Anda di halaman 1dari 15

ULASAN

IMPETIGO
Oleh

Luciana Baptista Pereira

Abstrak : Impetigo adalah infeksi kulit yang umum terjadi terutama pada anak-
anak. Secara historis, impetigo disebabkan oleh salah satu dari streptokokus
streptokokus β-hemolitikus grup A atau Staphylococcus aureus. Saat ini, patogen
yang paling sering diisolasi dari pasien impetigo adalah S. aureus. Artikel ini
membahas faktor mikrobiologis dan virulensi streptokokus β- hemolitik grup A
dan Staphylococcus aureus, karakteristik klinis, komplikasi, serta pendekatan
untuk diagnosis dan tatalaksana dari impetigo. agen – agen topikal untuk terapi
impetigo juga ikut ditinjau dalam ulasan ini.

Kata kunci: agen Anti bakteri, Impetigo, Staphylococcus aureus, Streptococcus


pyogenes

PENGANTAR

Kulit normal diduduki oleh sejumlah besar bakteri yang hidup sebagai komensal
di permukaan ataupun di folikel rambutnya. Kadang-kadang, pertumbuhan
berlebih dari bakteri ini menyebabkan penyakit kulit, dan dalam kesempatan lain,
bakteri yang normalnya ditemukan pada kulit bisa membentuk koloni dan
menyebabkan penyakit. mikroflora kulit terutama terdiri dari diphtheroid aerob (
Corynebacterium spp.), Diphtheroid anaerobik ( Propionibacterium acnes) dan
staphylococcus koagulase negatif ( Staphylococcus epidermidis ). penelitian
genetik terbaru menunjukkan terdapat dalam jumlah besar Pseudomonas spp. dan
Janthinobacterium spp di kulit yang bebas dari penyakit ( normal ), bakteri ini
membentuk biofilm di permukaan kulit. Biofilm ini merupakan agregasi
kompleks dan sessil yang terdiri dari satu atau lebih spesies bakteri yang menyatu
dengan zat polimer ekstraseluler. Bakteri dalam biofilm bersifat 50 hingga 500
kali lebih resisten terhadap antibiotik dibandingkan dengan bakteri di plankton (
organisme yang memiliki sedikit atau tidak ada kemampuan untuk bergerak ).
Selain menyebabkan toleransi terhadap antibiotik, biofilm dapat meningkatkan
virulensi bakteri. Bayi yang baru lahir biasanya aseptik dan kolonisasi dimulai
pada dua minggu pertama kehidupan.

Faktor host, seperti integritas sawar kulit dengan pHnya yang asam, munculnya
sekresi sebasea ( asam lemak, terutama asam oleat ), lisozim dan produksi
defensin dan status gizi yang memadai, memainkan peran penting dalam
perlawanan terhadap infeksi. Adanya maserasi, kelembaban, lesi kulit
sebelumnya, obesitas, kortikosteroid atau pengobatan kemoterapi,
disglobulinemia, kelainan leukosit seperti leukemia dan penyakit granulomatosa
kronis, diabetes, malnutrisi, immunodefisiensi bawaan atau yang diperoleh,
seperti AIDS, adalah faktor predisposisi. Kebanyakan bakteri paling optimal
tumbuh dalam pH netral dan suhu 37 derajat celsius.

Tindakan mencuci tangan, dengan sabun antiseptik atau bahkan sabun biasa,
terutama di kalangan pengasuh anak, sangat menurunkan kemungkinan mereka
terinfeksi seperti pneumonia, diare dan impetigo. Dalam studi terkontrol, penulis
mengamati bahwa angka kejadian impetigo yang 34% lebih rendah pada
kelompok yang menjalani program orientasi tindakan mencuci tangan.

