PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan beberapa tanda publik yang
BEBAS ASAP ROKOK” atau dengan yang sesingkat dan sejelas “DILARANG
fisik seperti ruang tunggu kantor, stasiun dan berbagai bangunan fasilitas umum
mengenai bahaya konsumsi tembakau, baik bagi diri sendiri (first-hand smoker)
yang mulai bergaung di Indonesia.1 Wacana ini, sebenarnya bukan hal baru bagi
dilacak mundur hingga sejauh tahun 1761; sebuah penelitian mengenai risiko
kanker hidung bagi pengguna tembakau (dengan cara dihirup langsung atau snuff)
yang dilakukan oleh seorang ahli kesehatan Inggris bernama John Hill (ASH.
1
Perokok tangan pertama dan tangan kedua (first-hand dan second-hand smoker) sudah menjadi
terminologi yang cukup dikenal dan sering dipergunakan dalam keseharian. Perokok tangan ketiga
(third-hand smoker) adalah terminologi yang belum begitu dikenal yang merujuk pada individu
yang terekspos deposit racun rokok yang terkumpul pada baju, karpet, lantai dan tempat-tempat
lain bahkan setelah rokok dimatikan (Winickoff, et al. 2009, 74).
2
1830-an, bersamaan dengan gerakan anti-alkohol yang mulai gencar saat itu.
pembatasan peredaran.2
namun juga telah mulai bergerak dalam pemikiran kelas menengah Indonesia
secara umum, bergabung dengan berbagai wacana kelas menengah lain seperti
hidup sehat, kepedulian dan empati sosial serta wacana-wacana lainnya. Seorang
teman saya pernah mengungkapkan secara eksplisit dalam sebuah forum diskusi
grup daring (melalui Grup aplikasi percakapan What‟s App) mengenai posisinya
terhadap tembakau (dalam hal ini rokok). Begini kira-kira apa yang
kesehatan saya dan orang di sekitar saya. Karena berhenti merokok bukan hal
yang mudah, setidaknya saya mengurangi dampak merokok bagi orang di sekitar
saya dengan cara merokok di tempat yang telah disediakan, tidak di tempat umum
apalagi yang jelas melarang aktivitas merokok.” Ini adalah sebuah contoh yang
menengah Indonesia. Beberapa dan mungkin banyak dari kita (saya sendiri dalam
2
Sayangnya kelembagaan pengaturan tembakau ini justru menjadi alasan untuk tidak
menandatangani kesepakatan pengendalian tembakau dunia atau FCTC (Framework Convention
on Tobacco Control) seperti yang diberitakan tahun 2013 lalu (Khamdi 2013).
3
hal ini) pernah ditegur oleh orang lain ketika merokok di dekat seorang ibu hamil
-atau ibu yang sedang bersama seorang anaknya dalam pengalaman pribadi saya;
Kondisi ini dibaca dan ditanggapi dengan cukup cerdik oleh beberapa
pelaku industri yang kemudian mulai memproduksi apa yang dikenal dengan
sebutan rokok elektrik atau personal vaporizer.3 Komoditas baru ini diklaim dapat
merokok tembakau. Tentu saja banyak pro dan kontra yang berkembang
menganai komoditas baru yang segera menjadi tren global ini, salah satunya
bagi remaja‟ atau gateway pada aktivitas merokok yang telah diamini bahayanya
dalam argumen tersebut (Primack, et al. 2015). Namun tentu saja peningkatan
penjualannya di seluruh dunia menjadi bukti resepsi publik global yang cukup
baik atas komoditas baru ini; seperti yang diekspresikan Dewo, seorang vaper
Yogyakarta: “Ini teknologi baru kok, gak bisa dihentikan nek memang benar-benar
3
Kini, untuk menjauhkan posisi ideologis komoditas ini dari stigma negatif yang menempel pada
kata „rokok‟, istilah personal vaporizer -atau vaporizer saja- lebih sering digunakan.
4
Pendapat Dewo (bukan nama sebenarnya) ini terjadi dalam percakapan saya dengannya
mengenai isu atau rencana pembatasan peredaran rokok elektrik di Indonesia oleh Kementrian
Perdagangan atas rekomendasi Kementrian Kesehatan sekitar awal tahun 2015 lalu. Isu ini
memudar ketika mentri perdagangan saat itu (Rahmat Gobel) kemudian diganti. Pendapatnya ini
juga menunjukkan keyakinannya akan manfaat baik vaporizer, peling tidak untuk dirinya sendiri.
4
seorang ahli farmasi Cina bernama Hon Lik sebagai pencipta gawai ini yang
mematenkannya untuk pertama kali pada tahun 2003. Walaupun sebuah artikel
daring lain menunjukkan bahwa keberadaan paten pertama untuk gawai yang
sangat mirip dengan vaporizer sekarang dapat dilacak hingga tahun 1927 (Wake
and Vape 2015), vaporizer baru benar-benar menjadi populer dan dikonsumsi
oleh sangat banyak penduduk dunia setelah Hon Lik mulai memproduksi dan
memasarkan produknya.5 Alasan utama Hon Lik menciptakan gawai ini adalah
agar dapat berhenti merokok setelah ayahnya meninggal dunia akibat kanker paru-
paru (CASAA 2012). Gawai ini bekerja dengan memanaskan cairan berasa dan
menguap. Uap yang diproduksi tersebut lalu dihirup oleh penggunanya layaknya
Yogyakarta dapat mewakili, sejak tahun 2012 ketika vaporizer mulai menjadi hot
item di perdagangan daring Indonesia, telah hadir lebih dari 15 gerai vaporizer.
vaporizer seperti, gawai dan likuid, bahan elemen pemanas, kapas resapan, dan
lain-lain. Para penggunanya pun –yang sering menyebut diri vaper- mulai lebih
dan gerai-gerai kopi serta berbagai tempat nongkrong lainnya. Komunitas para
5
Data dari situs Statisticbrain.com menunjukkan peningkatan penjualan vaporizer yang sangat
signifikan di Amerika. Pada tahun 2008 sebesar 20 juta USD dan meningkat hingga 1,7 milyar
USD di tahun 2014 (Statistic Brain Research Institute 2015).
5
juga bergerak dalam komunitas ini sebagai fragmen dari kelas menengah
Indonesia. Semua pengguna vaporizer yang saya temui dalam pengamatan awal
saya mengaku ingin berhenti –atau beralih dari- merokok dengan menggunakan
baru, begitu juga ketika seorang vaper mempersuasi temannya untuk mulai
memang ingin berhenti merokok atau justru ingin tetap merokok dengan cara
yang berbeda, baik dalam aspek kesehatan dan atau kebaruan cara konsumsinya?
seharusnya alat bantu untuk mencapai kondisi tersebut menjadi tak bermakna lagi,
setidaknya dalam logika berpikir saya. Jika yang disebut terdahulu menjadi
bukan hal ini yang terjadi, beberapa pengguna vaporizer yang saya jumpai telah
berhenti merokok cukup lama dan mengaku masih ingin menikmati vaping.
ini, dinamika sosial dalam komunitas para pengguna vaporizer ini sendiri menjadi
hal yang menarik terutama jika dikaitkan dengan berbagai praktik konsumsi yang
6
memperlihatkan dua sisi yang menarik untuk diperhatikan. Di satu sisi dan sesuai
gawai dan rasa likuid mewakili sifat ini. Di sisi lain, kompleksitas teknis gawai
memperlihatkan sifat komunal dari fenomena ini. Tentu saja hal ini dapat
bersifat personal karena selera penggunanya yang saling berbeda, tetapi juga
sering disebut sebagai social lubricant. Perbedaan antara keduanya hadir dalam
bagaimana kedua sifat tersebut (individual dan komunal) hadir dengan sangat
bervariasi karena pilihan yang begitu luas atas gawai dan likuid serta faktor
komunalitas dalam konsumsi vaporizer sangat tinggi sampai pada tahap hadirnya
penelitian ini. Jika rokok konvensional menjadi perekat antar individu dalam
interaksi sosial yang berada dalam konteks lain dari rokok konvensional itu
6
Faktor swakarya yang dimaksud di sini meliputi bagaimana gawai vaporizer dapat diatur
sedemikian rupa (dalam berbagai aspek teknisnya) sesuai keinginan dan selera penggunanya. Hal-
hal tersebut meliputi pengaturan elemen pemanas (bentuk, posisi, bahan, nilai tahanan dan suhu
yang hendak dicapai) serta kapas resapan yang sering disebut setting. Aspek swakarya ini juga
ditemukan dalam pembuatan likuid yang dapat dilakukan sendiri dengan sumber informasi yang
telah sangat melimpah mengenai hal ini.
7
seperti yang saya amati sementara ini di Yogyakarta, namun juga dalam
vaporizer Yogyakarta dapat dilihat dalam sebuah grup media sosial Facebook
bernama “Jogja Vaper Corner” yang tercatat memiliki lebih dari 1600 anggota di
pertengahan tahun 2015 (Jogja Vaper Corner 2013). Sampai titik ini, dua hal
berada dalam wilayah simbolis, segala bentuk praktik konsumsi, baik individu
sebagai sebuah praktik kultural dan karenanya bersifat politis dan problematis.
Hal ini segera mengingatkan saya pada salah satu perspektif budaya konsumen
sebagai sekedar turunan kausal dari aktivitas produksi di tengah banjir objek
kedua (yang ditampilkan dalam kutipan terakhir) akan dapat lebih banyak
antara struktur sosial dan praktik konsumsi individu. Jika dikembalikan pada
9
fenomena yang hendak diangkat dalam penelitian ini, perspektif ini melihat
konteks baru yang diciptakan oleh kehadiran vaporizer sebagai sebuah struktur
diposisikan tidak sekedar sebagai turunan kausal dari motif dan motivasi berhenti
B. Rumusan Masalah
praktik konsumsi dalam komunitas vaporizer Yogyakarta dan struktur sosial yang
penelitian berikut:
Yogyakarta?
Yogyakarta dan struktur sosial yang lebih luas di luar arena itu sendiri?
C. Tujuan Penelitian
dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan karakter atau ciri dinamika sosial
Yogyakarta.
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
praktis. Secara akademik penelitian ini dapat menjadi bagian dari diskursus
khususnya terkait dengan asek teoretis, penelitian ini akan mencoba menguji
fleksibilitas teoretik dari pemikiran Bourdieu mengenai habitus, arena dan kapital
dan seperti apa struktur sosial dalam sebuah ranah konsumsi yang sekilas terlihat
biasa saja dan tanpa permasalahan berarti. Penelitian ini diharapkan membawa
cara pandang baru dalam melihat aksi dan interaksi individu-individu sebagai
konsumen sekaligus agen sosial dalam dan dengan struktur sosial di mana mereka
menjadi bagiannya.
E. Tinjauan Pustaka
struktur sosial spesifik di mana berbagai praktik konsumsi tersebut terjadi. Topik
ini bukanlah hal baru dalam dunia akademik, karena itu, sangat penting untuk
memposisikan penelitian ini dalam diskursus besar yang menaruh perhatian pada
topik yang sama demi menunjukkan signifikansi penelitian ini. Tentu saja salah
satu aspek yang secara kontras menjadi pembeda penelitian ini dengan kajian-
kajian lain dalam topik yang sama adalah perihal kebaruan locus budaya yang
hendak diamati. Fenomena yang diangkat dalam penelitian ini terbilang sangat
baru dan terlepas dari ciri-ciri eksplisit yang memposisikannya sebagai bagian
fenomena lain yang telah lebih dulu hadir yaitu industri rokok konvensional.
sementara pasar rokok konvensional yang telah lama mendominasi mulai terlihat
goyah (seperti yang dapat diamati di Amerika) karena kehadiran objek hasrat baru
ini. Beberapa tulisan yang akan dibahas secara singkat di bawah ini diharapkan
Tesis karya Bunga Irfani berjudul “Eating Out Sebagai Gaya Hidup dan
konstruksi identitas individu melalui konsumsi atas makanan dan berbagai aspek
eksternal lain yang terkait dengan makanan tersebut. Tesis ini melihat fenomena
dengan perspektif mode konsumsi yang menjadi asumsi awal penelitian ini.
Penelitian ini tidak hanya akan menaruh perhatian pada individu pelaku konsumsi
seperti dalam tesis Irfani, melainkan lebih terhadap struktur sosial di mana
Hampir serupa dengan tesis Irfani, tesis Ade Irma Sukma Wati (2012)
instrumen penanda kelas dan kelompok sosial. Tesis yang berjudul “Lifestyling
dalam Late Night Sale sebagai Usaha Produksi Identitas Pramuniaga Perempuan
produksi identitas dengan konsumsi atas barang bermerek yang menjadi objek
13
ekonomi yang dibutuhkan. Tesis ini sangat menyinggung relasi konsumsi dan
struktur sosial namun tanpa menaruh perhatian yang cukup pada struktur sosial itu
sendiri. Penelitian yang akan saya lakukan, mencoba melihat lebih dalam kepada
struktur sosial yang menjadi objeknya, dan kemudian pada bagaimana konsumsi
struktur tersebut.
yang ditulis oleh Andrew B. Trigg (2001) sebenarnya merupakan pembelaan atas
dalam struktur sosial. Asumsi penelitian ini serupa dengan sedikit perbedaan.
konsumsi seseorang dan posisinya dalam struktur sosial. Struktur sosial yang akan
dibahas dalam penelitian ini bukanlah struktur sosial secara umum seperti dalam
esay Trigg, melainkan struktur sosial yang spesifik seperti konsepsi Bourdieu
penelitian ini tidak hanya meliputi konsumsi atas barang dan jasa seperti dalam
teori Veblen yang dibela Trigg, namun lebih dekat dengan yang disampaikan Alan
Warde dalam sebuah artikel lain yang akan dibahas di bawah ini.
14
sebagai aktivitas apropriasi dan apresiasi yang tidak hanya terbatas pada barang
dan jasa yang dibeli dengan uang, namun juga pada penampilan, informasi dan
suasana baik berbayar maupun tidak (Warde 2005, 137). Konsep konsumsi
Warde ini serupa dengan yang saya pahami dan gunakan dalam menyusun
penelitian ini. Warde secara khusus membahas manganai bagaimana teori praktik
serupa dengan apa yang hendak saya lakukan melalui penelitian ini walaupun
dengan tujuan yang berbeda. Warde dalam artikel tersebut hendak mengemukakan
teori praktik sebagai pendekatan –alternatif- yang berbeda untuk melihat praktik
konsumsi secara sosiologis sementara saya menggunakan teori ini untuk melihat
tersebut.
Consumption: Music in England” dan ditulis oleh Tak Wing Chan dan John H.
Goldthorpe (2007). Artikel ini menguji tiga argumentasi mengenai relasi antara
penelitian empiris terhadap ribuan penikmat musik di Inggris. Salah satu argumen
yang diuji, termasuk dalam argumentasi ini adalah temuan Bourdieu dalam
individu atas objek kultural tertentu dapat dilihat sebagai representasi kelas
homologi tersebut tidak lagi relevan dan menjadi kritik atas pemikiran Bourdieu.
Artikel ini melihat relasi antara pilihan objek konsumsi (jenis musik) dan struktur
sosial, dan menyimpulkan bahwa dominasi sosial (dalam struktur sosial) tidak
terjadi karena pembedaan objek konsumsi atau distingsi. Penelitian yang akan
saya lakukan mencoba melihat relasi yang sama (konsumsi-struktur sosial) tanpa
terbatasi oleh argumen manapun yang diuji dalam penelitian Chan dan
F. Landasan Teori
konsumen dalam perspektif mode konsumsi sebagai objek formalnya. Karena itu,
penelitian ini. Pada bagian selanjutnya, hasil kerja Pierre Bourdieu yaitu teori
khususnya mengenai habitus, arena dan kapital, akan menjadi alat utama yang
Tentu saja uraian landasan teori yang akan disampaikan ini belum –kalau
mengenai alat berpikir Bourdieu: habitus, arena dan kapital. Uraian ini hanya
16
saya harapkan menjadi sebuah kajian yang bersifat eksploratif dan walau
jelajahi kemudian - di luar yang akan diuraikan berikut ini- tetap terbuka lebar.
1. Mode Konsumsi
konsumsi dalam ranah kultural, tidak semata sebagai turunan dari produksi,
perbedaan sosial dan berperan sebagai komunikator, “the ways goods are
2007, 17).
menimbulkan kesan akses tak terbatas pada barang-barang konsumsi. Hal ini
waktu yang lebih untuk berinvestasi pada kompetensi serta untuk kegiatan
konsumsi itu sendiri; investasi atas waktu ini adalah kriteria penting dari
bawah ini.
45). Jika dipergunakan untuk melihat relasi antara struktur sosial dan individu
saling membentuk (Maton 2008, 50). Habitus, arena dan kapital adalah tiga
praktiknya. Ketiga konsep ini tidak bisa dilepaskan satu dari yang lainnya,
a. Habitus
lainnya, habitus menjadi unik karena –jika dimanfaatkan dengan benar- dapat
permasalahan sosial. Secara formal, habitus adalah bagian dari agen sosial,
19
baik itu individu, kelompok atau institusi (Maton 2008, 50-51). Bourdieu
Habitus adalah sistem disposisi yang ada dan bertahan serta dapat
“menjadi aktif dalam rentang ranah sosial yang beragam” (Maton 2008, 51);
structure”- (Maton 2008, 51).7 Habitus sangat efektif sebagai basis persepsi
dan aksi, bahkan tanpa perlu kesadaran akan orientasi akhir karena telah
ditempa dari sekian banyak pengulangan aksi –dan reaksi-, percobaan dan
gagal dalam –variasi baru dari- sebuah kondisi tertentu, habitus telah berhasil
dan tindakan, yang merupakan produk sejarah dan pada gilirannya akan
konsistensinya secara lebih meyakinkan dari pada semua peraturan resmi dan
keberaturan, struktur sosial. Melalui habitus, struktur –dari mana habitus itu
namun dalam kendali dan batas yang telah ditentukan di awal terbentuknya
terkondisi yang diberikannya jauh dari penciptaan kebaruan yang tak terduga,
b. Arena
sebuah arena dibatasi oleh minimal tiga hal: batas arena itu sendiri, peraturan-
Masih dalam analogi arena sebagai sebuah lapangan, batas luar dari
dalamnya dari wilayah yang lebih luas di luarnya. Hal ini diperlukan karena
lapangan tersebut; batas luar tersebut berfungsi untuk menjaga agar para
9
Tentu saja dalam permainan sepak bola, seorang Eric Cantona misalnya, pernah „keluar‟ dengan
sengaja dari garis lapangan untuk menendang seorang pendukung timnya; permainan kemudian
berhenti karena terjadi kekacauan dalam lapangan dan bahkan di luar garis batas lapangan tempat
22
kebiasaan dan pola-pola permainan tersebut, tidak hanya lahir dari peraturan
resmi permainan tersebut namun juga dari gaya bermain para pesertanya.10
social fields) seperti: arena pendidikan, arena ekonomi, arena seni, arena
dengan yang lain dalam sebuah ruang sosial, juga bahwa arena-arena tersebut
field of power dan suatu arena tertentu, “what happens in the field of power
shapes what can happen in a social field, at the same time as what happens in
a social field shapes the field of power and also may influence other social
menciptakan praktik sosial yang pada gilirannya akan menentukan apa yang
para pendukung berada. Metafora ini memperlihatkan relasi arena satu dengan arena lain di
luarnya.
10
Ketika Lionel Messi mendapatkan bola di kakinya, dapat diduga akan ada dua sampai empat
pemain belakang lawan yang membayangi dan menutup ruang tembaknya. Artinya, Messi sebagai
seorang agen dapat mempengaruhi bagaimana permainan dalam lapangan dimainkan.
23
c. Kapital
tujuan dalam arenanya; lalu apa yang hendak dicapai oleh praktik sosial
menentukan habitus agen, habitus juga terbentuk dari dan oleh komposisi
kepemilikan kapital tertentu (Swartz 2002, 5). Sementara itu, posisi seorang
agen dalam arena tertentu sangat ditentukan oleh kepemilikan kapital dan
habitusnya (Maton 2008, 51). Posisi agen dalam arenanya pada akhirnya
akan ikut menetukan wujud dari struktur sosial arena tersebut dan arena lain:
field of power.11
11
Memanfaatkan contoh yang sama, seorang anak seniman menjadi lebih baik dalam
mengapresiasi seni karena dalam keluarganya kapital kultural (kompetensi dan kecakapan seni
termasuk di dalamnya) telah mendominasi, pembentukan habitusnya sangat kuat dipengaruhi oleh
kapital kultural. Kelak, misalnya, ketika ia memutuskan untuk berkuliah di jurusan seni
(memasuki arena pendidikan seni), habitusnya akan membantunya meraih posisi yang lebih
unggul dari temannya yang seorang anak pengusaha.
24
tertentu dapat diidentifikasi dari arena lainnya melalui kapital-kapital apa saja
diri atau kelompok sosial tertentu dengan yang lainnya dalam sebuah arena
dan menjadi apa yang diperjuangkan oleh agen-agen sosial dalam arena
G. Metode Penelitian
saran Bourdieu mengenai tiga langkah melakukan investigasi terhadap suatu arena
yang meliputi:
power.
26
fenomena yang dipermasalahkan telah terkumpul. Maka langkah awal yang akan
saya sebagai peneliti juga adalah pemakai vaporizer, penelitian lapangan yang
akan dilakukan bersifat partisipatoris. Metode pengumpulan data utama yang akan
mendalam. Data yang akan terkumpul dari observasi dan wawancara mendalam
tersebut akan menjadi data primer bagi penelitian ini. Data-data sekunder
mengenai objek material penelitian ini akan diperoleh dari sumber-sumber lain
atas. Pada tahap ini, beberapa hal akan dilakukan secara simultan, pertama, proses
seleksi data; kedua, proses analisis yaitu mencari dan mencoba menjelaskan
mengelaborasikan bingkai teori yang telah disusun terhadap data temuan dan hasil
dibingkai secara formal dalam landasan teori, akan sangat dimungkinkan untuk
memperlebar bingkai tersebut jika memang dibutuhkan dan dirasa relevan dengan
Tesis ini akan disajikan dalam empat bab. Bab pertama –yang akan
diakhiri dengan sub bab ini- telah memaparkan latar belakang permasalahan
penelitian ini; pertanyaan penelitian serta tujuan dan manfaatnya; tinjauan pustaka
Bab selanjutnya (bab dua) akan memaparkan objek formal penelitian ini
pengamatan lapangan yang telah dilakukan dalam komunitas ini. Deskripsi yang
28
akan disajikan dalam sub-bab kedua tersebut telah melalui proses seleksi
Bab ketiga tesis ini akan memanfaatkan alat berpikir Bourdieu -seperti
yang telah diuraikan dalam bagian landasan teori bab ini- untuk melihat
penelitian (dalam sub-bab kedua bab ini) secara spesifik. Sub-bab pertama bab
ketiga akan menjawab pertanyaan mengenai struktur arena komunitas ini dan akan
strategi yang dimainkan para agen dalam arena ini dan akan memberikan
gambaran subjektif arena ini sebagai jawaban pertanyaan penelitian kedua. Sub-
bab ketiga akan mencoba melihat relasi antara arena ini dengan lingkup sosial
Bagian terakhir tesisi ini, bab keempat, akan berisi dua sub-bab. Sub-bab
kedua akan berisi beberapa rekomendasi bagi penelitian lain yang dapat