Anda di halaman 1dari 10

Kekuasaan dan Politik

A. Definisi Kekuasaan
Kekuasaan (power) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
memengaruhi perilaku orang lain, sehingga orang tersebut bertindak sesuai keinginannya.
Definisi ini mengimplikasikan sebuah potensi yang tidak perlu diaktualisasikan supaya efektif
dan sebuah hubungan ketergantungan. Aspek terpenting dari kekuasaan adalah bahwa hal ini
merupakan fungsi ketergantungan (dependency). Semakin bersar ketergantungan B pada A, maka
akan semakin besar pula kekuasaan A dalam hubungan tersebut. Seseorang dapat memiliki
kekuasaan atas diri anda hanya jika ia mengendalikan sesuatu yang anda inginkan.

B. Membandingkan Kepemimpinan dan Kekuasaan


Kedua konsep ini saling bertautan. Para pemimpin menggunakan kekuasaannya untuk
mewujudkan tujuan kelompok dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan kekuasaan
sebagai sarana untuk memudahkan usaha mereka tersebut. Salah satu perbedaan antara kedua
istilah itu terkait dengan kesesuaian tujuan. Kekuasaan tidak mensyaratkan kesesuaian tujuan,
tetapi hanya ketergantungan. Sebaliknya, kepemimpinan mensyaratkan keserasian antara tujuan
pemimpin dan mereka yang dipimpin.
Perbedaan yang kedua berkaitan dengan arah pengaruh. Kepemimpinan berfokus pada
pengaruh kebawah kepada arah pengikut. Kepemimpinan meminimalkan pola-pola pengaruh ke
samping dan ke atas. Sedangkan kekuasaan tidak demikian. Perbedaan lain lagi terkait dengan
penekanan penelitian.
Penelitian mengenai kepemimpinan, sebagian besar menekankan gaya. Penelitian tersebut
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa suportif semestinya seorang
pemimpin? Sampai tingkat mana proses pengambilan keputusan harus dilakukan bersama
dengan para pengikut? Sebaliknya, penelitian mengenai kekuasaan cenderung mencakup bidang
yang lebih luas dan terfokus pada taktik-taktik untuk memperoleh kepatuhan dari anak buah.
C. Landasan Kekuasaan
1. Kekuasaan Formal
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi seorang individu dalam sebuah organisasi. Kekuasaan
formal dapat berasal dari kemampuan untuk memaksa atau memberi imbalan, atau dari
wewenang formal.
a. Kekuasaan Koersif
Landasan kekuasaan koersif adalah rasa takut. Seseorang memberikan reaksinya terhadap
kekuasaan ini karena rasa takut terhadap akibat-akibat negative yang mengkin terjadi jika ia
tidak patuh. Kekuasaan ini mengandalkan ancaman aplikasi, sanksi fisik yang menimbulkan rasa
sakit, menimbulkan frustasi melalui pembatasan gerak, atau pengendalian paksa terhadap
kebutuhan dasar fisiologis atau keamanan.
b. Kekuasaan Imbalan
Kekuasaan imbalan adalah kebalikan dari kekuasaan koersif. Orang memenuhi keinginan atau
arahan orang lain karena dengan begitu, ia akan mendapatkan manfaat positif. Karena itu,
seseorang yang dapat membagikan imbalan atau penghargaan yang dipandang bernilai bagi
orang lain, akan memiliki kekuasaan atas orang itu. Imbalan ini bisa bersifat financial, termasuk
pengakuan, promosi, penugasan kerja yang menarik, dll.
c. Kekuasaan Legitimasi
Merupakan kekuasaan yang diterima oleh seseorang karena posisinya dalam hierarki formal
sebuah organisasi. Kekuasaan ini melambangkan kewenangan formal untuk mengendalikan dan
memanfaatkan sumber-sumber daya organisasi.

2. Kekuasaan Pribadi
Anda tidak perlu memiliki posisi formal dalam sebuah organisasi untuk memiliki kekuasaan.
Tetapi hanya perlu memiliki kekuasaan pribadi, yaitu kekuasaan yang berasal dari karakteristik
individual yang unik.
a. Kekuasaan karena Keahlian
Adalah pengaruh yang diperoleh dari keahlian, keterampilan khusus, atau pengetahuan. Keahlian
tealah menjadi salah satu sumber pengaruh yang paling kuat karena dunia sudah semakin
berorientasi pada teknologi.
b. Kekuasaan Rujukan
Merupakan pengaruh yang didasarkan pada kepemilikan sumber daya atau sifat-sifat pribadi
yang menyenangkan dari seseorang. Didasarkan pada identifikasi terhadap seseorang yang
memiliki sumber daya atau sifat-sifat personal yang menyenangkan. Jika seseorang menyukai,
menghormati, dan mengagumi kita, kita dapat menjalankan kekuasaan atas orang tersebut karena
orang itu ingin menyenangkan hati kita.

3. Landasan Kekuasaan Manakah yang Paling Efektif?


Dari tiga landasan kekuasaan formal dan dua landasan kekuasaan pribadi, manakah yang
terpenting untuk dimiliki merupakan rujukan yang positif berkaitan dengan kepuasan karyawan
terhadap penyeliaan, komitmen keorganisasian, dan kinerja mereka. Sedangkan kekuasaan
imbalan dan legitimasi tidak terkait langsung, dan kekuasaan koersif malah bisa menjadi
boomerang karena secara negative terkait dengan kepuasan dan komitmen karyawan.

D. Ketergantungan
Aspek terpenting dari kekuasaan adalah bahwa ini merupakan suatu fungsi ketergantungan.
Ketergantungan akan meningkat ketika sumber-sumber daya yang anda kendalikan itu penting,
langka, dan tak tergantikan.
1. Nilai Penting
Ketergantungan tercipta karena seseorang menginginkan untuk memiliki sesuatu hal yang
dimiliki oleh orang lain. Jika tidak ada yang menginginkan untuk memiliki sesuatu yang kita
miliki, maka ketergantungan orang lain pada kita tidak akan tercipta. Karena itu, untuk
menciptakan ketergantungan, hal-hal yang harus kita kontrol haruslah hal-hal yang di pandang
penting. Karenanya, kita akan menemukan bahwa individu atau kelompok yang dapat
menghilangkan ketidakpastian suatu organisasi akan dipandang sebagai penguasa sumber daya
yang penting.
2. Kelangkaan
Suatu sumber daya harus bisa di lihat sebagai sesuatu yang langka guna menciptakan
ketergantungan. Kepemilikan sumber daya yang langka menjadikan pemimpin bergantung pada
bawahan. Hal ini bisa menjelaskan berbagai perilaku bawahan yang dalam cara pandang lain
tampak tidak logis, seperti menghancurkan manual prosedur yang menguraikan bagaimana suatu
pekerjaan ditunaikan, menolak melatih orang lain dalam pekerjaan mereka atau bahkan
menunjukkan kepadanya cara yang benar dalam menjalankan pekerjaan tersebut, dll.
Hubungan kelangkaan-ketergantungan lebih jauh dapat dilihat dalam kekuasaan yang termasuk
kategori jabatan. Individu-individu yang memiliki jabatan dimana persediaan personel relatif
rendah dibandingkan dengan kebutuhannya dapat merundingkan paket-paket kompensasi dan
tunjangan yang jauh lebih menarik disbanding bila jumlah calonnya banyak.
3. Keadaan tak Tergantikan
Semakin sedikit pengganti yang tersedia bagi suatu sumber daya, semakin besar kekuasaan yang
diberikan oleh kontrol atas sumber daya tersebut. Di universitas-universitas yang menekan para
pengajar untuk menerbitkan karya mereka, dapat dikatakan bahwa kekuasaan seorang kepala
jurusan atas seorang tenaga pengajar berkorelasi terbalik dengan banyaknya publikasi tenaga
pengajar yang bersangkutan.

E. Taktik Kekuasaan
Taktik kekuasaan (power tactics) adalah cara individu menerjemahkan landasan kekuasaan ke
dalam tindakan-tindakan tertentu.
Penelitian telah mengidentifikasi sembilan macam taktik pengaruh:
 Legitimasi. Mengandalkan posisi kewenangan seseorang atau menekankan bahwa sebuah
permintaan selaras dengan kebijakan atau ketentuan dalam organisasi.
 Persuasi rasional. Menyajikan argumen-argumen yang logis dan berbagai bukti factual untuk
memperlihatkan bahwa sebuah permintaan itu masuk akal.
 Seruan inspirasional. Mengembangkan komitmen emosional dengan cara menyerukan nilai-
nilai , kebutuhan, harapan dan aspirasi sebuah sasaran.
 Konsultasi. Meningkatkan motivasi dan dukungan dari pihak yang menjadi sasaran dengan cara
melibatkannya dalam memutuskan bagaimana rencana atau perubahan akan dijalankan.
 Tukar pendapat. Memberikan imbalan kepada target atau sasaran berupa uang atau penghargaan
lain sebagai ganti karena mau manaati suatu peraturan.
 Seruan pribadi. Meminta kepatuhan berdasarkan persahabatan atau kesetiaan.
 Menyenangkan orang lain. Menggunakan rayuan, pujian, atau perilaku bersahabat sebelum
membuat permintaan.
 Tekanan. Menggunakan peringatan, tuntutan tegas, dan ancaman.
 Koalisi. Meminta bantuan orang lain untuk membujuk sasaran (target) atau menggunakan
dukungan orang lain sebagai alasan agar si sasaran setuju.

F. Kekuasaan dalam Kelompok: Koalisi

Koalisi (coalition) adalah suatu kelompok informal yang diikat bersama dengan sebuah isu
yang diperjuangkan bersama pula. Koalisi yang berhasil terdiri atas anggota-anggota yang
sifatnya cair dan bisa terbentuk secara cepat, menjangkau isu yang menjadi sasaran mereka, dan
cepat pula bubarnya.
Prediksi yang dapat kita buat mengenai pembentukan koalisi:
1. Penting bagi koalisi dalam organisasi untuk mencari dukungan seluas-luasnya demi tercapainya
sasaran ,mereka. Ini berarti memperluas koalisi untuk sebanyak mungkin menampung
kepentingan sebanyak mungkin.
2. Kadar kesalingtergantungan dalam organisasi. Lebih banyak koalisi tercipta bilaman terdapat
banyak ketergantungan tugas dan sumber daya. Sebaliknya, kesalingtergantungan dan aktivitas
pembentukan koalisi diantara berbagai subunit akan lebih sedikit, bilamana berbagai subunit itu
mandiri dengan sumber daya yang melimpah.
3. Tugas-tugas aktual yang akan dijalankan oleh para pekerja. Semakin rutin tugas sebuah
kelompok, semakin besar kemungkinan akan terbentuk koalisi.

G. Pelecehan Seksual: Ketidakseimbangan Kekuasaan di Tempat Kerja


Pelecehan seksual (sexual harassment) didefinisikan sebagai segala aktivitas yang bersifat
seksual yang tidak diinginkan dan mempengaruhi pekerjaan seorang individu, serta menciptakan
suasana kerja yang tak nyaman. Pelecehan seksual tidak hanya menimbulkan masalah hukum,
namun juga jelas-jelas berdampak negatif terhadap suasana kerja.
Para manajer memiliki tanggung jawab untuk melindungi karyawan mereka dari lingkungan
kerja yang tak menyenangkan, tetapi mereka juga perlu melindungi diri mereka sendiri. Para
manajer mungkin tidak menyadari bahwa salah seorang karyawan mereka mengalami pelecehan
seksual. Tetapi, hal itu tidak akan melindungi mereka atau organisasi mereka. Jika para
penyelidik hukum meyakini bahwa seorang manajer tahu tentang adanya pelecehan seksual di
lingkungan dibawah tanggung jawabnya, baik si manajer maupun perusahaan dapat dikenai
tanggung jawab.

H. Politik: Kekuasaan yang Bermain


1. Definisi
Perilaku politik (political behavior) dalam organisasi didefinisikan sebagai aktivitas yang
tidak dipandang sebagai bagian dari peran formal seseorang di dalam organisasi, tetapi yang
mempengaruhi, atau berusaha mempengaruhi, distribusi keuntungan dan kerugian di dalam
organisasi.
2. Realitas Politik
Politik adalah sebuah kenyataan hidup dalam organisasi. Organisasi terbentuk dari individu
dan kelompok dengan nilai, tujuan, dan kepentingan yang berbeda-beda. Faktor terpenting untuk
mendorong tumbuhnya politik di dalam organisasi adalah kesadaran bahwa sebagian besar
“fakta” yang digunakan untuk mendasarkan pengalokasian sumber daya yang terbatas itu terbuka
untuk ditafsirkan secara beragam.
3. Faktor-faktor yang Berkontribusi terhadap Perilaku Politik
Disini ada dua faktor yang dibahas berkaitan dengan kontribusi terhadap perilaku politik, yaitu:
a. Faktor individu
Para peneliti telah mengidentifikasikan sifat-sifat kepribadian tertentu, kebutuhan dan beberapa
faktor lain yang dapat dikaitkan dengan perilaku politik seseorang. Berkaitan dengan sifat,
biasanya para karyawan itu mampu:
 Merefleksikan diri secara baik
 Memiliki pusat kendali internal
 Memiliki kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan serta kemungkinan besar terlibat dalam
perilaku politik
Orang yang mampu merefleksikan diri dengan baik lebih sensitif terhadap berbagai tanda sosial,
mampu menampilkan tingkat kecerdasan sosial, dan terampil dalam berperilaku politik daripada
mereka yang kurang mampu merefleksikan diri
b. Faktor-faktor organisasi
Kegiatan politik lebih merupakan fungsi karakteristik organisasi ketimbang fungsi variabel
perbedaan individu karena tidak sedikit organisasi memiliki banyak karyawan dengan
karakteristik individu tetapi kadar perilaku politiknya sangat beragam. Goh dan Doucet (1986)
membuktikan bahwa yang lebih mendukung politik adalah situasi dan kultur tertentu. Selain itu,
kultur yang dicirikan dari tingkat kepercayaan yang rendah, ambiguitas peran, sistem evaluasi
kinerja yang tidak jelas, praktik-praktik alokasi imbalan zero sum, pengambilan keputusan secara
demokratis, tekanan tinggi terhadap pekerjaan dan manajer-manajer senior yang egois
menciptakan lahan yang subur bagi politisasi (Farrell dan Petersen, 1990).
Berikut ini pembahasan menurut Farrell dan Petersen, 1990:
- Tingkat kepercayaan yang rendah
Semakin kecil kepercayaan yang ada dalam organisasi, semakin tinggi tingkat perilaku politik
dan semakin mungkin perilaku politik itu akan tidak sah. Maka, tingkat kepercayaan yang sangat
tinggi umumnya menekan tingkat perilaku politik dan secara khusus akan menghambat tindakan
politik yang tidak sah.
- Ambiguitas peran
Artinya perilaku yang ditentukan untuk karyawan tidak jelas. Karena kegiatan politik
didefinisikan sebagai kegiatan yang tidak disyaratkan sebagai bagian dari peran formal
seseorang, semakin besar ambiguitas peran semakin banyak seseorang dapat terlibat dalam
kegiatan politik dengan peluang kegiatan terlihat kecil.
- Sistem evaluasi kinerja yang tidak jelas
Semakin banyak organisasi yang menggunakan kriteria subjektif dalam penilaian, menekankan
ukuran hasil yang sifatnya tunggal atau memakan waktu yang lama antara suatu tindakan dan
pemberian penghargaan, semakin besar pula kemungkinan karyawan lari dan menjalankan
politisasi.
- Praktik-praktik alokasi imbalan zero sum
Semakin menekankan pendekatan zero sum dalam kebijakan alokasi imbalannya maka karyawan
akan semakin termotivasi untuk melibatkan diri dalam politisasi. Pendekatan ini menganggap
bahwa imbalan adalah harga mati, jadi keuntungan apa pun yang didapat satu individu atau
kelompok harus diperoleh dengan mengorbankan individu atau kelompok lain.
- Pengambilan keputusan secara demokratis
Demokratis disini yaitu para manajer organisasi dituntut untuk lebih terbuka terhadap masukan
dari karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan mau mendengarkan saran dari
kelompok dalam proses yang sama. Sayangnya gerakan demokrasi ini tidak dianut oleh semua
manajer. Mayoritas mereka menggunakan kedudukannya untuk melegitimasikan kekuasaan dan
membuat keputusan sepihak.
- Tekanan yang tinggi atas kinerja
Semakin besar tekanan terhadap karyawan, semakin besar kemungkinan karyawan terlibat dalam
proses politisasi.
- Manajer-manajer senior yang egois
Ketika para karyawan melihat para manajer puncak berlaku politik, khususnya ketika mereka
berhasil melakukannya dan memperoleh imbalan atas keberhasilan itu, terciptalah sebuah
suasana yang mendukung politisasi.

4. Bagaimana Orang Menanggapi Politik Organisasi?


Berikut ini gambar tanggapan karyawan terhadap politik organisasi:

Ada beberapa penjelasan menarik mengenai hal tersebut. Pertama, hubungan politik dan
kinerja tampaknya dimoderatkan oleh pemahaman seorang individu tentang “bagaimana” dan
“mengapa” politik organisasi itu. Individu yang memiliki pemahaman jelas tentang siapa yang
bertanggungjawa untuk mengambil keputusan dan mengapa mereka dipilih untuk mengambil
keputusan akan lebih memahami bagaimana dan mengapa segala sesuatu terjadi sebagaimana
adanya dibanding individu yang tidak paham terhadap proses pengambilan keputusan dalam
organisasi. Kedua, ketika politik dipandang sebagai suatu ancaman dan senantiasa direspon
secara defensif, maka hasilnya negatif. Perilaku defensif adalah perilaku reaktif dan protektif
untuk menghindari aksi, disalahkan, atau perubahan.

5. Mengelola Kesan
Manajemen kesan (impression management) adalah proses yang digunakan para individu
untuk mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadap diri mereka. Orang yang
mempunyai kesadaran tinggi biasanya pandai membaca situasi serta mendandani penampilan dan
perilaku agar sesuai dengan situasi tersebut. Manajemen kesan tidak mengimplikasikan bahwa
kesan yang orang tampilkan pasti palsu. Misalnya, saya meyakini sepenuhnya bahwa iklan
sedikit sekali memberikan kontribusi pada area penjualan saya. Tetapi missinterpretasi bisa
sangat merugikan. Jika saya membangun citra palsu jelas saya akan rugi. Oleh karenanya setiap
pengelola kesan harus berhati-hati agar tidak dicap sebagai orang munafik.
Efektivitas teknik-teknik manajemen kesan dikaitkan dengan dua kriteria, yaitu:
1. Kesuksesan wawancara
Misalnya pewawancara merasa bahwa pelamar untuk posisi customer service reprentative
menggunakan teknik-teknik manajemen kesan tampil lebih baik dalam wawancara dan mereka
cenderung merekrut tipe orang seperti ini. Para pelamar yang menggunakan teknik-teknik
manajemen konsep yang berfokus pada promosi diri dengan para pelamar yang berfokus pada
menjilat, umumnya pelamar menggunakan yang promosi diri (Stevens dan Kristof).
2. Evaluasi kinerja
Dalam evaluasi kinerja, menjilat berhubungan positif dengan peringkat kinerja, artinya mereka
yang menjilat para penyelia mendapatkan evaluasi kinerja yang lebih tinggi. Menjilat selalu
berhasil karena setiap orang senang diperlakukan baik, baik itu pewawancara maupun penyelia.
Jadi jika Anda akan mempromosikan diri harus ingat bahwa apa yang berhasil dalam wawancara
tidak selalu berhasil ketika Anda sudah bekerja.
6. Etika Berperilaku secara Politis
Menurut buku Stephen Robbins dan Timothy Judge, ada beberapa pertanyaan yang harus
dipertimbangkan dalam membedakan proses politik yang etis ataupun tidak etis, yaitu:
1. Apa gunanya berperilaku seperti itu?
Contohnya, Alvin bekerja di PT PLN (Persero) tetapi mengklaim dirinya bekerja di PT
Pertamina (Persero), padahal sebenarnya tidak bekerja di Pertamina. Kebohongan terang-
terangan seperti ini bisa menjadi contoh yang agak ekstrim dari pengaturan kesan tetapi banyak
dari kita mendistorsi informasi menjadi sebuah kesan yang menyenangkan. Sebelum kita berbuat
demikian, kita harus mengingat apakah hal tersebut sepadan dengan risikonya.
2. Bagaimana manfaat terlibat dalam perilaku politik mengimbangi segala bahaya yang akan
mengenai orang lain?
Contohnya, memuji penampilan seorang manajer untuk cari perhatian/nama lebih aman daripada
merampas kepercayaan proyek yang menjadi hak orang lain.
3. Apakah kegiatan politik selaras dengan standar kesetaraan dan keadilan?
Misalnya, kepala departemen membaguskan evaluasi kinerja terhadap seorang karyawan yang
disukai dan menjelekkan evaluasi terhadap seorang karyawan yang tidak disukai. Disini kepala
departemen bertindak subjektif dan menimbulkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Sumber Pustaka:
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. Perilaku Organisasi. Buku 2. 2008. Penerbit Salemba
Empat: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai