabila suatu fluida hidrotermal berasal dari air meteorik

yang mengalami infiltrasi dan masuk jauh ke bawah permukaan, kemudian

terpanaskan, dan bergerak naik ke permukaan sebagai fluida panas. Pada sistem ini,

air meteorik mengalami recharge dari hujan yang mengalami infiltrasi, sehingga

siklus sistem berjalan terus menerus. Ellis & Mahon (1977) juga menjelaskan

bahwa untuk membentuk sistem ini, dibutuhkan beberapa persyaratan, yaitu (1)

adanya batuan permeabel yang memungkinkan air meteorik bergerak turun ke

sirkulasi air tanah dalam, (2) adanya sumber panas, (3) kemampuan air yang

memadai, (4) waktu yang tepat dan luas permukaan yang tepat untuk pertukaran

panas agar air dapat dipanaskan, serta (5) adanya jalur untuk air bergerak ke

permukaan.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 13


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Ellis & Mahon (1977) membagi sistem ini berdasarkan suhu yaitu sistem

bersuhu panas dan sistem bersuhu hangat. Sistem bersuhu panas dibagi lagi

berdasarkan asosiasinya dengan vulkanik menjadi sistem bersuhu panas berasosiasi

dengan vulkanik dan sistem bersuhu panas di zona aktivitas tektonik non-vulkanik.

a. Sistem bersuhu panas berasosiasi dengan vulkanik terkini

Sistem ini hadir di berbagai situasi. Umumnya berasosiasi dengan vulkanik

tipe andesitik, dasitik, dan riolitik; jarang yang berasosiasi dengan vulkanik tipe

basaltik (McNith, 1970 dalam Ellis & Mahon, 1977). Ada banyak lapangan

geotermal yang memiliki struktur geologi yang terbentuk akibat aktifitas tektonik

seperti blok patahan, pembentukan graben, maupun lembah rifting, namun tidak

berhubungan dengan pembentukan pusat vulkanisme. Lokasi yang paling baik

adalah pada perpotongan batas patahan utama pada blok struktur. Contohnya adalah

beberapa lapangan geotermal di Selandia Baru, lapangan Salton Sea di California,

dan lapangan Cerro Prieto di Meksiko yang berasosiasi dengan graben utama.

Adapula lapangan yang berasosiasi dengan struktur kaldera dan ada yang

berasosiasi dengan gunungapi tertentu yang banyak dijumpai di lapangan panas

bumi di Indonesia.

Air pada sistem panas bumi ini berasal dari air meteorik yang mengalami

sirkulasi hingga ke kedalaman tertentu melalui rekahan, kemudian pada kedalaman

itu air mengalami pemanasan dan bergerak naik kembali akibat gaya konvektif.

Sebagian besar jalan air untuk naik keatas berupa rekahan yang dihasilkan akibat

patahan maupun rekahan yang terbentuk akibat intrusi magma. Pada zona yang

berporositas tinggi, air yang telah terpanaskan tersebut dapat menyebar luas. Pada

kedalaman yang lebih dangkal, mungkin terjadi resirkulasi sistem konveksi air yang

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 14


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

mengalami pendinginan akibat terjadi boiling pada tekanan yang rendah dekat

permukaan, sedangkan proses mixing dapat terjadi di pertemuan antara fluida panas

dengan zona air dingin pada semua kedalaman. Adanya batuan impermeable yang

bertindak sebagai penudung mungkin dapat mengurangi intensitas keluarnya fluida

ke permukaan, namun adanya kebocoran membuat fluida tetap dapat keluar dalam

bentuk fumarola jika yang keluar adalah uap pada elevasi yang tinggi dan dalam

bentuk mataair panas pada elevasi yang lebih rendah.

Pemanasan fluida di bawah permukaan biasanya berhubungan dengan intrusi

magma, dimana panas berpindah melalui mekanisme konduksi melewati batuan

hingga mengenai fluida. Proses transfer panas ini dapat dibantu dengan adanya

rekahan yang terbentuk karena tekanan akibat adanya panas. Agar sistem ini dapat

berjalan terus-menerus, perlu adanya sirkulasi fluida yang mengenai tubuh magma.

Selain dari air meteorik, magma juga dapat mengeluarkan fluida yang disebut

fluida magmatik. Penambahan fluida magmatik ini akan menambah salinitas fluida

hidrotermal secara keseluruhan.

b. Sistem bersuhu panas di daerah tektonik aktif non-vulkanik

Terdapat beberapa contoh lapangan panas bumi yang diklasifikasikan oleh

Ellis & Mahon (1977) sebagai system panas bumi bersuhu panas namun tak

berasosiasi dengan proses vulkanisme, diantaranya adalah lapangan panas bumi

Larderello di Itali dan Lapangan Kizildere, Turki. Kedua lapangan panas bumi

tersebut memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh lapangan panas bumi

lainnya.

Lapangan panas bumi Larderello merupakan daerah perbukitan dengan tinggi

hingga 1 km dan memanjang hingga 50 km yang disebut Perbukitan Metalliferous.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 15


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Ciri lithologi di daerah tersebut dipaparkan oleh Ellis & Mahon (1977) berupa sekis

dan kuarsit berumur paleozoik, batugamping berumur mesozoik yang tersingkap

bersama lapisan batuan sedimen berupa batulempung, shale, dan batupasir; dimana

batulempung tersebut menjadi lapisan cap yang impermeabel. Struktur geologi

terutama berupa struktur-struktur kompresi seperti lipatan dan patahan thrust

(Burgassi, 1964 dalam Ellis & Mahon, 1997). Kemudian terjadi subsidence pada

Post-Pliosen (Burgassi, 1964 dalam Ellis & Mahon, 1997). Sedangkan menurut

Marinelli (1969) dalam Ellis Mahon (1997) Larderello terbentuk dari graben pada

bagian puncak dari dome yang dihasilkan oleh intrusi granit di bawahnya. Struktur

inilah yeng menjadi zona permeabel sehingga fluida hidrotermal dapat bergerak

naik ke permukaan.

Aktivitas panas di daerah ini berupa urat uap air dan air yang terpanaskan oleh

uap. Sedangkan pengeboran sumur pada daerah ini menghasilkan uap yang bersuhu

150˚ hingga 260˚ dengan tekanan maksimum 39 bar. Mineral hasil alterasi yang

umum ditemukan di daerah ini berupa adularia, zeolite, klorit, kalsit, kuarsa,

anhidrit dan pistasit yang ditemukan pada basement berupa kuarsit dan slate

(Marinelli, 1969 dalam Ellis & Mahon, 1977). Marinelli juga menyebutkan bahwa

terdapatnya mineral karbonat pada basement kemungkinan disebabkan oleh

sirkulasi fluida dari kedalaman yang lebih dangkal yang melewati litologi

batugamping.

c. Sistem air hangat di zona aliran panas

Sistem ini umumnya terbentuk di daerah yang tersusun oleh batuan beku dan

batuan metamorf yang mengalami pengkekaran atau sesar yang signifikan. Struktur

ini memberikan jalan kepada air dari kedalaman yang dangkal untuk bersirkulasi

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 16


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

hingga kedalaman yang lebih dalam. Air ini kemudian akan mengalami

penambahan temperatur seiring ia bergerak ke bawah menuju gradien geotermal

yang lebih tinggi. Air yang telah terpanaskan kemudian bergerak naik kembali

menghasilkan mataair hangat dengan temperatur dibawah titik didih (100˚ C). Air

panas ini umumnya bersifat klorida-bikarbonat-sulfat dengan kandungan nitrogen,

metana dan karbon dioksida.

Storage System terbentuk apabila air tersimpan pada batuan dalam skala

waktu geologi yang cukup lama dan terpanaskan secara insitu, baik sebagai fluida

dalam formasi maupun sebagai air dari proses hidrasi pada mineral. Storage system

ini dibagi berdasarkan host atau batuan tempat tersimpannya fluida tersebut, dapat

berupa batuan sedimen (Sedimentary basin system) maupun batuan metamorf

(Metamorphic system).

a. Sedimentary basin system

Fluida pada sistem cekungan sedimen umumnya diperoleh saat sedimen

terendapkan. Sedimen akan terendap bersama air yang menjadi media

transportasinya. Jumlah air ini akan bertambah apabila sedimen tersebut

terendapkan pada lingkungan laut yang merupakan penampung air terbesar. Air

yang terdapat pada batuan tersebut lama-kelamaan akan berkurang akibat proses

kimia, mineralogi dan biologis yang terjadi selama proses litifikasi. Salinitas pada

air yang dihasilkan oleh air formasi ini umumnya lebih tinggi dibanding salinitas

pada air magmatik. Selain itu, air yang berasal dari air laut ini juga akan

mengakibatkan komponen ion klorida pada air formasi yang mengalami pemanasan

akan meningkat.

Terdapat beberapa proses yang dapat mengubah sifat air pada sistem

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 17


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

cekungan sedimen ini, antara lain presipitasi, rekristalisasi, hidrasi atau dehidrasi,

aktifitas organisme, perubahan kondisi pH atau redoks, dilusi atau pencampuran

dengan air lain, pelarutan material sedimen, dan ultrafiltrasi atau reverse osmosis.

b. Metamorphic system

Sistem ini sebenarnya belum terbukti kebenarannya. System ini diusulkan

oleh White et al (1973) dalam Ellis & Mahon (1997) sebagai origin dari mataair

panas di bagian utara dari pesisir California dimana endapan merkuri atau raksa

umumnya berasosiasi dengan area ini. Mata air panas tersebut mengeluarkan air

yang bersifat sodium bikarbonat dengan kandungan amonia dan boron yang cukup

signifikan, serta kandungan isotop oksigen dan hidrogen yang diduga bukan berasal

dari air meteorik namun dari pelepasan air saat proses metamorfisme batuan

sedimen asal laut berjalan. Pemboran pada daerah ini menghasilkan fluida

bertemperatur 186˚C pada kedalaman 430 m.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 18


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB III

FLUIDA HIDROTHERMAL

Fluida hidrotermal umumnya memiliki berbagai karakteristik yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi jenis fluida tertentu. Karakteristik tersebut

diantaranya adalah pH, suhu dan komposisi. Perbedaan komposisi pada fluida ini

merupakan hasil dari proses interaksi antara batuan dan fluida di bawah permukaan

bumi, selain itu juga dipengaruhi oleh asal dari fluida tersebut. Nicholson (1993)

mengklasifikasikan fluida hidrotermal ini berdasarkan kandungan anion dominan

pada fluida tersebut.

3.1. Klorida

Nicholson (1993) dalam bukunya Geothermal Fluids menjelaskan mengenai

air klorida. Tipe air ini disebut juga sebagai “alkali-klorida” atau “klorida netral”.

Tipe air ini memiliki kandungan anion dominan berupa ion klorida (Cl-). Tipe air

ini merupakan tipe fluida geotermal dalam yang umum ditemukan pada sistem

temperatur tinggi. Mata air panas yang mengandung klorida dalam jumlah besar di

permukaan umumnya berasal langsung dari resevoar panas bumi yang

mengindikasikan adanya zona permeabel di daerah tersebut. Berdasarkan tipe

sistem hidrotermal berdasarkan reliefnya, munculnya mata air panas klorida belum

tentu mengindikasikan adanya up flow. Air klorida umumnya keluar pada mata air

panas seperti dicontohkan pada Gambar 3.1. yang merupakan chloride spring yang

ada di Sumatera atau kolam air panas dengan aliran yang baik, dan geyser.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 19


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Gambar 3.1. Manifestasi air panas klorida (chloride spring) yang dikelilingi oleh sinter
(Anonim, 2015)

Nicholson (1993) juga menjelaskan bahwa kandungan ion utama pada air ini

adalah ion klorida, dengan kandungan bikarbonat dan sulfat yang bervariasi namun

umumnya kurang dari komposisi klorida. Kandungan silika dan boron cukup

signifikan dan juga mengandung sodium dan potassium yang cukup banyak sebagai

kation utamanya. Bila berinteraksi dengan air laut atau air formasi pada beberapa

sistem dapat terjadi pencampuran antara klorida dari air yang asli dengan klorida

dari air laut atau air formasi tersebut. Kandungan ion klorida bisa mencapai 100.000

mg/kg hingga 10.000 mg/kg. Kondisi pH umumnya mendekati netral meski kadang

sedikit asam atau sedikit basa.

