Anda di halaman 1dari 47

Tuberkulosis Pada Anak

I.1 Epidemiologi
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul and menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju.
Salah satu di antaranya adalah TB. World health organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan
angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerik Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah
satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah
tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan
populasi yang tepat.

1.1.1 Prevalens
Morbiditas dan Mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per
tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261
kasus TB anak berusia <15 tahun, 63 % di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei
nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983,
didapatkan bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari
Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 (tahun 1983-1993) didapatkan 171
kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun
adalah 15 % dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah,
yaitu 5-7 %.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta
kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.
Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per
100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk
pada tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan
sebanyak 88,2 juta penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi
HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya
berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44
tahun (54,5%) diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), and 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun
2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di
negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun
adalah 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10
tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8
juta) diserti infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki perigkat ketiga
dalam kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1
juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <15 tahun.
Peningkatan kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh
begbagai hal, yaitu: (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi
penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis pada anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari seluruh populasi.(Gambar
1.1.1)

Gambar 1.1.1 Jumlah populasi berdasarkan usia


Pada tahun 1990, jumlah kematian karena TB didunia diperkirakan hampir
sebesar 3 juta dan hampir 90 % kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Pada
tahun 2000, jumlah kematian diperkirakan sebesar 3,5 juta.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per
tahun. World Heatlh Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit
infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.
Kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada
wanita, kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian akibat kehamilan,
persalinan, dan nifas. Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit (RS) Pusat
Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB
dengan angka kematian yang bervariasi dari 0 %-14,1 %. Kelompok usia terbanyak
adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.
Karena sulitnya menegakkan diagnosa TB pada anak, data TB anak sangat
terbatas, termasuk di Indoneisia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang
melakukan upaya dengan cara membuat konsesnsus diagnosa di berbagai negara.
Dengan adanya konsensus, diharapkan diagnosa TB anak Dapat ditegakkan, sehingga
kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosi dapat diperkecil dan angka prevalens
pastinya diketahui.

Prevalens tuberkulin posotif


Uji tuberkulin adalah uji yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis,
dapat juga dipergunakan untuk mengukur prevalens infeksi. Dari prevalens infeksi
dapat diketahui annual risk of tuberculosis infection (ARTI) dengan metode konversi.
ARTI merupakan salah satu parameter epidemiologi untuk menentukan beban penyakit
TB (bureden of tuberculosis). Parameter epidemiologi lainnya adalah perkiraan insiden
BTA positif dan TB paru, kasus yang dilaporkan dan laju yang dilaporkan (case
notification and notification rates), perkiraan cakupan yang mendapat layanan
kesehatan di populasi, serta perkiraan case fatality rate untuk pasien dengan BTA
positif TB yang lain. ARTI adalah propabilitas seseorang yang tidak terinfeksi menjadi
terinfeksi oleh M. tuberculosis dalam kurun waktu satu tahun. ARTI dapat diperkirakan
bila dilakukan survei tuberkulin berulang di suatu populasi pada waktu yang berbeda.
Survei tersebut dilaksanakan dengan teknik yang sama, pada sekelompok subyek yang
belum mendapat vaksinasi BCG dengan usia yang sama.
Bila sistem surveilans tidak dapat dilakukan untuk mendeteksi dan pelaporan
insidens kasus, maka ARTI merupakan teknik yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk mengetahui besarnya infeksi TB. Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun
2004, rata-rata prevalensi kasus BTA positif diperkirakan 104 per 100.000 penduduk.
Namun dengan membaginya berdasarkan durasi penyakit, insiden dari kasus BTA
positif menjadi 96 per 100.000 penduduk. Hasil penelitian uji tuberkulindi beberapa
negara berkembang telah dipakai untuk memperkirakan besarnya ARTI. ARTI di
negara-negara Afrika daerah Sub-Sahara berkisar antara 1,5% sampai 2,5% disusul oleh
negara-negara Asia Selatan dan Asia Timur sebesar 1% sampai 2%, sedangkan Afrika
Utara, Timur Tengah dan Amerika Tengah dan Latin, diperkirakan ARTI antara 0,5%
dan 1,5 %. Pada tahun 1990 diperkirakan 1,7 miliar orang (sekitar sepertiga populasi
dunia) terinfeksi oleh M. tuberculosis, sebagian besar dari mereka ada di negara
berkembang. (Raviglione dkk, 1995). Pada tahun 2006 dilakukan penelitian untuk
mengetahui angka ARTI pada anak yang dilakukan di Sumatera barat . Berdasarkan
pengamatan pada anak yang memiliki skar BCG dengan 16 mm sebagai cut off point
dari permeriksaan tuberkulin didapatkan angka prevalensi infeksi (95% CI: 6,2-9%)
mencapai 8% sehingga didapatkan nilai ARTI sebesar 1%. Diestimasikan untuk setiap
1% ARTI, rata-rata menunjukan 96 kasus BTA positif TB per 100.000 populasi.

I.1.2 Faktor Risiko


Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Mfaktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

I.1.2.1 Risiko infeksi TB


Faktor terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB
dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak terpentying adlah pajanan terhadap orang dewasa
yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti, bsayi dari seorang ibu dengan
BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut
dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik
(droplet nuclei) yang infeksius.
Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infitrat luas atau kavitas pada
lobus atas, produksi sputum banyak dan ecer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularankan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Pertama, jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah paremkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
eseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada
TB anak.

I.1.2.2 Risiko Sakit TB


Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit
TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko
lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas seluralnya
belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang
secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB,
43%nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-4 tahun, yang menjadi sakit hanya
24%, pada usia remaja 15 %, dan pada dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB),
dengan angka morboditas dan mortalitas tinggi. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas
dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama
selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi
uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor risiko lainnya
adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes militus, dan gagal ginjal
kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status
sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunia, pengangguran,
pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayana masyarakat. Di negara
maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini
belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya
penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi,
secara klinis hal ini sulit untuk dibuktikan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah
satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun
sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS
menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Di
perkirakan risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif adalah
7-10% per tahun , dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko terjadinya sakit
Tbadalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB
disebabkan oleh HIV dan dipekirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada
tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun pada awal abad ke-20 kembali
meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya
epidemi HIV dan resistensi multiobat(Multi Drug Resistance = MDR), bahkan sekarang
sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim (Extreme Drug Resistance = XDR). Secara
ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada Tabel 1.1.1.

