Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan beberapa tanda publik yang

bertuliskan “TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEROKOK” atau “KAWASAN

BEBAS ASAP ROKOK” atau dengan yang sesingkat dan sejelas “DILARANG

MEROKOK!” Tanda-tanda tersebut umum ditemukan di berbagai ruang publik

fisik seperti ruang tunggu kantor, stasiun dan berbagai bangunan fasilitas umum

lainnya, gedung-gedung lembaga kesehatan dan edukasi, hingga rumah makan.

Tanda-tanda publik tersebut merupakan representasi dari sebuah wacana global

mengenai bahaya konsumsi tembakau, baik bagi diri sendiri (first-hand smoker)

maupun bagi individu lain di sekitarnya (second-hand dan third-hand smoker),

yang mulai bergaung di Indonesia.1 Wacana ini, sebenarnya bukan hal baru bagi

masyarakat global, penelitian ilmiah pertama mengenai bahaya tembakau dapat

dilacak mundur hingga sejauh tahun 1761; sebuah penelitian mengenai risiko

kanker hidung bagi pengguna tembakau (dengan cara dihirup langsung atau snuff)

yang dilakukan oleh seorang ahli kesehatan Inggris bernama John Hill (ASH.

Action on Smoking and Health). Sumber yang sama menyebutkan bahwa

pergerakan dunia melawan tembakau terlembagakan pertama kali pada tahun

1
Perokok tangan pertama dan tangan kedua (first-hand dan second-hand smoker) sudah menjadi
terminologi yang cukup dikenal dan sering dipergunakan dalam keseharian. Perokok tangan ketiga
(third-hand smoker) adalah terminologi yang belum begitu dikenal yang merujuk pada individu
yang terekspos deposit racun rokok yang terkumpul pada baju, karpet, lantai dan tempat-tempat
lain bahkan setelah rokok dimatikan (Winickoff, et al. 2009, 74).
2

1830-an, bersamaan dengan gerakan anti-alkohol yang mulai gencar saat itu.

Wacana global ini telah dilembagakan di Indonesia melalui Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang bentuk

implementasinya dapat ditemui dalam berbagai regulasi terkait cara promosi

hingga kemasan rokok serta dalam penerapan cukai sebagai mekanisme

pembatasan peredaran.2

Wacana tersebut tidak hanya menjadi milik lembaga-lembaga publik

namun juga telah mulai bergerak dalam pemikiran kelas menengah Indonesia

secara umum, bergabung dengan berbagai wacana kelas menengah lain seperti

hidup sehat, kepedulian dan empati sosial serta wacana-wacana lainnya. Seorang

teman saya pernah mengungkapkan secara eksplisit dalam sebuah forum diskusi

grup daring (melalui Grup aplikasi percakapan What‟s App) mengenai posisinya

terhadap tembakau (dalam hal ini rokok). Begini kira-kira apa yang

diungkapkannya tersebut: “Saya perokok, saya tahu bahaya merokok bagi

kesehatan saya dan orang di sekitar saya. Karena berhenti merokok bukan hal

yang mudah, setidaknya saya mengurangi dampak merokok bagi orang di sekitar

saya dengan cara merokok di tempat yang telah disediakan, tidak di tempat umum

apalagi yang jelas melarang aktivitas merokok.” Ini adalah sebuah contoh yang

menunjukkan pergerakan wacana bahaya tembakau dalam pemikiran kelas

menengah Indonesia. Beberapa dan mungkin banyak dari kita (saya sendiri dalam

2
Sayangnya kelembagaan pengaturan tembakau ini justru menjadi alasan untuk tidak
menandatangani kesepakatan pengendalian tembakau dunia atau FCTC (Framework Convention
on Tobacco Control) seperti yang diberitakan tahun 2013 lalu (Khamdi 2013).
3

hal ini) pernah ditegur oleh orang lain ketika merokok di dekat seorang ibu hamil

-atau ibu yang sedang bersama seorang anaknya dalam pengalaman pribadi saya;

bukti lain bagaimana wacana ini ada dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi ini dibaca dan ditanggapi dengan cukup cerdik oleh beberapa

pelaku industri yang kemudian mulai memproduksi apa yang dikenal dengan

sebutan rokok elektrik atau personal vaporizer.3 Komoditas baru ini diklaim dapat

menggantikan sensasi merokok dan membantu proses berhenti dari kebiasaan

merokok tembakau. Tentu saja banyak pro dan kontra yang berkembang

menganai komoditas baru yang segera menjadi tren global ini, salah satunya

berkaitan dengan pemanfaatannya sebagai alat pengasupan nikotin yang

merupakan salah satu kandungan berbahaya rokok tembakau konvensional.

Arguman yang memberatkan vaporizer mengenai kehadiran nikotin tersebut

menyebut vaporizer sebagai „alat introduksi pada rokok tembakau konvensional

bagi remaja‟ atau gateway pada aktivitas merokok yang telah diamini bahayanya

dalam argumen tersebut (Primack, et al. 2015). Namun tentu saja peningkatan

penjualannya di seluruh dunia menjadi bukti resepsi publik global yang cukup

baik atas komoditas baru ini; seperti yang diekspresikan Dewo, seorang vaper

Yogyakarta: “Ini teknologi baru kok, gak bisa dihentikan nek memang benar-benar

baik. Nek arep diregulasi, monggo, malah aman.”4

3
Kini, untuk menjauhkan posisi ideologis komoditas ini dari stigma negatif yang menempel pada
kata „rokok‟, istilah personal vaporizer -atau vaporizer saja- lebih sering digunakan.
4
Pendapat Dewo (bukan nama sebenarnya) ini terjadi dalam percakapan saya dengannya
mengenai isu atau rencana pembatasan peredaran rokok elektrik di Indonesia oleh Kementrian
Perdagangan atas rekomendasi Kementrian Kesehatan sekitar awal tahun 2015 lalu. Isu ini
memudar ketika mentri perdagangan saat itu (Rahmat Gobel) kemudian diganti. Pendapatnya ini
juga menunjukkan keyakinannya akan manfaat baik vaporizer, peling tidak untuk dirinya sendiri.
4

Berbagai sumber daring mengenai sejarah vaporizer mengapresiasi

seorang ahli farmasi Cina bernama Hon Lik sebagai pencipta gawai ini yang

mematenkannya untuk pertama kali pada tahun 2003. Walaupun sebuah artikel

daring lain menunjukkan bahwa keberadaan paten pertama untuk gawai yang

sangat mirip dengan vaporizer sekarang dapat dilacak hingga tahun 1927 (Wake

and Vape 2015), vaporizer baru benar-benar menjadi populer dan dikonsumsi

oleh sangat banyak penduduk dunia setelah Hon Lik mulai memproduksi dan

memasarkan produknya.5 Alasan utama Hon Lik menciptakan gawai ini adalah

agar dapat berhenti merokok setelah ayahnya meninggal dunia akibat kanker paru-

paru (CASAA 2012). Gawai ini bekerja dengan memanaskan cairan berasa dan

beraroma yang disebut likuid (beberapa dapat mengandung nikotin) hingga

menguap. Uap yang diproduksi tersebut lalu dihirup oleh penggunanya layaknya

menghisap sebatang rokok.

Resepsi atas vaporizer di Indonesia dapat dibilang cukup baik. Jika

Yogyakarta dapat mewakili, sejak tahun 2012 ketika vaporizer mulai menjadi hot

item di perdagangan daring Indonesia, telah hadir lebih dari 15 gerai vaporizer.

Gerai-gerai tersebut menjual berbagai keperluan yang terkait dengan penggunaan

vaporizer seperti, gawai dan likuid, bahan elemen pemanas, kapas resapan, dan

lain-lain. Para penggunanya pun –yang sering menyebut diri vaper- mulai lebih

berani menggunakan gawai mereka di tempat-tempat umum seperti rumah makan

dan gerai-gerai kopi serta berbagai tempat nongkrong lainnya. Komunitas para

5
Data dari situs Statisticbrain.com menunjukkan peningkatan penjualan vaporizer yang sangat
signifikan di Amerika. Pada tahun 2008 sebesar 20 juta USD dan meningkat hingga 1,7 milyar
USD di tahun 2014 (Statistic Brain Research Institute 2015).
5

pengguna vaporizer di Yogyakarta pun terbentuk dengan gerai-gerai vaporizer

menjadi tempat utama pertemuan informal mereka. Wacana bahaya tembakau

juga bergerak dalam komunitas ini sebagai fragmen dari kelas menengah

Indonesia. Semua pengguna vaporizer yang saya temui dalam pengamatan awal

saya mengaku ingin berhenti –atau beralih dari- merokok dengan menggunakan

gawai tersebut. Para pramuniaga gerai-gerai vaporizer Yogyakarta pun

memanfaatkan wacana yang sama dalam menawarkan vaporizer kepada pembeli

baru, begitu juga ketika seorang vaper mempersuasi temannya untuk mulai

vaping. Pertanyaan yang muncul kemudian: Jika vaporizer membantu proses

berhenti merokok tembakau konvensional, apakah para pengguna vaporizer

memang ingin berhenti merokok atau justru ingin tetap merokok dengan cara

yang berbeda, baik dalam aspek kesehatan dan atau kebaruan cara konsumsinya?

Karena ketika kondisi berhenti merokok tembakau konvensional telah tercapai,

seharusnya alat bantu untuk mencapai kondisi tersebut menjadi tak bermakna lagi,

setidaknya dalam logika berpikir saya. Jika yang disebut terdahulu menjadi

jawabannya, seharusnya ada waktunya di mana para pengguna vaporizer yang

telah berhasil berhenti merokok, berhenti pula menggunakan vaporizer.

Setidaknya sejauh pengamatan awal saya dalam komunitas vaporizer Yogyakarta,

bukan hal ini yang terjadi, beberapa pengguna vaporizer yang saya jumpai telah

berhenti merokok cukup lama dan mengaku masih ingin menikmati vaping.

Terlepas dari berbagai wacana yang melatari dan terreproduksi fenomena

ini, dinamika sosial dalam komunitas para pengguna vaporizer ini sendiri menjadi

hal yang menarik terutama jika dikaitkan dengan berbagai praktik konsumsi yang
6

terlibat di dalamnya. Pengamatan awal saya terhadap fenomena vaporizer

memperlihatkan dua sisi yang menarik untuk diperhatikan. Di satu sisi dan sesuai

dengan namanya, penggunaan personal vaporizer sangat bersifat personal. Pilihan

gawai dan rasa likuid mewakili sifat ini. Di sisi lain, kompleksitas teknis gawai

vaporizer –yang mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan tertentu- serta

pendekatan pemasaran gerai-gerai vaporizer yang saya amati di Yogyakarta

memperlihatkan sifat komunal dari fenomena ini. Tentu saja hal ini dapat

dibandingkan secara langsung dengan rokok tembakau konvensional yang juga

bersifat personal karena selera penggunanya yang saling berbeda, tetapi juga

sering disebut sebagai social lubricant. Perbedaan antara keduanya hadir dalam

bagaimana kedua sifat tersebut (individual dan komunal) hadir dengan sangat

mencolok dalam fenomena vaporizer. Selera menjadi sangat spesifik sekaligus

bervariasi karena pilihan yang begitu luas atas gawai dan likuid serta faktor

swakarya yang terlibat dalam ritual konsumsi vaporizer.6 Sementara itu,

komunalitas dalam konsumsi vaporizer sangat tinggi sampai pada tahap hadirnya

komunitas pengguna vaporizer di Yogyakarta yang menjadi objek material

penelitian ini. Jika rokok konvensional menjadi perekat antar individu dalam

interaksi sosial yang berada dalam konteks lain dari rokok konvensional itu

sendiri, vaporizer memiliki konteksnya sendiri. Pengetahuan dan keterampilan

dalam ranah yang benar-benar baru merupakan konteks tersendiri yang

6
Faktor swakarya yang dimaksud di sini meliputi bagaimana gawai vaporizer dapat diatur
sedemikian rupa (dalam berbagai aspek teknisnya) sesuai keinginan dan selera penggunanya. Hal-
hal tersebut meliputi pengaturan elemen pemanas (bentuk, posisi, bahan, nilai tahanan dan suhu
yang hendak dicapai) serta kapas resapan yang sering disebut setting. Aspek swakarya ini juga
ditemukan dalam pembuatan likuid yang dapat dilakukan sendiri dengan sumber informasi yang
telah sangat melimpah mengenai hal ini.
7

menyatukan para pengguna vaporizer tidak hanya dalam komunitas regional

seperti yang saya amati sementara ini di Yogyakarta, namun juga dalam

komunitas daring nasional bahkan internasional. Representasi komunitas

vaporizer Yogyakarta dapat dilihat dalam sebuah grup media sosial Facebook

bernama “Jogja Vaper Corner” yang tercatat memiliki lebih dari 1600 anggota di

pertengahan tahun 2015 (Jogja Vaper Corner 2013). Sampai titik ini, dua hal

dapat diasumsikan mengenai fenomena ini, pertama, terkait dengan motivasi

„berkenti merokok‟, konsumsi vaporizer sama sekali tidak berkaitan dengan

konsumsi rokok konvensional dan merupakan bentuk konsumsi simbolis karena

praktik konsumsinya telah melampaui fungsionalitasnya; kedua, kerena telah

berada dalam wilayah simbolis, segala bentuk praktik konsumsi, baik individu

maupun kelompok, yang berkaitan dengannya (termasuk di dalamnya adalah

ritual-ritualnya, pengetahuan dasarnya, komunalitasnya) dapat dikategorikan

sebagai sebuah praktik kultural dan karenanya bersifat politis dan problematis.

Hal ini segera mengingatkan saya pada salah satu perspektif budaya konsumen

yang ditawarkan Mike Featherstone yang cukup dekat menggambarkan kondisi

„etalase gerai vaporizer‟:

(…) consumer culture is premised upon the expansion of


capitalist commodity production which has given rise to a vast
accumulation of material culture in the form of consumer goods
and sites for purchase and consumption. (…) although greeted
as leading to greater egalitarianism and individual freedom by
some, is regarded by others as increasing the capacity for
ideological manipulation and ‘seductive’ containment of the
population from some alternative set of ‘better’ social relations
(Featherstone 2007, 13).
8

(…) budaya konsumen mendasarkan argumennya pada ekspansi


produksi komoditas kapitalis yang telah sangat meningkatkan
akumulasi objek kultural dalam bentuk barang konsumsi serta
situs-situs pembelian dan konsumsi. (…) walaupun disambut
oleh sebagian orang sebagai awal baik menuju egalitarianisme
dan kebebasan individu, namun juga dinilai sebagai peningkatan
kapasitas manipulasi ideologis dan „daya tarik‟ yang
menjauhkan masyarakat dari alternatif relasi sosial yang „lebih
baik‟.
Featherstone (2007, 15) sendiri menyatakan keterbatasan perspektif ini dalam

merujuk pengalaman dan praktik-praktik konsumsi aktual. Karenanya, perspektif

berikut yang ditawarkannya mencoba melihat budaya konsumen dalam konteks

relasi individu dan sistem sosial di mana ia berada.

(…) the satisfaction derived from goods relates to their socially


structured access in a zero-sum game in which satisfaction and
status depend upon displaying and sustaining differences within
conditions of inflation. The focus here is upon the different ways
in which people use goods in order to create social bonds or
distinctions (Featherstone 2007, 13).
(…) kepuasan yang diperoleh dari barang-barang berkaitan
dengan akses sosial yang terstruktur -atas barang tersebut-
dalam permainan tanpa untung/rugi di mana kepuasan dan status
tergantung pada cara-cara menampilkan dan mempertahankan
perbedaan dalam kondisi berkelimpahan barang. Fokusnya ada
pada cara-cara yang berbeda dalam penggunaan barang dalam
rangka menciptakan ikatan sosial atau distingsi.

Dua perspektif tersebut mencoba mempermasalahkan kembali budaya konsumsi

sekaligus secara kritis menolak pandangan yang menganggap praktik konsumsi

sebagai sekedar turunan kausal dari aktivitas produksi di tengah banjir objek

simbolis dalam masyarakat kontemporer (Featherstone 2007, 13). Perspektif

kedua (yang ditampilkan dalam kutipan terakhir) akan dapat lebih banyak

memproblematisasi fenomena vaporizer ini. Perspektif ini mencoba melihat relasi

antara struktur sosial dan praktik konsumsi individu. Jika dikembalikan pada
9

fenomena yang hendak diangkat dalam penelitian ini, perspektif ini melihat

konteks baru yang diciptakan oleh kehadiran vaporizer sebagai sebuah struktur

sosial mikro di mana individu-individu berusaha memapankan atau merebut

posisi-posisi tertentu yang diinginkan melalui berbagai praktik konsumsi baik

terhadap barang-barang vaporizer maupun terhadap aspek-aspek lain (bukan

barang) dalam konteks vaporizer seperti pengetahuan, kemampuan dan

komunalitas. Fenomena vaporizer dalam komunitas vaporizer Yogyakarta

diposisikan tidak sekedar sebagai turunan kausal dari motif dan motivasi berhenti

merokok –apalagi dari aktivitas produksi gawai vaporizer semata- melainkan

sebagai sebuah arena sosial yang politis dan problematis.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini mencoba memproblematisasi dinamika sosial yang

ditemukan dalam praktik konsumsi vaporizer, khususnya mengenai relasi antara

praktik konsumsi dalam komunitas vaporizer Yogyakarta dan struktur sosial yang

melatari –sekaligus terus-menerus dicipta ulang- oleh berbagai praktik konsumsi

tersebut. Permasalahan utama ini dapat diuraikan menjadi tiga pertanyaan

penelitian berikut:

1. Seperti apa struktur sosial dalam arena komunitas vaporizer

Yogyakarta?

2. Bagaimana strategi dijalankan agen-agen untuk melakukan mobilisasi

sosial di dalam arena komunitas vaporizer Yogyakarta?


10

3. Bagaimana dan seperti apa relasi antara arena komunitas vaporizer

Yogyakarta dan struktur sosial yang lebih luas di luar arena itu sendiri?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan karakter atau ciri dinamika sosial

yang ditemukan dalam praktik konsumsi komunitas vaporizer Yogyakarta. Secara

khusus, penelitian ini mencoba:

1. Mendeskripsikan struktur sosial dalam arena komunitas vaporizer

Yogyakarta.

2. Memperlihatkan bagaimana strategi dijalankan agen-agen dalam rangka

mobilisasi sosial mereka di dalam arena komunitas vaporizer

Yogyakarta.

3. Mendeskripsikan relasi antara struktur sosial arena komunitas vaporizer

Yogyakarta dengan struktur sosial yang lebih luas.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara akademik maupun

praktis. Secara akademik penelitian ini dapat menjadi bagian dari diskursus

budaya konsumen dan diharapkan dapat menawarkan temuan-temuan baru yang

dapat memperkaya dialektika dalam diskursus tersebut. Secara lebih spesifik,


11

khususnya terkait dengan asek teoretis, penelitian ini akan mencoba menguji

fleksibilitas teoretik dari pemikiran Bourdieu mengenai habitus, arena dan kapital

dalam konteks budaya yang berbeda.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana

dan seperti apa struktur sosial dalam sebuah ranah konsumsi yang sekilas terlihat

biasa saja dan tanpa permasalahan berarti. Penelitian ini diharapkan membawa

cara pandang baru dalam melihat aksi dan interaksi individu-individu sebagai

konsumen sekaligus agen sosial dalam dan dengan struktur sosial di mana mereka

menjadi bagiannya.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini membahas mengenai relasi antara praktik konsumsi dan

struktur sosial spesifik di mana berbagai praktik konsumsi tersebut terjadi. Topik

ini bukanlah hal baru dalam dunia akademik, karena itu, sangat penting untuk

memposisikan penelitian ini dalam diskursus besar yang menaruh perhatian pada

topik yang sama demi menunjukkan signifikansi penelitian ini. Tentu saja salah

satu aspek yang secara kontras menjadi pembeda penelitian ini dengan kajian-

kajian lain dalam topik yang sama adalah perihal kebaruan locus budaya yang

hendak diamati. Fenomena yang diangkat dalam penelitian ini terbilang sangat

baru dan terlepas dari ciri-ciri eksplisit yang memposisikannya sebagai bagian

dari gejala kapitalisme kontemporer, fenomena ini memiliki keunikannya sendiri

karena seakan-akan membonceng pada –sekaligus memberontak terhadap-


12

fenomena lain yang telah lebih dulu hadir yaitu industri rokok konvensional.

Produk-produk vaporizer yang kini sedang hangat berkembang dan membanjiri

pasar dunia menawarkan cara lain merokok (selain rokok konvensional)

sementara pasar rokok konvensional yang telah lama mendominasi mulai terlihat

goyah (seperti yang dapat diamati di Amerika) karena kehadiran objek hasrat baru

ini. Beberapa tulisan yang akan dibahas secara singkat di bawah ini diharapkan

dapat lebih lanjut memposisikan penelitian ini.

Tesis karya Bunga Irfani berjudul “Eating Out Sebagai Gaya Hidup dan

Konsumerisme di Nanamia Pizzaria dan Il Mundo Yogyakarta” (2014)

menunjukkan bagaimana gaya hidup dalam interaksi di lingkungan sosial menjadi

konstruksi identitas individu melalui konsumsi atas makanan dan berbagai aspek

eksternal lain yang terkait dengan makanan tersebut. Tesis ini melihat fenomena

di mana konsumsi dilakukan untuk memposisikan diri secara simbolik, serupa

dengan perspektif mode konsumsi yang menjadi asumsi awal penelitian ini.

Penelitian ini tidak hanya akan menaruh perhatian pada individu pelaku konsumsi

seperti dalam tesis Irfani, melainkan lebih terhadap struktur sosial di mana

individu-individu pelaku konsumsi mencoba memposisikan diri mereka.

Hampir serupa dengan tesis Irfani, tesis Ade Irma Sukma Wati (2012)

melihat konsumsi atas barang bermerek (branded) yang dikatakan menjadi

instrumen penanda kelas dan kelompok sosial. Tesis yang berjudul “Lifestyling

dalam Late Night Sale sebagai Usaha Produksi Identitas Pramuniaga Perempuan

Centro Department Store” ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa usaha

produksi identitas dengan konsumsi atas barang bermerek yang menjadi objek
13

utamanya merupakan proses lifestyling karena tidak dibarengi dengan kekuatan

ekonomi yang dibutuhkan. Tesis ini sangat menyinggung relasi konsumsi dan

struktur sosial namun tanpa menaruh perhatian yang cukup pada struktur sosial itu

sendiri. Penelitian yang akan saya lakukan, mencoba melihat lebih dalam kepada

struktur sosial yang menjadi objeknya, dan kemudian pada bagaimana konsumsi

individu-individu di dalamnya turut membentuk –dan atau terbentuk oleh-

struktur tersebut.

Artikel berjudul “Veblen, Bourdieu, and Conspicuous Consumption”

yang ditulis oleh Andrew B. Trigg (2001) sebenarnya merupakan pembelaan atas

relevansi teori konsumsi Thorstein Veblen, sekaligus mempromosikan pemikiran

Bourdieu yang menurutnya menjadi contoh bagaimana pemikiran Veblen masih

dapat dikembangkan dan dimanfaatkan di era kontemporer ini. Artikel tersebut

dengan jelas menunjukkan bagaimana konsumsi mempengaruhi posisi seseorang

dalam struktur sosial. Asumsi penelitian ini serupa dengan sedikit perbedaan.

Penelitian ini mengasumsikan adanya relasi saling mempengaruhi antara

konsumsi seseorang dan posisinya dalam struktur sosial. Struktur sosial yang akan

dibahas dalam penelitian ini bukanlah struktur sosial secara umum seperti dalam

esay Trigg, melainkan struktur sosial yang spesifik seperti konsepsi Bourdieu

mengenai arena. Konsumsi yang direlasikan dengan struktur sosial dalam

penelitian ini tidak hanya meliputi konsumsi atas barang dan jasa seperti dalam

teori Veblen yang dibela Trigg, namun lebih dekat dengan yang disampaikan Alan

Warde dalam sebuah artikel lain yang akan dibahas di bawah ini.
14

Warde dalam “Consumption and Theories of Practice” melihat konsumsi

sebagai aktivitas apropriasi dan apresiasi yang tidak hanya terbatas pada barang

dan jasa yang dibeli dengan uang, namun juga pada penampilan, informasi dan

suasana baik berbayar maupun tidak (Warde 2005, 137). Konsep konsumsi

Warde ini serupa dengan yang saya pahami dan gunakan dalam menyusun

penelitian ini. Warde secara khusus membahas manganai bagaimana teori praktik

dimanfaatkan untuk melihat praktik konsumsi atas kendaraan bermotor sehingga

serupa dengan apa yang hendak saya lakukan melalui penelitian ini walaupun

dengan tujuan yang berbeda. Warde dalam artikel tersebut hendak mengemukakan

teori praktik sebagai pendekatan –alternatif- yang berbeda untuk melihat praktik

konsumsi secara sosiologis sementara saya menggunakan teori ini untuk melihat

bagaimana praktik konsumsi berelasi dengan struktur sosial locus konsumsi

tersebut.

Artikel berikutnya berjudul “Social Stratification and Cultural

Consumption: Music in England” dan ditulis oleh Tak Wing Chan dan John H.

Goldthorpe (2007). Artikel ini menguji tiga argumentasi mengenai relasi antara

konsumsi individu dan struktur sosial. Pengujian tersebut dilakukan melalui

penelitian empiris terhadap ribuan penikmat musik di Inggris. Salah satu argumen

yang diuji, termasuk dalam argumentasi ini adalah temuan Bourdieu dalam

Distinction (1984), menyatakan bahwa strata kultural (high/low culture)

berhomologi dengan strata sosial (kelas/struktur sosial) sehingga konsumsi

individu atas objek kultural tertentu dapat dilihat sebagai representasi kelas

sosialnya. Artikel penelitian ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa argumentasi


15

homologi tersebut tidak lagi relevan dan menjadi kritik atas pemikiran Bourdieu.

Artikel ini melihat relasi antara pilihan objek konsumsi (jenis musik) dan struktur

sosial, dan menyimpulkan bahwa dominasi sosial (dalam struktur sosial) tidak

terjadi karena pembedaan objek konsumsi atau distingsi. Penelitian yang akan

saya lakukan mencoba melihat relasi yang sama (konsumsi-struktur sosial) tanpa

terbatasi oleh argumen manapun yang diuji dalam penelitian Chan dan

Goldthorpe, walaupun tetap mempertimbangakan keberadaan ketiga argumen

tersebut dalam diskursus budaya konsumen kontemporer.

F. Landasan Teori

Titik berangkat penelitian ini mempertemukan fenomena vaporizer

dalam komunitas vaporizer Yogyakarta sebagai objek material dengan budaya

konsumen dalam perspektif mode konsumsi sebagai objek formalnya. Karena itu,

bagian berikutnya akan memberikan gambaran umum mengenai objek formal

penelitian ini. Pada bagian selanjutnya, hasil kerja Pierre Bourdieu yaitu teori

praktik (Theory of Practice) akan disampaikan. Pemikiran Bourdieu ini,

khususnya mengenai habitus, arena dan kapital, akan menjadi alat utama yang

dipergunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

Tentu saja uraian landasan teori yang akan disampaikan ini belum –kalau

bukan tidak akan- cukup mengelaborasikan keseluruhan teori yang akan

dipergunakan dalam penelitian ini, baik mengenai budaya konsumen maupun

mengenai alat berpikir Bourdieu: habitus, arena dan kapital. Uraian ini hanya
16

dimaksudkan untuk membingkai penelitian ini secara teoretis untuk memudahkan

pelaksanaan dan pembacaannya ketika telah selesai dilaksanakan. Penelitian ini

saya harapkan menjadi sebuah kajian yang bersifat eksploratif dan walau

terbingkai secara teoretis, tetap terbuka dalam pelaksanaannya. Karena itu,

kemungkinan untuk mengelaborasikan teori maupun konsep lain yang saya

jelajahi kemudian - di luar yang akan diuraikan berikut ini- tetap terbuka lebar.

1. Mode Konsumsi

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perspektif budaya

konsumen yang ditawarkan Featherstone (2007, 13) mencoba menempatkan

konsumsi dalam ranah kultural, tidak semata sebagai turunan dari produksi,

dan perlu diproblematisasi. Pada bagian yang sama dalam bukunya, ia

menandai era ini dengan kondisi dimana barang-barang simbolik membanjiri

pasar serta kecenderungan akan kebingungan budaya dan de-klasifikasi.

Kondisi tersebut menuntut untuk mempertanyakan kembali mengenai

kebudayaan dan berimplikasi terhadap konsep-konsep relasi antara budaya,

ekonomi dan masyarakat. Secara sederhana, perspektif mode konsumsi

melihat bagaimana barang-barang konsumsi dipergunakan sebagai penanda

perbedaan sosial dan berperan sebagai komunikator, “the ways goods are

used to mark social differences and act as communicators” (Featherstone

2007, 17).

Kondisi pasar yang terus-menerus dibanjiri berbagai suplai barang

menimbulkan kesan akses tak terbatas pada barang-barang konsumsi. Hal ini

menyebabkan selera, penilaian yang diskriminatif, pengetahuan tentang


17

barang, yang memperbolehkan kelompok tertentu atau ketegori masyarakat

tertentu untuk mengerti dan mengklasifikasi barang-barang baru beserta cara-

cara memakai/mempergunakannya, menjadi penting (Featherstone 2007, 17).

(…) the mastery of the cultural person entails a seemingly


‘natural’ mastery not only of information (the autodidact
‘memory man’) but also of how to use and consume
appropriately and with natural ease in every situation
(Featherstone 2007, 17).
(…) kepiawaian individu budaya meliputi penguasaan yang
tampak „alami‟ tidak hanya atas informasi („penghafal
autodidak‟) tetapi juga atas cara memakai dan mengkonsumsi
yang baik dan terlihat mudah dan alami dalam setiap
kesempatan.

Pentingnya penguasaan-penguasaan tersebut berimplikasi pada pemanfaatan

waktu yang lebih untuk berinvestasi pada kompetensi serta untuk kegiatan

konsumsi itu sendiri; investasi atas waktu ini adalah kriteria penting dari

kelas sosial. Karena itu, Featherstone menyarankan penelitian mendetail atas

pemanfaatan waktu dan uang seperti yang disampaikannya dalam kutipan di

bawah ini.

The phasing, duration and intensity of time invested in


acquiring competences for handling information, goods and
services as well as the day-today practice, conservation and
maintenance of these competences, is (…) a useful criterion of
social class. Our use of time in consumption practices
conforms to our class habitus and therefore conveys an
accurate idea of our class status. This points us towards the
need for detailed time-budget research (Featherstone 2007,
18).
18

2. Habitus, Arena dan Kapital

Melalui teori praktik, Pierre Bourdieu (dalam Grenfell 2008, 43)

mencoba merekonsiliasi dua pendekatan ilmu pengetahuan: objektivisme

strukturalis dan subjektifisme eksistensialis. Melalui pendekatannya ini ia

menempatkan struktur sosial dan individu (atau kelompok atau institusi)

dalam hubungan relasional. Ia melihat struktur sosial sebagai sebuah jaringan

relasi saling membentuk, “both structured and structuring” (Grenfell 2008,

45). Jika dipergunakan untuk melihat relasi antara struktur sosial dan individu

di dalamnya, teori praktik mempertanyakan bagaimana keduanya (struktur

sosial dan agensi individu) dapat didamaikan serta bagaimana keduanya

saling membentuk (Maton 2008, 50). Habitus, arena dan kapital adalah tiga

konsep utama yang dipergunakan Pierre Bourdieu untuk merumuskan teori

praktiknya. Ketiga konsep ini tidak bisa dilepaskan satu dari yang lainnya,

tidak bisa pula dipergunakan secara individual karena Bourdieu sangat

menekankan aspek relasional dari pendekatan sosiologisnya ini (Grenfell

2008, 47; Maton 2008, 55).

a. Habitus

Habitus adalah konsep Bourdieu yang paling mencirikan pendekatan

distingtifnya atas fenomena sosiologi. Dari berbagai pendekatan sosiologis

lainnya, habitus menjadi unik karena –jika dimanfaatkan dengan benar- dapat

mengatasi permasalahan dikotomi dalam berpikir (objektif/subjektif,

struktur/agen, lalu/kini, sosial/individu, dan lain sebagainya) dan melihat

permasalahan sosial. Secara formal, habitus adalah bagian dari agen sosial,
19

baik itu individu, kelompok atau institusi (Maton 2008, 50-51). Bourdieu

mendefinisikan habitus sebagai:

(…) systems of durable, transposable dispositions,


structured structures predisposed to function as structuring
structures, that is, as principles which generate and
organize practices and representations that can be
objectively adapted to their outcomes without presupposing
a conscious aiming at ends or an express mastery of the
operations necessary in order to attain them (Bourdieu
1990, 53).

Habitus adalah sistem disposisi yang ada dan bertahan serta dapat

“menjadi aktif dalam rentang ranah sosial yang beragam” (Maton 2008, 51);

“system of durable, transposable dispositions.” Habitus berkembang sesuai

dengan kondisi keberadaan -“structured structure”- serta menciptakan

praktik, kepercayaan, persepsi, perasaan, dan lain sebagainya -“structuring

structure”- (Maton 2008, 51).7 Habitus sangat efektif sebagai basis persepsi

dan aksi, bahkan tanpa perlu kesadaran akan orientasi akhir karena telah

ditempa dari sekian banyak pengulangan aksi –dan reaksi-, percobaan dan

kegagalan (Calhoun 2002, 6, 15); “can be objectively adapted to their

outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express

mastery of the operations necessary in order to attain them.”8 Bahkan ketika

gagal dalam –variasi baru dari- sebuah kondisi tertentu, habitus telah berhasil

meregenerasi sistemnya untuk kondisi serupa di masa depan, Bourdieu juga

menekankan peran generatif habitus seperti yang disampaikan Calhoun


7
Anak seorang seniman misalnya, cenderung berjiwa seni sesuai lingkungan di mana ia
dibesarkan, ketika dewasa ia akan sangat mungkin menempuh jalur pendidikan seni dan atau
menjadi praktisi seni seperti orang tuanya.
8
Bahkan ketika seorang anak seniman tidak ingin menjadi seperti orang tuanya, apresiasinya
terhadap seni cenderung lebih baik ketimbang anak seorang pengusaha misalnya.
20

(2002, 14): “the ways in which embodied knowledge transmutes past

experience into dispositions for particular sorts of action.”

Bentuk nyata dari habitus adalah endapan skema persepsi, pemikiran

dan tindakan, yang merupakan produk sejarah dan pada gilirannya akan

memproduksi tindakan-tindakan individu dan kolektif -sejarah berikutnya-

yang cenderung menjamin proporsionalitas tindakan-tindakan tersebut serta

konsistensinya secara lebih meyakinkan dari pada semua peraturan resmi dan

norma-norma eksplisit (Bourdieu 1990, 54); terciptalah keteraturan sosial,

keberaturan, struktur sosial. Melalui habitus, struktur –dari mana habitus itu

berasal- mengendalikan praktik, tidak dalam cara determinisme mekanik,

namun dalam kendali dan batas yang telah ditentukan di awal terbentuknya

habitus tersebut; habitus adalah kapasitas tak terhingga untuk menciptakan –

pemikiran, persepsi, ekspresi dan tindakan- yang batasannya ditentukan oleh

kondisi historis dan sosial di mana ia diciptakan, kebebasan kondisional

terkondisi yang diberikannya jauh dari penciptaan kebaruan yang tak terduga,

tidak juga sesederhana reproduksi mekanik dari kondisi di mana ia diciptakan

(Bourdieu 1990, 55).

b. Arena

Sebagai mantan pemain rugby dan pembaca Wittgenstein (language

game), pemahaman Bourdieu (dalam Calhoun 2002, 4) mengenai kehidupan

sosial sering terlihat melalui metafora „permainan‟. Tidak dalam

pengertiannya sebagai sebuah bentuk hiburan, namun dalam perspektif serius

seorang atlit dengan hasratnya akan permainan tersebut. Kompetisi dan


21

persaingan yang ketat serta komitmen akan tujuan masing-masing.

Perjuangan melawan peserta permainan lain dan melawan batasan-batasan

pribadi. Arena adalah di mana „permainan-permainan sosial‟ berlangsung

dalam metafora tersebut.

Arena dapat digambarkan secara mental sebagai sebuah wilayah di

mana sebuah permainan dilakukan, lapangan sepak bola misalnya, di dalam

keempat garis batasnya agen-agen sosial mengambil posisinya. Permainan

yang dimainkan memiliki aturan-aturan yang harus diketahui para pesertanya,

harus dipelajari oleh peserta baru permainan tersebut. Kondisi lapangan

(basah/kering, rumput tebal/rumput tipis) juga menjadi hal yang harus

dipahami untuk dapat diatasi dalam permainan. Karenanya, permainan dalam

sebuah arena dibatasi oleh minimal tiga hal: batas arena itu sendiri, peraturan-

peraturan dari permainan yang dimainkan, serta kondisi arena tersebut

(Thomson 2008, 68-69).

Masih dalam analogi arena sebagai sebuah lapangan, batas luar dari

lapangan tersebut dimaksudkan untuk memisahkan apa yang terjadi di

dalamnya dari wilayah yang lebih luas di luarnya. Hal ini diperlukan karena

ada kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola permainan terprediksi yang selalu

dimainkan di dalamnya dan belum tentu dapat diterapkan di luar batas

lapangan tersebut; batas luar tersebut berfungsi untuk menjaga agar para

peserta permainan tidak melewatinya (Thomson 2008, 69-70).9 Kebiasaan-

9
Tentu saja dalam permainan sepak bola, seorang Eric Cantona misalnya, pernah „keluar‟ dengan
sengaja dari garis lapangan untuk menendang seorang pendukung timnya; permainan kemudian
berhenti karena terjadi kekacauan dalam lapangan dan bahkan di luar garis batas lapangan tempat
22

kebiasaan dan pola-pola permainan tersebut, tidak hanya lahir dari peraturan

resmi permainan tersebut namun juga dari gaya bermain para pesertanya.10

Maka dalam arena, ditemukan aturan-aturan yang tidak perlu dieksplisitkan

untuk dapat dipatuhi agen-agen yang terlibat (Thomson 2008, 70).

Menurut Bourdieu dalam penjelasan Thomson (2008, 70-73),

kumpulan individu menempati beberapa arena sosial secara simultan,

mereka/kita dapat dikatakan menempati sebuah ruang sosial bersama (field of

power dalam terminologi Bourdieu) yang terdiri dari arena-arena (multiple

social fields) seperti: arena pendidikan, arena ekonomi, arena seni, arena

politik dan birokrasi, dan seterusnya. Bourdieu juga menunjukkan adanya

kesamaan „kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola permainan‟ antara arena satu

dengan yang lain dalam sebuah ruang sosial, juga bahwa arena-arena tersebut

berelasi secara saling tergantung (inter-dependent) melalui agen-agen yang

menempati arena-arena tersebut. Relasi yang sama juga ditemukan antara

field of power dan suatu arena tertentu, “what happens in the field of power

shapes what can happen in a social field, at the same time as what happens in

a social field shapes the field of power and also may influence other social

fields.” Dikaitkan dengan habitus, arena adalah structuring structure yang

secara berkesinambungan membentuk habitus, sementara habitus akan

menciptakan praktik sosial yang pada gilirannya akan menentukan apa yang

terjadi dalam arena(-arena) di mana habitus itu berada.

para pendukung berada. Metafora ini memperlihatkan relasi arena satu dengan arena lain di
luarnya.
10
Ketika Lionel Messi mendapatkan bola di kakinya, dapat diduga akan ada dua sampai empat
pemain belakang lawan yang membayangi dan menutup ruang tembaknya. Artinya, Messi sebagai
seorang agen dapat mempengaruhi bagaimana permainan dalam lapangan dimainkan.
23

c. Kapital

Hanya dengan habitus dan arena saja, nampaknya belum cukup

untuk menjelaskan praktik sosial. Seakan-akan agen sosial bertindak tanpa

tujuan dalam arenanya; lalu apa yang hendak dicapai oleh praktik sosial

tersebut? Kapital. Agen-agen sosial berpraktik secara sosial dalam rangka

mengakumulasi bentuk-bentuk kapital (Thomson 2008, 69). Kapital juga

menentukan habitus agen, habitus juga terbentuk dari dan oleh komposisi

kepemilikan kapital tertentu (Swartz 2002, 5). Sementara itu, posisi seorang

agen dalam arena tertentu sangat ditentukan oleh kepemilikan kapital dan

habitusnya (Maton 2008, 51). Posisi agen dalam arenanya pada akhirnya

menentukan praktik seperti apa yang dilakukannya dalam arena tersebut

untuk mengakumulasi kapital yang pada gilirannya -bersama agen-agen lain

dengan habitus, perolehan kapitalnya serta praktik-praktik sosial mereka-

akan ikut menetukan wujud dari struktur sosial arena tersebut dan arena lain:

field of power.11

Bourdieu mengelaborasikan posisi penting kapital melalui sebuah

tulisannya yang saya kutip berikut ini:

The social world can be conceived as a multi-dimensional


space that can be constructed empirically by discovering
the main factors of differentiation which account for the
differences observed in a given social universe, or, in other
words, by discovering the powers or forms of capital which

11
Memanfaatkan contoh yang sama, seorang anak seniman menjadi lebih baik dalam
mengapresiasi seni karena dalam keluarganya kapital kultural (kompetensi dan kecakapan seni
termasuk di dalamnya) telah mendominasi, pembentukan habitusnya sangat kuat dipengaruhi oleh
kapital kultural. Kelak, misalnya, ketika ia memutuskan untuk berkuliah di jurusan seni
(memasuki arena pendidikan seni), habitusnya akan membantunya meraih posisi yang lebih
unggul dari temannya yang seorang anak pengusaha.
24

are or can become efficient, like aces in a game of cards, in


this particular universe, that is, in the struggle (or
competition) for the appropriation of scarce goods of which
this universe is the site. It follows that the structure of this
space is given by the distribution of the various forms of
capital, that is, by the distribution of the properties which
are active within the universe under study--those properties
capable of conferring strength, power and consequently
profit on their holder. (…) these fundamental social powers
are, according to my empirical investigations, firstly
economic capital, in its various kinds; secondly cultural
capital or better, informational capital, again in its different
kinds; and thirdly two forms of capital that are very
strongly correlated, social capital, which consists of
resources based on connections and group membership,
and symbolic capital, which is the form the different types of
capital take once they are perceived and recognized as
legitimate (Bourdieu 1987, 3-4).
Dunia sosial dapat dipahami debagai sebuah wilayah milti-
dimensi yang dapat dikonstruksi secara empiris dengan
menemukan faktor-faktor pembeda utama yang
menjelaskan perbedaan-perbedaan yang teramati dalam
latar sosial tertentu, atau, dengan kata lain, dengan
menemukan kuasa atau bentuk-bentuk kapital yang efisien,
atau dapat menjadi efisien, seperti kartu as dalam permainan
kartu, di dalam latar sosial tersebut, yaitu, di dalam
perjuangan (atau kompetisi) untuk memperoleh barang-
barang berharga di mana latar sosial tersebut menjadi
situsnya. Hal ini berarti struktur dari wilayah sosial
ditentukan oleh distribusi ragam bentuk kapital, yaitu, oleh
distribusi properti-properti yang aktif dalam latar sosial
yang tengah dipelajari –properti-properti tersebut mampu
menjadi kekuatan, kuasa dan secara konsekuen: keuntungan
bagi pemegangnya. (…) kuasa-kuasa sosial mendasar ini,
sesuai dengan penyelidikan empirisku, yang pertama,
kapital ekonomi dalam ragam jenisnya; kedua, kapital
kultural, atau lebih tepatnya kapital informasional, sekali
lagi, dalam berbagai bentuknya; dan ketiga, dua bentuk
kapital yang sangat berhubungan erat, kapital sosial, yang
termasuk berbagai sumber daya yang terkait dengan koneksi
sosial dan keanggotaan dalam kelompok-kelompok tertentu,
dan kapital simbolik, yaitu bentuk lain yang diambil oleh
kapital-kapital ketika telah diterima dan diakui
legitimasinya.
25

Kutipan di atas memuat paling tidak tiga poin penting untuk

melengkapi pemahaman awa mengenai kapital. Pertama, sebuah arena

tertentu dapat diidentifikasi dari arena lainnya melalui kapital-kapital apa saja

yang dominan persebarannya serta efisien –atau berpotensi menjadi efisien-

di dalamnya. Kedua, kepemilikan kapital menjadi cara untuk membedakan

diri atau kelompok sosial tertentu dengan yang lainnya dalam sebuah arena

dan menjadi apa yang diperjuangkan oleh agen-agen sosial dalam arena

tersebut. Ketiga, selain sebagai pembeda sosial, kekuasaan adalah

konsekuensi lain kepemilikan kapital dalam konteks arena yang sama.

G. Metode Penelitian

Seperti yang telah disampaikan dalam perumusan masalah, penelitian ini

mencoba memproblematisasi dinamika sosial yang ditemukan dalam praktik

konsumsi komunitas vaporizer Yogyakarta. Fenomena yang akan

dipermasalahkan telah dibingkai sebagai fenomena konsumsi dalam sebuah arena

di mana para anggota komunitas vaporizer Yogyakarta menjadi agen-agennya.

Patricia Thomson (2008, 75) dalam penjelasannya mengenai arena memaparkan

saran Bourdieu mengenai tiga langkah melakukan investigasi terhadap suatu arena

yang meliputi:

1. Menganalisa posisi arena tersebut dalam relasinya dengan field of

power.
26

2. Memetakan struktur objektif dari relasi antara posisi-posisi yang

ditempati oleh agen-agen atau institusi-institusi yang saling

berkompetisi untuk mendapatkan bentuk otoritas tertentu yang diakui

dalam arena tersebut.

3. Menganalisa habitus dari agen-agen sosial, sistem disposisi yang

berbeda-beda yang telah mereka peroleh dari proses internalisasi atas

kondisi sosial dan ekonomi determinan, serta bagaimana habitus-

habitus tersebut menjadi lebih diunggulkan -atau lebih dikalahkan-

dalam arena tersebut.

Langkah meneliti arena yang disampaikan di atas mengasumsikan data mengenai

fenomena yang dipermasalahkan telah terkumpul. Maka langkah awal yang akan

dilakukan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data.

Pengumpulan data akan dilakukan melalui penelitian lapangan. Karena

saya sebagai peneliti juga adalah pemakai vaporizer, penelitian lapangan yang

akan dilakukan bersifat partisipatoris. Metode pengumpulan data utama yang akan

dipergunakan dalam penelitian lapangan tersebut adalah observasi dan wawancara

mendalam. Data yang akan terkumpul dari observasi dan wawancara mendalam

tersebut akan menjadi data primer bagi penelitian ini. Data-data sekunder

mengenai objek material penelitian ini akan diperoleh dari sumber-sumber lain

seperti situs-situs daring dan jejaring sosial yang terkait.

Setelah tahap pengumpulan data selesai, data-data terkumpul akan mulai

dimanfaatkan sesuai dengan langkah meneliti arena yang disarankan Bourdieu di


27

atas. Pada tahap ini, beberapa hal akan dilakukan secara simultan, pertama, proses

seleksi data; kedua, proses analisis yaitu mencari dan mencoba menjelaskan

hubungan antara data-data yang diperoleh (deskriptif-interpretatif); ketiga, proses

mengelaborasikan bingkai teori yang telah disusun terhadap data temuan dan hasil

analisisnya. Mengenai proses elaborasi teori, walaupun penelitian ini telah

dibingkai secara formal dalam landasan teori, akan sangat dimungkinkan untuk

memperlebar bingkai tersebut jika memang dibutuhkan dan dirasa relevan dengan

permasalahan yang disasar.

H. Sistematika Penulisan Tesis

Tesis ini akan disajikan dalam empat bab. Bab pertama –yang akan

diakhiri dengan sub bab ini- telah memaparkan latar belakang permasalahan

penelitian ini; pertanyaan penelitian serta tujuan dan manfaatnya; tinjauan pustaka

untuk menempatkan penelitian ini dalam diskursus budaya konsumen; landasan

teori yang dipergunakan dalam melaksanakan penelitian ini; serta metode

penelitian yang dipergunakan.

Bab selanjutnya (bab dua) akan memaparkan objek formal penelitian ini

yaitu mengenai komunitas vaporizer Yogyakarta. Pada sub-bab pertamanya,

sedikit uraian mengenai personal vaporizer sebagai obyek hasrat utama

komunitas tersebut diharapkan dapat membantu dalam pembacaan bagian-bagian

selanjutnya dalam tesis ini. Sub-bab keduanya akan mendeskripsikan hasil

pengamatan lapangan yang telah dilakukan dalam komunitas ini. Deskripsi yang
28

akan disajikan dalam sub-bab kedua tersebut telah melalui proses seleksi

sebelumnya; hanya data-data yang berada dalam wilayah permasalahan yang

diteliti yang akan disampaikan.

Bab ketiga tesis ini akan memanfaatkan alat berpikir Bourdieu -seperti

yang telah diuraikan dalam bagian landasan teori bab ini- untuk melihat

komunitas vaporizer Yogyakarta dalam rangka menjawab ketiga pertanyaan

penelitian (dalam sub-bab kedua bab ini) secara spesifik. Sub-bab pertama bab

ketiga akan menjawab pertanyaan mengenai struktur arena komunitas ini dan akan

memberikan gambaran objektif atasnya. Sub-bab kedua akan melihat strategi-

strategi yang dimainkan para agen dalam arena ini dan akan memberikan

gambaran subjektif arena ini sebagai jawaban pertanyaan penelitian kedua. Sub-

bab ketiga akan mencoba melihat relasi antara arena ini dengan lingkup sosial

yang lebih luas sebagai usaha menjawab pertanyaan penelitian ketiga.

Bagian terakhir tesisi ini, bab keempat, akan berisi dua sub-bab. Sub-bab

pertama akan menyimpulkan temuan-temuan penelitian ini, sementara sub-bab

kedua akan berisi beberapa rekomendasi bagi penelitian lain yang dapat

dikembangkan dari penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai