Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
BAB II..................................................................................................................................................... 3
KASUS ................................................................................................................................................... 3
BAB III ................................................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................................... 8
1. Definisi........................................................................................................................................ 8
2. Patofisiologi ................................................................................................................................ 8
3. Etiologi...................................................................................................................................... 10
4. Diagnosis Klinis ........................................................................................................................ 12
5. Pemeriksaan Diagnosis ............................................................................................................. 13
6. Penatalaksanaan ........................................................................................................................ 14
6.1 Terapi Cairan..................................................................................................................... 15
6.2 Terapi Insulin .................................................................................................................... 16
6.3 Terapi Kalium ................................................................................................................... 16
6.4 Terapi Bikarbonat ............................................................................................................. 17
6.5 Terapi Fosfat ..................................................................................................................... 17
6.6 Transisi Insulin Subkutis ................................................................................................... 17
7 Komplikasi ................................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 19

1|Laporan Kasus HHS


BAB I
PENDAHULUAN

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada pasien
dengan diabetes militus (DM), baik tipe 1 ataupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius dan mengancam nyawa yang bisa juga terjadi pada pasien dengan DM
yang terkontrol dengan baik, Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam dua bentuk,
Ketoasidosis diabetikum dan status hyperosmolar hiperglikamia. Ketoasidosis diabetikum
dikondisikan dengan adanya asidosis metabolic akibat pembentukan keton yang berlebihan,
sedangkan HHS ditandai dengan hiperosmolaritas berat dan kadar glukosa darah yang lebih
tinggi dibanding KAD (1).

Sayangnya laporan insidensi, epidemiologi dan angka kematian KAD masih belum
bisa ditentukan karena belum ditemukannya kesepakatan mengenai definisi KAD. Sindroma
ini memiliki trias yang terdiri dari hiperglikemia, asidemia, dan ketosis. Kriteria diagnosis
dari KAD adalah pH arterial kurang dari 7.3, kadar bikarbonat kurang dari 15 mEq/L. dan
kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dl disertai ketonemia dan ketonuria sedang (2).

Status hiperglikemi hyperosmolar pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz
pada tahun 1957. HHS didefinisikan sebagai hiperglikemia ekstrim, osmolaritas tinggi, dan
dehidrasi tanpa adanya ketosis dan asidosis yang signifikan. Hiperglikemia pada HHS
biasanya lebih tinggi dibanding KAD, dengan kadar glukos lebih dari 600 mg/dl biasanya
dipakai sebagai kriteria diagnostik. HHS lebih sering ditemukan pada usia tua atau pada
kelompok yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat (2).

Dahulu HHS memiliki beberapa nama dan akronim diantaranya nonketotik


hipertoonisitas, hyperosmolar nonketotik, dan yang paling sering hyperosmolar hiperglikemin
non ketotik koma. Tetapi nama tersebut diganti dikarenakan ringannya ketosis, dan jarangnya
pasien dengan keadaan koma (1) (3).

Angka mortalitas HHS adalah 10-50 persen, lebih tinggi dibanding pasien KAD.
Akan tetapi data pasti dari angka mortalitas sulit dinilai karena tingginya insidensi dari
penyakit penyertanya. Usia, derajat dehidrasi, hemodinamik yang tidak stabil, penyakit
penyerta yang mencetus HHS, dan kesadaran semuanya merupakan predictor terjadinya
kefatalan (1).

2|Laporan Kasus HHS


BAB II
KASUS

I. Identitas Pasien
 Nama : Ny. TK
 Tanggal Lahir : 5 September 1959
 Usia : 58 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Pekerkerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Alamat : Jl. Sukasari RT 07/RW 04
II. Anamnesis (Autoanamnesis 28 Oktober 2017)
Keluhan Utama
Lemas sejak 2 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Lemas sejak 2 minggu SMRS, 2 minggu SMRS nafsu makan menurun dan sudah dari
kemarin tidak mau makan sama sekali, perut rasanya tidak nyaman, mual, pagi tadi
muntah 1x isi cairan lidah terasa pahit, minum juga berkurang, sejak 1 hari SMRS ingin
tidur terus, punggung sedikit pegal sejak 7 hari SMRS, tidak merasa demam, tidak ada
batuk, tidak ada pilek, pasien merasa agak pusing, BAK 5 hari ini anyang-anyangan,
nyeri berkemih disangkal, BAB tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien memiliki diabetes militus >5 tahun
 Pasien menyangkal memiliki penyakit hipertensi
 Pasien tidak pernah mengalami stroke
 Pasien tidak memiliki penyakit darah tinggi
 Pasien tidak pernah mengalami penyakit batu ginjal
 Pasien tidak pernah mengalami sakit TBC

3|Laporan Kasus HHS


Riwayat Pengobatan
 Pasien konsumsi metformin 3x500mg tiap hari, tetapi obat sudah tidak diminum satu minggu
ini

Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluarga tidak ada yang memiliki gejala yang sama dengan pasien
 Ayah pasien meninggal karena penyaki diabetes, saudara laki-laki pasien memiliki
penyakit diabetes militus
III. Pemeriksaan Fisik (Tanggal 8 Januari 2016)
- Kesadaran : Letargis
- KU : Tampak sakit sedang
- GCS : E3V5M6
- TTV :
o Tekanan darah : 110/70 mmHg
o Frekuensi nadi : 120 kali/menit
o Frekuensi napas : 24 kali/menit
o Suhu tubuh : 36,7 °C
o SpO2 : 99%
o BB : 48 kg

- Kepala : Normochepale, KA-/-, SI -/-, mukosa bibir kering


- Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba
- Thorax : Bunyi nafas vesikuler di kedua lapang paru, rh -/-, wh -/-
BJ S1/S2 Reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : Perut datar, BU (+), NT epigastrium (+), CVA (-/+)
- Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat udem, CRT <2”

IV. Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 11.7 g/dL 12-15
Eritrosit 4.0 x10ˆ6/ul 3.8-4.8
Leukosit 6500 /ul 4000-10000

4|Laporan Kasus HHS


Hematokrit 36 % 38-46
Trombosit 414 x10ˆ3/ul 150-400
MCV 82 Fl 83-101
MCH 29 Pg 27-32
MCHC 36 g/dl 32-35
LED 10 Mm <20
LYM 26 % 20-40
MXD 8 % 3-12
NEUT 66 % 52-72

Diabetes
HbA1C 8.4 % <6.5
GDS 635 Mg/dL <140

Fungsi Ginjal
Ureum 61 Mg/dL 10-50
Kreatinin 0.94 Mg/dL 0.5-0.9

Fungsi Hati
SGOT 29 U/L 0-31
SGPT 51 U/L 0-32

Elekreolit
Natrium 124 Mmol/l 135-145
Kalium 6.1 Mmol/L 3.5-5.0
Klorida 88 Mmol/L 97.0-170.0

Urinalisa
Warna Kuning
Kejernihan Keruh

5|Laporan Kasus HHS


Kimia Urin
Berat Jenis 1.025 1.015-1.025
pH 5.0 5-6
Glukosa 3+ Negatif
Kreatinin Trace Negatif
Protein Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Nitrit Positif/+ Negatif
Leukosit 3+ Negatif
Esterase

Sedimen Urin
Leukosit 15-20 /LPB <5
Eritrosit 1-2 /LPB <3
Silinder 0 /LPB 0-2
Epitel Positif/+
Bakteri Negatif
Jamur Negatif
Kristal Negatif
Lain-lain Negatif

V. Resume
Pasien datang ke UGD RSUK Kemayoran malaise sejak 2 minggu SMRS, rasa ingin tidur
terus, anoreksia 2 minggu SMRS, nausea, vomitus 1x isi cairan, dispepsia, minum juga
berkurang, 7 hari SMRS punggung sedikit pegal, 5 hari SMRS polakisuria, pusing. DM >
5 tahun, metformin 3x1 tab, tidak teratur. Keadaan umum tampak sakit sedang, letargis,
E3V5M6 GCS 14. TD 110/70, HR 120 x/menit, RR 24 x/menit, SpO2 99%, Suhu 36.7 C,
dan BB 48 kg. Mukosa bibir kering, Costo Vetebrae Angel -/+. Laboratorium GDS 635
mg/dl, Hb 11.7 g/dl, HbA1c 8.4%, SGPT 51 u/l, Natrium 125 mmol/L, kalium 6.1

6|Laporan Kasus HHS


mmol/L, klorida 88 mmol/L, Urinalisis didapatkan glukosa 3+, nitrit positif, leukosit
esterase 2+, urin sedimen ditemukan leukosit 15-20 /LPB, Epitel postif, Bakteri 2+.
VI. Diagnosis
Hiperglikemia at causa Hyperglicemia Hyperosmolarity State
Infeksi saluran kemih
VII. Diferensial Diagnosis
Ketoasidosis Diabetikum
VIII. Penatalaksanaan
 Loading NaCl 0.9% 1000 cc/jam
 Bolus Insulin 0.15 Unit/KgBB  7 unit
 Infus Insulin 0.1 Unit/kgBB/jam  4 unit/jam
 Ceftriaxon 1x2gr drip dalam 100cc NaCl 0.9% dalam 24 jam
IX. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia Ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia Ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia Ad Bonam

7|Laporan Kasus HHS


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Hiperosmolar hiperglikemik state adalah sebuah syndrome yang ditandai dengan
(4) (3)
hiperglikemia yang berat, hiperosmolaritas dan dehidresi tanpa adanya ketoacidosis .
Hiperosmolaritas hiperglikemi state (HHS) merupakan salah satu gangguan metabolik yang
(4)
cukup serius pada pasien diabetes militus . Termasuk kasus emergensi yang mengancam
nyawa, meskipun kejadiannya tidak sesering ketoasidosis dibetikum, tetapi angka
mortalitasnya cenderung lebih tinggi, bisa mencapai 5-10%. Hiperosmolar hiperglikemia
sebelumnya disebut dengan koma hyperosmolar hipergikemia nonketotik, tetapi terminology
tersebut sudah tidak dipakai, dikarenakan pasien yang ditemukan dengan keadaan koma tidak
sampai 20%.

HHS lebih sering ditemukan pada lansia dengan DM tipe 2, meski begitu terdapat
laporan bahwa HHS juga ditemukan pada anak-anak, dan dewasa muda. Gangguan ini biasa
diikuti dengan beberapa penyakit penyerta yang dapat menyebabkan intake cairan berkurang
salah satunya dan paling sering adalah infeksi, tetapi penyakit lain seperti infark miokard dan
stroke juga bisa menjadi penyakit penyerta HHS (4) (5).

Tanda gejala pada HHS disebabkan dehidrasi yang timbul akbat hiperglikemik yang
berlebihan, hiperomolar, dan diuresis osmotik, ketiga hal tersebut juga bisa menybabkan
(5)
gangguan kesadaran . Kebanyakan pasien yang mengalami dehidrasi berat, akan
menunjukan penurunan neurologis secara focal ataupun global (5) (3).

2. Patofisiologi
HHS memiliki patofisiologi yang serupa dengan ketoasidosis diabetikum (KAD),
tetapi derajat defisiensi insulinnya lebih rendah dibanding KAD. HHS dikarakteristikan
dengan penikatan konsentrasi gula darah yang sangat ekstrim, dan hiperosmolaritas tanpa
adanya ketosis. Gangguang metabolic tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu,
defisiensi insulin, dan peningkatan kadar hormone konter regulatori (glucagon, ketokalamine,
kortisol dan growth hormone). Timbulnya hiperglikemia diakibatkan peningkatan
gluconeogenesis dan bersamaan glycogenolisis (pemecahan glycogen menjadi glukosa), serta
penggunaan glukosa yang tidak adekuat oleh jaringan perifer dan otot-otot. Peningkatan
konsentrasi glukosa dan osmolaritas cairan ekstraselular,lonjakan osmolaritas menyebabkan
cairan keluar dari sel. Filtrasi glomerulus meningkat, menyebabkan glukosuria dan diuresis

8|Laporan Kasus HHS


osmotic. Selama glomerular filtration rate masi norma, glukosria yang timbul pertama dapat
mencegah timbulnya hiperglikemia berat, meski begitu, diuresis osmotic yang terus berlanjut,
minimbulkan hipovolemia, yang menyebabkan penurunan glomerular filtration rate yang
progresif, dan menyebabkan hiperglikemi berat (4).

Tingginya konsentrasi insulin daan rendahnya glukagon di hepatik dan selular pada
(4)
pasien HHS mencegah timbulnya ketogenesis dan timbulnya ketoasidosis . HHS terjadi
pada pasien DM tope 2 yang memiliki nilai sekresi endogen insulin residual yang bervariasi.
Meski endogen insulin residual tidak dapat menstimulasi pengguanaan glukosa, dan menekan
produksi glukosa hepatic, tetapi dia dapat mengontrol lipolysis. Hal tersebut karena lipolysis
lebih sensitive terhadap insulin, oleh karena itu, mencegah asam lemak bebas mengalir ke
hati dan berkembang menjadi ketoacidosis. Resistensi glucagon juga bisa dipertimbangkan (5).
Hiperosmolariti juga dapat menurunkan lipolysis, dan membatasi kadar asam lemak bebas
yang ada untuk ketogenesis.

Hiperglikemia berhubungan dengan inflamasi berat yang ditandai dengan peningkatan


sitokin proinflamasi (tumor nekrosis faktor-α, interleukin (IL)ß, IL6, dan IL8) dan reactive
oxygen species. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan pada marker stress oxidative
seperti lipid peroxide. Pada pasien diabetes kadar lipid peroxide sebanding dengan
konsentrasi glucose. Gagasan tersebut muncul beberapa mechanism, termasuk peningkatan
polyol pathway flux, peningkatan produk sisa dari glycation lanjutan intraselular, aktifasi
protein kinase C, atau produksi berlebihan dari superoxidase oleh rantai transport electron
mitokondria. Meningkatnya sirkulasi sitokin proinflamasi dapat turun menjadi normal akibat
respon terapi insulin dan normalisasi konsentrasi dari glukosa darah (4) (5).

9|Laporan Kasus HHS


3. Etiologi
HHS paling sering terjadi pada pasien DM tipe 2 yang memiliki penyakit penyerta
yang dapat menyebabkan intake cairan berkurang. Kelompok yang paling beresiko
daantaranya pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis, dimana pada beberapa kasus

10 | L a p o r a n K a s u s H H S
rasa haus menurun, atau yang konsumsi airnya dibatasi. Faktor penyebab yang bisa mencetus
terjadinya HHS dibagi menjadi 6 kategori, diantaranya, infeksi, pengobatan, ketidakpatuhan
berobat, tidak terdiagnosis, dan penyakit penyerta. Secara umum, penyakit apapun yang
menyebabkan dehidrasi ataupun yang dapat menurunkan insulin dapat menyebabkan HHS.
Penyakit dengan kondisi febris akut, termasuk infeksi, merupakan penyebab terbanyak di
HHS. Diketahui bahwa sebanyak 57.1% pasien HHS disebabkan karena infeksi. Pneumonia,
infeksi saluran kemih, dan sepsis merupakan salah satu penyebab tersering, tetapi terkadang
dibeberapa pasien ada juga yang tidak memiliki penyakit penyerta (6) (1).

Penyakit penyerta yang dapat memicu HHS selain infeksi diantaranya gangguan
cerebrovascular (stroke), infract miokard, dan trauma, kondisi tersebut yang memicu
pelepasan hormone counterregulatory dengan/atau menyebabkan kehilangan cairan yang
hasilnya adalah dehidrasi berat dan HHS. Pasien dengan congestive heart failure (CHF) dan
gangguan fungsi ginjal, meningkatkan risiko terjadinya HHS (4).

Beberapa obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa serum, menghambat insulin
atau menyebabkan dehidrasi juga dapat mempicu HHS, diantaranya adalah
glukokortikotiroid, thiazide diuretic, phenytoin, ß-blocker,alkohol dan kokain, obat-obat
anesthesia, propranolol, cimetidine, interferon proteaso inhibitor, statin dan beberapa
antipsychotics atipikal (CPZ, clozapine, olanzapine, lithium, risperidone, duloxetine) (4) ( (7).

Pasien yang menerima nutrisi atau cairan parenteral yang mengandung dextrose juga
meningkatkan risiko HHS. Nutrisi parenteral yang mengandung suplemen lemak dapat
menyebabkan insulin resistensi, dan hiperglikemia. Pasien DM yang tidak teratasi dengaan
obat antihiperglikemi oral atau dengan terapi insulin juga dapat menyebabkan HHS.

11 | L a p o r a n K a s u s H H S
4. Diagnosis Klinis
Secara klinis gejala pada pasien KAD dan HHS dapat serupa, tetapi untuk
membedakannya, dari anamnesis, manifestasi KAD umum berlangsung dalam waktu yang
singkat, dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsi dan penurunan berat
badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum timbul ketoasidosis, muntah, dan
nyeri perut. Nyeri perut yang menyerupai gejala akut abdomen, sering ditemukan pada 40-
75% kasus KAD. Dari suatu penelitian, diketahui bahwa kemunculan nyeri perut dapat
dikaitkan dengan kondisi asidosis metabolic, namun bukan karena hiperglikemia atau

12 | L a p o r a n K a s u s H H S
dehidrasi. Sedangkan untuk HHS menifestasi klinis umumnya timbul beberapa hari hingga
beberapa minggu. Pasien juga dapat mengalami polyuria, polydipsia, dan penurunan
kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi, tetapi nyeri perut pada
pasien HHS jarang ditemukanl. Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan tanda dehidrasi yang
sangat berat, tida ditemukan bau nafas keton, dan hingga status mental sampai koma (2) (8).

Pada pemeriksaan fisik, dehidrasi berat dimanifestasi dengan penurunan turgor


jaringan, dan umumnya pada pasien lansia sulit untuk dinilai, membrane mukosa bukal
kering, mata cekung, ektremitas teraba dingin, nadi yang cepat dan halus. Distensi abdomen
bisa muncyl dikarenakan gastoparesis yang disbabkan hipertonisitas, dimana perbaikannya
setelah rehidrasi yang adekuat (1) (8).

Status mental dapat beragam, dari sadar, disorientasi, letargi ataupun koma. Gangguan
neurologis tersebut berhuhubang lagsung dengan osmolaritas serum, pada pasien koma
umumnya osmolaritas serum >350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Pada pasien HHS
sebebanyak 25% persen bisa mengalami kejang, bisa berupa general, fokal, mioklonik,
ataupun jerking. Hemiparesis juga bisa muncul, tetapi akan kembali normal setelah koreksi
cairan yang berkurang (3) (1) (8).

5. Pemeriksaan Diagnosis
Dari temuan laboratorium pada pasien dengan HHS, diketahuin terdapat peningkattan
gula darah yaitu >600mg per dL (33.3mmol per L) dan peningkatan osmolaritas serum (>320
mOsm per kg of water, dimana nilai norma 250±5), dengan nila pH >7.3, tidak ditemukan
ketonemia, atau terdapat ketonemia ringan, serumbikarbonat >15 mEq/L. Separuh pasien
menunjukan adanya anion-gap asidosis metabolic yang ringan (10-12). Apabila anion gapnya
berat (>12) makan harus diferensial diagnosis KAD harus dipertimbangkan. Muntah dan
penggunan diuretic thiazide dapat menyebabkan alkalosis yang menutuoi asidosis berat.
Kadar kalium dapat meningkat atau normal. Dari sebuah penelitian diketahu nilai rata-rata
(mean) kadar Kalium pada HHS adalah 5,7mEq/L, hal tersebut diakibatkan bergesernya
kalium dari intraselular ke ekstralelular akbita academia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas.
Creatinin, blood urea nitrogen (BUN) dan hematrokit seringnya meningkat. Kebanyakan
HHS menyebabkan penurunan beberapa elektorli dalam tumbuh (3) (1) (2).

Ketika terdapat peningkatan kadar gula, kadar natrium harus dikoreksi. Jenis cairan
yang diberikan harus disesuaokan dengan koreksi kadar natrium (1).

13 | L a p o r a n K a s u s H H S
1.65𝑥(𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 (𝑚𝑔𝑝𝑒𝑟 𝑑𝐿) − 100)
𝐾𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑁𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 = 𝑁𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚(𝑚𝐸𝑞 𝑝𝑒𝑟𝐿) +
100

Untuk menilai osmolaritas salah satunya adalah penilaian kadar BUN, karena
distribusinya di ruang intraselular dan ekstraselular, tetapi BUN tidak berkontribusi dalam
effektifitas osmolaritas serum (1).

𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 (𝑚𝑔 𝑝𝑒𝑟 𝑑𝑙)


𝐸𝑓𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑣𝑒 𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑂𝑠𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 = (2 × 𝑛𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 [𝑚𝑒𝑞 𝑝𝑒𝑟 𝐿] +
18

Cara menghitung osmolalitas serum total adalah:

𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 (𝑚𝑔 𝑝𝑒𝑟 𝑑𝑙) 𝐵𝑈𝑁


𝑂𝑠𝑚𝑜𝑙𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = (2 × 𝑛𝑎𝑡𝑟𝑖𝑢𝑚 [𝑚𝑒𝑞 𝑝𝑒𝑟 𝐿] + +
18 2.8

6. Penatalaksanaan
HHS dan KAD memiliki tujuan terapi yang samapenggantian volime sirkulaei
(rehidrasi), dan perfusi jaringan, penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan
osmolalitas plasma, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, perbaikan keadaan ketoacidosis
pada KAD, atasi faktor pencetus, monitoring, dan intervensi terhadap gangguan fungsi
kardiovaskuler, paru, ginjal dan susunan sarf pusat (3) (2).

14 | L a p o r a n K a s u s H H S
6.1 Terapi Cairan
Pasien dengan HHS memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan
100ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan untuk mencukupi volum intravascular dan
restorasi perfusi ginjal. Terapi cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah. Cairan
Salin (NaCl 0.9%) dimasukan secara intravena dengan kecepatan 500 hingga 1000ml/jam
selama satu jam pertama, kemudian 500-1000ml.jam dengan menggunakan Nacl 0.45% atau
0.9% selama dua jam berikutnya Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih dari
3mOsm/jam. Namun jika pasien mengalami syok hipovolemik, maka cairan isotonic ketiga
atau keempat dapat digunakan untuk memberikan tekanan darah yang stabil dan perfusi
jaringan yang baik. Dengan pemberian terapi rehidrasi dapay menurukan hormon
cunterregolatori dan menurunkan tekanan darah sehingga meningkatkan sensitivitas insulin (3)
(1) (2).

Dextrose harus diberikan apabila konsentrasi glukosa dara <250mg/dl pada KAD, dan
<300mg.dl pada HHS. Cairan dextrose yang diberikan adalaha dextrose 5% tetapi pada
beberapa dengan dextrose 10% diperlukan untuk memaintai kadar glukosa plasma dan
menghlangkan ketonemia. Pemberian ini dibarangi dengan pemberian insulin hingga ketosis

15 | L a p o r a n K a s u s H H S
pada pasien KAD menghilang dan mencegah terjadinya hipergklikemia yang dapat
berkembang menjadi edem serebral (3).

6.2 Terapi Insulin


Penggunaan insulin dosis rendah dapat mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia dan
hypokalemia. Pemberian insulin bertujuan untuk meningkatkan penggunan glukosa oleh
jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati, sehingga dapat menurunkan
konsentrasi glukosa dalam darah. Selain itu pemberian insulin juga berguna dalam
menghambat pengeluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa, dan mengurangi
ketogenesis (2).

Insulin awal diberikan secara bolus sebesae 0.15 U per kg secara intravena, diikuti
dengan drip 0.1 U per kg per jam hingga kadar glukosa darah turun hingga 250mg/dl-
300mg/dl. Apabila glukosa tidak turun hingga 50070 mg/dl per jam, pemberiannya boleh
digandakan (2) (1) (8).

Ketika serum glukosa menjadi kurang dari 300 mg per dL, infus insulin diturunkan
menjadi 0.05 U per kg per jam, dan cairan dextrose 5-10% harus dimasukan. Selama terapi
kadar glukosa darah harus dinilao setiap 1-2 jam. Setiap 2-4 jam darah diambil untuk menilai
serum elektrolit, glukosa, blood urea nitrogen, creatinin, magnesium, phosphate, dan pH
darah (2) (8).

6.3 Terapi Kalium


Secara umum, tubuh dapat mengalami deficit kalium sebesar 3-5 mEq/kg BB. Namun
kadar kalium juga bisa menunjukan kisaran normal atau bahkan meningkat. Peningkatan
kadar kalium dapat disebabkan oleh kondisi asidosi, defisiensi insulin, dan hipertonisitas.
Dengan terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat ini dapat
terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah timbulnya
hipolakalemia, pemberian kalium secara intravena dapat diberikan. Pemberian kalium
intravena dapat diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5 mEq/L (2).

Pada pasien hiperglikemia yang berat pemberian insulin dapat memicu hypokalemia,
sehingga dapat menimbulkan aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Maka dari itu apabila
kadar kalium darah kurang dari 3.3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena harus segera
diberikan dengan menggunakan KCl sebesar 40mEq/h, dan terpai insuli harus ditunda hingga
kadar kalium darah mencapai lebih atau sama dengan 3.3 mEq/L (8) (2).

16 | L a p o r a n K a s u s H H S
6.4 Terapi Bikarbonat
Pemberian bikarbonat pada pasien HHS tidak diperlukan, sedangkan pada pasien
KAD masih merupakan kontrovesi Pada pH lebih dari 7.0, aktivitas insulin menghambat
lipolysis dan ketoasidosis dapat hilang tanpa pemberian bikarbonat. Pemberian bikarbonat
dapat diberikan secara bolus atau inravena dalam cairan isotonic dengan dosis 1-2 mEq/kg
BB (2).

6.5 Terapi Fosfat


Pada pasien KAD konsentrasi fosfat dapat normal ataupun meningkat. Dengan
pemberian insulin konsentrasi fosfat bisa menurun. Pemberian fosfat yang berlebihan dapat
mengakibatkan hipokalsemia yang berat tanpa adanya gejala tetani. Meski begitu untuk
menghindari timbulnya kelainan jantung, kelemahan otot, dan depresi pernapasan oleh karena
hipofosfatemia, penggantian fosfaot dapat diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia atau depresi pernapasan dan pada pasien dengan kadar serum phosphate
kurang dari 1.0 mEq per L. Bila diperlukan, sebanyak 20-30 mEq kalium fosfat dapat
ditambahkan ke larutan penggantu. Untuk HHS sampai saat ini bulum ada studi penggunaan
fosfat dalam HHS (2) (8).

6.6 Transisi Insulin Subkutis


Ketika serum glucose darah dan osmolalitas telah tercapai, terapi insulin subkutan
dapat diberikan. Apabiala pasien masih bisa makan, terapi yang diberikan adalah split-mixed
insulin, yaitu yaitu insulin regular (shor-acting) dan insulin intermediate-acting. Pemberian
dilakukan sebelum sarapan atau sebelum makan malam.

Pada pasien yang baru didiagnosis sebagai diabetes, dosis awal insulin yang diberikan
sebesar 0.6 unit per kg per hari, pemberian ini dapat mempertahankan mkontrol metabolic.
2/3 dari dosis total diberikan saat sore hari dipagi hari, dan 1/3 dosis di sore hari dengan
menggunakan dosis split-mixed (8).

7 Komplikasi
Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat diantaranya oklusi vaskuler (oklusi arteri
mesentrika, infrak miokard, low-flow syndrome dan diseminasi intravascular koagulopati)
dan rhabdomyolysis. Rehidrasi berlebihan dapat menyebabkan distress pernafasan dan edem
serbral. Edem serbral sendiri paling sering timbul pada pasien KAD terutama pada anak-
anak, dan termasuk kondisi yang fatal, tetapi edema serebral juga dapat terjadi pada pasien
dewasa. Kasus fatal dari edema juga beberapa ditemukan pada HHS. Edema serebral ditandai
dengan perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi dan sakit kepala. Gangguan neurologi
17 | L a p o r a n K a s u s H H S
mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinesia, perubahan pupil, bradikardi dan
gagal nafas. Perburukan terjadi sangat cepat meski tanpa adanya pupil edem. Apa timbul
gejala klinis selain kelesuan dan perubahan tingkah laku, maka angka kematian lebih dari
79% dengan hanya 7-14% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Mesiki
mekanisme edem serebral belum diketahui, tetapi kemunginan disebabkan oleh perubahan
ismolaritas dari air pada system saraf pusat, dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan
cepat dari terapi HHS dan KAD. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi risiko edema
serebral pada pasien dengan risiko tinggi adalah dengan penggantian deficit air dan natrium
berangsur-angsur dengan perlahan pada pasien hyperosmolar. Apabila timbul edem serbral
masukan manitol secara intravena dengan dosis 1-2 gram per kg slama 30 menit disertai
decamethason intravena.

Pada HHS kada glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai
keadaan hyperosmolar dan status mental mengalami perbaikan, dan pasien dalam kondisi
stabi. Hipoksemia dan edem paru nonkardiogenik dapat terjadi saat teapi KAD.

Hipoksemia disebabkan oleh pengurangan tekana osmotic koloid yang mengakibatkan


penambahan caoran dalam paru-paru dan penurunan complain paru-paru. Pasien dengan
KAD yang mempunyai suatu gradient oksigen alveolo-arteriol yang lebar pada saat
pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukan ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiok
tinggi untuk terjadi edema paru (1) (2).

Penyulit dari KAD dan HHS yang paling sering adalah hipoglikemia yang berkaitan
dengan pemberian insulin yang berlebihan, dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan
hiperglikemia sekunder akbitan penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa
pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan (1).

18 | L a p o r a n K a s u s H H S
DAFTAR PUSTAKA

1. Stoner GD. Hyperosmolar Hyperglycemic State. American Family Physician. 2005 May; 71(9).

2. Semarawima G. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. MEDICINA. 2017 Januari; 48(1).

3. Kitabachi AE, Umuoierez GE, Murphy MB, Barret JE. Management of Hyperglicemic Crisis in
Patients with Diabetes. Diabetes CAre. 2001 January; 24(1).

4. Pasquel JF, Umpierrez EG. Hyperosmolar Hyperglicemic State: Historic Review of the Clinical
Persentation, Diagnosis and Treatment. Diabetes Care. 2014 November; 37(11).

5. Bhansali A, Sukumar SP. World Clnics Diabetology Complications of Diabetes. 1st ed. Mohan V,
editor. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2016.

6. Nugent BW. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Emergency Medicine Clinics of North America.
2005 Agustus; 23(3).

7. Campaella MA, Larty R, Shih R. Severe Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic Coma in a


Nondiabetic Patient Receiving Aripiprazole. Annals od Emergency Medicine An International
Journal. 2008 May; 53(2).

8. Umipierrez GE, Murphy B, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar
Syndrome. Diabetes Spectrum. 2002; 15(1).

9. Ahuja N, Palanichamy N, Mackin P, Lloyd AJ. Olanzapine-induced Hyperglicemia Coma and


Neuroleptic Malignant Syndrome: case report and review of literature. Journal of
Psychopharmacology. 2008 September; 24(1).

19 | L a p o r a n K a s u s H H S

Anda mungkin juga menyukai