KARAKTERISTIK STREPTOKOKUS

Klasifikasi streptokokus Lancefield berdasarkan antigen - antigen C karbohidrat


dinding sel, adalah dari A sampai T. Berbagai streptokokus mungkin bersifat
komensal pada kulit, selaput lendir, dan saluran pencernaan. Isolasi bakteri berupa
bakteri selain dari streptokokus grup A dapat berarti adanya infeksi sekunder dari
lesi - lesi atau adanya kolonisasi di permukaan kulit. Streptokokus grup A dapat
dibagi menjadi beberapa serotipe, sesuai dengan antigenisitas protein M mereka.
Patogenisitas streptokokus Grup A jauh lebih tinggi dari grup lainnya. Mereka
tumbuh dengan potensi invasif, yang dapat mencapai beberapa permukaan
jaringan, seperti epidermis ( impetigo ), dermis ( ektima ) atau jaringan subkutan
yang lebih dalam ( selulit ) . Mereka dapat menyebabkan edema lokal,
limfadenopati lokal dan demam. Penemuan agen ini pada kulit anak-anak yang
sehat mendahului munculnya lesi sekitar 10 hari dan mereka dapat diisolasi dari
orofaring antara 14 sampai 20 hari setelah muncul pada kulit. Dengan demikian,
jalan mereka berpindah dari kulit normal ke kulit yang terluka dan kemudian
dapat mencapai orofaring.

Beberapa dekade penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa ada beberapa


strain streptokokus grup A yang menimbulkan infeksi orofaring, tetapi jarang
menyebabkan impetigo. Di sisi lain, ada kelompok yang berbeda dari strain yang
menyebabkan infeksi kulit tapi itu tidak menginfeksi orofaring. Tentu saja,
berbagai komplikasi dapat menyertai infeksi yang disebabkan oleh streptokokus
grup A, seperti demam rematik, glomerulonefritis difus akut, dan eritema
nodosum, tergantung pada strain yang terlibat. Demam rematik dapat menjadi
komplikasi dari faringitis streptokokus ataupun tonsilitis, tetapi tidak terjadi
setelah infeksi kulit. Sebaliknya, glomerulonefritis mungkin akibat dari infeksi
streptokokus pada kulit dan saluran nafas , tapi kulit adalah tempat awal yang
utama. Pengobatan impetigo tidak mengurangi risiko glomerulonephritis, tetapi
mengurangi penyebaran strain nefritogenik di populasi. Periode latensi untuk
glomerulonefritis adalah 7 sampai 21 hari setelah infeksi saluran pernapasan atas
dan dapat lebih lama di kasus impetigo. streptokokus Beta-hemolitik grup A tidak
biasanya diamati sebelum usia dua tahun, tetapi terdapat peningkatan progresif
pada anak-anak yang lebih tua. Glomerulonefritis mengenai hingga 5% dari
pasien dengan impetigo.

Streptokokus dapat diambil dengan kultur spesimen lesi di orofaring atau kulit.
Dosis anti streptolisin O mungkin tidak berguna untuk infeksi kulit karena tidak
meningkatkan kepuasan. Tes deteksi cepat untuk streptokokus melalui lateks
hanya digunakan untuk menunjukkan keberadaan agen ini di orofaring. Untuk
penyakit kulit, uji serologis anti DNA-ase B, berguna untuk menunjukkan infeksi
streptokokus sebelumnya ( streptokokus grup A ), dapat dilakukan. Namun, selain
menjadi uji dengan sensitivitas tinggi dan spesifisitas yang rendah, terdapat
beberapa laboratorium yang menjadikan standarisasi dalam rutinitas mereka.

KARAKTERISTIK STAPILOKOKUS

Faktor penting untuk virulensi infeksi adalah kemampuan bakteri ini untuk
menghasilkan toksin yang beredar yang dapat bekerja sebagai superantigen dapat
melangkahi tahap tertentu dari respon imun dan mendorong aktivasi massif dari
limfosit T menjadi beberapa serotipe, dan juga produksi berbagai limfokin seperti
interleukin 1 , 6 dan Tumor necrosis factor alpha. Respon ini dapat menyebabkan
pembentukan erupsi eksfoliatif kulit, hipotensi dan syok. impetigo bulosa dan
Staphyloccocal Scaldel Skin Syndrome, yang disebabkan oleh racun stapilokokus
dan toxic shock syndrome, yang disebabkan oleh toksin - toksin stafilokokus atau
streptokokus adalah contoh penyakit – penyakit yang dimediasi oleh toksin.

Staphylococcus koagulase negatif adalah kelompok organisme yang paling umum


dari flora normal kulit, dengan sekitar 18 spesies yang berbeda, dan
Staphylococcus epidermidis adalah bakteri yang paling umum dari semua bakteri
Stapilokokus residen. S. aureus (koagulase positif) sering juga ditemukan di kulit
, bersifat sementara, pada anak-anak yang sehat. Karier bakteri dapat terjadi, pada
nares di 35% dari populasi, di perineum 20%, di aksila dan daerah interdigital di
5 sampai 10% . Kondisi karier stapilokokus hidung ( nares ) ditemukan pada
sampai dengan 62% dari pasien dengan impetigo. pada pasien dengan dermatitis
atopik, dapat ditemukan pada sampai dengan 90% kasus ( kulit kering dan
hiperkeratinisasi akan memfasilitasi timbulnya stapilokokus ). Terutama pada
karier, lesi - lesi kulit dapat menjadi media inokulasi sekunder akibat dari
ekskoriasi kulit pasien. Bakeri bergerak melalui dari nares atau perineum ke kulit
normal, dan kemudian ke kulit yang terluka. Faktor host tampaknya menentukan
timbulnya penyakit. Imunosupresi dan kerusakan jaringan yang dianggap penting
dalam pembentukan proses patologis, karena kemampuan untuk produksi
koagulase, leukosidin dan toksin tampaknya sama pada karier flora normal dan
bakteri yang diisolasi dari lesi kulit

Stafilokokus ditularkan terutama dengan tangan, khususnya di rumah sakit.


infeksi stafilokokus yang muncul di semua kelompok umur.

IMPETIGO

IMPETIGO BULOSA

impetigo bulosa hampir secara universal disebabkan oleh organisme tunggal, S.


aureus, terutama milik kelompok II ( 80% ); fag Jenis 71 ( 60% kasus ). jenis fag
lain yang terlibat adalah 3A, 3C dan 55. Terdapat deskripsi, dalam literatur,
impetigo bulosa disebabkan oleh streptokokus grup A.

S. aureus menghasilkan toksin eksfoliatif, yang mana merupakan protease yang


selektif menghidrolisis salah satu molekul adhesi intraseluler, desmoglein-1,
terdapat di dalam desmosom keratinosit yang terletak di lapisan granulosum
epidermis. Toksin adalah faktor virulensi terbesar S. aureus, menyebabkan
disosiasi sel-sel epidermis kulit dengan pembentukan blister ( lepuhan ) . blister
terlokalisasi pada impetigo bulosa dan diseminata ( tersebar ) pada staphylococcal
scalded skin syndrome.

Setidaknya ada dua jenis toksin eksfoliatif yang berbeda, toksin eksfoliatif A
berhubungan dengan impetigo bulosa dan toksin B dengan staphylococcal scalded
skin syndrome. Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya muncul setelah
infeksi lokal pada konjungtiva, hidung, umbilikus atau daerah perioral dan yang
lebih jarang setelah pneumonia, endokarditis dan arthritis. Strain S. aureus
menghasilkan toksin eksfoliatif yang sering diisolasi dari pasien dengan impetigo.
impetigo bulosa muncul awalnya dengan vesikel kecil, yang menjadi blister yang
lembut, berukuran sampai 2 cm, awalnya dengan isi yang jernih yang kemudian
menjadi purulen ( Gambar 1 ).

Atap blister yang mudah pecah, akan memperlihatkan sebuah dasar yang
eritematosa, mengkilap dan basah. Sisa dari atap dapat dilihat sebagai kolaret di
pinggir lesi dan penyatuan lesi menimbulkan tampilan polisiklik ( Gambar 2 dan 3
).
impetigo bulosa terjadi paling umum di daerah intertriginosa ( lipatan ) seperti
daerah popok, aksila dan leher, meskipun seluruh area kulit dapat terkena,
termasuk telapak tangan dan telapak kaki ( Gambar 1 dan 2 ) . pembesaran
kelenjar getah bening regional biasanya tidak ada. Hal ini penting terutama pada
periode neonatal, yang timbul biasanya setelah minggu kedua kehidupan,
meskipun dapat muncul juga pada saat lahir dalam kasus ketuban pecah dini (
KPD ). impetigo bulosa adalah paling sering terjadi pada anak-anak berusia antara
2-5 tahun.

Impetigo non bulosa ( Krustosa )

impetigo non-bulosa mewakili lebih dari 70% dari semua kasus impetigo. Hal ini
terjadi pada orang dewasa dan anak-anak tapi jarang pada mereka yang di bawah
usia dua tahun. Agen etiologi utama bervariasi dari waktu ke waktu.

S. aureus adalah agen dominan di era 40-an dan 50-an, dan yang terakhir adalah
peningkatan prevalensi dari streptokokus. Dalam studi yang dilakukan selama tiga
dekade terakhir, telah terjadi kebangkitan S. aureus sebagai suatu agen utama
impetigo krustosa. S. aureus, tunggal atau dalam kombinasi dengan streptococcus
beta hemolitik grup A, yang bertanggung jawab pada sekitar 80% dari kasus,
menjadi agen terisolasi yang paling sering ditemukan. Meskipun kami belum
menemukan adanya studi di Brazil yang dilakukan dalam beberapa dekade
terakhir mengenai epidemiologi impetigo, data ini dikuatkan dalam penelitian
yang dilakukan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Israel, Thailand,
Guyana, India, Chili, dan Jepang. Beberapa peneliti percaya pada kemungkinan
bahwa S.aureus adalah penyebab sekunder dan bukan agen penyebab utama.

Impetigo krustosa dapat terjadi pada kulit normal atau mungkin muncul pada kulit
yang sebelumnya mengalami dermatitis atopik, dermatitis kontak, gigitan
serangga, pedikulosis dan kudis. Malnutrisi dan kebersihan yang buruk
merupakan faktor predisposisi. Lesi awal adalah vesikel, yang terletak diatas dasar
yang eritematosa, dan mudah pecah. Apabila pecah menghasilkan ulserasi
superfisial yang ditutupi dengan sekret purulen yang akan mengering sebagai
krusta lengket berwarna kekuningan ( berwarna seperti madu / honey colored).
Setiap lesi berukuran 1 sampai 2 cm dan tumbuh secara sentrifugal ( Gambar 4 ).

Penemuan lesi satelit, yang disebabkan oleh inokulasi, sering terjadi. Terdapat
dominasi dari lesi di daerah yang terkena, terutama pada tungkai dan wajah (
Gambar 5 dan 6 ).
limfadenopati regional umum terjadi dan demam juga dapat timbul pada kasus.
impetigo Non-bulosa berat dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan dalam
2 - 3 minggu.

EVOLUSI PENGOBATAN PADA BAKTERI YANG RESISTEN

S. aureus mudah memperoleh resistensi terhadap antimikroba, menyebabkan


pengobatannya sulit. Selama lebih dari 60 tahun, hampir semua strain S. aureus
mampu menghasilkan beta-laktamase ( penisilinase ) , sehingga mereka resisten
terhadap antibiotik - antibiotik beta-laktamase. Enzim ini menghidrolisis cincin
beta laktam, dan sejauh ini, merupakan mekanisme utama resistensi terhadap
antibiotik Betalaktam.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pertama kali terdeteksi pada


tahun 1961. Kasus infeksi yang disebabkan oleh MRSA di masyarakat dilaporkan
pada era 80an, tapi yang terpenting adalah kelompok ini telah meningkat secara
signifikan dalam tahun – tahun terakhir ini. Infeksi MRSA tidak lagi terbatas pada
lingkungan rumah sakit, namun tingkat MRSA yang timbul pada komunitas (CA-
MRSA) juga sangat bervariasi antara beberapa penelitian.

Kehadiran MRSA sebagai agen penyebab impetigo pada pasien non - Rawat inap
dianggap tidak biasa dan dengan distribusi yang heterogen. Staphylococcal
impetigo biasanya disebabkan oleh strain S. aureus yang memiliki gen toksin
eksfoliatif. di sisi lain, klon MRSA lain ( CA-MRSA ) tidak memiliki gen toksin
eksfoliatif, tapi gen Panton-Valentine-Leucodin (PVL). Stafilokokus yang
memiliki gen PVL penyebab infeksi supuratif kulit seperti abses dan furunkel.
Oleh karena itu, perhatian kita mengenai infeksi MRSA pada komunitas harus
lebih besar dengan tanda berupa timbulnya furunkel dan abses pada impetigo.
PERAWATAN UMUM PASIEN DENGAN IMPETIGO

Pada pasien dengan impetigo, lesi harus tetap bersih, dicuci dengan sabun dan air
hangat,sekret dan krusta harus dibersihkan. sabun biasa atau yang mengandung
zat antiseptik seperti triclosan, chlorhexidine dan povidone iodine, dapat
digunakan. Dalam tinjauan pengobatan impetigo yang dilakukan oleh Cochrane
Database of Systematic, penulis melaporkan relatif kurangnya data tentang
kemanjuran antiseptik topikal. Di sisi lain penggunaan tidak membahayakan,
karena tampaknya tidak meningkatkan resistensi bakteri.

INDIKASI UNTUK PENGOBATAN DENGAN ANTIBIOTIK SISTEMIK

antibiotik topikal adalah terapi pilihan untuk sebagian besar kasus impetigo. agen
antimikroba sistemik diindikasikan bila ada keterlibatan struktur yang lebih dalam
( jaringan subkutan, otot fascia ), demam, limfadenopati, faringitis, infeksi dekat
rongga mulut, infeksi pada kulit kepala dan / atau lesi yang banyak ( lebih dari
lima ) ( Gambar 6 ).

TERAPI ANTIBIOTIKA SISTEMIK

Spektrum antibiotik yang dipilih harus mencakup staphylococcus dan


streptococcus, baik untuk impetigo bulosa dan untuk impetigo krustosa. Dengan
demikian, benzathine penisilin atau obat – obatan yang sensitive pada
penicillinase tidak diindikasikan dalam pengobatan impetigo. Penisilin yang tahan
terhadap penisilinase ( oksasilin, kloksasilin, dicloxacillin) dapat digunakan,
tetapi kesulitannya terletak pada tidak adanya formulasi khusus untuk penggunaan
oral di Brasil. Sefalosporin generasi pertama, seperti sefaleksin dan sefadroksil,
dapat digunakan, karena tidak ada perbedaan di antara mereka yang ditemukan
dalam sebuah meta analisis.
Eritromisin, yang lebih murah, bisa menjadi antibiotik pilihan untuk populasi
yang miskin. Satu yang harus dipertimbangkan, kemungkinan resistensi terhadap
S. aureus, yang terjadi pada tingkat yang berbeda - beda, tergantung pada populasi
yang diteliti.

makrolida lainnya seperti klaritromisin, roxithromycin dan azitromisin memiliki


keuntungan berupa efek samping yang lebih sedikit dalam saluran pencernaan,
serta cara penggunaannya lebih nyaman, meskipun dengan biaya yang lebih
tinggi. strain stafilokokus yang resisten terhadap eritromisin juga akan resisten
terhadap klaritromisin, roxithromycin dan azitromisin.

Amoksisilin digabung dengan asam klavulanat adalah kombinasi dari suatu


penisilin dengan agen inhibitor betalaktamase ( asam klavulanat ), sehingga
memungkinkan cakupan yang memadai untuk streptokokus dan stafilokokus.

Clindamycin, sulfamethoxazole dan trimethophine, minocycline, tetracycline dan


fluoroquinolones adalah antibiotik pilihan untuk MRSA.

PENGOBATAN TOPIKAL

Ada bukti kuat pada keunggulan, atau setidaknya kesetaraan, pada antibiotik
topikal dibandingkan untuk antibiotik oral dalam pengobatan impetigo lokal.
Selain itu, antibiotik oral memiliki efek samping lebih banyak daripada antibiotic
topikal.

Mupirosin dan asam fusidat adalah pilihan pertama. Dalam suatu publikasi meta-
analisis, ditunjukkan tidak ada perbedaan antara dua agen ini. Untuk saat ini,
hanya ada satu studi yang membandingkan retapamulin dan asam fusidat,
menunjukkan tidak ada perbedaan statistik antara dua produk ini. Kombinasi
neomycin dan bacitracin tidak menyebabkan eradikasi bakteri.
ANTIBIOTIK TOPIKAL - KARAKTERISTIK ASAM FUSIDAT

Asam fusidat sangat efektif terhadap S. aureus, dengan penetrasi yang baik ke
permukaan kulit dan konsentrasi tinggi di tempat infeksi. Hal ini juga efektif,
pada area yang lebih kecil, terhadap Streptococcus dan Propionibacterium acnes.
basil gram negatif resisten terhadap asam fusidat.

Resistensi, in vitro dan in vivo, asam fusidat telah diverifikasi tapi pada tingkat
yang rendah. Seperti pada kelompok fusidanes, ia memiliki struktur kimia yang
sangat berbeda dari kelas-kelas antibiotik lain, seperti betalaktam, aminoglikosida
dan makrolida, sehingga mengurangi kemungkinan resistensi silang.

Insiden reaksi alergi rendah dan reaksi alergi silang belum terlihat. Antibiotik ini
tidak dipasarkan di Amerika Serikat. Tidak seperti di Eropa, di Brazil hanya dapat
ditemukan dalam bentuk krim 2%, yang dengan demikian tidak tersedia untuk
penggunaan oral.

MUPIROCIN

Mupirocin ( asam pseudomonic A ) adalah metabolit utama dari fermentasi


Pseudomonas fluoressens. struktur kimianya tidak mirip dengan agen antibakteri
lain dan karena mekanisme aksinya yang unik, tidak ada resistansi silang dengan
antibiotik lainnya. Mupirocin bertindak dengan menghambat sintesis protein
bakteri, dengan berikatan dengan enzim sintetase isoleucyl-tRNA, sehingga
mencegah penggabungan isoleusin ke dalam rantai protein. agen ini sangat efektif
terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan semua spesies
selain dari streptokokus grup D. agen ini kurang efektif terhadap bakteri Gram-
negatif, tapi aktivitas in vitro terhadap Haemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae, Pasteurella multocida, Bordetella pertussis, dan Moraxella
catarrhalis. Agen ini tidak aktif terhadap bakteri dari flora normal kulit dan
karena itu tidak mengubah pertahanan alami kulit. aktivitas bakterisida mupirocin
ini meningkat dengan pH asam pada kulit. Hal ini dapat membasmi S. aureus
pada kulit.

Tingkat resistensi bakteri rendah, sekitar 0,3% untuk strain S. aureus. Resistensi
MRSA terhadap mupirocin sudah pernah dijelaskan.

reaksi merugikan dilaporkan dalam 3% dari pasien, dengan gatal-gatal dan iritasi
pada daerah kulit yang diobati adalah keluhan yang tersering. Fotoreaksi tidak
mungkin, karena berbagai sinar ultraviolet yang diserap oleh produk tidak
menembus lapisan ozon. penyerapan sistemik minimal dan sedikit yang diserap
ini dengan cepat diubah menjadi metabolit tidak aktif, maka alasan mengapa tidak
ada formulasi oral atau formulasi parenteral yang tersedia. Penggunaan di daerah
kulit yang luas atau pada pasien dengan luka bakar tidak direkomendasikan,
karena risiko nefrotoksisitas dan penyerapan vehikulum obat, polietilen glikol,
khususnya di pasien dengan insufisiensi ginjal. Di Amerika Serikat sudah ada
formulasi salep mupirocin tanpa polyethylene glycol. Hal ini dianggap aman dan
efektif pada pasien berusia lebih dari dua bulan. Hal ini tercantum dalam kategori
B untuk digunakan pada wanita hamil dan yang menyusui. Produk ini ditemukan
di Brazil dalam bentuk krim 2%.

GABUNGAN NEOMISISN DAN BASITRASIN

Aminoglikosida mengerahkan aktivitas antibakteri mereka dengan mengikat


ribosom subunit 30S dan mengganggu sintesis protein. Neomycin sulfate adalah
antibiotik dari kelompok aminoglikosida paling sering digunakan dalam bentuk
topikal. Ini adalah hasil dari fermentasi Streptomyces fradiae. formulasi yang
tersedia secara komersial adalah campuran dari neomycin B dan C, sedangkan
framycetin, digunakan di Kanada dan beberapa negara Eropa, terdiri dari
neomycin B murni . Neomycin sulfate aktif terutama terhadap bakteri gram
negatif aerobik ( Escherichia coli, Enterobacter aerogenes , Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris ). Sebagian besar spesies Pseudomonas aeruginosa
resisten terhadap agen ini. Kerja obat ini terhadap bakteri Gram-positif terbatas.
Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes sangat resisten terhadap
neomycin, hal inilah alasan mengapa Obat ini biasanya digabungkan dengan
bacitracin untuk mengobati infeksi kulit. Meskipun S. aureus merupakan bakteri
Gram positif yang dihambat pertumbuhannya oleh neomycin, penggunaan obat
topikal tidak mampu memberantas bakteri ini dari kulit, maka obat ini masih
inferior dibandingkan dengan asam fusidat dan mupirocin. Gabungan ini tidak
efektif terhadap MRSA.

Insiden dermatitis kontak dengan sensitisasi relatif tinggi, terjadi pada 6-8%
pasien yang menggunakan obat ini dalam bentuk topikal. pasien peka mungkin
bereaksi silang ketika terkena aminoglikosida topikal atau sistemik lainnya.

Agen ini tersedia di Brasil dalam bentuk salep, tunggal atau dalam kombinasi
dengan bacitracin. Penggunaan gabungan dengan kortikosteroid topikal dan atau
agen anti jamur tidak dianjurkan.

Bacitracin adalah antibiotik topical yang awalnya berasal dari bakteri Bacillus
subtillis yang pertama kali diisolasi dari pasien yang memiliki patah tulang yang
terkontaminasi oleh tanah ( "baci", bacillus + "tracina", berasal dari nama pasien
Tracy ). Ini adalah polipeptida yang dibentuk oleh beberapa komponen (A, B dan
C). Bacitracin A adalah komponen utama dari produk komersil dan umumnya
dirumuskan sebagai garam seng. Ia bekerja dengan mengganggu pembentukan
dinding sel bakteri. agen ini aktif terhadap kokus Gram-positif seperti
staphylococci dan streptococci. Kebanyakan mikroorganisme Gram-negatif dan
ragi resisten terhadap agen ini. Suatu efek samping, seperti dermatitis kontak dan
lebih yang jarang, syok anafilaksis telah dilaporkan. Di Brasil agen tersedia dalam
bentuk salep dan dalam kombinasi dengan neomycin.
RETAPAMULIN

Retapamulin adalah agen semi-sintetis yang berasal dari jamur yang dapat
dimakan disebut Clitopilusscyphoides. aktivitas antibakteri terjadi melalui
penghambatan sintesis protein dengan mengikat ribosom selektif bakteri. Hal ini
efektif terhadap S. aureus dan S. pyogenes.

kesembuhan klinis impetigo dengan retapamulin dijelaskan cukup baik, jika


dibandingkan dengan plasebo. Merupakan obat bakteriostatik, pemberantasan
bakteri mungkin tidak terjadi, bahkan setelah kesembuhan klinis dari impetigo.

Retapamulin tidak diindikasikan untuk infeksi MRSA. Hal ini kurang efektif pada
lesi traumatik dan pasien - pasien dengan pembentukan abses ( biasanya
disebabkan oleh bakeri anaerob dan MRSA ) . Tersedia dalam bentuk salep 1%,
dapat digunakan pada anak dengan usia yang lebih dari 9 bulan.

Anda mungkin juga menyukai