Fluida atau air klorida apabila berinteraksi dengan batuan sekitar umumnya

akan membentuk tipe alterasi argilik-propilitik dengan mineral sekunder yang

umum terbentuk adalah silika (amorf, kristobalit atau kuarsa), albit, adularia, ilit,

klorit, apidot, zeolit, kalsit, pirit, pirhotit, dan sulfida logam dasar lainnya

(Nicholson, 1993).

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 20


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

3.2. Sulfat

Disebut juga sebagai air asam sulfat, hal ini disebabkan karena tipe air ini

umumnya memiliki pH yang rendah atau bersifat asam. Tipe air ini umumnya

terbentuk di dekat permukaan sebagai hasil reaksi antara gas atau uap panas yang

mengandung H2S yang beraksi dengan H2O yang ada pada zona vadose

menghasilkan H2SO4 yang bersifat asam. Gas yang bereaksi tersebut merupakan

gas yang berasal dari reservoar panas bumi, pada reservoar terjadi peristiwa boiling

yang menyebabkan adanya pemisahan antara fase gas dengan fase liquid, sehingga

gas-gas akan bergerak naik hingga permukaan, sedangkan liquid akan bergerak

mengikuti gerakan air tanah dangkal sepanjang garis piezometric. Menurut

Nicholson (1993) selain terbentuk di dekat permukaan atau pada kedalaman yang

dangkal, air sulfat juga dapat ditemukan atau dapat bersirkulasi ke kedalaman yang

lebih dalam apabila terdapat kekar atau sesar yang menjadi zona permeabel. Di

daerah yang dalam, air sulfat akan mengalami pemanasan dan bercampur dengan

air klorida yang bergerak naik ke atas (Nicholson, 1993).

Air asam sulfat umumnya keluar di permukaan dalam bentuk kolam panas

(Gambar 3.3.) atau kolam lumpur panas (Gambar 3.2.), namun bisa juga dalam

bentuk mata air. Seiring dengan pemisahan antara uap dan air di bagian dalam, uap

akan membawa entalpi ke permukaan dan dapat menyebabkan air permukaan

terpanaskan hingga mencapai titik didih sehingga menghasilkan kolam lumpur

mendidih atau tanah beruap. Proses ini dapat terjadi pada bentuk manifestasi

fumarola (Gambar 3.4.). Sifat air yang asam dapat membuat batuan mengalami

pelarutan sehingga menyebabkan adanya collapse yang menghasilkan bentukan

gua atau kawah (Nicholson, 1993).

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 21


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Gambar 3.2. Manifestasi mud pool atau Gambar 3.3. Manifestasi kolam air
kolam lumpur panas pada sistem panas
panas (hot pool) (Stewart, 2015)
bumi (Anonim, 2015))

Gambar 3.4. Manifestasi fumarola

(Anonim, 2015)

Komposisi anion utama berupa asam sulfat (H2SO4) yang dihasilkan dari

oksidasi H2S, berdasarkan reaksi;

H2S(g) + 2O2(aq) = 2H+(aq) + SO42-(aq) (H2SO4(aq))

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 22


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Reaksi tersebut menghasilkan ion hidrogen yang merupakan penyebab sifat

keasamaan air. Selain ion H dari reaksi H2S dengan O2, ion H juga dihasilkan dari

reaksi antara CO2 dengan H2O yang menghasilkan H2CO3 berdasarkan reaksi:

CO2(g) + H2O(l) = H+ + HCO3-(aq) (H2CO3(aq)) = 2H+(aq) + CO32-(aq) (H2CO3(aq))

Hasil reaksi tersebut menurut Nicholson (1993) akan menghasilkan pH

minimum 2.8, sedangkan jika pH kurang dari 2, maka kemungkinan besar sudah

ada kontribusi dari gas magmatik.

Klorida dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sangat sedikit, serta

bikarbonat juga hadir dalam jumlah yang sedikit atau bahkan tidak ada dan semakin

sedikit seiring berkurangnya pH karena H2CO3 akan pecah dan mengeluarkan gas

CO2. Gas gas lain yang dapat ditemukan pada tipe air ini adalah NH3, As, dan B

yang juga dihasilkan dari pemisahan gas dan air pada peristiwa boiling di zona yang

lebih dalam. Reaksi antara batuan dengan air asam sulfat di dekat permukaan juga

dapat melepas ion-ion logam seperti Na, K, Mg, dan Fe dari batuan dan larut ke

dalam air, sehingga konsentrasi ion logam di dalam air semakin meningkat.

Alterasi yang dihasilkan oleh tipe larutan ini adalah argilik lanjut (Nicholson,

1993) karena sifat asam yang menyebabkan batuan mengalami leaching secara

keseluruhan. Mineral sekunder yang terbentuk antara lain kaolinit, kristobalit,

haloynit, dan alunit sebagai mineral penciri. Selain itu, prose leaching yang luas

dapat menghasilkan endapan silica. Mineral anhidrit, hematit, dikit, jarosit, pirit,

dan campuran hematit-goetit serta sulfur juga sering ditemukan (Nicholson, 1993).

3.3. Bikarbonat

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 23


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Menurut Nicholson (1993), yang termasuk tipe air ini antara lain air yang

kaya akan CO2 dan air bikarbonat-sulfat netral. Nicholson juga menjelaskan bahwa

keduanya terbentuk oleh gas dan uap yang terkondensasi pada air yang sedikit

mengandung oksigen. Fluida seperti ini dapat terbentuk pada zona bocor yang

berbentuk seperti payung yang menutupi sistem geotermal, juga dapat terbentuk

pada daerah batas dari suatu sistem geotermal. Umumnya memiliki bentuk

manifestasi permukaan berupa mata air panas dan mata air “soda” bersuhu rendah.

Nicholson (1993) menambahkan bahwa pH larutan ini umumnya mendekati

netral, hal ini diakibatkan oleh reaksi antara air tersebut dengan batuan sekitar

selama mengalir secara lateral dekat permukaan yang menyebabkan air tersebut

mengalami netralisasi yang awalnya bersifat asam. Komponen utama air ini adalah

ion bikarbonat sebagai anion dan sodium sebagai kation. Sulfat mungkin ada

dengan konsentrasi yang beragam dan klorida umumnya hadir dalam konsentrasi

yang kecil atau bahkan tidak sama sekali (Mahon, dkk. 1980 dalam Ellis & Mahon,

1977). Sifat air ini sangat reaktif, sehingga pada pemboran panas bumi sangat

berpotensi menyebabkan casing atau scaling sehingga butuh tindakan tertentu

(Hedenquist dan Stewart, 1985 dalam Nicholson, 1993).

Alterasi yang dihasilkan dari reaksi antara tipe air ini dengan batuan sekitar

berupa alterasi argilik dengan mineral sekunder yang dapat terbentuk antara lain

mineral lempung seperti kaolin dan monmorilonit; mordinit, kalsit, dan kadang

dapat terbentuk pula silisifikasi (Nicholson, 1993).

3.4. Sulfat-Klorida

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 24


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Nicholson (1993) menjelaskan bahwa terdapat beberapa proses yang dapat

menghasilkan tipe air ini, antara lain;

- Bercampurnya air asam sulfat dan air klorida pada berbagai kedalaman

- Keluarnya H2S yang mengakibatkan oksidasi dekat permukaan pada air

klorida

- Kondensasi gas magmatik dekat permukaan pada air meteorik

- Kondensasi uap magmatik pada zona yang dalam

- Adanya air klorida yang melewati batuan dengan komposisi kaya sulfur

seperti evaporit atau batuan yang mengandung sulfur

Dari beberapa proses di atas, proses yang paling umum membentuk air sulfat-

klorida adalah proses pertama. Air ini umumnya muncul ke permukaan sebagai

mata air panas hingga hangat.

pH air ini umumnya bersifat asam dengan rentang antara 2 - 5 (Nicholson,

1993) dengan komposisi klorida dan sulfat yang relatif seimbang. Sedangkan air

yang terbentuk dari proses kondensasi gas magmatik dekat permukaan dan

kondensasi uap magmatik pada zona yang dalam cenderung menghasilkan air

dengan konsentrasi Cl, SO4 dan F yang tinggi. Tipe air ini juga dapat memiliki pH

hingga 2 - 0 namun akibat reaksi dengan batuan sekitar yang menyebabkan adanya

netralisasi larutan, umumnya sifat keasaman ini akan tersamarkan (Nicholson,

1993).

Menurut Nicholson (1993) alterasi yang dihasilkan oleh tipe air ini umumnya

berupa pencampuran antara alterasi argilik-argilik lanjut dengan alterasi propilitik.

Dengan mineral sekunder yang umum terbentuk antara lain kaolin, sisa silika,

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 25


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

kristobalit, alunit, klorit, kalsit, adularia, anhidrit, pirofilit, smektit, dan

pencampuran hematit dan goetit.

3.5. Klorida Encer-(Bikarbonat)

Menurut Nicholson (1993) tipe air ini terbentuk oleh pengenceran fluida yang

bersifat klorida oleh air tanah maupun oleh air bikarbonat selama pergerakan

lateral. Keterdapatan larutan ini umumnya terbatas pada tepi dari zona up flow dan

struktur out flow pada system bertemperatur tinggi. Umumnya muncul sebagai mata

air panas hingga hangat.

Air ini memiliki pH mendekati netral antara 6 - 8 dengan komponen anion

utama berupa klorida dengan bikarbonat dalam konsentrasi yang bervariasi. Tipe

alterasi mirip dengan alterasi akibat air klorida namun kurang berkembang

(Nicholson, 1993).

3.6. Summary

Tabel 2. Rangkuman karakteristik fluida hidrotermal

Tempat Manifestasi
Tipe air pH Mineral alterasi
terbentuk permukaan
Klorida Mendekati Sub-surface Mata air Silika (amorf, kristo-
netral panas, kolam, balit atau kuarsa), albit,
dan geyser adularia, ilit, klorit,
apidot, zeolite, kalsit,
pirit, pyrhotite, dan
sulfida logam dasar
lainnya
Sulfat Asam Near- Mud pool, Kaolin, kristobalit,
Surface cloudy pool, haloynit, dan alunit
spring (mineral penciri),
anhidrit, hematit, dikit,
jarosit, pirit, dan

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 26


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

campuran hematit-
goetit serta sulfur.
Bikarbonat Mendekati Sub-surface Mata air panas Mineral lempung
netral atau hangat; seperti kaolin dan
mata air montmorilonit;
“soda” dingin mordinit, dan kalsit.
Sulfat-Klorida Asam Sub-surface Mata air panas Kaolin, sisa silika,
atau near- atau hangat kristobalit, alunit,
surface klorit, kalsit, adularia,
anhidrit, pirofilit,
smektit, dan
pencampuran hematit
dan goetit
Klorida encer Mendekati Sub-surface Mata air panas Seperti air klorida
netral atau hangat

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 27


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB IV

MINERAL ALTERASI HIDROTERMAL

4.1. Alterasi dan Mineral Alterasi

Alterasi merupakan hasil dari interaksi antara fluida yang biasanya berupa

likuid, dengan batuan pada suhu hangat (<100˚C) hingga suhu panas (>500˚C)

(Thompson & Thompson, 1996). Sedangkan mineral alterasi merupakan mineral

sekunder yang terbentuk akibat proses alterasi. Thompson & Thompson (1996)

menjelaskan bahwa mineral alterasi menjadi media dokumentasi sejarah post-

formation dari suatu batuan, itu artinya mineral alterasi menjadi kunci untuk

menjelaskan proses apa yang terjadi setelah batuan terbentuk atau proses sekunder.

Proses alterasi umumnya disebabkan oleh fluida yang bersifat reaktif yang

menyebabakn terjadinya reaksi dengan batuan, fluida yang reaktif ini menyebabkan

adanya suatu kondisi kesetimbangan baru yang memaksa mineral primer berubah

menjadi mineral baru (sekunder) yang lebih stabil. Kondisi kestabilan ini

bergantung pada temperatur dan karakteristik kimia fluida yang bereaksi. Mineral-

mineral tertentu stabil pada suhu rendah seperti talk, sedangkan mineral lain dapat

stabil pada berbagai temperature tapi dengan pH yang rendah seperti kaolinit,

mineral lain seperti siderit stabil pada temperatur yang tinggi (Morrison, 1997).

Terdapat beberapa macam tipe alterasi, bergantung karakter fluida dan

temperature, diantaranya adalah:

- Alterasi Argilik, adalah alterasi yang terjadi pada suhu relatif rendah yaitu

sekitar <230˚C, dengan karakter fluida asam hingga netral, dan salinitas

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 28


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

yang rendah. Mineral yang umum terbentuk adalah kaolinit, smektit, dan

perlapisan illit-smektit (Morrison, 1997)

- Argilik lanjut, merupakan alterasi yang terjadi pada suhu tinggi dan fluida

yang bersifat asam (pH rendah). Mineral yang umumnya terbentuk adalah

alunit, diaspor, pirofilit, dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dickite.

Mineral alterasi ini umumnya terbentuk dari uap magmatik yang bersifat

asam yang mengalami kondensasi pada lingkungan porfiri (dalam), atau

kondensasi fluida asam sulfat yang terbentuk dari uap kondensat yang

teroksidasi pada lingkungan ephitermal (dangkal) (Morrison, 1997).

- Alterasi filik, yaitu alterasi yang terbentuk pada suhu sedang hingga tinggi,

dari fluida yang asam hingga netral dan dengan salinitas yang bervariasi.

Mineral yang umum terbentuk adalah mineral illit atau serisit dan kuarsa,

bersama dengan pirit dan mungkin anhidrit. Bisa juga terbentuk klorit,

kalsit, titanit, dan rutil (Morrison, 1997)

- Alterasi propilitik, terjadi akibat interaksi fluida yang bersifat netral

dengan salinitas yang beragam, pada temperatur sedang (200˚-300˚C).

Mineral yang umum terbentuk adalah illit/serisit, epidot, kuarsa, albit,

kalsit, dan anhidrit. Adapula tipe alterasi propilitik bersuhu tinggi yang

terbentuk dari karakter fluida yang sama namun pada suhu yang lebih

tinggi (>290˚C) dengan mineral penciri diantaranya aktinolit dan garnet

(Morrison, 1997)

- Alterasi potasik, terjadi apabila fluida memiliki karakter magmatik yang

kuat, dengan salinitas tinggi, berinteraksi dengan batuan pada suhu tinggi

(>300˚C). Mineral yang umum terbentuk akibat alterasi ini adalah mineral

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 29


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

biotit, ortoklas, kuarsa dan magnetit. Mineral aksesoris yang umum adalah

anhidrit, namun bisa juga terbentuk albit, titanit, atau rutil (Morrison,

1997)

- Alterasi skarn adalah alterasi yang terjadi akibat fluida yang memiliki

salinitas tinggi berkontak dengan batuan yang kaya akan kalsium (Ca).

Alterasi ini terjadi pada rentang suhu 300˚-700˚C. Mineral yang terbentuk

adalah garnet, klinopiroksen, vesuvianit, wolastonit, epidot, amfibol,

magnetit, dan kalsit. Biotit, K-feldspar, kuarsa dan klorit dapat hadir dalam

jumlah yang sedikit (Morrison, 1997)

Dari berbagai macam alterasi diatas, dapat kita simpulkan bahwa alterasi

yang umum terjadi akibat interaksi fluida yang bersifat asam adalah alterasi argilik

dan/atau argilik lanjut, tergantung suhu pada saat terjadi alterasi.

4.2. Mineral Alterasi pH Asam di Permukaan

Mineral alterasi yang terbentuk pada pH asam umumnya berupa mineral hasil

alterasi tipe argilik atau argilik lanjut. Tipe alterasi ini akan menyebabkan batuan

mengalami leaching atau pencucian secara keseluruhan atau pervasive. Alterasi

argilik maupun argilik lanjut dapat terjadi di permukaan maupun di zona yang lebih

dalam, karena suhu pembentukan yang bervariasi dari rendah hingga tinggi.

Sedangkan suhu pembentukan mineral alterasi yang terbentuk di permukaan

umumnya rendah hingga sedang. Mineral-mineral yang terbentuk sebagai hasil

alterasi pH asam di permukaan (low to medium temperature) menurut Morrison

(1997) adalah:

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 30


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

- Kaolinit

Kaolinit terbentuk dari alterasi batuan yang umumnya mengandung feldspar.

Biasanya terbentuk akibat interaksi dengan fluida yang bersifat asam, dapat pula

terbentuk akibat fluida dengan salinitas rendah. Suhu pembentukan relatif rendah,

umumnya pada rentang suhu <220˚C bergantung pada kondisi pH. Biasanya

berasosiasi dengan mineral kuarsa, opal, alunit, pirit (asam) atau smektit (netral).

- Dickite

Mineral dickite terbentuk akibat interaksi fluida asam dengan batuan,

umumnya mengandung feldspar. Suhu pembentukan berada pada rentang 200˚-

250˚C. umumnya berasosiasi dengan mineral kuarsa, kaolinit, kadang juga

berasosiasi dengan alunit.

- Opal

Mineral opal terbentuk akibat replacement komponen batuan asal pada vuggy

dan urat. Fluida yang berinteraksi umumnya bersifat asam dimana opal terbentuk

sebagai hasil alterasi, namun juga bisa terbentuk dari fluida netral. Suhu

pembentukan relatif rendah pada rentang suhu dibawah 120˚C. Dapat berasosiasi

dengan mineral kaolinit, sulfat dan mineral presipitasi lainnya.

- Kristobalit

Mineral ini juga terbentuk akibat replacement komponen batuan asal,

umumnya terbentuk di sekitar solfatara dan dapat menjadi scale pada sumur

pemboran. Fluida yang berperan bersifat asam hingga netral, namun lebih sering

fluida yang bersifat asam. Suhu pembentukan bervariasi dari rendah hingga sedang,

umumnya kurang dari 200˚C. Umumnya hadir bersama kuarsa, alunit, dan sulfur.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 31


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

- Jarosite

Terbentuk pada gossans atau urat. Umumnya terbentuk pada lingkungan

supergene atau bisa juga terbentuk akibat alterasi asam dari mineral pirit atau

mineral sulfida lainnya. Suhu pembentukan rendah, umumnya dibawah 50˚C.

Berasosiasi dengan mineral Natro-Jarosit, kuarsa, kaolinit, atau halloysite.

- Alunit

Terbentuk dari replacement mineral plagioklas dan matriks, urat dan vuggy,

serta pada mata air yang bersifat asam, tinggi kandungan SO4, dan bersuhu tinggi

namun kurang dari 220˚C. dapat berasosiasi dengan mineral halloysite, kaolinit,

atau dickite, kuarsa, pirit, opal, kristobalit, pirofilit, diaspor, sulfur, vuggy kuarsa,

dan zunyite.

- Oksida/Hidroksida besi

Mineral yang termasuk oksida besi antara lain goethite dan limonit.

Terbentuk akibat penggantian mineral magnetit dan mineral ferromagnesian pada

urat dan vuggy. Fluida yang berkontribusi bersifat asam dengan suhu relatif dingin,

kurang dari 260˚C. Umumnya berasosiasi dengan mineral pirit, hematit, dan

mineral lempung.

Tabel 3. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi)
Mineral 0 100 200 300
Kaolinit
Dickite
Opal
Kristobalit
Jarosit
Alunit
Oksida besi
(Goethite)

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 32


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB V

STUDI KASUS

5.1. Lapangan Panas Bumi Otake, Kyushu Jepang

Penelitian menganai alterasi permukaan pada lingkungan pH asam di

Lapangan Panas bumi Otake dilakukan oleh Taguchi, dkk. (2006). Penelitian yang

dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui genesis dari mineral alterasi yaitu alunit.

Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi mineralogi hidrotermal dan geokimia

mineral.

Lapangan panas bumi Otake ini terletak di lereng barat laut G. Kuju dengan

ketinggian sekitar 900 mdpl. Tipe manifestasi di lapangan panas bumi ini adalah

mata air panas, fumarola, dan tanah beruap (steaming groundi). Sedangkan tipe

alterasi yang ditemukan berupa alterasi argilik lanjut dengan mineral penciri dibagi

menjadi 3 zona utama, yaitu zona alunit, zona kaolin, dan zona smektit yang

persebarannya dapat dilihat dalam Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Peta persebaran zona alterasi

di Lapangan Panas bumi Otake (Taguchi

dkk, 2006)

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 33


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Zona alunit merupakan zona pusat yang paling dekat dengan manifestasi

panas bumi. Pada zona ini mineral alterasi yang ditemukan antara lain alunit dan

kristobalit serta kuarsa, kaolin dan anatase dalam jumlah sedikit. Zona kaolin

tersebar mengelilingi zona alunit dengan mineral utama yang ditemukan berupa

kaolin dan kristobalit serta kuarsa kuarsa di bagian yang lebih dalam. Zona kaolin

ini terdapat di permukaan dengan geometri yang tipis serta terdapat juga di bawah

permukaan. Sedangkan zona smektit berada di paling luar atau paling jauh dari

manifestasi panas bumi.

Analisa isotop sulfur S34 menunjukkan bahwa karateristik mineral alunit di

lapangan Otake mirip dengan karakteristik alunit di lapangan Hatchobaru. Penulis

menyimpulkan bahwa sumur pemboran O-9 berada di pusat naiknya fluida asam di

masa lampau. Jalur fluida asam hipogen di masa lampau kemungkinan ditempati

oleh zona upflow air dengan pH mendekati netral dari sirkulasi dalam di masa kini.

5.2. Lapangan Panas Bumi Copahue, Argentina

Penelitian ini dilakukan oleh Mas dkk. (1996). Lapangan panas bumi

Copahue sendiri berlokasi di sebelah barat Buenos Aires, dengan elevasi sekitar

2000 mdpl. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara

daerah tersebut dengan struktur regional melalui analisa karaktersitik mineralogi

dan alterasi di permukaan.

Lapangan panas bumi Copahue ini memiliki 5 manifestasi yang masih aktif

seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.2 yang terdiri dari fumarol, mata air panas,

dan cekungan lumpur. Empat dari manifestasi tersebut terdapat di lapangan

Copahue yang tersebar di beberapa area yaitu Las Maquinas, Termas de Copahue,

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 34


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Las Maquinitas, dan El Anfilteatro. Deskripsi minelarogi menunjukkan bahwa

mineral alterasi yang terdapat di lapangan ini antara lain alunit, kaolinit, kuarsa,

kristobalit, pirit, sulfur, dan jarosit. Mineral-mineral tersebut merupakan hasil dari

leaching batuan oleh fluida asam yang mengandung H2SO4 dengan konsentrasi

tinggi dari reaksi gas H2S yang berasal dari boiling di bawah permukaan dengan air

meteorik dekat permukaan.

Gambar 5.2. Peta Lapangan Panas bumi Copahue, Argentina serta daerah alterasinya

(Mas, G.R., dkk., 1996)

Secara mineralogi, alterasi di daerah penelitian ditunjukkan oleh mineral

alunit, kaolinit, kuarsa, jarosit, dan oksida besi. Daerah yang memiliki tingkat

keasaman paling tinggi adalah Las Maquinas dengan adanya mineral alunit dan

silica kriptokristalin yang dominan. Sedangkan El Anfiteatro dan Las Maquinitas

memiliki tingkat keasamaan yang mirip walaupun mungkin Las Maquinitas lebih

asam dibanding El Anfiteatro jika dilihat dari kelimpahan mineralnya. Sedangkan

Termas de Copahue memiliki asosiasi dengan Las Maquinas, namun adanya

modifikasi buatan membuat zonasi alterasi tidak mungkin dapat terbentuk.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 35


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Hubungan antara struktur geologi dengan kemunculan alterasi hidrotermal

ditunjukkan dengan adanya korelasi antara manifestasi Termas de Copahue, Las

Maquinitas, dan El Anfiteatro dengan kelurusan sesar yang berarah N55˚E.

Sedangkan Las Maquinitas berasosiasi dengan perpotongan antara sesar N55˚E dan

sesar berarah WNW-ESE.

Pada daerah alterasi Cop-2 (Copahue), terdapat pergantian antara 2 asosiasi

mineralogy yang berbeda yang menunjukkan adanya evolusi atau perubahan tingkat

keasaman. Alterasi yang lebih dulu menunjukkan sifat fluida lebih asam yang

dicirikan oleh adanya alunit, kaolinit, dan silica kriptokristalin. Sedangkan alterasi

yang datang belakangan menunjukkan sifat fluida yang mendekati netral yang

dicirikan oleh mineral monmorilonit dan silica sinter. Perubahan keasaman ini

kemungkinan terjadi akibat suplai fluida magmatik yang berkurang atau

berhentinya proses boiling di bawah permukaan.

5.3. Lapangan Panas Bumi Unzen, Kyushu Jepang

Penelitian yang dilakukan oleh Taguchi dkk. (2010) berlokasi di Lapangan

Panas bumi Unzen yang berada di pusat semenanjung Shimabara yang berasosiasi

dengan aktivitas Gunungapi Unzen. Di daerah tersebut terdapat beberapa

manifestasi panas bumi berupa mataair panas, tanah beruap, dan kolam lumpur.

Tipe alterasi yang ditemukan berupa alterasi argilik lanjut. Fluida geotermal di

tempat ini diindikasi bersuhu sekitar 240˚C. Struktur geologi yang terdapat di

daerah ini berupa graben yang memanjang sejajar semenanjung Shimahara.

Manifestasi yang ada juga berasosiasi dengan arah graben tersebut.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 36


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Mineral alterasi yang ditemukan di daerah ini berupa kristobalit dan tridimit

yang tersebar di bagian tenggara daerah penelitian, serta kuarsa yang tersebar di

pusat, terutama pada batuan tersilisifikasi yang tersingkap di daerah tersebut.

Kaolinit juga banyak ditemukan di sekitar mata air panas, kaolin umumnya

terbentuk pada suhu diatas 200˚C, hal ini menunjukkan bahwa batuan tersilisifikasi

tersebut terbentuk pada suhu diatas 200˚C. Sedangkan dickite, nacrite ditemukan di

sebelah selatan dan timur batuan yang tersilisifikasi. Dari analisa isotop sulfur yang

diambil dari ion sulfat pada mata air panas menunjukkan pH air berada di rentang

2,3 hingga 3,5 yang kemungkinan sulfur tersebut berasal dari H2S. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa batuan tersilisifikasi yang tersusun oleh kuarsa di daerah

penelitian tidak terbentuk pada masa sekarang tapi akibat fluida vulkanik yang

bersifat asam pada masa lampau, kemudian tererosi hingga 100 m dan tersingkap

di permukaan.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 37


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada eksplorasi panas bumi dengan pendekatan geokimia, salah satu hal yang

paling penting adalah dengan melihat tipe alterasi yang ada di permukaan. Tipe

alterasi ini dapat memberikan gambaran fluida yang bekerja di sistem panas bumi

di sekitar daerah alterasi tersebut, sehingga kita bisa mengetahui potensi serta

kebencanaan yang mungkin terjadi.

Alterasi di permukaan dihasilkan dari interaksi antara fluida di permukaan

dengan batuan yang berkontak dengan fluida tersebut. Tipe alterasi ini dapat

dicirikan dengan mineral alterasi yang dihasilkan. Alterasi pada kondisi pH asam

sendiri, seperti yang sudah dijelaskan, dapat menghasilkan tipe alterasi argilik dan

atau argilik lanjut. Alterasi ini, pada sistem panas bumi dapat terjadi baik di

permukaan maupun di bawah permukaan. Terdapat beberapa mineral yang dapat

mencirikan tipe alterasi ini, seperti Kaolinit, Dickite, Opal, Kristobalit, Jarosit,

Alunit, dan Oksida besi.

Beberapa mineral alterasi di atas, menurut Morrison (1997) terbentuk pada

kondisi pH rendah atau asam, dengan suhu pembentukan sekitar 0˚C sampai kurang

dari 300˚C. Sedangkan suhu fluida di permukaan, pada tekanan 1 atm, hanya akan

mencapai suhu maksimal 100˚C. Itu artinya, hanya mineral yang stabil atau mineral

yang terbentuk pada suhu sekitar 100˚C yang dapat terbentuk pada alterasi pH asam

di permukaan.

Jika kita melihat Tabel 4 yang menunjukkan suhu kestabilan beberapa

mineral, kita bisa melihat bahwa mineral-mineral tersebut dapat stabil pada suhu

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 38


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

sekitar 0-300˚C. Itu artinya mineral-mineral tersebut secara teori dapat terbentuk

pada suhu fluida 100˚C. Sehingga kita dapat berasumsi bahwa mineral-minera

tersebut dapat menjadi penciri adanya alterasi pH asam di permukaan.

Tabel 4. Rentang kestabilan mineral terhadap suhu (Morrison, 1997 dengan modifikasi)
Mineral 0 100 200 300
Kaolinit
Dickite
Opal
Kristobalit
Jarosit
Alunit
Oksida besi
(Goethite)

Berkaitan dengan fluida yang bekerja, berdasarkan pemaparan mengenai

macam-macam fluida yang dapat terbentuk pada sistem panas bumi, kita bisa

mengetahui bahwa fluida yang dapat menghasilkan tipe alterasi pH asam adalah

fluida yang bersifat asam, diantaranya adalah fluida sulfat, sulfat-klorida, dan

bikarbonat. Ketiga jenis fluida ini dapat menghasilkan alterasi dengan pH asam

disebabkan ketiganya memiliki ion H+ yang terkandung dalam H2SO4 maupun

H2CO3. Secara teoritis, senyawa H2SO4 memiliki pH yang lebih rendah atau lebih

asam dibanding senyawa H2CO3, bahkan H2CO3 juga disebut sebagai asam

hipotesis karena senyawa tersebut pada larutan akan segera terurai menjadi H2O

dan CO2. Itu sebabnya, fluida asam sulfat dan sulfat-klorida cenderung lebih

berpotensi untuk menghasilkan alterasi pH asam dibanding fluida bikarbonat.

Senyawa asam sulfat (H2SO4) yang terkandung dalam fluida asam sulfat

ataupun fluida sulfat-klorida sendiri umumnya terbentuk dari reaksi H2S dengan O2

dimana H2S umum terdapat pada sistem hidrotermal dalam bentuk gas. Gas H2S ini

umunya terbentuk pada proses boiling baik dibawah permukaan maupun di dekat

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 39


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

permukaan. Proses boiling pada sistem panas bumi ini menandakan bahwa sistem

tersebut memiliki suhu yang relatif panas. Gas H2S sendiri menurut Nicholson

(1993) merupakan gas pada sistem hidrotermal yang terbentuk dari alterasi batuan

pada reservoar atau dari sumber magmatik. Itu artinya, gas ini umum terbentuk pada

sistem panas bumi bersuhu tinggi, terutama yang berkaitan dengan sistem vulkanik.

Senyawa asam sulfat (H2SO4) di permukaan dibentuk oleh reaksi antara O2

dan H2S dengan persamaan:

H2S(g) + 2O2(aq) = 2H+(aq) + SO42-(aq) (H2SO4(aq))

Senyawa asam sulfat inilah yang menyebabkan terjadinya alterasi pH asam

yang menghasilkan leaching batuan secara pervasive, sehingga terjadi alterasi tipe

argilik atau argilik lanjut. Alterasi tersebut nantinya membentuk mineral alterasi

seperti alunit, kaolinit, kritobalit, dll.

Dari pemaparan tadi, hubungan antara sistem panas bumi, jenis fluida, tipe

alterasi dengan mineral alterasi yang terbentuk, dapat digambarkan dalam bagan

(Gambar 6.1.) di bawah ini.

Sistem Fluida Tipe Alterasi Mineral Alterasi


Panas bumi Hidrotermal •Argilik •Kaolinit
•Alunit
•Sistem bersuhu •Sulfat •Argilik lanjut •Dickite
tinggi beraosiasi •Sulfat-Klorida •Kristobalit
dengan •Opal
•Jarosit
vulkanisme
•Oksida/hidroksida besi

Gambar 6.1. Bagan hubungan sistem hidrotermal, tipe fluida, tipe alterasi dan mineral

hasil alterasi

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 40


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Bagan di atas menggambarkan bahwa mineral alterasi pH asam seperti

kaolinit, alunit, dll. terbentuk dari alterasi argilik dan argilik lanjut, sedangkan tipe

alterasi tersebut terjadi akibat adanya fluida sulfat atau fluida sulfat-klorida. dan

kedua fluida tersebut mungkin terbentuk oleh sistem hidrotermal bersuhu tinggi

yang berhubungan dengan vulkanik.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 41


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

BAB VII

KESIMPULAN

Dari pemaparan teori-teori yang terkait dengan sistem hidrotermal, juga data

serta studi kasus yang telah dipaparkan, kita dapat mengambil beberapa poin

kesimpulan, diantaranya:

1. Alterasi pH asam umumnya terjadi jika fluida yang berkontribusi berupa

air asam sulfat, air sulfat-klorida, dengan tipe alterasi berupa alterasi

argilik-argilik lanjut, atau pada kasus tertentu berupa air bikarbonat

dengan tipe alterasi argilik

2. Alterasi pH asam umumnya bertipe alterasi argilik atau argilik lanjut,

bergantung suhu pembentukannya. Pada suhu tinggi akan terbentuk

alterasi argilik lanjut, sedangkan pada suhu yang lebih rendah akan

terbentuk alterasi argilik

3. Mineral yang terbentuk akibat alterasi pH asam dengan suhu relatif

rendah atau di permukaan antara lain, kaolinit, dickite, opal, kristobalit,

jarosit, alunit, dan oksida besi.

4. Sistem panasbumi yang mungkin menghasilkan alterasi pH asam adalah

sistem panasbumi bersuhu panas vulkanik. Dimana sistem panas bumi

dapat menerima kontribusi fluida magmatik yang dapat menghasilkan air

asam sulfat sebagai penyebab alterasi pH asam.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 42


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Geothermal Features – Fumaroles.

(http://www.greenibis.com/edu/geo/frames/fumaroles.html, diakses pada 28

Juni 2015)

Anonim. Geothermal Activity. Waikato Regional Council.

(http://www.waikatoregion.govt.nz/Services/Regional-services/Regional-

hazards-and-emergency-management/Geothermal-activity/, diakses pada 28

Juni 2015)

Anonim. Overview. The Yellowstone-Teton Epicenter.

(http://www.yellowstonegis.utah.edu/overview/, diakses pada 28 Juni 2015)

Ellis, A.J. dan Mahon, W.A.J. 1997. Chemistry and Geothermal Systems. Academic

Press, New York.

Livo, K.E., Kruse, F.A., Clark, R.N., Kokaly, R.F., dan Shanks, W.C.,

Hydrothermal Altered Rock and Hot Spring Deposits at Yellowstone

National Park-Characterized Using Airborne Visible- and Infrared-

Spectroscopy Data. Integrated Geoscience Studies in the Greater Yellowstone

Area- Volcanic, Tectonic, and Hydrothermal Processes in the Yellowstone

Geo-ecosystem. (diunduh dari http://pubs.usgs.gov/pp/1717/downloads

/pdf/p1717O.pdf pada 18 Februari 2015)

Mas, G.R., Mas, L.C., dan Bengochea, L. 1996. Hydrothermal, Surface Alteration

In The Copahue Geothermal Field (Argentina). Proceedings Twenty-Fint

Workshop on Geothermal Reservoir Engineering. Stanford University,

Stanford.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 43


Alterasi Hidrotermal Lingkungan pH Asam di Permukaan Pada Sistem Panas Bumi

Morrison, K. 1997. Important Hydrothermal Minerals and their Significants 7th

Edition. Kingston Morrison Ltd., Jakarta.

Nicholson, K. 1993. Geothermal Fluids Chemistry and Exploration Techniques.

Springer-Verlag, London.

Stewart, C. Hot springs, mud pools and geysers - Hot springs and related features.

Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand.

(http://www.TeAra.govt.nz/en/document/6484/frying-pan-lake, diakses

pada: 28 Juni 2015)

Taguchi, S., Kubo, Y., Yoshii, S., Tanaka, Y., dan Chiba, H. Hypogene Acid

Alteration at Unzen Jigoku Steaming Ground, Unzen Volcano, Kyushu,

Japan.

Taguchi, S., Shimada, Y., Arikado, Y., Motomura, Y., dan Chiba, H. 2006. Acid

Alteration at the Surface of Otake Geothermal Field, Kyushu, Japan.

Proceedings 28th New Zealand Geothermal Workshop.

SAEFUDIN JUHRI 12/333298/TK/39700 44

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai