Anda di halaman 1dari 26

POLITIK HUKUM PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DALAM

RANGKA KEPASTIAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara teoretikal, fungsi pembentukan hukum pada dasarnya merupakan fungsi
melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Pembentukan
hukum oleh hakim dalam rangka memutuskan perkara yang sedang diperiksanya,
termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan baik oleh badan eksekutif secara
tersendiri maupun bersama-sama dengan badan legislatif, tidak lain sebenarnya fungsi
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang.
Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers
principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis
(geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam
konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan
legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan
dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh
badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.
Etimologis kata politik berasal dari bahasa Yunani polis yang dapat berarti kota
atau negara-kota. Dari kata polis ini kemudiIan diturunkankata-kata lain seperti ”polites”
(warganegara) dan ”politikos” nama sifat yang berarti kewarganegaraan (civic), dan
”politike techne” untuk kemahiran politik serta ”politike episteme” untuk ilmu politik.
Kemudian orang Romawi mengambil oper perkataan Yunani itu dan menamakan
pengetahuan tentang negara (pemerintah) ”ars politica”, artinya kemahiran (kunst) tentang
masalah-masalah kenegaraan.1

1
F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999, hal 21.

1
Menurut Prof. Sudarto ”Politik Hukum” adalah kebijaksanaan dari negara dengan
perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang dicita-
citakan. Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang
sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang luas, karena itu (undang-undang)
akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang
oleh penguasa digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan
yang dicitia-citakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Undang-undang
mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai, dan
2. Fungsi instrumental.
Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum bukan
merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan.
Ini berarti, apabila kita mau membicarakan ”Politik hukum Indonesia”, maka mau tidak
mau kita harus memahami terlebih dahulu ”apa yang menjadi cita-cita dari bangsa
Indonesia merdeka”.
Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana undang-undang (hukum).
Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa
Indonesia, maka dapat ditentukan ”sistem hukum” yang bagaimana yang dapat
mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk mewujudkan
masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.2
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perundang-undangan memang bentuk
pengaturan legal dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Namun peraturan
hukum formal tak pernah netral, karena ada politik hukum di belakangnya.
Hukum formal itu lahir, hidup, dan juga bisa mati, dalam dinamika budaya hukum. politik
hukum menjadi sangat terasa, karena pemerintah pusat sangat berperan dalam
penyusunannya, sementara sebagai pemerintah pusat juga menjadi pihak dalam tarik ulur

2
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Program
Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007, hal 13.

2
posisi otonomi daerah. Dengan demikian suatu sistem hukum harus mengandung
peraturan-peraturan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud
aplikatif politik hukum sebisa mungkin bersifat netral dan tidak memihak.
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem
hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik
hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau
peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena
peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain
lembaga politik (politic body).3 Sedangkan pemahaman atau definisi dari politik hukum
secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.4 M. Mahfud MD mengemukakan bahwa
politik hukum meliputi:
Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum.5
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan
merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan
bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan

3
HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang,
Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jakarta, 2001, hal. 5. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan
produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa
hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum
mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum
determinan atas politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan
hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya
4
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jaklarta, 2001, hal. 9
5
Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan
Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.

3
memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya,
karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses
pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-
undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan
ditegakkan.6 Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara
sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan
sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.7 Abdul Wahid Masru
mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy)
yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan
perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya
(implementasinya).8 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan
merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi)
hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-
undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan
politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan
sederhana sebenarnya dapat dilihat dari:
1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang secara
mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan
penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-undangan yang
dibentuk; dan
2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis
pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde

6
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1
7
Ibid, hal. 2
8
Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.

4
baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang
berlaku pada saat ini
Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji politik hukum peraturan perundang
undangan dalam rangka kepastian hukum di Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Bagaimana peranan politik hukum dalam pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia?
2. Bagaimanakah urgensi konsep kepastian hukum dalam pembentukan undang-
undang?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui peranan politik hukum dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui urgensi konsep kepastian hukum dalam pembentukan undang-
undang.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan Di Indonesia.

Politik Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional


Pembentukan peraturan perundang-undangan secara ideal dilandasi paling tidak
oleh 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;
(2) Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional yang baik; dan
(3) Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik
hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal
dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan
perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi
saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada
konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya. Konfigurasi-
konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini secara teoretikal akan
menghasilkan 3 (tiga) klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam masyarakat, yaitu :9
(1) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan represif
(law or legislation as the servant of repressive power);
(2) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang
mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or

9
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper &
Row, New York, 1978, hlm. 14

6
legislation as a differentiated institution capable of taming repression and
protecting its own integrity);
(3) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a facilitator
or response to social needs an aspirations).
Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional merupakan kebijakan
yang dibuat oleh pejabat atau badan/lembaga negara atau pemerintahan untuk membentuk
suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Politik hukum nasional dalam arti ini
secara konstitusional dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 1 UUD 1945
memberikan landasan bagi konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan)
nasional di Indonesia yang hendak diimplementasikan.
Pasal 1 UUD 1945 itu dirumuskan sebagai berikut :
(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD 1945 itu, maka konsep politik hukum
(peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling tidak dilandasi oleh 3 (tiga) prinsip
yang fundamental sebagai berikut:
(1) Prinsip negara hukum (welfare state);
(2) Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah republik; dan
(3) Prinsip demokrasi (democracy).
Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum (peraturan
Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare state. Prinsip ini dapat
ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat.
‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu …’

7
Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUD 1945 itu mengisyaratkan agar dalam
pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk:
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) memajukan kesejahteraan umum;
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Prinsip negara kesatuan (unitary state) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik
perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan, dengan
bentuk pemerintahannya republik. Ini artinya, bahwa setiap peraturan perundang-
undangan yang hendak dibentuk harus dalam rangka mengokohkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bentuk negara kita menurut UUD 1945 adalah negara kesatuan
(bukan federal), sedangkan bentuk pemerintahan negara kita adalah republik (bukan
monarchi). Maka pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan baik di Pusat
maupun Daerah tidak boleh lepas dari kedua hal tersebut.
Selanjutnya prinsip demokrasi (democracy) mengisyaratkan agar setiap
pembentukan politik perundang-undangan nasional, senantiasa melibatkan peran serta
rakyat. Rakyat harus diberikan ruang secara demokratis untuk terlibat pada setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai pada tahap rancangan hingga pasca
pengundangan. Pelibatan rakyat dalam setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi telah dianut dalam konsep politik
hukum nasional itu, akan tetapi juga memberikan indikasi terbentuknya penyelenggaraan
pemerintahan yang terbuka dan responsif (partisipatif), serta mengarahkan bagi
terbentuknya produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang demokratik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan
lingkup atau lingkungan kuasa hukum, yang menurut Logemann dapat dibedakan
menjadi 4 (empat) hal, yaitu:10

10
Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Nasional, 25 Mei 2013

8
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebeid atau territorial sphere).
Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) di batasi oleh ruang
atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau
hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, ’daerah
kekuasaan” berlakunya suatu undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara,
tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk
suatu wilayah tertentu pula. Suatu Perda hanya berlaku untuk suatu wilayah daerah
tertentu.
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebeid atau material sphere).
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur,
apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana,
dan sebagainya. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang diatur.
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied)
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan
orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subjek atau orang tertentu dalam
peraturan perundang-undangan tersebut maka hal itu memperlihatkan adanya pembatasan
mengenai orangnya. Undang-Undang tentang Pegawai Negeri, Undang-Undang tentang
Tenaga Kerja, Undang-Undang tentang Peradilan Militer, dan sebagainya, menunjukkan
bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompok orang
yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-undangan itu.
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan
berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu, apakah
mulai berlaku sejak ditetapkan berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu
peraturan hukum ditentukan oleh waktu.

9
2.2 Urgensi Konsep Kepastian Hukum Dalam Pembentukan Undang-Undang

Kebijakan Politik Hukum Nasional


Sebelum telah diuraikan mengenai politik hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan berikut konflik yang muncul dari peraturan pembentukan
perundang-undangan, sekarang kita akan membahas mengenai politik perundang-
undangan nasional, sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka
terlebih dahulu perlu kita memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundang-
undangan. Oleh karena itu, perlu disinggung secara garis besar mengenai arah kebijakan
politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan pada saat ini.
Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk
melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip
dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1. supremasi hukum;
2. kesetaraan di hadapan hukum; dan
3. penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita
terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan
ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun
kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus
senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan
sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
1. Substansi Hukum (Legal Substance)
Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum
melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk
mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan
hirarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan
hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan

10
yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Hal ini
yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini merupakan bagian dari politik
perundang-undangan.
2. Struktur Hukum (Legal Structure)
Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan
kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta
kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem
peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat
dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran;
memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan
peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan
materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini,
langkah-langkah yang diterapkan adalah:
a. Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem
hukum dan kepastian hukum.
Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama
kurun waktu silam membawa dampak besar dalam sistem hukum.
Intervensi berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan yudikatif telah
mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun
hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem
peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat
kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.
b. Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).
Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada
siapa atau lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab
maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan
pertanggungjawabannya, sehingga memberikan kesan proses hukum
tidak transparan. Hal ini juga berkaitan dengan “budaya” para penegak

11
hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya informasi
mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut
sering dipakai oleh oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk
menguntungkan dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses
masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
peradilan membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di
dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia
peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena
itu sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam
pembenahan lembaga peradilan.
c. Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang
hukum.
Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari
mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan
sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan,
termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsif gender.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak
terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada.
Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun
kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang
diterapkan banyak menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM
yang berkualitas. Hal ini pula yang memberikan berpengaruh besar
terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin menambah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
3. Budaya Hukum (Legal Culture)
Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah
meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai
peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali
budaya hukum yang sepertinya “semakin hari semakin memudar” (terdegradasi).

12
Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini
sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran
para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan
di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya
budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen
untuk melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan
bentuknya yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum ”yang tercipta”
melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya
hanya merupakan instrumen pembenar bagi ”perilaku salah”, seperti sweeping yang
dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau kelompok
tertentu, dan lain sebagainya.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum sangat
berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi terhadap
hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, profesionalisme, dan kesadaran aparat
penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat
pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan
dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para
praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada
masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat
menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta
bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar
dan tidak menyimpang.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah
ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional
yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya
konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta
tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan
peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya
memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan.

13
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik
hukum, antara lain dengan melakukan:
1. program perencanaan hukum;
2. Program pembentukan hukum;
3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum
lainnya;
4. program peningkatan kualitas profesi hukum; dan
5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

F. Politik Perundang-undangan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-undangan
merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi)
hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan
keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara? Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk
peraturan perundang-undangan adalah hanya negara atau Pemerintah.11
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat
dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga
pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses
pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah
dengan kata lain masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan
daerah.

11
Hal ini disebut sebagai “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” yang terdapat dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

14
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan,
baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum,
oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya.
Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan
masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk
menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di
bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan
seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau
duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-
undangan.
Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana
partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing".
Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam
lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari
berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk
mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan
peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau
politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu
sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup
di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang
responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan:
Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan
hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh
kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan
memenuhi harapan masyarakat pada umumnya.12

12
M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, Makalah, FH
UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1

15
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-
undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung
berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum
yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat
penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan
pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur
atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka
tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah
atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah
melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai
aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat
terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik
yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.13
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah
terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi
politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga
hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub
ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum
konservatif antara lain:
1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh
lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara.
Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.
2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih
mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat
(instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang
kekuasaan yang dominan.

13
Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion)
mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1
Juni 2005

16
3. Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir
secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.
4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka
pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang
pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran
menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang
harus dihukum.14
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto
memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna:
Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih
tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam
masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.15
Dari pengalaman sejarah hukum16 tersebut seharusnya perlu dirancang suatu
skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep
sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-

14
M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita, Makalah,
Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5
15
Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-
undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan
Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 107. Satjipto Rahardjo
mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan norma-
norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan
perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali

17
undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan
perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah
strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang
dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan
keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

G. Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional


Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan
perundang-undangan nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
telah menetapkan dua langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program Legislasi
Nasional 2010-2014 dan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional, pada tanggal 20
Januari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Satya Arinanto
dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas
Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru. 17
Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi
hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-
undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada
permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan

17
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara
Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14 – 16. Alasan menyebut
sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD
1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan
MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan
produk hukum yang berupa GBHN

18
dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah
pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta
menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat
pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya.
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum
nasional18 maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan
nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki substansi
hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut adalah
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan penataan peraturan
perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan pengharmonisasian
berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan rancangan peraturan
perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang
telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang sudah
ada dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk
dilakukan perubahan atau revisi.
Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku
pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis dan
global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap
berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan kebijakan/materi
hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku yang efektif

18
Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25

19
dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan perubahan-perubahan di
bidang sosial kemasyarakatan19.
Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah
dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dan juga
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014. Acuan tersebut
sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur
penting dalam rangka pembangunan hukum nasional secara keseluruhan yang merupakan
suatu proses yang dinamis, mengalami perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan
masyarakat dan politik yang tidak terlepas dari:
a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;
b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang terjadi;
serta
c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan
datang.20
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga
telah mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan
melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta asas
umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-pokok politik
perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional, dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:
a. Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain:
1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak Hukum;
2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum;
3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi;
4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik;

19
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, jilid III,
No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial,
Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 161.
20
Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan

20
5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum;
6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang
menghambat pembangunan;
7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM
b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi manusia dan
peradilan;
c. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang
ada dalam masyarakat;
d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum adat)
terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat
dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai
implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;
e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan
masyarakat;
f. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan penelitian
sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan
rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-
undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi
prinsip kesetaraan dan keadilan;
h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan asas
hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik
pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument perencanaan
program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan

21
sistematis21 yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat
diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang
didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional negara hukum
Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saat ini
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi
yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang
merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan Undang-Undang yang
meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang akan diwujudkan;
c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.22
Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan
oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah
dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penyusunan
Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan
dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka sinkronisasi dan
harmonisasi Prolegnas.
Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam
pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada perwujudan
keselarasan dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya,

21
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula Pasal 1 angka
9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
22
Ibid, Psl. 4

22
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain
yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait
dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut.
Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan
perundang-undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan
peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan
hukum secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai gambaran politik
perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana pembangunan peraturan perundang-
undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas
diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi peraturan
perundang-undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan perundang-
undangan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Dengan disusunnya Prolegnas
diharapkan akan dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
yang berkeadilan, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat.
Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan
sasaran politik hukum atau polotik perundang-undangan secara mendasar, Prolegnas
juga memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan
pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian
tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yaitu:
a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. Mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014 yang
berlaku saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang merupakan
implementasi dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang waktu
tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana peraturan

23
perundang-undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun tersebt yang
dituangkan dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan
Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan Keputusan DPR RI Nomor
41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU yang
disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk disusun dan beberapa RUU Kumulatif
Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU telah ditetapkan menjadi prioritas
pembahasan pada 2010 dan kemungkinan penambahan dari 5 jenis RUU ng bersifa
Kumulatif Terbuka.23

23
RUU Kumulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2) RUU tentang
Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 4) RUU
tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU Kumulatif Terbuka tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hubungan Negara
hokum dengan pembentukan hokum dapat dilihat dari definisi Negara hukum itu sendiri,
Negara hokum secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahannya melandaskan pada hokum yang dalam hal ini lebih pada
peraturan perundang-undangan sebagai produk hokum, maupun dari putusan hakim.
Sedangkan hubungan politik hokum dengan hokum adalah bahwa politik hukum
merupakan bagian dari ilmu politik dengan objek kajian hokum sehingga politik huku
merupakan arah pandang hokum dari segi politik dan untuk membatasi ilmu politik
tersebut harus ada hokum didalamnya, begitu pula dengan politik hokum pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan arah pandang dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang dalam hal ini biasa dilakukan dengan membuat rencana
pembangunan jangka menengah dan juga program legislasi nasional. Arah kebijakan
politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem
dan politik hokum. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka
diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat
terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya
mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang
meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan
budaya hokum.
Selain itu Program legeslasi nasional dan Program legeslasi daerah merupakan
Potret Politik hokum nasional dan daerah yang memuat rencana materi dan sekaligus
merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hukum atau pembentukan hukum dalam
bentuk kebijakan Negara dan pemerintah. Pembentukan hukum di Indonesia dari pusat ke
daerah tidak lepas dari politik dan kekuasan dari para legislatornya, pembentukan politik
peratuaran daerah harusnya meberikan ruang masyarakat untuk ikut serta dalam

25
pembentukan peraturan daerah agar masyarakat biasa menaati peraturan dan perencanaan
hukum harusnya konsisten dengan tujuan, dasar dan cita hokum yang mendasarinya.
politik hukum itu merupakan “legal Policy” tentang hukum yang diberlakukan atau tidak
diberlakukan utuk mencapai tujuan Negara. Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan Negara. Maka sebenarnya politik hukum dalam pembentukan pereturan
daerah (politik perundang-undangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di
balik sebuah pereturan daerah antara lain berupa tujuan, fungsi, Paradigma, kehendak
politik Negara, maupun ideologi hukum.

3.2 Saran
Setiap persoalan hukum selalu dihadapkan pada persoalan substansi hokum,
struktur hokum dan budaya hokum, sehingga perlu dilakukan pembenahan mulai dari
substansi hukumnya , penegak hukumnya dan juga pelibatan masyarakat dalam setiap
proses pembuatan peraturan perundang-undangan dan juga sebaiknya pembentukan
pereturan peraturan perundang-undangan dari pusat dan daerah harusnya memperhatikan
apa yang di inginkan masyarakan dan sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. Dan
khususnya pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah hasusnya memberi
kesempatan yang lebih luas masyarakatnya dalam Pembentukan peraturan daerah karena
partisipasi masyarakat penting dalam pembentukan pereturan daerah sehingga pemerintah
daerah dan pusat harusnya memberikan ruang kepada masyarakat dalam memberikan ide
dan peraturan daerah itu sesuai dengan lingkungan masyarakat.

26

Anda mungkin juga menyukai