Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan
mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan persepsi. Sedangkan
berpikir kritis merupakan konsep dasar yang terdiri dari konsep berpikir yang
berhubungan dengan proses belajar dan kritis itu sendiri berbagai sudut
pandang selain itu juga membahas tentang komponen berpikir kritis dalam
keperawatan yang di dalamnya dipelajari karakteristik, sikap dan standar
berpikir kritis, analisis, pertanyaan kritis, pengambilan keputusan dan
kreatifitas dalam berpikir kritis. Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu
sejalan dengan keterlibatan kita dalam pengalaman baru dan menerapkan
pengetahuan yang kita miliki, kita menjadi lebih mampu untuk membentuk
asumsi, ide-ide dan membuat kesimpulan yang 8alid, semua proses tersebut
tidak terlepas dari sebuah proses berpikir dan belajar.
Pelayanan kesehatan kritis diberikan kepada pasien yang sedang
mengalami keadaan penyakit yang kritis selama masa kedaruratan medis dan
masa krisis. Pelayanan intensif adalah pelayanan spesialis untuk pasien yang
sedang mengalami keadaan yang mengancam jiwanya dan membutuhkan
pelayanan yang komprehensif dan pemantauan terus-menerus. Ruang
Perawatan Intensif (Intensive Care Unit=ICU) adalah bagian dari bangunan
rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan
instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012).
Pelayanan kritis atau intensif biasanya dilakukan pada Intensive Care Unit
atau ICU, untuk anak-anak biasanya disebut Paediatric Intensive Care Unit
atau PICU (Murti 2009).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
ICU di rumah sakit, ICU digunakan untuk 7 memenuhi kebutuhan pelayanan
observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera

1
atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam
nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversible (Kemenkes
RI, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana berpikir kritis dalam kegawatdaruratan ICU ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan brain injury?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui cara berfikir kritis dalam kegawatdaruratan di ruang
ICU dan untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan brain
injury.
2. Tujuan Khusus :
a) Untuk mengetahui cara berfikir kritis dalam kegawatdaruratan ICU.
1) Untuk mengetahui konsep berpikir kritis dalam kegawatdaruratan
ICU.
2) Untuk mengetahui model berpikir kritis dalam keperawatan.
3) Untuk mengetahui prinsip gawat darurat.
4) Untuk mengetahui falsafah keperawatan kritis dan
kegawatdaruratan.
5) Untuk mengetahui aspek hukum dalam kegawatdaruratan.
6) Untuk mengetahui proses keperawatan gawat darurat.
7) Untuk mengetahui lingkup keperawatan kritis dan kegawatdaruratan
di ruang ICU.
b) Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan brain injury.
1) Untuk mengetahui pengertian brain injury.
2) Untuk mengetahui penggolongan brain injury berdasarkan akibat
jejas.
3) Untuk mengetahui etiologi brain injury.
4) Untuk mengetahui manifestasi klinis brain injury.
5) Untuk mengetahui pathway brain injury.

2
6) Untuk mengetahui klasifikasi brain injury.
7) Untuk mengetahui komplikasi brain injury.
8) Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang brain injury.
9) Untuk mengetahui penatalaksanaan brain injury.
10) Untuk mengetahui asuhan keperawatan brain injury.

D. Sistematika Penulisan
Makalah ini tersusun dengan sistematika dari tiga bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, sistematika penulisan.
Bab II : Pembahasan yang terdiri dari konsep berfikir kritis dalam
kegawatdaruratan ICU, model berfikir kritis dalam keperawatan,
prinsip gawat darurat, falsafah keperawatan kritis dan
kegawatdaruratan, aspek hukum dalam kegawatdaruratan dan
proses keperawatan gawat darurat dan lingkup keperawatan kritis
dan kegawatdaruratan di ruang ICU.
Bab III : Asuhan keperawatan dari brain injuri terdiri dar pengkajian,
diagnose, intervensi, implmentasi dan evaluasi.
Bab IV : Penutupan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II
BERFIKIR KRITIS DALAM KEGAWATDARURATAN DI RUANG ICU

A. Konsep Berpikir Kritis dalam kegawatdaruratan ICU


Berfikir kritis merupakan kemampuan untuk menganalisis fakta,
mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argument dan memecahakan
masalah (Chance, 1986).
Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang
tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenai
permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan seran mengevaluasi
(Angello, 1995).
Berpikir kritis adalah proses intelektual yang aktif dan penuh dengan
keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan,
menganalisis, membuat sintesis dan mengevaluasi (Scriven, 2001).
Berpikir kritis sebagai proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan
penguatan data, analisis data evaluasi dengan mengembangkan aspek kualitatif
dan kuantitatif, serta membuat keputusan dengan berdasarkan evaluasi
(Gerhard dalam Mayadiana, 2005:9).
Menurut mereka berpikir kritis adalah bertujuan untuk mencapai penilaian
kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan
dengan alasan logis, memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir
kritis dalam membuat keputusan, menerapkan berbagai strategi yang tersusun
dan memberikan alas an untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut
(Swartz dan Perkins).
Berpikir kritis adalah pemikiran berorientasi pada tujuan, terarah, dan
reflektif. Ini adalah pemikiran yang ditujukan pada diri yang berfokus pada apa
yang harus di yakini atau dilakukan pada situasi tertentu.
Berpikir kritis dalam keperawatan yaitu mengumpulkan dan
menginterpretasikan informasi, mempertimbangkan kebutuhan pasien, dan
menentukan intervensi yang tepat.

4
ICU merupakan suatu tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit,
memiliki staf khusus, peralatan khusus ditujukan untuk menanggulangi pasien
gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi-komplikasi.

B. Model Berpikir Kritis Dalam Keperawatan


Terdapat 5 model berpikir yaitu : (Rubenfeld, Barbara K. 2006)
1. T: total recall (ingatan total)
2. H: habits (kebiasaan)
3. I: inquiry (penyelidikan)
4. N: new ideas and creativity (ide baru dan kreatifitas)
5. K : knowing how you think (mengetahui bagaimana anda berpikir).

C. Prinsip Gawat Darurat


1. Tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi pasien dan wali ataupun saksi.
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat).
4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh. Pertahankan pasien pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika
ada ortopnea)
5. Jika pasien sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
6. Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika
hanya ada kondisi yang membahayakan.
7. Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan
kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai
dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.

5
D. Falsafah Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
1. Bidang cakupan keperawatan gawat darurat: pre hospital, in hospital, post
hospital.
2. Resusitasi pemulihan bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat
berhentinya fungsi jantung dan paru yang berorientasi pada otak.
3. Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan.
4. Terapi kegawatan intensive: tindakan terbaik untuk klien sakit kritis karena
tidak segera di intervensi menimbulkan kerusakan organ yang akhirnya
meninggal.
5. Mati klinis: henti nafas, sirkulasi terganggu, henti jantung, otak tidak
berfungsi untuk sementara (reversibel). Resusitasi jantung paru (RJP) tidak
dilakukan bila: kematian wajar, stadium terminal penyakit seperti kanker
yang menyebar ke otak setelah 1/2-1 jam RJP gagal dipastikan fungsi otak
berjalan.
6. Mati biologis: kematian tetap karena otak kerkurangan oksigen. mati
biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan yang mulai dari
neuron otak yang nekrosis setelah satu jam tanpa sirkulasi oleh jantung,
paru, hati, dan lain – lain.
7. Mati klinis 4-6 menit, kemudian mati biologis.
8. Fatwa IDI mati: jika fungsi pernafasan seperti jantung berhenti secara pasti
(irreversibel atau terbukti kematian batang otak).

E. Aspek Hukum Dalam Kegawatdaruratan


Pemahaman terhadap aspek hukum dalam KGD bertujuanmeningkatkan
kualitas penanganan pasien dan menjamin keamanan sertakeselamatan pasien.
Aspek hukum menjadi penting karena konsensusuniversal menyatakan bahwa
pertimbangan aspek legal dan etika tidakdapat dipisahkan dari pelayanan
medik yang baik. Tuntutan hukum dalam praktek KGD biasanya berasal dari :
1. Kegagalan komunikasi
2. Ketidakmampuan mengatasi dillema dalam profesi

6
Permasalahan etik dan hukum KGD merupakan isu yang juga terjadi pada
etika dan hukum dalam kegawatdaruratan medik yaitu :
1. Diagnosis keadaan gawat darurat
2. Standar Operating Procedure
3. Kualifikasi tenaga medis
4. Hak otonomi pasien : informed consent (dewasa, anak)
5. Kewajiban untuk mencegah cedera atau bahaya pada pasien
6. Kewajiban untuk memberikan kebaikan pada pasien (rasa
sakit,menyelamatkan)
7. Kewajiban untuk merahasiakan (etika >< hukum)
8. Prinsip keadilan dan fairness
9. Kelalaian
10. Malpraktek akibat salah diagnosis, tulisan yang buruk dan kesalahanterapi:
salah obat, salah dosis
11. Diagnosis kematian
12. Surat Keterangan Kematian
13. Penyidikan medikolegal untuk forensik klinik : kejahatan susila,
childabuse, aborsi dan kerahasiaan informasi pasien
Permasalahan dalam KGD dapat dicegah dengan :
1. Mematuhi standar operating procedure (SOP)
2. Melakukan pencatatan dengan bebar meliputi mencatat segala tindakan,
mencatat segala instruksi dan mencatat serah terima.

F. Proses Keperawatan Gawat Darurat


1. Waktu yang terbatas
2. Kondisi klien yang memerlukan bantuan segera
3. Kebutuhan pelayanan yang definitif di unit lain (OK, ICU)
4. Informasi yang terbatas
5. Peran dan sumber daya.

7
G. Lingkup Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan di Ruang ICU
ICU adalah ruangan perawatan intensif dengan peralatan-peralatan khusus
untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau kompikasi
lain. Misalnya terdapat sebuah kasus dalam sistem persyarafan dengan klien A
cedera medula spinalis, cedera tulang belakang, klien mengeluh nyeri, serta
terbatasnya pergerakan klien dan punggung habis jatuh dari tangga. Dengan
klien B epilepsi mengalami fase kejang tonik dan klonik pada saat serangan
epilepsi dirumahnya.
Dua kasus diatas memiliki sebuah perbedaan yang jelas dengan melihat
kasus tersebut, yang meski dilakukan oleh seorang perawat adalah melihat
kondisi si klien B maka lebih diutamakan dibandingkan dengan klien A karena
pada klien B kondisi gawat daruratnya disebabkan oleh adanya penyakit
epilepsi. Sedangkan untuk klien A dalam kondisi gawat darurat juga akan
tetapi ia masuk kedalam unit atau bagian gawat darurat (UGD) bukan berarti
tidak diperdulikan.

8
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BRAIN INJURY

A. Pengertian
Cedera kepala yang sinonimnya adalah terauma kapitis = head injury =
trauma kranioselebral = traumatic brain injury merupakan trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial, baik bersifat temporer maupun permanen (PERDOSI,
2006).
Sedangkan menurut Pedoman Penanggulangan Gawat Darurat Ems 119
Jakarta (2008), Trauma atau cidera kepala (Brain Injury) adalah salah satu
bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan
keseimbangan fisik, intelektual, emosional, social dan pekerjaan atau dapat
dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatic yang dapat menimbulkan
perubahan – perubahan fungsi otak.
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan
otak (Brunner dan Suddarth, 2001).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil. 2006).
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury
Assosiation of America, 2009).

B. Penggolongan Brain Injury Berasarkan Akibat Jejas


Jejas kepala.
1. Lesi primer
Hantaman langsung pada kepala. Akselerasi, deselerasi, rotasi. Fraktur
tulang tengkorak, sel neuron rusak, pembuluh darah robek.

9
2. Lesi sekunder
Proses patologik dinamis, komplikasi intracranial hematoma.
Intrakranial : epidural, subdural, subarachnoid, intraselebral,
pembengkakan otak, edema otak, TIK meningkat, aliran darah setempat
menurun, spasme pembuluh darah, infark.

C. Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

D. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera
otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku. Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.

10
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

11
E. Pathway

Trauma kepala

Trauma akibat deselerasi/akselerasi


Trauma jar. lunak Robekan dan distorsi

Cedera jaringan
Rusaknya jar. kepala Jar. Sekitar tertekan

Hematoma Ggg nyaman nyeri


Luka terbuka

Perubahan pada cairan lutra dan ekstra sel Edema


Resiko terhadap infeksi

Peningkatan suplai darah ke daerah trauma Vasodilatasi


i
Tekanan intra cranial

Aliran darah ke otak

Perubahan perfusi jar. serebral

Merangsang hipotalamus Merangsang inferior hipofise Kerusakan hemisfer motorik Hipoksia jaringan Penurunan kesadaran

Hipotalamus terviksasi Mengeluarkan steroid dan adrenal Penurunan kekuatan dan Kerusakan pertukaran Ggg persepsi Kekacauan
pada diensefalon tahanan otot gas motorik pola bahasa

Sekresi HCL di gaster


Retensi Na+H2o Ggg mobilisasi fisik Pernapasan dangkal Ggg komunikasi
verbal
Per. Nutrisi kurang dari
Ggg keseimbangan keb. tubuh 12 Pola napas tidak efektif
cairan dan elektrolit
(Soetomo, 2002)
F. Klasifikasi
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan,
cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan
laserasi.
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan
nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu:
1. Ringan
a. GCS = 13 – 15.
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS = 9 – 12.
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS = 3 – 8.
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

13
G. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi
dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah
keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas

14
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah 25
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges, 1999 yaitu:
1. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
2. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
3. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
4. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

15
7. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
8. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
10. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
11. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah 30.
13. Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk
mengatasi kejang.

I. Penatalaksanaan
Penanganan harus ditangani sejak dari tempat kecelakaan, selama
transfortasi, di ruang gawat darurat, kamar RO, sampai ruang operasi, ruang
perawatan/ ICU, monitor :derajat kesadaran, vital sign, kemunduran motoric,
reflex batang otak,monitor tekanan intracranial, monitor tekanan intracranial
dipelukan pada :Koma denganperdarahan intracranial atau contusion otak,
skala ko ma Glasgow < 6 (motoric <4), hilangnya bayangan ventrikel III dan
sisterne basalis pada CT scan otak, tight brain setelah evakuasi hematom,
trauma multiple sehinga memerlukan ventilasi tekanan positif intermiten
(IPPV).

16
Tindakan resusitasi :
1. Jalan nafas (Airway)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi, jika perlu pasang pipa oropharingeal (OPA) /
endotracheal, bersihkan sisa munta, darah, lender, atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa NGT untuk menghindari aspirasi
muntahan dan jika ada stress ulcer.
2. Pernafasan (Breathing)
Gangguan sentral : lesi medulla oblongata, nafas chyene stokes, dan
sentral neurogenic hiperventilasi. Gangguan perifer : aspirasi, trauma dada,
edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Tindakan oksigenasi, cari dan atasi
faktor penyebab, jika perlu pasang ventilator segera.
3. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi – iskemik- kerusakan sekunder otak. Hipotensi jarang akibat
kelainan intracranial, sering ekstracranial, akibat hiovolemik, perdarahan
luar, rupture organ dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau
pneumothorax, syok septic. Tindakan : hentikan sumber perdarahan,
perbaiki fungsi jantung,mengganti darah yang hilang dengan plasma darah.
Menurut Smelzer, 2001 penatalaksanaan cedera kepala adalah sebagai berikut:
1. Dexamethason/ kalmetason, sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.

17
J. Fokus Pengkajian
Menurut Doenges, 1999:
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran pasca trauma
2. Riwayat Kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem respirasi
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK.
c. Kemampuan komunikasi
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan, perubahan kesadaran,
letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia),
cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia
g. Integritas Ego
Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah tersinggung, delirium,
agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi.
h. Eliminasi
BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.

18
i. Makanan/cairan
Mual, muntah, perubahan selera makan, muntah (mungkin proyektil),
gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan. Perubahan kesadaran, koma, perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil
(respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan
pembauan serta pendengaran, postur (dekortisasi, desebrasi), kejang.
Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, wajah
menyeringai, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah.
l. Keamanan
Trauma/injuri kecelakaan Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan,
gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam,
perubahan regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajara
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang.
4. Diagnosa Yang Akan Muncul
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat.
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.

19
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial.
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran.
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.

5. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 Ds : Benturan kepala Perubahan perfusi
Do : jaringan serebral
a. Trauma kepala Trauma akibat
b. Embolisme deselerasi/akselerasi
c. Peningkatan
tekanan Cedera jaringan
intrakranial.
Hematoma

Perubahan pada cairan


lutra dan ekstra sel

Peningkatan suplai darah


ke daerah trauma

Tekanan intra cranial

Aliran darah ke otak

Perubahan perfusi
jaringan serebral
2 Ds : Tekanan intra cranial Pola napas tidak
Do : efektif
a. Perubahan Aliran darah ke otak
kedalaman
pernapasan Hipoksia jaringan
b. Bradipneu
c. kapasitas vital Kerusakan pertukaran gas

20
d. Penggunaan
otot aksesorius Pernapasan dangkal
untukbernapas
Pola napas tidak efektif
3 Ds : Tekanan intra cranial Gangguan
Do : keseimbangan cairan
a. Defisiensi Aliran darah ke otak dan elektrolit
volume cairan
b. Pengeluaran Merangsang hipotalamus
meningkat
Hipotalamus terviksasi
pada diensefalon

Retensi Na+H2o

Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit
4 Ds : Tekanan intra cranial
Perubahan nutrisi
Do : kurang dari kebutuhan
a. Kelemahan otot Aliran darah ke otak tubuh
mengunyah
b. Kelemahan otot Merangsang inferior
untuk menelan hipofise
c. Ketidakmampuan
untuk menelan Mengeluarkan steroid dan
makanan adrenal

Sekresi HCL di gaster

Perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh
5 Ds: Benturan kepala Gangguan nyaman
Do: nyeri
a. Merintih Trauma kepala
b. Gelisah
c. Peningkatan Trauma akibat
Tekanan darah deselerasi/akselerasi
d. Skala nyeri
Robekan dan distorsi

Jaringan sekitar tertekan

21
6 Ds : Cedera jaringan Gangguan mobilisasi
Do : fisik
a. Kesulitan Kerusakan hemisfer
motorik
mobilisasi
b. Keterbatasan Penurunan kekuatan dan
kemampuan tahanan otot
melakukan
motorik halus Gangguan mobilisasi
dan kasar fisik
7 Ds : Cedera jaringan Perubahan persepsi
Do : sensori
a. Penurunan Tekanan intra cranial
kesadaran
Aliran darah ke otak
b. peningkatan
tekanan intra Penurunan kesadaran
kranial.
Perubahan persepsi
sensori
8 Ds : Cedera jaringan Gangguan komunikasi
Do : verbal
a. Tidak dapat Tekanan intra cranial
berbicara
Aliran darah ke otak
b. Gangguan nervus
7 (vacial), pelo Penurunan kesadaran
c. Perubahan sistem
saraf pusat Kekacauan pola bahasa

Gangguan komunikasi
verbal
9 Ds : Benturan kepala Resiko tinggi infeksi
Do :
a. Pertahanan tubuh Trauma akibat
deselerasi/akselerasi
tidak adekuat
b. Kerusakan Trauma jaringan lunak
integritas kulit
c. Pemeriksaan Rusaknya jaringan kepala
penunjang
leukosit (normal Luka terbuka
10,8)
Resiko tinggi infeksi

22
6. Intervensi
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
1) Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal.
2) Krteria Hasil:
Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala.
a) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial.
b) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13.
c) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada
mutah.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kesadaran. 1. Mengetahui kestabilan
klien.
2. Pantau status neurologis 2. Mengkaji adanya
secara teratur, catat adanya kecendeungan pada tingkat
nyeri kepala, pusing. kesadaran dan resiko TIK
meningkat.
3. Tinggikan posisi kepala 15- 3. Untuk menurunkan tekanan
30 derajat. vena jugularis.
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi, 4. Peningkatan tekanan darah
input dan output, lalu catat sistemik yang diikuti
hasilnya. dengan penurunan tekanan
darah diastolik serta napas
yang tidak teratur
merupakan tanda
peningkatan TIK.
5. Kolaborasi pemberian 6. Mengurangi keadaan
oksigen hipoksia

23
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
1) Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pola nafas efektif.
2) Kriteria hasil:
a) Klien tidak mengatakan sesak nafas.
b) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot
dinding dada.
c) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat.
d) Bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
e) Kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman, 1. Hipoventilasi biasanya
frekuensi, irama nafas, terjadi atau menyebabkan
adanya sianosis. Kaji suara akumulasi/atelektasi atau
nafas tambahan (rongki, pneumonia (komplikasi yang
mengi, krekels). sering terjadi).
2. Atur posisi klien dengan 2. Meningkatkan ventilasi
posisi semi fowler 30o semua bagian paru,
Berikan posisi semi prone mobilisasi serkret
lateral/ miring, jika tak ada mengurangi resiko
kejang selama 4 jam komplikasi, posisi tengkulup
pertama rubah posisi miring mengurangi kapasitas vital
atau terlentang tiap 2 jam. paru, dicurigai dapat
menimbulkan peningkatan
resiko terjadinya gagal nafas.
3. Anjurkan pasien untuk 3. Membantu mengencerkan
minum hangat (minimal sekret, meningkatkan
2000 ml/hari). mobilisasi sekret/ sebagai
ekspektoran.

24
4. Kolaborasi terapi oksigen 4. Memaksimalkan bernafas
sesui indikasi. dan menurunkan kerja nafas.
Mencegah hipoksia, jika
pusat pernafasan tertekan.
Biasanya dengan
menggunakan ventilator
mekanis.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan


pengeluaran urine dan elektrolit meningkat.
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi.
2) Kriteria Hasil:
a) Menunjukan membran mukosa lembab.
b) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda klinis dehidrasi 1. Deteksi dini dan intervensi
atau kelebihan cairan. dapat mencegah
kekurangan/kelebihan
fluktuasi keseimbangan
cairan.
2. Catat masukan dan 2. Kehilangan urinarius dapat
haluaran, hitung menunjukan terjadinya
keseimbangan cairan, dehidrasi dan berat jenis
ukur berat jenis urine. urine adalah indikator hidrasi
dan fungsi renal.
3. Berikan air tambahan 3. Dengan formula kalori lebih
sesuai indikasi. tinggi, tambahan air
diperlukan untuk mencegah
dehidrasi.
4. Kolaborasi pemeriksaan 4. Hipokalimia/fofatemia dapat
lab. kalium/fosfor serum, terjadi karena perpindahan

25
Ht dan albumin serum. intraselluler selama
pemberian makan awal dan
menurunkan fungsi jantung
bila tidak diatasi.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan.
1) Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan
perawatan selama 3 x 24 jam.
2) Kiteria Hasil:
a) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab.
Dalam rentang normal.
b) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien 1. Faktor ini menentukan
untuk mengunyah dan terhadap jenis makanan
menelan, batuk dan sehingga pasien harus
mengatasi sekresi. terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat 2. Bising usus membantu
adanya penurunan/hilangnya dalam menentukan respon
atau suara hiperaktif. untuk makan atau
berkembangnya
komplikasi seperti
paralitik ileus.
3. Jaga keamanan saat 3. Menurunkan regurgitasi
memberikan makan pada dan terjadinya aspirasi.
pasien, seperti meninggikan
kepala selama makan atatu
selama pemberian makan
lewat NGT.
4. Berikan makan dalam porsi
kecil dan sering dengan 4. Meningkatkan proses

26
teratur. pencernaan dan toleransi
pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama
pasien saat makan
5. Kolaborasi dengan ahli gizi. 5. Metode yang efektif
untuk memberikan
kebutuhan kalori

e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.


1) Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
rasa nyeri dapat berkurang/ hilang.
2) Kriteria Hasil:
a) Skala nyeri berkurang 3-1.
b) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien
rileks.
Intervensi Rasional
1. Teliti keluhan nyeri, catat 1. Mengidentifikasi karakteristik
intensitasnya, lokasinya dan nyeri merupakan faktor yang
lamanya. penting untuk menentukan
terapi yang cocok serta
mengevaluasi keefektifan dari
terapi.

2. Catat kemungkinan 2. Pemahaman terhadap penyakit


patofisiologi yang khas, yang mendasarinya membantu
misalnya adanya infeksi, dalam memilih intervensi
trauma servikal. yang sesuai.

27
3. Berikan tindakan 3. Menfokuskan kembali
kenyamanan, misal perhatian, meningkatkan rasa
pedoman imajinasi, kontrol dan dapat
visualisasi, latihan nafas meningkatkan koping.
dalam, berikan aktivitas
hiburan, kompres.
4. Kolaborasi dengan 4. Tindakan alternatif
pemberian obat anti nyeri, mengontrol nyeri, Dibutuhkan
sesuai indikasi misal, untuk menghilangkan
dentren (dantrium) spasme/nyeri otot atau untuk
analgesik; antiansietas misal menghilangkan ansietas dan
diazepam (valium). meningkatkan istirahat.

f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi


sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
1) Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat
perawatan
2) Kriteria Hasil :
a) Tidak adanya kontraktur, footdrop.
b) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
c) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya.
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan 1. Mengidentifikasi kerusakan
dan keadaan secara secara fungsional dan
fungsional pada kerusakan mempengaruhi pilihan
yang terjadi. intervensi yang akan
dilakukan.

28
2. Berikan bantu untuk latihan 2. Mempertahankan mobilitas
rentang gerak. dan fungsi sendi/ posisi
normal ekstrimitas dan
menurunkan terjadinya vena
statis. Proses penyembuhan
yang lambat seringakli
menyertai trauma kepala dan
pemulihan fisik merupakan
bagian yang sangat penting.
3. Bantu pasien dalam program 3. Keterlibatan pasien dalam
latihan dan penggunaan alat program latihan sangat
mobilisasi. Tingkatkan penting untuk meningkatkan
aktivitas dan partisipasi kerja sama atau keberhasilan
dalam merawat diri sendiri program
sesuai kemampuan

g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,


peningkatan tekanan intra kranial.
1) Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan
perawatan selama 3x 24 jam.
2) Kriteria Hasil :
a) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
b) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi Rasional
1. Kaji kesadaran sensori 1. Semua sistem sensori dapat
dengan sentuhan, panas/ terpengaruh dengan adanya
dingin, benda tajam/tumpul perubahan yang melibatkan
dan kesadaran terhadap peningkatan atau penurunan
gerakan. sensitivitas atau kehilangan
sensasi untuk menerima dan
berespon sesuai dengan
stimulus.

29
2. Evaluasi secara teratur 2. Fungsi cerebral bagian atas
perubahan orientasi, biasanya terpengaruh lebih
kemampuan berbicara, alam dahulu oleh adanya gangguan
perasaan, sensori dan proses sirkulasi, oksigenasi.
pikir. Perubahan persepsi sensori
motorik dan kognitif mungkin
akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan
respon secara bertahap

3. Bicara dengan suara yang 3. Pasien mungkin mengalami


lembut dan pelan. Gunakan keterbatasan perhatian atau
kalimat pendek dan pemahaman selama fase akut
sederhana. Pertahankan dan penyembuhan. Dengan
kontak mata. tindakan ini akan membantu
pasien untuk memunculkan
komunikasi.

h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan


penurunan keseadaran.
1) Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
2) Kriteria hasil: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah
komunikasi dan klien dapat menunjukan komunikasi dengan baik.
Intervensi Rasional
1. Kaji derajat disfungsi. 1. Membantu menentukan daerah
atau derajat kerusakan serebral
yang terjadi dan kesulitan
pasien dalam proses
komunikasi.

30
2. Mintalah klien untuk 2. Melakukan penelitian terhadap
mengikuti perintah. adanya kerusakan sensori

3. Anjurkan keluarga untuk 3. Untuk merangsang komunikasi


berkomunikasi dengan klien pasien, mengurangi isolasi
sosial dan meningkatkan
penciptaan komunikasi yang
efektif..

i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan


kulit kepala.
1) Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam.
2) Kiteria Hasil:
a) Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu.
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5ᵒC).
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik 1. Cara pertama untuk
dan antiseptik, pertahankan menghindari nosokomial
teknik cuci tangan. infeksi, menurunkan jumlah
kuman patogen.
2. Observasi daerah kulit yang 2. Deteksi dini perkembangan
mengalami kerusakan, kaji infeksi memungkinkan untuk
keadaan luka, catat adanya melakukan tindakan dengan
kemerahan, bengkak, pus segera dan pencegahan
daerah yang terpasang alat terhadap komplikasi
invasi dan TTV. selanjutnya, monitoring
adanya infeksi.
3. Anjurkan klien untuk 3. Meningkatkan imun tubuh
memenuhi nutrisi dan terhadap infeksi.
hidrasi yang adekuat.

31
4. Batasi pengunjung yang 4. Menurunkan pemajanan
dapat menularkan infeksi terhadap pembawa kuman
infeksi.

7. Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata
berupa serangkaian kegiatan sistematis berdasarkan perencanaan untuk
mencapai hal yang optimal. Pada tahap ini perawat mnggunakan semua
kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan
terhadap klien baik secara umum maupun khusus. Pada pelaksanaan ini
perawat melakukan fungsinya secara independen, dependen dan
kolaborasi. Pada fungsi independen adalah mencakup semua kegiatan
yang diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Pada fungsi kolaborasi adalah dimana
fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi disiplin ilmu
yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan,sedangkan
fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat
berdasarkan atas pesan orang lain (Priyoto, 2015).
8. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan adalah tahapan menilai tindakan
keperawatan yang telah dilakukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan (Wilkinson, 2007).

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi, berpikir kritis dalam kegawatdaruratan ICU merupakan kemampuan
untuk berfikir jerinih dan rasional, yang meliputi kemampuan untuk berfikir
reflektif dan independen. Dikatakan reflektif dan independen yakni dengan
gerak cepat karena sudah terlatih, karena sebelumnya perawat yang bertugas di
ruang ICU sdah harus memiliki sertifikat khusus untuk menangani
kegawatdaruratan di ruang ICU.
B. Saran
Sebagai seorang calon perawat yang nantinya akan bekerja di suatu
institusi Rumah Sakit tentunya kita dapat mengetahui mengenai perspektif
keperawatan kritis dan kegawatdaruratan, dan ruang lingkup kritis dan
kegawadaruratan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, karena
manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar lagi dalam
penulisan makalah yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari pembaca, penulis
ucapkan terimakas

33
DAFTAR PUSTAKA

Sheffer, K Barbara. 2002. Berfikir Kritis dalam Keperawatan. Jakarta : EGC.

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

https://www.sribd.com/document/360649220/1-Konsep-Dasar-Gadar
( Di akses pada tanggan 07 November pukul 16.05 WIB).

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha medika.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2-babii.pdf
(Di akses pada tanggal 08 Novemberi 2017 pukul 14.48 WIB).

Nurarif, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penrapan Diagnosa


Nanda, NIC, NOC dalam berbagai kasus. Yogyakarta: MediAction

34

Anda mungkin juga menyukai