I.1 Epidemiologi
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul and menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju.
Salah satu di antaranya adalah TB. World health organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan
angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerik Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah
satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah
tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan
populasi yang tepat.
1.1.1 Prevalens
Morbiditas dan Mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per
tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261
kasus TB anak berusia <15 tahun, 63 % di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei
nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983,
didapatkan bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari
Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 (tahun 1983-1993) didapatkan 171
kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun
adalah 15 % dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah,
yaitu 5-7 %.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta
kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.
Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per
100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk
pada tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan
sebanyak 88,2 juta penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi
HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya
berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44
tahun (54,5%) diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), and 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun
2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di
negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun
adalah 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10
tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8
juta) diserti infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki perigkat ketiga
dalam kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1
juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <15 tahun.
Peningkatan kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh
begbagai hal, yaitu: (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi
penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis pada anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari seluruh populasi.(Gambar
1.1.1)
Tabel 1.1.1 Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak yang Terinfeksi Tuberkulosis
Tabel 1.2.1 Risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Penyakit TB
Paru TB paru primer ( pembesaran) kelenjar hilus dengan
atau tanpa kelainan parenkim)
TB paru progresif (pneumonia, TB endobronkial)
TB paru kronik (kavitas,fobrosis,tuberkuloma)
TB milier
Efusi pleura TB
Tabel I.4.4 Frekuensi Gejala dan Tanda TB Paru sesuai kelompok umur
Kelompok umur Bayi Anak Akil balik
Gejala
Demam sering Jarang sering
Keringat malam sangat jarang sangat jarang jarang
Batuk sering sering sering
Batuk produktif sangat jarang sangat jarang sering
Hemoptisis tidak pernah sangat jarang sangat jarang
Dispnu sering sangat jarang sangat jarang
Tanda
Ronki basah sering jarang sangat jarang
Mengi sering jarang jarang
Fremitus sangat jarang sangat jarang jarang
Perkusi pekak sangat jarang sangat jarang jarang
Suara napas berkurang sering sangat jarang jarang
Kelenjar Limfe
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai.
Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi
juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula,secara klinis,
Karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan,
tidak hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence)
satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe
(perifocal inflammation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini dapat disebabkan oleh
penyakit lain, seperti dapat dilihat pada tabel I.4.5
System skeletal
Gejala yang umum ditemukan pada TB system skeletal adalah nyeri, bengkak pada
sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik
biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan,
epifisis tulang merupakan daerah dengan Vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman
TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB,
koksitis TB, dan gonitis TB, Manifetasi klinis TB system skeletal biasanya muncul
secara perlahan dan samara sehingga sering lambat terdiagnosis. Manifestasi klinis
dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang paseien dating
pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel. Gejalanya
dapat berupa pembekakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh, dan sulit membungkuk.
Kulit
Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit melalui dua cara, yaitu inokulasi
langsung (Infeksi Primer) seperti tuberculous chancre, dan akibat limfadenitis TB yang
pecah dijumpai adalah skrofuloderma (TB Pascaprimer). Manifestasi TB pada kulit
yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrofuloderma.
Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai
kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula,supraklavikula,
dan lateral leher. Pembahasan lebih jauh mengenai TB kulit akan diuraikan di bab
selanjutnya;
Rangkuman dari gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di region kolli,multiple, tidak nyerii, dan saling
melekat).
2. tuberculosis otak dan saraf
• meningitis TB
• tuberkuloma otak
3. Tuberkulosis sistem skeletal
• Tukang punggung (spondilitis) : gibbus
• Tulang panggul (koksitis) : pincang
• Tulang lutut (gonitis) : pincang dan / atau bengkak
• Tulang kaki dan tangan
• Spina ventosa (daktilitis)
4. tuberculosis kulit : skrofulderma.
5. tuberculosis mata
• konjungtivitas fliktenularis (conjungtivitis phlyctenularis)
6. tuberculosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll
Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi Mikrobakterium atipik
Uji tuberculin negative dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. tidak ada infeksi TB
2. dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga
tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah
terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili pertusis
arisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus
hidup yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan
batuk pilek panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut
selesma common cold).
Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberculin adalah kemungkinan uji
tuberculin positif/negative palsu. Uji tuberculin positif palsu dapat juga ditemukan
pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah salah, demikian juga. Negatif
palsu, disamping penyimpanan tuberculin yang tidak baik sehingga potenssinya
menurun.
Sebab-sebab hasil positif palsu dan negative palsu iji tuberculin mantoux
Positif Palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dengan Myocbacterium atipik
Negatif palsu
Masa Inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Menderita tuberculosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak,rubella, cacar air, influenza,HIV)
Imunoinkompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari,solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia
0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +
Gambaran foto pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi
secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan
penunjang lain mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut :
• Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.
• Konsolidasi segmental/lobar.
• Milier.
• Kalsifikasi dengan infiltrat.
• Atelektasis.
• Kavitas.
• Efusi pleura.
• Tuberkuloma.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus
disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus
biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai
ketudaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran radiologis yang berat dn gambaran
klinis yang ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila
perlu dilakuakn pemeriksaan pencitraan lain seperti computed tomography scan (CT-
scan) toraks.
I.4.2.4 Serologis
Pada awalnya, pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB
dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologik antigen-
antibodi spesifik untuk M.tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60,
38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum,
cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS
terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada : PAP TB, Mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain, hingga saat ini belum ada satu pun
pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut
umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis
I.4.3.5 Mikrobiologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberculin, dan
gambaran radiologist paru. Diagnosisi pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua
macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untukmenemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M.tuberculosis.
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan pesimen
berupa sputum. Sebagai gantinya , dilakukan pemeriksaan bilas lambung 9gastricavage)
3hari berturut-turut minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak
sebagian besar negative,sedangkan hasil biakan m.tuberculosis memerlukan waktu yang
lama yaitu sekitar 6 – 8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
diperoleh lebih cepat (1 – 3 minggu) yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal
dan secara teknologi lebih rumit.
Perkembangan lain dibidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan PCR
merupakan teknik amplikasi urutan deoxyribonucleotic acid (DNA) yang spesifik secara
teori, dengan metode ini. Kuman yang berasal dari specimen bilas lambung akan dapat
dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M. tuberculosis pada bahan pemeriksaan
sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.
Akan tetapi terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan PCR sebagai
pemeriksaan klinis ruitn, yaitu tinginya variasi tingkat sensititivitas pada pemeriksaan
PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian dari
kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan positif
palsu. Hasil positif pun tidak selalumenunjukkan kuman yang aktif karena kuman
dorman atau persister dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis rutin. Penelitian lebih
lanjut untuk melihat sensivitas dan spesifisitasnya pada anak masih diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukannya suatu
sistem kontorl standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai
pemeriksaan klinis rutin. Padapasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas
dan spesifisitasnya yang cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam diagnosis TB anak
masih kontrovesial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan specimen
seperti kita ketahui , kuman TB ada di dalam darah dalam waktu singkat selama masa
inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan specimen darah tidak bermanfaat
specimen yang dapat digunakan adalah sputuc, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.
b. Mungkin tuberculosis
Anak yang dicurigai tuberkulosisi ditambah :
Catatan :
Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter .
Bila dijumpai gambaran milier atau skrofulderma langsung didiagnosis TB
Berat bdan dinilai saat pasien dating (moment opname)
Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostic utama pada TB Anak.
Gambaran sugestif berupa : pembesaran kelenjarhilus atau paratrakeal dengan
/tanpa infiltrasi konsilidasi segmental/lobar;klasifikasi dengan infiltrasi;
atelektasis,tuberkuloma.gambatan milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus
Mengingat pentingnya peran uji tuberculin dalam diagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberculin di tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7hari) harus
dievaluasi dengan sistem scoring TB anak, BCG bukan merupakanalat diagnostic
Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor
Ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, n atau
terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang kaku kuduk dan penurunan kesadaran, serta
tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus dirawat inap di bila diumpai
gibbus dan koksitis. Pasien harua dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurology
anak. Tatalaksana yang lebih lengkap pada keadaan – keadaan khusus di atas dapat
dilihat pada Baba tuberculosis dengan keadaan khusus. Sitem scoring dikembangkan
terutama untuk penegakkan diagnosis TB anak pada kesehatan dengan fasilitas yang
terbatas. Untuk mendiagnosis TB di sarana yang memadai, sistem scoring hanya
digunakan sebagai uji tapis (setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang
lainnya, seperti bilas lambung (bTA dan kultur M.tuberculosis) patologi anatomic,
fungsi pleura, fungsi lumbai, CT – scan,funduskopi, serta pemeriksaan dialogis untuk
tulang dan sendi.
1.5 Tatalaksana TB
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi dan pengobatan penyakit
penyerta. Selain itu penting untuk diketahui sumber infeksi dan bila ditemukan
sumber infeksi juga harus segera dilakukan pengobatan.
1.5.1 Medikamentosa
1.5.1.1 Obat TB yang digunakan
Obat TB yang utama (first line) yang digunakan saat ini adalah rifampisin®,
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomicin (S). Rifampisin
dan Isoniazid merupakan obat pilihan utama ditambah dengan pirazinamid,
etambutol dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethiolamide, prothoinamide,
ofloxacin, levofloxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan
capreomycin yang digunakan jika terjadi MDR.
ISONIAZID
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang diberikan secara oral.
Dosis harian yang diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari maksimal 300mg/hari
diberikan dalam 1 kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk
tablet 100mg dan 300mg dan dalam bentuk sirup 100mg/5ml. Sediaan dalam
bentuk sirup biasanya tidak stabil sehingga tidak dianjurkan penggunaannya.
Konsentrasi puncak dalam darah, sputum dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam
dan menetap selama 6-8 jam. Isoniazide dimetabolisme melaui asetilasi dihati.
Terdapat dua kelompok pasien yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat.
Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang afrika-amerika dan asia daripada
orang kulit putih. Anak-anak mengeleminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Isoniazid terdapat di ASI ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta tetapi kadar yang mencapai janin atau bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai 2 efek utama yaitu hepatotoksis dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian anak yang
mendapat isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase dalam 2 bulan
pertama namun akan turun sendiri tanpa penghentian obat sehingga hepatotoksik
yang baermakna secara klini sangat jarang ditemukan. Hepatoksisitas akan
meningkat apabila pemberian isoniazid bersamaan dengan rifampisin,
pirazinamid, fenobarbital dan fenitoin. Pemberian isoniazid tidak dianjurkan bila
kadar transaminase meningkat 5 kali dari normal atau tiga kali disertaiikterik dan
atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah dan nyeri pada perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolism
piridoksin. Manifestasi berupa neuritis perifer yang paling sering adalah
kesemutan pada tangan dan kaki. kadar piridoksin berkurang pada anak yang
menggunakan isoniazid jarang diberikan piridoksin tambahan karena jarang
menimbulkan manifestasi klinis. Akan tetapi pada remaja dengan diet yang tidak
adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kuat, malnutrisi serta
bayi yang hanya minum ASI memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksi
diberikan 25-50 mg diberikan 1 kali sehari atau 10mg piridoksin setiap 100mg
isoniazid.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah pellagra, anemia hemolitik
pada pasien dengan defisiensi enzyme G6PD dan reaksi seperti lupus disertai ruam
dan arthritis.
RIFAMPISIN
Rifampisin bersifat bakterisid pada intra dan ekstrasel dan memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidoeman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui system gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam setelah makan) dan kadar puncak dalam serum tercapai
dalam 2 jam. Saat ini rifampisin doberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari dosis maksimal 600mg/hari dengan pemberian 1 kali perhari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid dosis rifampisin tidak melebihi
15mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid menjadi 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS. Eksresi
rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar efektif juga ditemukan
dalam ginjal dan urin.
Efek samping lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi peasien adalah perubahan warna urine, ludah, keringat,
sputum dan air mata menjadi warna oranye sampai kemerahan. Efek samping
rifampisin lainnya adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan
hepatotoksisitas (ikterus dan hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimptomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan dengan isoniazid terjadi peningkatan hepatotoksisitas yang dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga menyebabkan trombositopenia dan dapat
menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat bereaksi dengan
beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam bentuk
kapsul 150mg, 300mg, dan 450 mg sehingga kurang sesuai apabila diberikan pada
anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai zat pembawa tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah derivate dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan termasuk CSS, bakterisid hanya pada intraseldalam suasana asam dan
direabsorpsi baik dalam saluran cerna. Pemakaian pirazinamid secara dosis 15-
30mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak
tercapai dalam 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan dalam suasana asam yang timbul akibat masih banyaknya
kuman. Penggunaan pirazinamid aman pada anak-anak. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah atralgia, arthritis, gout, hepatotoksisitas, anoreksia dan
iritasi saluran cerna. Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet 500mg tetapi sama
seperti isoniazid dapat digerus dan diberikan bersamaan dengan makanan.
ETAMBUTOL
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik tetapi dapat juga bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Berdasarkan
pengalaman, obat ini juga dapat mencegah timbulnya resistensi obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20mg/kgBB maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal.
Kadar puncak dalam serum diperoleh dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
dalam sediaan 250mg dan 500mg. Etamburol ditoleransi dengan baik oleh dewasa
dan anak-anak dengan dosis 1-2 kalo sehari tetapi tidak berpenetrasi pada SSP.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optic dan
buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO terakhir
mengenai penatalaksanaan TB pada anak dianjurkan penggunaannya 15-
25mg/kgBB/hari. Etambutol dapat digunakan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten obat jika obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.
STREPTOMISIN
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting dalam pengobatan fase intensif
meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuscular 15-
40mg/kgBB/hari maksimal 1 gram/hari dengan kadar puncak diperoleh setelah 2
jam.
Streptomisin sangat melewati selaput otak yang meradang namun tidak dapat
melewati sawah otak yang tidak meradang serta berdifusi baik pada cairan pleura
dan dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama pada nervus cranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala seperti telinga
berdengung (tinnitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena
dapat merusak saraf pendengaran janin.
Flouroquinolone
Levofloxacin 7.5-10 -
Moxifloxacin 7.5-10 -
Gatifloxacin 7.5-10 -
Ciprofloxacin 20-30 1500
Ofloxacin 15-20 800
Aminoglikosida
Kanamicin 15-30 1000 Ototoksisitas,
Amikasin 15-22,5 1000 toksistas hati
Capreomycin 15-30 1000
Gangguan psikis,
CycloserinTerizidone 10-20 1000 gangguan
neurologi
Muntah,
Para-aminosalicylic 150 12000
gangguan
acid
gastrointestinal
Nonmedikamentosa
Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting dalam tatalaksana TB adalah keteraturan menelan
obat.Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan
dosis yang telah ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan menelan obat
ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps atau timbulnya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment). directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah
direkomendasikakn WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB dan
telah dilaksanankan di Indonesia sejak 1995.
Sesuai dengan rekomendasi WHO stategi DOTS terdiri dari 5 komponen
yaitu:
1. Komitmen polis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh pengawas menelan obat (PMO)
4. Kesinambungan persediaan obat jangka pendek dengan mutu terjamin
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk mempermudah pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
Pada pasien anak, kuman M. tuberculosis sulit ditemukan baik pada biakan
apalagi pada pemeriksaan mikroskopis langsung. Oleh karena itu diagnosis pada
anak tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang dianjurkan
dalam strategi DOTS. Maka diperlukan strategi diagnostic lain yaitu dengan
menggunakan system scoring.
Lacak Sumber Penularan dan Case Finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah
orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi sentripetal dapat dilakukan dengan pemeriksaan
radiologi dan BTA sputum.
Pencegahan
IMUNISASI BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi
sebesar 0.05 ml dan penyuntikan pada anak 0.10ml diberikan secara intrakutan
didaerah insersi otot deltoid kanan karena penyuntikan lebih mudah dan lemak
subkutisnya tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai tanda baku.
Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin
terlebih dahulu.
Manfaat BCG telah dilaporkan beberapa peneliti yaitu 0-80% imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis
TB pada anak. Imunisasi BCG relative aman, jarang menimbulkan efek samping
yang serius. Efek samping yang mungkin ditemukan adalah ulserasi local dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0.1-1%. Kontraindikasi imunisasi
BCG adalah kondisi imunocompromised misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk dan gagal tumbuh. Pada bayi premature BCG ditunda sampai berat
badan optimal.
KEMOPROFILAKSIS
Terdapat 2 macam kemoprofilaksis yaitu primer dan sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB
sedangkan yang sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
Kemoprofilaksis primer yang digunakan adalah isoniazid 5-10mg/kgBB/hari
dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak
dengan TB aktif terutama dengan BTA positif tetapi belum terinfeksi (uji
tuberculin negative). Obat ini diberikan selama 6 bulan. Pada kahir bulan ketiga
pemberian kemoprofilaksis dilakukan uji tuberculin ulang. Jika tetap negative,
lanjutkan kemoprofilaksis sampai 6 bulan. Jika uji tuberculin menjadi positif
evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam, lakukan uji tuberculin
kembali, jika hasil negative pemberian kemoprofilaksis dihentikan dan apabila
positif evaluasi status TB pasien.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi tetapi
belum sakit ditandai dengan uji tuberculin positif sedangkan klinis dan radiologis
normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder tetapi hanya anak yang
termasuk dalam risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB yaitu anak-anak
dengan imunocomprimised seperti anak usia balita, penderita morbili, varicella
atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik atau
kortikosteroid), usia remaja dan infeksi TB paru. Lama pemberian
kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arief M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ke-3. Jakarta:
Media Aesculapius
PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.
Jakarta