Tabel 1.1.1 Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak yang Terinfeksi Tuberkulosis

Umur saat infeksi Risiko sakit


TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru
(milier, meningitis)
<1 50 % 30 – 40 % 10 – 20 %
1–2 75 – 80 % 10 – 20 % 2–5%
2–5 95 % 5% 0.5 %
5 – 10 98 % 2% < 0.5 %
> 10 80 – 90 % 10 – 20 % < 0.5 %

Gambar 4.2.1 Komplikasi dan sekuele infeksi TB paru primer.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistematik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit shingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di
apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang kemudian hari
dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut , yang disebut
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluriuh tubuh, dalam
perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan
membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini
akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran
lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara
histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenicspread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB
akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenik spread.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada
anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronic.
Sebanyak 0,5%-3% penybaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis
TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial
(lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjdai dalam
waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadi TB paru kronik sangat bervariasi,
bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi itu jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. Tuberkulosis tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling
banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. Tuberkulosis ginjal
biasanya terjadi 5-25 tahun setelah terinfeksi primer. Secara singkat, patogenesis
tuberkulosis dapat dilihat pada Gambar 1.2.2.
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenicspread). Kuman
TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus
ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadi penyebaran hematogen, terbentuknya
kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat
menjadi sakit TB primer.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses
reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi ( infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman
TB dari luar (eksogen).
Gambar 4.2.2. Bagan patogenesis tuberkulosis.
Perjalanan Alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga
dari studi Wallgen dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadi TB di berbagai
organ (Gambar 1.2.3)

Gambar 1.2.3. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya


positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya
infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi
kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat
terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam
3-6 bulan pertama setelah terinfeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah terinfeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan
ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah ter
infeksi primer. Sebagian besar menifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama,
terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada Tahun
pertama setelah diagnosis TB.
Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada
Tabel 1.2.2.

Tabel 1.2.1 Risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis

Umur saat infeksi Risiko sakit


TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru
(milier, meningitis)
<1 50 % 30 – 40 % 10 – 20 %
1–2 75 – 80 % 10 – 20 % 2–5%
2–5 95 % 5% 0.5 %
5 – 10 98 % 2% < 0.5 %
> 10 80 – 90 % 10 – 20 % < 0.5 %
Sumber: Marais dkk. Int J Tuberg Lung Dis 2004;8:392 dan Marais dkk. Am J Respir Crit Med 2006; 173: 1078–90

Tabel 1.2.2 Tahapan Tuberkulosis pada anak


Tahapan
Pajanan Infeksi Penyakit
Uji tuberkulin Negatif Positif Positif
Pemeriksaan fisik Normal Normal Biasanya tidak normal*
Foto polos dada Normal Biasanya normal† Biasanya tidak normal‡
Profilaksi/terapi TB Selalu Pada imonokompromis Selalu
Jumlah obat Satu Satu Tiga atau empat
* pada 50% anak dengan tuberkulosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
† kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
‡ pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada

I.2 Diagnosis Tuberkulosis pada anak


Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum, bilas lambung serebrospinal ( CSS ), cairan pleura, atau biopsy
jaringan , pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal,
yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary ) dan sulitnya pengambilan specimen
(sputum)
Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di secret bronkus pasien anak lebih
sedikit dari pada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di
kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan
parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. Basil than asam baru dapat dilihat dengan
mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml specimen.
Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan specimen/sputum. Pada
anak. Karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan
bronkus, maka produksi sputum tidak ada/ minimal dan gejala batuk juga jarang.
Sputum yang representative untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputu
yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3 – 5 ml, dan ini
sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak
akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastric tube
(NGT), dan sebaiknya dilakukan oleh Petugas Berpengalaman. Cara ini tidak nyaman
bagi pasien.
Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan
pada penemuan klinis dan radiologist, yang keduanya seringkali tidak spesifik.
Diagnosis TB nak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
seperti uji tuberculin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat
kontak dengan pasien TB, dewasa BTA positif, uji tuberculin positif, gejala dan tanda
sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar
untuk menyatakan anak sakit TB.
Ada beberapa jenis lesi TB dan bentuk klinis TB pada anak. Berbagai jenis lesi
TB paru dapat dilihat pada table 1.4.1. sedangkan berbagai bentuk klinis TB dapat
dilihat pada tabel 1.4.2)

Tabel 1.4.1 Lesi Tuberculosis Paru


Kelenjar limfe : hilus,paratrakeal,mediastinum
: focus, primer,pneumonia,atelektasis,tuberkuloma,
Kavitas
Sluran napas : air trapping, penyakit endobronkial,trakeobronkitis,
Stenosis bronkus,fistula bronkopleura, bronkiektasis, fistula
Bronkoesfagus.
Pleura : efusi,fistula bronkopleura, empiema, pneumotoraks,
Hemotoraks
Pembuluh darah : milier, perdarahan paru.

Tabel 1.4.2 bentuk klinis tuberculosis pada anak


infeksi TB
uji tuberculin positif tanpa kelainan
klinis radiologist
dan labaratorium.

Penyakit TB
Paru TB paru primer ( pembesaran) kelenjar hilus dengan
atau tanpa kelainan parenkim)
TB paru progresif (pneumonia, TB endobronkial)
TB paru kronik (kavitas,fobrosis,tuberkuloma)
TB milier
Efusi pleura TB

Diluar paru kelenjar limfe


Otak dan selaput otak
Tulang dan sendi
Saluran cerna termasuk hati, kantung empedu
Pankeas
Saluran kemih termasuk ginjal
Kulit
Mata
Telinga dan mastodid
Jantung
Membrane serous (peritoneum,pericardium)
Kelenjar endokrin (adrenal)
Saluran napas bagian atas (tonsil, laring, kelenjar
Endokrin)

I.4.1 Menifestasi klinis


Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga menifestasi klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa factor. Factor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman,
sedangkan factor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta kerentanan
pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampat pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Menifestasi klinis
TB terbagi dua, yaitu menifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ / lokal.
Manifestasi Sistemik (Umum/nonspesifik)
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dantidak spesifik karena dapat
disebabkan oleg berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak dengan TB
tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai dengan sifat
kuman TB yang lambat membelah manifestasi klinis TB umumnya berlangsung
bertahap dn perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat berlangsung dengan cepat dan
progresif seringkali, orang tua tidak dapat menyebutkan secara pasti kapan berbagai
gejala dan tanda klinis tersebut mulai muncul. Tuberculosis yang mengenai organ
manapun dapat memberikan gejala dan tanda klinis sistemik yang tidak khas,terkait
dengan organ yang terkena. Keluhan sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan
tumor necrosis factor-α (TNF-α).
Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam
pada pasien TB berkisar antara 40 – 80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan
hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lain yang
sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik ( turun,tetap, atau
naik,tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih,lesu,lemah,lelah).
Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik
yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tetapi
pada anak bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala batuk berulang lebih
sering disebabkan oleh asma, sehingga jika menghadapi anak dengan batuk bronkus
sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik, selain itu, berulang timbul karena
anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami
infeksi respiratorik akut (IRA) berulang . gejala batuk kronik berulang dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit lain, misalnya rinosinusitis, refluks
gastroesofageal,pertusis,rhinitis kronik, dan lain-lain (Tabel I.4.3) gejala sesak jarang
dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya pada TB
milier,efusi pleura, dan pneumonia TB.

Tabel I.4.3 penyebab batuk kronik berulang pada anak


Bayi Anak Kecil Anak Besar
Refluks gastroesofagus hiperreaktivitas saluran respiratori asma
Pascainfeksi virus
Infeksi Asma post-nasal drip
Malformasi congenital perokok pasif Merokok
Penyakit jantung bawaan refluks gastroesofagus TB pulmoner
Perokok pasif benada asing bronkiektasis
Polusi lingkungan bronkiektasis batuk psikogenik

Rangkuman dari gejala umum pada TB anak sebagai berikut :


1. Demam lama ( ≥ 2 minggu) dan / atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai
dengan keringat malam.Demam umumnya tidak tinggi.
2. batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
3. berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi yang adekuat.
4. nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat (Failure to thrive).
5. lesu atau malaise
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Tabel I.4.4 Frekuensi Gejala dan Tanda TB Paru sesuai kelompok umur
Kelompok umur Bayi Anak Akil balik
Gejala
Demam sering Jarang sering
Keringat malam sangat jarang sangat jarang jarang
Batuk sering sering sering
Batuk produktif sangat jarang sangat jarang sering
Hemoptisis tidak pernah sangat jarang sangat jarang
Dispnu sering sangat jarang sangat jarang

Tanda
Ronki basah sering jarang sangat jarang
Mengi sering jarang jarang
Fremitus sangat jarang sangat jarang jarang
Perkusi pekak sangat jarang sangat jarang jarang
Suara napas berkurang sering sangat jarang jarang

Manifestasi spesifik organ/lokal


Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar
limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit.

Kelenjar Limfe
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai.
Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi
juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula,secara klinis,
Karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan,
tidak hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence)
satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe
(perifocal inflammation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini dapat disebabkan oleh
penyakit lain, seperti dapat dilihat pada tabel I.4.5

Tabel I.4.5 Diagnosis banding pembesaran Kelenjar Limfe Superfisialis


Infeksi Keganasan
Infeksi Respiratorik berulang Primer
Demam tifoid penyakit hodgkin
Tuberculosis Limfoma non-hodgkin
AIDS kelainan histiostik
Mononukleosis
CMV Penyakit autoimun
Rubella Reumatoid artritis
Varisela Lupus aritematosus
Rubeola Dermatomiositis
Histoplasmosis
Toksoplasmosis Reaksi Obat
dan lain-lain.
Lain-lain
Sarkoidosis
Serum sickness
Gangguan Penyimpanan lemak
Penyakit Grauder
Penyakit Niemann - Pick

Susunan saraf pusat (SPP)


Tuberkulocic pada SPP yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit ini merupakan
penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi. Gejala klinis yang
terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan
kejang. Proses patologi meningitis TB biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala
neurologist lain berhubungan dengan gangguan saraf cranial. Bentuk TB SSP yang lain
adalah tuberkuloma, yang manifetasi klinisnya lebih samara daripada miningtis TB
sehingga biasanya terdeteksi secara tidak sengaja. Bila telah terjadi lesi yang
menyebabkan proses desak ruang, maka manifestasi klinisnya sesuai dengan lokasi lesi.

System skeletal
Gejala yang umum ditemukan pada TB system skeletal adalah nyeri, bengkak pada
sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik
biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan,
epifisis tulang merupakan daerah dengan Vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman
TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB,
koksitis TB, dan gonitis TB, Manifetasi klinis TB system skeletal biasanya muncul
secara perlahan dan samara sehingga sering lambat terdiagnosis. Manifestasi klinis
dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang paseien dating
pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel. Gejalanya
dapat berupa pembekakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh, dan sulit membungkuk.

Kulit
Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit melalui dua cara, yaitu inokulasi
langsung (Infeksi Primer) seperti tuberculous chancre, dan akibat limfadenitis TB yang
pecah dijumpai adalah skrofuloderma (TB Pascaprimer). Manifestasi TB pada kulit
yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrofuloderma.
Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai
kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula,supraklavikula,
dan lateral leher. Pembahasan lebih jauh mengenai TB kulit akan diuraikan di bab
selanjutnya;

Rangkuman dari gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di region kolli,multiple, tidak nyerii, dan saling
melekat).
2. tuberculosis otak dan saraf
• meningitis TB
• tuberkuloma otak
3. Tuberkulosis sistem skeletal
• Tukang punggung (spondilitis) : gibbus
• Tulang panggul (koksitis) : pincang
• Tulang lutut (gonitis) : pincang dan / atau bengkak
• Tulang kaki dan tangan
• Spina ventosa (daktilitis)
4. tuberculosis kulit : skrofulderma.
5. tuberculosis mata
• konjungtivitas fliktenularis (conjungtivitis phlyctenularis)
6. tuberculosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll

Penelitian mengenai manifestasi klinis TB yang diadakan di RSCM-jakarta –


memberikan hasil, dari 115 pasien bagian anak di RSCM-jakarta yang berusia 6 bulan –
12 tahun dengan diagnosis TB yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan bakteriologik,
didapatkan manifestasi klinis sebagai berikut.
Sebanyak 108 kasus mengalami demam berulang dan batuk, 1 pasien (usia 7 bulan)
dating dengan keluhan diare kronik, 7 pasien mempunyai gejala asma gejala TB, dan 7
pasien mempunyai gejala alergi seperti prurigo, rhinitis alergika, dan urtikaria sebanyak
15 pasien meniggal pada saat pengobatan, terdiri dari 8 kasus meningitis, 3 kasus
penyebaran bronkogenik dan malnutrisi, 2 kasus TB milier dan malnutrisi, dan 2
kasus korpulmonal. Jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Manifestasi keringat malam, dan penurunan berat badan. Gambaran radiologist yang
banyak ditemukan adalah infiltrate primer/kompleks primer (49,9%) dan milier (16,5%)
hepatomegali ditemukan pada 9,6% kasus, anemia pada 33% kasus, peningkatan LED
pada 56,5% kasus, dan limfositosis pada 19,1% kasus. Manifestasi ekstrapulmonal yang
ditemukan adalah meningitis (15,6%), limfadenitis (30,3%). Konjungtivitas fliktenularis
(10,4%), dan TB tulang (1 kasus).( Rahajoe NN,dkk.1977)
I.4.2. Pemeriksaan penunjang
I.4.2.1 Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigrenik
yang kuat. Juka disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB
(telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular
terhadap TB), maka terjadi reaksi berupa indurasi dilokasi suntikan.Indurasi ini terjadi
karena vasodilatasi local,edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi
didaerah suntikan.ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak dapat menentukan
tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit.
Uji tuberculin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal,
tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostic yang tinggi terutama pada anak,
dengan sensivitas dan spesifitas lebih dari 90%. Tuberkuli yang tersedia di Indonesia
saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan statens serum institute
denmark, dan PPD (Purified protein derivative) dari Biofarma.
Uji tuberculin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntik 0,1 ml PPD RT-23
2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang
timbul, bukan Hiperemi/eritemanya. Indurasi diperikasa dengan cara palpasi untuk
menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal
indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam
millimeter, jika tidak timbul indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga
bula.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan
positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan
oleh infeksi TB alamiah, tetapi ,asih mungkin disebabkan oleg imunisasi Bacille
Calmette Guerin (BCG) atau infeksi M.bovis yang dilemahkan, sehingga
kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberculin menjadi positif , tidak sekuat
infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin menjadi positif, tidak
sekuat infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara
bertahap akan semakin berkurang dengan berjalan waktu, dan paling lama berlangsung
hingga 5 tahun setelah penyuntikan .
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm
dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi
masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥15mm,
hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil
tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.
Apabila diameter indurasi 0 – 4 mm, dinyatakan uji tuberculin negative.
Diameter 5 – 9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal in dapat disebabkan oleh
kesalahan teknis (trauma dan lain-lain) keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M,
atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberculin dapat diulang .untuk
menghindari fek booster tubekulin., ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan
penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka at off-
point hasil positif yang digunakan adalah ≥ 5 mm. uji tuberculin sebaiknya tidak
dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi morbili; measle, rubella
(MMR); dan arisela, karena dapat terjadi anergi (negative palsu karena terganggunya
reaksi tuberkulin)
Pada reaksi tuberkulin uji tuberkulin dapat terjadi treaksi lokal yang cukup bagi
individu tertentu dengan derajat sensifitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga
ulkus di tempat suntikan juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis,limfadenopati
regional, konjungtivitas fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam,
walaupun orang terjadi.
Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifetasi klinis secara jelas, sehingga
perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberculin. Pada anak yang tinggal di
daerah endemis TB, uji tuberculin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negative
dapat diulang setiap tahun.

Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi Mikrobakterium atipik

Uji tuberculin negative dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. tidak ada infeksi TB
2. dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga
tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah
terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili pertusis
arisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus
hidup yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan
batuk pilek panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut
selesma common cold).
Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberculin adalah kemungkinan uji
tuberculin positif/negative palsu. Uji tuberculin positif palsu dapat juga ditemukan
pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah salah, demikian juga. Negatif
palsu, disamping penyimpanan tuberculin yang tidak baik sehingga potenssinya
menurun.

Sebab-sebab hasil positif palsu dan negative palsu iji tuberculin mantoux
Positif Palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dengan Myocbacterium atipik

Negatif palsu
Masa Inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Menderita tuberculosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak,rubella, cacar air, influenza,HIV)
Imunoinkompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari,solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia

Berdasarkan penelitian di RSCM- Jakarta, dari 49 pasien TB dengan biakan


positif yang berstatus gizi buruk, hanya 24 persen yang menunjukkan hasil uji
tuberculin negative palsu (anergi). Hal ini menunjukkan bahwa anergi tidak selalu
terjadi pada keadaan yang berpotensi menyebabkan imunokompromais. Pada uji
tuberculin ulangan yang dilakukan 2 bulan setelah terapi dan setara mengalami
perbaikan klinis, 10 di antara 24 pasein anergi tersebut menunjukkan hasil positif.
Keadaan ini menunjukkan bahwa anergi tidak menetap.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit TB.
Klasifikasi TB yang dibuat American thoraric society (ATS) dan Centres for Disease
control and prevention (CDC) Amerika agaknya dapat membantu (Tabel I.4.7)
Tabel I.4.7. Klarifikasi individu berdasarkan status tuberkulosis
Kelas Pajanan Infeksi sakit
(Kontak dengan (uji tuberculin positif )
Pasien TB aktif (klinis, dan penunjang
Positif)

0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +

I.2.2 Uji Interferon


Secara garis besar, pemeriksaan penunjang untuk mencari bukti adanya penyakit
infeksi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah pemeriksaan untuk
menemukan kuman patogen di dalam spesimen, misalnya dengan pemeriksaan
langsung, pemeriksaan biakan, atau polymerase chain reaction (PCR). Kedua adalah
pemeriksaan untuk mendeteksi respons imun terhadap kuman tersebut. Pemeriksaan
untuk respons imun terhadap penyakit infeksi terdiri dari pemeriksaan respons imun
humoral (enzymelinked immunoabsorbent assay, ELISA) dan pemeriksaaan respons
imun selular. Pada penyakit infeksi non-TB, yang banyak dipakai adalah pemeriksaan
respons imun humoral yaitu pemeriksaan serologi. Pada infeksi TB, respons imun
selular lebih memegang peranan, sehingga pemeriksaan diagmostik yang lebih
representatif adalah uji tuberkulin.
Uji tuberkulin dianggap tidak praktis karena pasien harus datang minimal dua
kali untuk diagnostik, yaitu saat penyuntikan dan saat pembacaan. Pemeriksaan
imunitas selular yang ada biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB dengan
sakit TB, oleh karena itu telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang
lebih prakis yaitu dengan memeriksa spesimen darah. Hasil pemeriksaaan ini
diharapkan dapat membedakan infeksi TB denga sakit TB. Pemeriksaaan yang di
maksud adalah uji inferon (inferon gamma release assay, IGRA).
Uji tuberkulin dan uji IFN-µ didasarkan adanya pelepasan sitokin inflamasi yang
dihasilkan oleh sel limfosit T yang sebelumnya telah tersensitisasi antigen M
tuberculosis. Pada uji tuberkulin, anigen M.tb yangdisuntikan di bawah lapisan
epidermis menyebabkan infiltrasi limfosit dan dilepaskannya sitokin inflamasi. Reaksi
inflamasi ini menyebablan akumulasi sel-sel inflamasi dan menyebabkan terjadinya
indurasi pada tempat suntikan. Pada uji IFN-µ, limfosit darah tepi distimulasi secara in-
vitro dan kadar IFN-µ yang dihasilkan oleh sel limfosit T tersensitisasi diukur dengan
cara ELISA (Gambar I.4.1.).
Perkembangan pemeriksaan diagnostik TB akhir-akhir ini adalah pemeriksaan
darah in vitro (gambar 4.2.2) berupa pemeriksaaan T-cell (T-cell-based assays).
Pemeriksaan darah ini mengukur produksi IFN- oleh limfosit yangt telah tersensitisasi
oleh antigen protein spesifik M. tuberculosis yaitu early secretory antigenic target-6
(ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10). Hasil pemerikaaan ini ternyata
sampai saat ini belum dapat membedakan infeksi saja atau penyakit. Pemeriksaaan
IGRA hanya membutuhkan sekali kunjungan. Spesifisitas pemeriksaaan ini lebih tinggi
dari pada uji tuberkulin karena tidak ada reaksi silang dengan vaksinasi BCG da infeksi
Mycrobacterium atipik.
Ada 2 macam pemeriksaan IGRA di pasar dunia yaitu Quantiferon TB gold dan
T-spot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN-µ dengan ELISA yang
dinyatakan dalam pg/ml atau IU-ml. T-spot-TB mengukur jumlah IFN-µ secreting T-
cell berupa titik-titik (Spot foaming cells). Pemeriksaaan IGRAbelum dinuktikan
hasilnya pada anak-anak.
I.4.2.3 Radiologis

Gambaran foto pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi
secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan
penunjang lain mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut :
• Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.
• Konsolidasi segmental/lobar.
• Milier.
• Kalsifikasi dengan infiltrat.
• Atelektasis.
• Kavitas.
• Efusi pleura.
• Tuberkuloma.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus
disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus
biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai
ketudaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran radiologis yang berat dn gambaran
klinis yang ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila
perlu dilakuakn pemeriksaan pencitraan lain seperti computed tomography scan (CT-
scan) toraks.

I.4.2.4 Serologis
Pada awalnya, pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB
dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologik antigen-
antibodi spesifik untuk M.tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60,
38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum,
cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS
terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada : PAP TB, Mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain, hingga saat ini belum ada satu pun
pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut
umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis

I.4.3.5 Mikrobiologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberculin, dan
gambaran radiologist paru. Diagnosisi pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua
macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untukmenemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M.tuberculosis.
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan pesimen
berupa sputum. Sebagai gantinya , dilakukan pemeriksaan bilas lambung 9gastricavage)
3hari berturut-turut minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak
sebagian besar negative,sedangkan hasil biakan m.tuberculosis memerlukan waktu yang
lama yaitu sekitar 6 – 8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
diperoleh lebih cepat (1 – 3 minggu) yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal
dan secara teknologi lebih rumit.
Perkembangan lain dibidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan PCR
merupakan teknik amplikasi urutan deoxyribonucleotic acid (DNA) yang spesifik secara
teori, dengan metode ini. Kuman yang berasal dari specimen bilas lambung akan dapat
dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M. tuberculosis pada bahan pemeriksaan
sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.
Akan tetapi terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan PCR sebagai
pemeriksaan klinis ruitn, yaitu tinginya variasi tingkat sensititivitas pada pemeriksaan
PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian dari
kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan positif
palsu. Hasil positif pun tidak selalumenunjukkan kuman yang aktif karena kuman
dorman atau persister dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis rutin. Penelitian lebih
lanjut untuk melihat sensivitas dan spesifisitasnya pada anak masih diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukannya suatu
sistem kontorl standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai
pemeriksaan klinis rutin. Padapasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas
dan spesifisitasnya yang cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam diagnosis TB anak
masih kontrovesial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan specimen
seperti kita ketahui , kuman TB ada di dalam darah dalam waktu singkat selama masa
inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan specimen darah tidak bermanfaat
specimen yang dapat digunakan adalah sputuc, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.

I.4.2.6 patologi anatomi


Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi
mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran
yang khas. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil terbentu dari agregasi sel epitoloid yang dikelilingi oleh limfosit.Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa ditengah
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel
datia Langhans). Diagnosis hispatologik dapat ditegakkan dengan menemukan
perkijuan (kaseosa) sel epiteloid, limfosit, dan sel datia langhans.Kadang-kadang dapat
ditemukan juga BTA.
Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi. Kendalanya adalah kesulitan mendapatkan
specimen yang resresentatif. Specimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa
adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
hispatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksa PA kelenjar diambil secara
histopatilogis sulit dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya serigkali KGB kolli ini
sering diambil dengan cara bipopsi jarum halus. Sebenarnya, specimen yang diambil
dengan menggunakan jarum halus kurang sepresentatif karena jaringan yang terambil
hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan sitologi yang sulit untuk dibuat
kesimpulan pasti.

I.4.3 penegakan diagnosis


Diagnosisi kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB
dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberculin dan gambaran
sugestif pada foto toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu
dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat
diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada
pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan / atau biakan yang merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard)atau gambaran PA TB hanya saja diagnosis pasti
pada anak sulit didapatkan karena jumlah perenkim yang jauh dari bronkus, sehingga
hanya 10 – 15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya
positif/ditemukan kuman Tb. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan radiologist. Oleh karena itu, analis kritis perlu dilakukan
terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.
Kesulitan menegakkan diagmosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat
pedoman diagnosis dengan sistem skorsing dan alur diagnostic, misalnya pedoman yang
dibuat oleh WHO, stegen dan jones, dan UKK respriologi PP IDAL.
WHO (organisasi kesehatan Dunia) membuat criteria untuk membuat diagnosis TB
pada anak (tabel I.4.8)

Tabel 1.4.8 Petunjuk WHO untuk diagnosis TB anak


a. Dicurigai tuberculosis
1. anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberculosis dengan diagnosis
pasti
2. anak dengan :
 keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan
 berat badan menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan
pengobatan antibiotika untuk penyakit pernapasan
 pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.

b. Mungkin tuberculosis
Anak yang dicurigai tuberkulosisi ditambah :

 Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih )


 Foto tontgen paru sugestif tuberculosis
 Pemeriksaan histologis biopsy sugestif tuberculosis
 Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT

c. Pasti tuberculosis pada pemeriksaan langsung atau biakan identifikasi


Myobacterium tuberculosis pada karekateristik biakan

Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan


didukung WHO, membentuk kelompok kerja TB anak (Pokja TB Anak). Salah satu
tugas Pokja ini adalah mengembangkan sistem scoring yang baru untuk meningkatkan
sensitibitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak. Sistem scoring yang telah disusun
tersebut diuji coba melalui tiga tahapan penelitian. Penelitian pertama berupa penerapan
sistem skoring terhadap sekitar 200 pasien TB anak dengan baiakan positif (confirmed
TB) penelitian kedua adalah penerapan sistem scoring terhadap pasien TB anak di RS
yang menjalani prosedur diagnostic lengkap termasuk pemeriksaan mikrobiologik. Dari
kedua tahapan penelitian tersebut didapatkan sistem scoring dengan cut off-point seperti
yang dimuat didalam buku ini. Penelitian tahap ketiga adalah penerapan sistem scoring
dipuskesmas untuk melihat kelayakan dan kemampulaksanaan petugas kesehatan
dilapangan. Revisi sistim scoring diagnosis TB anak dapat dilihat pada tabel 1.4.9.
Hal-hal yang mencurigakan TB :
1. mempunyai sejarah kontak erat dengan pasien TB dengan BTA (+)
2. uji tuberculin yang positif (> 10 mm)
3. gambaran foto Ro sugestif TB
4. terdapat reaksi kemerahan yang cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan
BCG
5. gatuk – batuk lebih dari 3 minggu
6. sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas
7. berat bdan turun tanpa sebab yang jelas atua berat badan kurang baik yang tidak
naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi (failure to thrive)
8. Gejala-gejala klinis (pada kelenjar limfe,otak,tulang dll)
9. skofuloderma
10. konjungtivitis fliktenularis
Tabel 1.4.9 Sistem scoring diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA (+)
keluarga
(BTA
negative
Atau tidak
jelas)
Uji tuberkulin negatif - - Positif (≥mm,
Atau ≥3
Mm pada
keadaan
imunosupresi
Berat - BB/TB<90% Klinis gizi -
badan/keadaan gizi atau buruk
BB/U <80% atau BB/TB
<70% atau
BB/U <60%
Demam yang tidak - ≥2 minggu -
Diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran - ≥1, tidak - -
kelenjar limfe nyeri
Kolli,aksila,ingunal
Pembekakan tulang - Ada - -
sendi pembekakan
panggul,lutut,falang
Foto toraks Normal/kelainan Gambaran - -
Tidak jelas sugestif
TB

Catatan :
 Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter .
 Bila dijumpai gambaran milier atau skrofulderma langsung didiagnosis TB
 Berat bdan dinilai saat pasien dating (moment opname)
 Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku
 Foto toraks bukan merupakan alat diagnostic utama pada TB Anak.
 Gambaran sugestif berupa : pembesaran kelenjarhilus atau paratrakeal dengan
/tanpa infiltrasi konsilidasi segmental/lobar;klasifikasi dengan infiltrasi;
atelektasis,tuberkuloma.gambatan milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus
 Mengingat pentingnya peran uji tuberculin dalam diagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberculin di tempat pelayanan kesehatan.
 Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7hari) harus
dievaluasi dengan sistem scoring TB anak, BCG bukan merupakanalat diagnostic
 Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor

Ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, n atau
terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang kaku kuduk dan penurunan kesadaran, serta
tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus dirawat inap di bila diumpai
gibbus dan koksitis. Pasien harua dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurology
anak. Tatalaksana yang lebih lengkap pada keadaan – keadaan khusus di atas dapat
dilihat pada Baba tuberculosis dengan keadaan khusus. Sitem scoring dikembangkan
terutama untuk penegakkan diagnosis TB anak pada kesehatan dengan fasilitas yang
terbatas. Untuk mendiagnosis TB di sarana yang memadai, sistem scoring hanya
digunakan sebagai uji tapis (setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang
lainnya, seperti bilas lambung (bTA dan kultur M.tuberculosis) patologi anatomic,
fungsi pleura, fungsi lumbai, CT – scan,funduskopi, serta pemeriksaan dialogis untuk
tulang dan sendi.

1.5 Tatalaksana TB
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi dan pengobatan penyakit
penyerta. Selain itu penting untuk diketahui sumber infeksi dan bila ditemukan
sumber infeksi juga harus segera dilakukan pengobatan.

1.5.1 Medikamentosa
1.5.1.1 Obat TB yang digunakan
Obat TB yang utama (first line) yang digunakan saat ini adalah rifampisin®,
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomicin (S). Rifampisin
dan Isoniazid merupakan obat pilihan utama ditambah dengan pirazinamid,
etambutol dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethiolamide, prothoinamide,
ofloxacin, levofloxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan
capreomycin yang digunakan jika terjadi MDR.
ISONIAZID
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang diberikan secara oral.
Dosis harian yang diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari maksimal 300mg/hari
diberikan dalam 1 kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk
tablet 100mg dan 300mg dan dalam bentuk sirup 100mg/5ml. Sediaan dalam
bentuk sirup biasanya tidak stabil sehingga tidak dianjurkan penggunaannya.
Konsentrasi puncak dalam darah, sputum dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam
dan menetap selama 6-8 jam. Isoniazide dimetabolisme melaui asetilasi dihati.
Terdapat dua kelompok pasien yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat.
Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang afrika-amerika dan asia daripada
orang kulit putih. Anak-anak mengeleminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Isoniazid terdapat di ASI ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta tetapi kadar yang mencapai janin atau bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai 2 efek utama yaitu hepatotoksis dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian anak yang
mendapat isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase dalam 2 bulan
pertama namun akan turun sendiri tanpa penghentian obat sehingga hepatotoksik
yang baermakna secara klini sangat jarang ditemukan. Hepatoksisitas akan
meningkat apabila pemberian isoniazid bersamaan dengan rifampisin,
pirazinamid, fenobarbital dan fenitoin. Pemberian isoniazid tidak dianjurkan bila
kadar transaminase meningkat 5 kali dari normal atau tiga kali disertaiikterik dan
atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah dan nyeri pada perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolism
piridoksin. Manifestasi berupa neuritis perifer yang paling sering adalah
kesemutan pada tangan dan kaki. kadar piridoksin berkurang pada anak yang
menggunakan isoniazid jarang diberikan piridoksin tambahan karena jarang
menimbulkan manifestasi klinis. Akan tetapi pada remaja dengan diet yang tidak
adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kuat, malnutrisi serta
bayi yang hanya minum ASI memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksi
diberikan 25-50 mg diberikan 1 kali sehari atau 10mg piridoksin setiap 100mg
isoniazid.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah pellagra, anemia hemolitik
pada pasien dengan defisiensi enzyme G6PD dan reaksi seperti lupus disertai ruam
dan arthritis.
RIFAMPISIN
Rifampisin bersifat bakterisid pada intra dan ekstrasel dan memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidoeman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui system gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam setelah makan) dan kadar puncak dalam serum tercapai
dalam 2 jam. Saat ini rifampisin doberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari dosis maksimal 600mg/hari dengan pemberian 1 kali perhari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid dosis rifampisin tidak melebihi
15mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid menjadi 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS. Eksresi
rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar efektif juga ditemukan
dalam ginjal dan urin.
Efek samping lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi peasien adalah perubahan warna urine, ludah, keringat,
sputum dan air mata menjadi warna oranye sampai kemerahan. Efek samping
rifampisin lainnya adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan
hepatotoksisitas (ikterus dan hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimptomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan dengan isoniazid terjadi peningkatan hepatotoksisitas yang dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga menyebabkan trombositopenia dan dapat
menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat bereaksi dengan
beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam bentuk
kapsul 150mg, 300mg, dan 450 mg sehingga kurang sesuai apabila diberikan pada
anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai zat pembawa tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah derivate dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan termasuk CSS, bakterisid hanya pada intraseldalam suasana asam dan
direabsorpsi baik dalam saluran cerna. Pemakaian pirazinamid secara dosis 15-
30mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak
tercapai dalam 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan dalam suasana asam yang timbul akibat masih banyaknya
kuman. Penggunaan pirazinamid aman pada anak-anak. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah atralgia, arthritis, gout, hepatotoksisitas, anoreksia dan
iritasi saluran cerna. Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet 500mg tetapi sama
seperti isoniazid dapat digerus dan diberikan bersamaan dengan makanan.
ETAMBUTOL
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik tetapi dapat juga bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Berdasarkan
pengalaman, obat ini juga dapat mencegah timbulnya resistensi obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20mg/kgBB maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal.
Kadar puncak dalam serum diperoleh dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
dalam sediaan 250mg dan 500mg. Etamburol ditoleransi dengan baik oleh dewasa
dan anak-anak dengan dosis 1-2 kalo sehari tetapi tidak berpenetrasi pada SSP.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optic dan
buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO terakhir
mengenai penatalaksanaan TB pada anak dianjurkan penggunaannya 15-
25mg/kgBB/hari. Etambutol dapat digunakan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten obat jika obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.
STREPTOMISIN
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting dalam pengobatan fase intensif
meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuscular 15-
40mg/kgBB/hari maksimal 1 gram/hari dengan kadar puncak diperoleh setelah 2
jam.
Streptomisin sangat melewati selaput otak yang meradang namun tidak dapat
melewati sawah otak yang tidak meradang serta berdifusi baik pada cairan pleura
dan dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama pada nervus cranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala seperti telinga
berdengung (tinnitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena
dapat merusak saraf pendengaran janin.

Prinsip pemberian OAT adalah harus menembus berbagai jaringan termasuk


selaput otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa.
Dosis dan efek samping OAT dapat dilihat pada table 4.5.1
1.5.1.2 Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada
fase intensif dan duan macam obat pada fase lanjutan. Pemberian obat ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan membunuh kuman
intraselular dan ekstraselular.Pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya relaps.
Berbeda dengan pada dewasa, pemberian OAT pada anak diberikan setiap
hari bukan dua atau tiga kali seminggu. Hal ini untuk mengurangi ketidakteraturan
menelan obat yang lebih sering terjadi apabila obat tidak diminum setiap hari. Saat
ini panduan baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak pada fase intensif
adalah rifampisin, isoniazid dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya
diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
TB milier, meningitis TB, TB system skeletal pada fase intensif diberikan 4
macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau pirazinamid
sedangkan pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.
Pada kasus TB seperti ini juga dapat diberikan kortikosteroid (prednisone) dengan
dosis1-2mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu. Panduan OAT ini dapat dilihat pada
gambar 1.5.1
1.5.1.3 Fixed Dose Combination (FDC)
Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan dalam menjalani
pengobatan yang relative lama dan dengan jumlah obat yang banyak. Untuk
mengatasi hal tersebut dibuat suatu sediaan obat dengan dosis yang telah
ditentukan yaitu FDC atau kombinasi dosis tetap (KDT).
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut:
- Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep

- Meningkatkan kepatuhan pasien

- Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar


dengan tepat

- Mempermudah pengelolaan obat

- Mengurangi kesalahan penggunaan pada obat TB

- Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan

- Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat


mengurangi beban kerja

- Mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan.


1.5.1.4 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan
penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi kesalahan
diagnosis. Evaluasi pengobatan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang
terpenting adalah evaluasi klinis yaitu menghilang atau membaiknya keadaan
klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, apabila respon membaik maka
pengobatan dapat dilanjutkan.
Evaluasi radiologi dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin kecuali dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi
pleura dan bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier foto toraks perlu diulang
setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB
penggunaan foto toraks dilakukan setelah 2 minggu. LED dapat digunakan
sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainnya tinggi..
Apabila respon setelah 2 bulan tidak baik yaitu gejala masih ada dan tidak
ada penambahan berat badan maka OAT tetap diberikan sambil melakukan
evaluasi lebih lanjut. Kemungkinan terjadi misdiagnosis, mistreatment atau
resisten terhadap OAT. Setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis
pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin.
1.5.1.5 Evaluasi Efek Samping Pengobatan
Pada pemberian OAT efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksik. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian isoniazid yang tidak
melebihi 10 mg/kgBB/hari dan rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kgBB/hari
dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai dengan peningkatan serumSGOT dan
SGPT hingga ≥5 kali tanpa gejala atau urobilinogen ≥ 3 kali batas atas normal
(40u/l) disertai dengan gejala, peningkatan bilirirubin total lebih dari 1.5 mg/dl,
serta peningkatan SGOT/SGPT dengan gejala ikterus, anoreksia, nausea dan
muntah.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung dari beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase ringan
dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
peningkatan lebih dari 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas atas normal (40u/l)
memerlukan penghentian semua obat OAT, kemudian kadar enzim transaminase
diperiksa kembali setelah 1 minggu. OAT diberikan kembali apabila nilai
laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan memberikan
isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikan secara bertahap dan harus
dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat.
1.5.1.6 Putus Obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti mendapatkan pengobatan ≥ 2
minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi
klinis saat pasien dating kembali, sudah berapa lama pengobatan dan berapa lama
obat sudah terputus. Pasien tersebut harus dirujuk untuk pengobatan berikutnya.

1.5.1.7 Multi Drug Resistance (MDR)


MDR merupakan masalah besar yang kejadiannya terus menerus menigkat.
Daftar OAT lini kedua untuk MDR TB dapat dilihat pada table 4.5.4
Tabel 4.5.4 Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua Untuk MDR -TB
Dosis
Dosis harian
Nama Obat Maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg perhari)
Muntah,
Ethionamide atau gangguan
15-20 1000
Prothionamide gastrointestinal,
sakit sendi

Flouroquinolone
Levofloxacin 7.5-10 -
Moxifloxacin 7.5-10 -
Gatifloxacin 7.5-10 -
Ciprofloxacin 20-30 1500
Ofloxacin 15-20 800

Aminoglikosida
Kanamicin 15-30 1000 Ototoksisitas,
Amikasin 15-22,5 1000 toksistas hati
Capreomycin 15-30 1000
Gangguan psikis,
CycloserinTerizidone 10-20 1000 gangguan
neurologi

Muntah,
Para-aminosalicylic 150 12000
gangguan
acid
gastrointestinal

Nonmedikamentosa
Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting dalam tatalaksana TB adalah keteraturan menelan
obat.Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan
dosis yang telah ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan menelan obat
ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps atau timbulnya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment). directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah
direkomendasikakn WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB dan
telah dilaksanankan di Indonesia sejak 1995.
Sesuai dengan rekomendasi WHO stategi DOTS terdiri dari 5 komponen
yaitu:
1. Komitmen polis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh pengawas menelan obat (PMO)
4. Kesinambungan persediaan obat jangka pendek dengan mutu terjamin
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk mempermudah pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
Pada pasien anak, kuman M. tuberculosis sulit ditemukan baik pada biakan
apalagi pada pemeriksaan mikroskopis langsung. Oleh karena itu diagnosis pada
anak tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang dianjurkan
dalam strategi DOTS. Maka diperlukan strategi diagnostic lain yaitu dengan
menggunakan system scoring.
Lacak Sumber Penularan dan Case Finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah
orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi sentripetal dapat dilakukan dengan pemeriksaan
radiologi dan BTA sputum.

Aspek Edukasi dan Social Ekonomi


Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosialekonomi. Karena pengobatan
TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam waktu lama maka biaya yang
diperlukan cukup besar, selain itu diperlukan juga penanganan gizi yang baik
meliputi kecukupan asuhan makanan, vitamin dan mikronutrien. Tanpa
penanganan gizi yang baik pengobatan medikamentosa saja tidak akan mencapai
hasil yang optimal.

Pencegahan
IMUNISASI BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi
sebesar 0.05 ml dan penyuntikan pada anak 0.10ml diberikan secara intrakutan
didaerah insersi otot deltoid kanan karena penyuntikan lebih mudah dan lemak
subkutisnya tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai tanda baku.
Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin
terlebih dahulu.
Manfaat BCG telah dilaporkan beberapa peneliti yaitu 0-80% imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis
TB pada anak. Imunisasi BCG relative aman, jarang menimbulkan efek samping
yang serius. Efek samping yang mungkin ditemukan adalah ulserasi local dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0.1-1%. Kontraindikasi imunisasi
BCG adalah kondisi imunocompromised misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk dan gagal tumbuh. Pada bayi premature BCG ditunda sampai berat
badan optimal.

KEMOPROFILAKSIS
Terdapat 2 macam kemoprofilaksis yaitu primer dan sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB
sedangkan yang sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
Kemoprofilaksis primer yang digunakan adalah isoniazid 5-10mg/kgBB/hari
dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak
dengan TB aktif terutama dengan BTA positif tetapi belum terinfeksi (uji
tuberculin negative). Obat ini diberikan selama 6 bulan. Pada kahir bulan ketiga
pemberian kemoprofilaksis dilakukan uji tuberculin ulang. Jika tetap negative,
lanjutkan kemoprofilaksis sampai 6 bulan. Jika uji tuberculin menjadi positif
evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam, lakukan uji tuberculin
kembali, jika hasil negative pemberian kemoprofilaksis dihentikan dan apabila
positif evaluasi status TB pasien.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi tetapi
belum sakit ditandai dengan uji tuberculin positif sedangkan klinis dan radiologis
normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder tetapi hanya anak yang
termasuk dalam risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB yaitu anak-anak
dengan imunocomprimised seperti anak usia balita, penderita morbili, varicella
atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik atau
kortikosteroid), usia remaja dan infeksi TB paru. Lama pemberian
kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

Garna. H, Melinda. H, Rahayuningsih. S.E. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi


Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-3. Bandung : Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI

Mansjoer, Arief M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ke-3. Jakarta:
Media Aesculapius
PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.
Jakarta

WHO Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai