Pendahuluan
Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan
yang sering dijumpai pada bayi prematur.1 Gangguan nafas ini merupakan sindrom yang terdiri
dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: pernafasan cepat >60 x/menit, retraksi dinding dada,
merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar.2 Menurut European Consensus Guidelines
on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants – 2010 Update,
sindrom gawat nafas ini biasanya terjadi 4 jam setelah kelahiran dan memburuk sampai dengan 24
– 48 jam kehidupan, yang mana gejala akan membaik 1 – 2 hari berikutnya, umumnya timbul
berbarengan dengan peningkatan diuresis.3,4 Menurut buku Pedoman pelayanan medis IDAI,
gejala gawat nafas pada PMH memburuk dalam 48 – 96 jam.2
PMH ditemukan pada ± 50% bayi yang lahir dengan berat lahir 500-1500 gram (<34minggu usia
gestasi). Insidens PMH berbanding terbalik dengan masa gestasi.2
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Kelainan yang terjadi
dianggap karena faktor pertumbuhan atau karena pematangan paru yang belum sempurna.1
Penyakit ini biasanya mengenai bayi prematur,dan dapat ditemukan bila ibu menderita gangguan
perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu yang menderita diabetes mellitus,
hipotiroidisme, toksemia gravidarum, hipotensi, seksio sesaria, dan perdarahan antepartum.1,3
Kelainan ini merupakan penyebab utama kematian bayi prematur (50- 70%).1
II.Patofisiologi
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan substansi
surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang banyak dianut.
Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu
kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah
lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai maksimum pada
minggu ke-35.
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil alveoli dan
mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan.
Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang
mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP - A, SP
- B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multi-step dan
mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi. Lamellar bodies ini
berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan
adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam pembentukan monolayer yang
stabil dalam alveolus. 5
Gambar 2. Fisiologi pembentukan surfaktan5
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak
terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi
substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan
paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir
ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih
besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan
menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolism anaerobic
dengan penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis
metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin
bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan
ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.1
Bagan 1. Patofisiologi PMH
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri
dari: atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru hambatan
pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi
penyembuhan atau kematian bayi.1
Imaturitas dari paru janin dapat dilihat dari analisa cairan amnion, dari rasio lecithin –
sphingomyelin (L/S ratio <2:1), phosphatidylglycerol, atau lamellar bodies.4
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru
yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau hiperpnu,
sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan
‘expiratory grunting’. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, ‘pitting
edema’ terutama di daerah dorsal tangan/ kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral
dapat terlihat bila terjadi komplikasi.1 Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm
dengan PMH adalah Silverman – Anderson score untuk mengevaluasi derajat keberatan dari
gangguan nafas.6
IV.Pemeriksaan Penunjang
4.1.Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks. Pemeriksaan
ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan
mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia
diafragmatika, dan lain-lain.1
Gambar 5 dan 6. PMH dengan gambaran ground glass appearance (kiri) dan air bronchogram (kanan)
Gambar 7 dan 8. PMH dengan gambaran batas jantung-paru kabur (kiri) dan white lung appearance
(kanan)
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai indikasi. Pada
pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi
bronchopulmonary Displasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama.
4.2.Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya ialah:
4.2.1Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%, prognosis lebih
buruk. Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang
sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena
adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2
sebagai akibat atelektasis paru. pH darah menurun dan deficit basa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh. Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah yang biasanya memberi hasil: hipoksia, asidosis metabolik,
respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak normal.1,2
Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini
bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung
tetap stabil.8 Pada janin, cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung
dalam 30 menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan atau cairan
amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan untuk evaluasi apabila
surfaktan terdapat pada paru – paru janin sewaktu lahir.12
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan alkohol 1 cc lalu
dikocok dengan keras dan didiamkan selama 15 menit. Dengan mengocok cairan amnion dengan
alkohol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion
seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pada alkohol dengan konsentrasi 47.5%,
stable bubble yang dibentuk oleh karena pengocokan akan menetap oleh karena adanya lechitin.
At an ethanol concentration of 47.5 percent, stable bubbles that form after shaking are due to
amniotic fluid lecithin.8
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion :
alkohol)/ hasil positive gelembung (+), maka merupakan indikasi maturitas paru janin.8
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik. Frekuensi pernafasan yang
meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti
tidal volume menurun, lung compliance berkurang, functional residual capacity merendah disertai
vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.1
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran hialin di
dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami
emfisema. Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin
berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.1
V.Diagnosis
5.1.Anamnesis
5.2.Pemeriksaan fisik
Diagnosis dari PMH dapat dikonfirmasi dengan foto Rontgen toraks dengan gambaran
khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut Vermont Oxford
Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari Rontgen Toraks memerlukan
bahwa si bayi mempunyai PaO2<50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara
ruangan atau keadaan dimana si bayi memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk
mempertahankan PaO2 >50 mmHg.3,4
VI.Diagnosis Banding
1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTNB)
Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya mengurangi produksi
cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang menimbulkan terjadinya reabsorbsi.
Gagalnya untuk membersihkan paru dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN.
Faktor risiko terjadi TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria,
dan bayi dengan jenis kelamin laki-laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma.
Pada gejala awal, TTN sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis
TTN hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang
berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan biasanya disertai
dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5/1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya
takipnea yang parah (RR sampai dengan 100x/min) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi
jarang disertai dengan grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana diagnosis
sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan.3
Gambar 12. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura transversalis
dan hiperekspansi paru.3
3. Pneumotoraks
Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 32 – 34 minggu
menghasilkan paru – paru yang kurang compliance, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pneumotoraks yang kecil umumnya
dapat sembuh secara spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penanganan
pneumotoraks yang kecil, akan tetapi efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko
terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah tidak lagi dilakukan. Penanganan
yang sedang berkembang ialah penggunaan kateterisasi pigtail yang dimasukan dengan
tehnik Seldinger. Keuntungan tindakan ini ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta
sedikitnya skar yang ditimbulkan dibandingkan dengan traditional chest tubes.3
Gambar 13 dan 14. Pneumotoraks pada paru sisi kanan dan penggunaan kateter pigtail.3
Tabel 1. Penyebab sindrom gawat nafas pada bayi kurang bulan3
Tabel 2. Diagnosis banding paling umum dari Penyakit Membran Hialin14
VII.Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum
sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkaan penyakit ini ialah mencegah kelahiran
bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan sempurna apabila
produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971) memperkenalkan cara untuk
mengetahui maturitas paru dengan menghtung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam
cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/ sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir
tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2
berarti paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin.1
VIII.Penatalaksanaan
8.1.Penatalaksanaan umum
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap
dalam batas normal (36,5 – 37C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas
ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).1,3
Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau komplikasi yang
menimbulkan apneu persisten.1 Ventilator mekanik dihubungkan erat dengan
terjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan juga meningkatkan risiko
terjadinya trauma dan infeksi.3 Indikasi rasional untuk penggunaan ventilator
adalah1:
o pH darah arteri <7,2
o pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih
o pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70 – 100%
dan tekanan CPAP 6 – 10 cm H2O
o Apneu persisten
3. Pemberian cairan, glukosa dan elektrolit sangan berguna pada bayi yang menderita
penyakit membrane hialin.
Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena.3 Cairan yang diberikan harus
cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang
adekuat. Pada hari-hari pertama diberiksan glukosa 5 – 10 % dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 – 125 ml/kgbb/ hari). Asidosis metabolik
yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3
secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus diperiksa secara
teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus :
kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Kebutuhan basa ini
sebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan sisanya diberikan secara tetesan.
Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 –
7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada, NaHCO3 dapat
diberikan dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan berupa campuran larutan glukosa 5-
10% dengan NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1. Pada asidosis yang berat, penilaian
klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup
adekuat.1
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial O2
diharapkan antara 50 – 70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara 45 – 60 mmHg (permissive
hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 – 92%.2
4. Pemberian antibiotika.
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya
dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3mg/kgBB
untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi,
pemberian antibiotika dihentikan.2
8.2.Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami penyakit membran
hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa endotrakea setiap 6 – 12 jam untuk
total 2 - 4 dosis, tergantung jenis preparat yang dipergunakan.2
8.2.2. Dosis
Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL/kgbb intratrakea (masing-
masing 1mL/kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan),
terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing-masing ¼ dosis total atau 1
ml/kg). Dosis total 4ml/kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam pertama kehidupan
dengan interval minimal 6 jam antara pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan ke
kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal.
Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh viskositas
obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru.2
Tabel 3. Cara pemberian/administrasi surfaktant8
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan untuk neonates dengan
sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan sintetik (protein-free) dan natural (diambil dari paru
hewan). Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary air leaks
dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di Eropa.4
Pada penelitian dengan pemilihan sampel random, didapatkan bahwa pemberian 2 dosis
surfaktan memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis tunggal dan pada studi lain
mendapatkan bahwa pemberian 3 dosis dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal dapat
menurunkan mortalitas (13% vs 21%) dan pulmonary air leaks ( 9 vs 18%). Terapi surfaktan
selama lebih dari beberapa hari pertama kehidupan bayi memberikan respons langsung dan tidak
terbukti adanya perbedaan pada efek jangka panjang. 4
Gambar 17. Sediaan Survanta (bovine surfactant)
Tabel 4 dan 5. Preparat surfaktan dan dosis
Pemberian antenatal steroid kepada para ibu dengan risiko melahirkan bayi premature
terutama dengan usia gestasi 35 minggu untuk mengurangi mortalitas neonatal [relative risk (RR)
0.55; 95% confidence interval (CI) 0.43–0.72] dan penggunaan dosis tunggal antenatal steroid juga
tidak dapat diasosiasikan dengan kelainan maternal yang signifikan ataupun tidak memberikan
efek samping terhadap bayi. Pemberian antenatal steroid mengurangi risiko sindrom gawat nafas
pada bayi, tetapi pemberiannya harus didalam interval >24 jam dan <7 hari sebelum kelahiran
bayi. Antenatal steroid juga mengurangi risiko intraventricular hemorrhage (IVH) dan necrotizing
enterocolitis yang sering dijumpai pada bayi prematur. Kedua betametason dan deksametason
dapat digunakan untuk pematangan paru janin. Menurut Cochrane Review, deksametason lebih
banyak mengurangi terjadinya IVH sehingga, deksametason merupakan obat pilihan dalam
pematangan paru.4
8.3.1.Dosis
Dosis optimal kortikosteroid, waktu pemberian dan frekuensi pemberian masih belum diketahui
secara pasti. Menurut NIH Consensus Development Panel on the Effect of Corticosteroids for Fetal
Maturation on Perinatal Outcomes, regimen pemberian kortikosteroid secara umum ialah 2 dosis
betametason 12 mg diberikan secara intramuskular dengan jarak waktu 24 jam dan 4 dosis
deksametason 6 mg intramuskular dengan jarak waktu antar pemberian 12 jam.9
Beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang baik, bayi yang hidup masih
mempunyai kepandaian dan keadaan neurologis yang sama dibandingkan dengan bayi premature
lain yang masa gestasinya sama pula. Kelainan pada paru dan saraf mungkin disebabkan karena
penyakitnya sendiri yang berat atau kurang sempurnanya perawatan, di antaranya karena
pemberian kadar O2 tinggi secara terus-menerus. Kelainan paru sebagai dysplasia
bronkopulmoner umumnya disebabkan tekanan positif yang terus menerus. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi pada waktu perawatan ialah kelainan pada retina (fibroplasi retrolental) sebagai
akibat pemberian O2 yang tidak semestinya. Pneumotoraks walaupun jarang terjadi dapat
disebabkan oleh komplikasi pengobatan dengan ‘continuous negative external pressure’ (CNP)
dan tindakan bantuan pernafasan dengan respirator lain.
X.Daftar Pustaka
1. Latief Abdul dr., Napitupulu Partogi M dr., Pudjiadi Antonius dr., Ghazali Vinci
Muhammad dr, Putra Tulus Sukman dr, “Penyakit Membran hialin”, buku Ilmu Kesehatan
Anak jilid 3 FKUI hal. 1083 – 1087
2. Pudjiadi Antonius dr., Hegar Badriul dr, Handryastuti Setyo dr, Idris Salamia Nikmah dr,
Gandaputra Ellen P dr, Harmoniati Eva Devita dr, “Penyakit Membran Hialin”, buku
Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1 hal.238 – 242
3. Miall Lawrence, Wallis Sam, “The management of respiratory distress in the moderately
preterm newborn infant”, Neonatal Intensive Care Unit, Leeds Teaching Hospitals NHS
Trust, Leeds, UK. Dipublikasi pada tanggal 28 Februari 2011.
4. Sweet David G, Carnielli Virgilio, Greisen Gorm, dkk, “European Consensus Guidelines
on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants – 2010
Update”. Dipublikasi pada tanggal 10 Juni 2010.
5. Oommen P. Mathew, “Chapter 10: Respiratory Distress Syndrome: Impact of Surfactant
Therapy and Antenatal Steroid”, buku Innovations in Neonatal-perinatal Medicine
Innovative Technologies and Therapies That Have Fundamentally Changed the Way We
Deliver Care for the Fetus and the Neonate. Dipublikasi tahun 2011.
6. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col. M Kanitkar, Management of Respiratory Distress
in the Newborn. Dipublikasi tahun 2006.
7. William A. Engle, MD, and the Committee on Fetus and Newborn,”Clinical report:
Surfactant-Replacement Therapy for Respiratory Distress in the Preterm and Term
Neonate”. Dipublikasi tahun 2007.
8. Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto. PEMBERIAN
SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRESS
SYNDROME, SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. Dipublikasi
pada tahun 2006.
9. Brownfoot FC, Crowther CA, Middleton P, ”The Cochrane Collaboration: Different
corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung maturation for women at risk of
preterm birth (Review)”. Dipublikasi tahun 2008.
10. Geoffrey A. Agrons, MD, Sherry E. Courtney, MD, J. Thomas Stocker, COL, MC, USA,
Richard I. Markowitz, MD. From the Archives of the AFIP Lung Disease in Premature
Neonates: Radiologic-Pathologic Correlation, dipublikasikan 2005.
11. Dr. Ashraf Fawzy Nabhan Assistant Professor of Obstetrics & Gynecology Ain Shams
University, Cairo, Egypt Assessment of Fetal Lung Maturity. Dipublikasi tahun 2005.
12. Dr D H Greenfield, Ms H H Louw, Prof G B Theron, Prof H A van Coeverden de Groot,
Prof D L Woods, Gastric aspirate shake test, International Association for Maternal and
Neonatal Health (IAMANEH), ditinjau tanggal 8 Februari 2012. Dapat ditinaju di :
http://www.gfmer.ch/PEP/NCM_Contents.htm
13. KEITH TANSWELL, ELIZABETH SHERWIN, AND BARRY T. SMITH Single-step
gastric aspirate shake test,from the Neonatal Intensive Care Unit, Kingston General
Hospital, Division of Neonatology, Queens University, Kingston, Ontario, Canada.
Dipublikasi 1976.
14. CHRISTIAN L. HERMANSEN, MD, and KEVIN N. LORAH, MD, Lancaster General
Hospital, Lancaster, Pennsylvania,Respiratory Distress in the Newborn, American
Academy of Family Physicians, ditinjau tanggal 8 Februari 2012. Dapat di tinjau di :
http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.html