PENDAHULUAN
Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat
setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. Angka
fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan
yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 %. 2
Data WHO mengenai rata – rata jumlah kasus per tahun pada 30 negara
paling endemik di dunia yang diambil tahun 2004 sampai 2010 didapati Indonesia
menempati urutan ke 2 setelah brazil dengan jumlah rata – rata kasus tahunan
129.435 kasus, kemudian menurut data WHO yang di publikasi tahun 2016
didapati rata – rata jumlah kasus dari tahun 2010 sampai 2016 indonesia tidak
banyak mengalami perubahan dengan rata - rata jumlah kasus lebih dari 100.000
per tahunnya.1,2
1
Tahun 2016 terdapat jumlah kasus DBD sebanyak 204.171 kasus dengan
jumlah kematian sebanyak 1.598 orang. Jumlah kasus DBD tahun 2016
meningkat dibandingkan jumlah kasus tahun 2015 (129.650 kasus). Jumlah
kematian akibat DBD tahun 2016 juga meningkat dari tahun 2015 (1.071
kematian). IR atau angka kesakitan DBD tahun 2016 juga meningkat dari tahun
2015, yaitu 50,75 menjadi 78,85 per 100.000 penduduk. Namun, Case Fatality
Rate (CFR) mengalami penurunan dari 0,83% pada tahun 2015 menjadi 0,78%
pada tahun 2016.3.
Pada tahun 2016 terdapat 10 provinsi dengan angka kesakitan / incidence rate
kurang dari 49 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan angka kesakitan DBD
tertinggi yaitu Bali sebesar 515,90 per 100.000 penduduk, Kalimantan Timur
sebesar 305,95 per 100.000 penduduk, dan DKI Jakarta sebesar 198,71 per
100.000 penduduk. Angka kesakitan pada provinsi Aceh menempati urutan ke 23
dengan 52,02 per 100.000 pada tahun 2016, jumlah kasus 2651 dan jumlah kasus
meninggal 21, namun lebih dari 90 persen kabupaten / kota yang terjangkit DBD
pada tahun 2016 , pada provinsi Bali dan Kalimantan Timur meningkat hampir
dua kali lipat jika dibandingkan dengan angka kesakitan / incidence rate tahun
2015, dimana Bali sebesar 257,75 per 100.000 penduduk dan Kalimantan Timur
sebesar 188,46 per 100.000 penduduk. Kenaikan drastis juga terjadi di DKI
Jakarta yaitu pada tahun 2015 angka kesakitan DBD hanya 48,55 per 100.000
penduduk menjadi 198,71 per 100.000 pada tahun 2016. Kenaikan angka
kesakitan tersebut perlu mendapat perhatian khusus.3
Kematian CFR akibat DBD lebih dari 1% dikategorikan tinggi. Pada tahun
2016 terdapat 11 provinsi yang memiliki CFR tinggi dimana 3 provinsi dengan
CFR tertinggi adalah Maluku (5,79%), Maluku Utara (2,69%), dan Gorontalo
(2,68%), sedangkan pada provinsi Aceh didapati CFR ( 0,79 % ) Pada provinsi-
provinsi dengan CFR tinggi masih diperlukan upaya peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dan peningkatan pengetahuan masyarakat untuk segera
memeriksakan diri ke sarana kesehatan jika ada gejala DBD sehingga tidak
2
terlambat ditangani dan bahkan menyebabkan kematian.3 Salah satu indikator
yang digunakan untuk upaya pengendalian penyakit DBD yaitu angka bebas jentik
(ABJ) dengan dilakukannya beberapa pencegahan yang termasuk didalamnya
yaiut Program PSN ( Pemberantasan Sarang Nyamuk ). Sampai dengan tahun
2016, ABJ secara nasional belum mencapai target program yang sebesar ≥95.
3
1.4 Manfaat Penelitian
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi1,2,3,5
Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali
lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak.
Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan
penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 %.
Data WHO mengenai rata – rata jumlah kasus per tahun pada 30 negara
paling endemik di dunia yang diambil tahun 2004 sampai 2010 didapati Indonesia
menempati urutan ke 2 setelah brazil dengan jumlah rata – rata kasus tahunan
129.435 kasus, kemudian menurut data WHO yang di publikasi tahun 2016
didapati rata – rata jumlah kasus dari tahun 2010 sampai 2016 indonesia tidak
banyak mengalami perubahan dengan rata - rata jumlah kasus lebih dari 100.000
per tahunnya.
Tahun 2016 terdapat jumlah kasus DBD sebanyak 204.171 kasus dengan
5
jumlah kematian sebanyak 1.598 orang. Jumlah kasus DBD tahun 2016
meningkat dibandingkan jumlah kasus tahun 2015 (129.650 kasus). Jumlah
kematian akibat DBD tahun 2016 juga meningkat dari tahun 2015 (1.071
kematian). IR atau angka kesakitan DBD tahun 2016 juga meningkat dari tahun
2015, yaitu 50,75 menjadi 78,85 per 100.000 penduduk. Namun, Case Fatality
Rate (CFR) mengalami penurunan dari 0,83% pada tahun 2015 menjadi 0,78%
pada tahun 2016.
Pada tahun 2016 terdapat 10 provinsi dengan angka kesakitan / incidence rate
kurang dari 49 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan angka kesakitan DBD
tertinggi yaitu Bali sebesar 515,90 per 100.000 penduduk, Kalimantan Timur
sebesar 305,95 per 100.000 penduduk, dan DKI Jakarta sebesar 198,71 per
100.000 penduduk. Angka kesakitan pada provinsi Aceh menempati urutan ke 23
dengan 52,02 per 100.000 pada tahun 2016, jumlah kasus 2651 dan jumlah kasus
meninggal 21, namun lebih dari 90 persen kabupaten / kota yang terjangkit DBD
pada tahun 2016 , pada provinsi Bali dan Kalimantan Timur meningkat hampir
dua kali lipat jika dibandingkan dengan angka kesakitan / incidence rate tahun
2015, dimana Bali sebesar 257,75 per 100.000 penduduk dan Kalimantan Timur
sebesar 188,46 per 100.000 penduduk. Kenaikan drastis juga terjadi di DKI
Jakarta yaitu pada tahun 2015 angka kesakitan DBD hanya 48,55 per 100.000
penduduk menjadi 198,71 per 100.000 pada tahun 2016. Kenaikan angka
kesakitan tersebut perlu mendapat perhatian khusus.
Kematian CFR akibat DBD lebih dari 1% dikategorikan tinggi. Pada tahun
2016 terdapat 11 provinsi yang memiliki CFR tinggi dimana 3 provinsi dengan
CFR tertinggi adalah Maluku (5,79%), Maluku Utara (2,69%), dan Gorontalo
(2,68%), sedangkan pada provinsi Aceh didapati CFR ( 0,79 % ) Pada provinsi-
provinsi dengan CFR tinggi masih diperlukan upaya peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dan peningkatan pengetahuan masyarakat untuk segera
memeriksakan diri ke sarana kesehatan jika ada gejala DBD sehingga tidak
terlambat ditangani dan bahkan menyebabkan kematian.
6
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
penularan virus dengue, yaitu: (1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke
tempat lain; (2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; (3) Lingkungan: curah
hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
Manusia dapat tertular virus dengue apabila digigit oleh vektor nyamuk
yang infektif. Ada beberapa vektor dari virus dengue, yaitu nyamuk Aedes
aegypti, Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan anggota dari kelompok Aedes
scutellaris. Akan tetapi, vektor utama dan yang paling efisien untuk virus dengue
adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini berukuran kecil, badannya berwarna
hitam dan memiliki loreng-loreng putih. Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa
memungkinkan air tergenang di lingkungan rumah, seperti bak mandi, drum, vas
bunga, kaleng atau ban bekas yang terisi air hujan, tempat minum burung, atau
botol. Nyamuk ini lebih sering menggigit manusia pada pagi hari (pukul 8.00 –
12.00) dan sore hari (pukul 15.00 – 17.00). Nyamuk Aedes aegypti betina dapat
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang infektif, virus dengue akan
setelah itu pasien akan mengalami demam disertai gejala menyerupai flu, periode
ini berlangsung selama 2 sampai 10 hari. Pada saat ini virus dengue bersirkulasi di
7
aliran darah tepi. Apabila nyamuk Aedes aegypti menggigit pasien pada fase
tersebut, nyamuk tersebut menjadi infektif dan dapat menularkan virus dengue
2.4 Patogenesis5
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan
patofisiologis yang signifikan, yaitu:
Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan
C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen
tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD,
namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi
komplemen pada DBD belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan
dengan DD dijelaskan dengan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam
makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infeksi dengue sebelumnya.
Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-
mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.
8
yaitu dengue shock syndrome (DSS). Diagnosis demam berdarah dengue
ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997, terdiri dari
kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk
mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).
Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama
2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan:
- Uji tourniquet positif
- Petekia, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan atau melena
Kriteria Laboratoris :
- Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml)
- Hemokonsentrasi (kenaikan Hematokrit (Htc) > 20%)
9
- trombositopenia
Gejala di atas + perdarahan
DBD II <100.000 /ml
spontan
- ada kebocoran plasma
Gejala di atas + tanda-tanda
- trombositopenia
pre-syok (kulit dingin, lembab,
DBD III <100.000 /ml
dan gelisah, nadi cepat, tekanan
- ada kebocoran plasma
darah turun)
- trombositopenia
Syok berat (nadi tidak teraba,
DBD IV <100.000 /ml
tekanan darah tidak terukur)
- ada kebocoran plasma
2.6 Diagnosis5,6
Diagnosis DBD dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
maupun pemeriksaan penunjang. Adapun hal-hal yang menyangkut anamnesis
dan pemeriksaan fisik telah dibahas pada sub bab 2.4 mengenai manifestasi klinis
DBD. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis DBD antara lain:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang umum dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam berdarah dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb),
10
hematokrit (Htc), jumlah trombosit, dan hitung jenis leukosit untuk melihat ada
tidaknya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru (LPB).
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction). Namun karena teknik ini masih sulit
dilakukan dan biayanya mahal maka dapat digunakan juga uji serologis yang
dapat mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap virus dengue dengan
memeriksa kadar IgM dan IgG.
Parameter-parameter lainnya yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan
darah adalah:
Leukosit: dapat berupa leukositosis atau leukopenia, mulai hari ke-3 dapat
ditemukan limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai limfosit
plasma biru (> 15% dari total leukosit di mana pada fase syok akan
meningkat jumlahnya
Trombosit: terjadi trombositopenia pada hari ke-3 sampai hari ke-8
Hematokrit: terjadi peningkatan hematokrit >20% dari nilai hematokrit
awal, umumnya mulai terlihat padaa hari ke-3 demam
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan waktu perdarahan, CT, PPT, aPTT
jika dicurigai adanya perdarahan ataupun kelainan pembekuan darah
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia jika ada kebocoran plasma
Faal hati: dapat terjadi peningkatan enzim hati SGOT/SGPT
Faal ginjal: dapat terjadi peningkatan ureum, kreatinin terutama jika terjadi
syok
Imunoserologis: dapat terjadi peningkatan IgM antidengue mulai hari ke-3
sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari, serta
terjadi peningkatan IgG mulai hari ke-14 (infeksi primer) atau hari ke-2
(infeksi sekunder)
Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI): uji ini merupakan standar WHO untuk
kepentingan surveilans. Uji ini memerlukan minimal 2 sampel serum pada
fase akut dan fase konvalesens (penyembuhan) dengan interpretasi seperti
pada tabel berikut ini.
11
Tabel 2.2 Interpretasi Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi
Interval Serum I-II Kenaikan Titer Titer Serum II Kesimpulan
≥ 7 hari ≥ 4 kali ≤ 1: 1280 Infeksi Primer
Berapapun ≥ 4 kali ≥ 1: 1560 Infeksi Sekunder
< 7 hari ≥ 4 kali ≤ 1: 1280 Infeksi primer atau
infeksi sekunder
Berapapun tidak ada ≥ 1: 2560 Mungkin infeksi
dengue
≥ 7 hari tidak ada ≤ 1: 1280 Bukan infeksi
dengue
< 7 hari tidak ada ≤ 1: 1280 Tidak bisa
disimpulkan
Hanya 1 serum ≤ 1: 1280 Tidak bisa
disimpulkan
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dilakukan untuk membantu mendeteksi
komplikasi dari DBD yaitu efusi pleura dan asites. Efusi pleura dapat dilihat pada
foto thorax PA dan lateral, sedangkan asites dapat ditemukan pada pemeriksaan
USG Abdomen.
2.7 Penatalaksanaan5,6
a. Promotif
Kegiatan promotif untuk mencegah meluasnya kasus DBD di masyarakat
adalah melalui semboyan “3M plus” yaitu menguras bak mandi minimal
seminggu sekali, menutup tempat-tempat penampungan air, mengubur barang-
barang bekas yang dapat menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti,
pemberian bubuk abate di tempat-tempat penampungan air atau ikanisasi tempat
penampungan air untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, serta melakukan
fogging atau pengasapan untuk membunuh nyamuk dewasa.
12
b. Preventif
Pencegahan demam berdarah yang paling efektif dan efisien sampai
saat ini adalah kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus,
yaitu:
Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan
seperti
c. Kuratif
Tidak ada terapi yang spesifik untuk infeksi dengue, prinsip utama adalah
dengan terapi simtomatis. Dengan terapi simtomatis yang adekuat angka kematian
13
dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan
intravaskular merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan demam
berdarah dengue. Asupan cairan pasien harus dijaga terutama cairan oral. Apabila
asupan secara oral tidak dapat terpenuhi maka alternatifnya dapat diberikan cairan
secara parenteral untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan hemokonsentrasi
darah.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
Divisi Tropik Infeksi dan Divisi Hematologi-Onkologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol II: Pemberian Cairan pada Pasien Tersangka DBD di Ruang Rawat
14
Pasien tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini.
atau dapat juga dijabarkan dalam Rumus Holiday-Segar yang dapat pula
digunakan pada pasien anak-anak. Adapun perhitungannya seperti pada tabel di
bawah ini.
Misal:
Pasien anak-anak dengan berat badan 15 kg, maka perhitungannya adalah
(10 kg x 100 cc/kg/hari) + (5 kg x 50 cc/kg/hari) = 1000 cc/hari + 250
cc/hari = 1250 cc/hari
Pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, maka perhitungannya adalah (10
kg x 100 cc/kg/hari) + (10 kg x 50 cc/kg/hari) + (30 kg x 20 cc/kg/hari) =
1000 cc/hari + 500 cc/hari + 600 cc/hari = 2100 cc/hari
15
Gambar 1.2 Protokol II (Pemberian Cairan Tersangka DBD di Ruang Rawat)
Gambar 2.2 Protokol III (Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%)
16
Protokol IV: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dapat berupa
epistaksis, hematemesis, melena, hematokezia, hematuria, perdarahan
intraserebral atau perdarahan tersembunyi lainnya. Pada keadaan seperti ini
pemberian cairan tetap sama seperti keadaan tanpa syok. Observasi tanda vital,
Hb, hematokrit, dan trombosit sebaiknya dilakukan setiap 4-6 jam sekali.
Pemberian heparin dilakukan bila secara klinis dan laboratoris ditemukan
tanda-tanda DIC (Disseminata Intravascular Coagulation). Tranfusi komponen
darah diberikan sesuai indikasi. Tranfusi PRC (Pack Red Cells) dilakukan bila Hb
< 10 g/dl, tranfusi TC (Trombocyte Concentrate) dilakukan bila trombosit <
50.000/mm3 disertai perdarahan masif dengan atau tanpa tanda-tanda DIC.
Sedangkan FFP diberikan bila terdapat tanda defisiensi faktor pembekuan (PT dan
aPTT memanjang).
KASUS DBD:
Perdarahan spontan masif
Tanda-tanda syok (-)
17
Dalam memberikan transfusi komponen darah hendaknya disesuaikan
dengan kebutuhan pasien. Ada rumus yang dapat digunakan dalam menentukan
kebutuhan transfusi komponen darah. Untuk menentukan kebutuhan transfusi
PRC dapat digunakan rumus:
18
Gambar 2.4. Protokol V (Tatalaksana Dengue Shock Syndrome)
19
BAB 3
METODE PENELITIAN
20
Kesehatan Kota
Subulussalam tahun
2015 – 2017
3.4.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan di teliti (Arikunto,
2006). Berdasarkan pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa populasi adalah
semua objek yang di amati dalam penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang berobat di Puskesmas Penanggalan, Kota Subulussalam.
Dalam penelitian ini populasinya adalah semua masyarakat kecamatan
Penanggalan 15.398 orang yang terbagi didalam beberapa desa.
3.4.2. Sampel
Adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang ) dengan
teknik accidental sampling.
21
3.6. Kerangka Kerja
Adalah langkah-langkah dalam aktifitas ilmiah yang dilakukan dalam
melakukan penelitian.
Populasi
Sampel
Teknik Sampling
Accidental Sampling
Pengumpulan data
Kesimpulan
22
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
- Data primer
Data primer diperoleh melalui kuesioner yang dinyatakan kepada
responden dengan wawancara terpimpin dengan berpedoman pada
kuesioner yang telah dipersiapkan.
- Data sekunder
Data Sekunder didapatkan dari kumpulan dokumen profil kesehatan Kota
Subulussalam tahun 2015 - 2017 tentang penyakit DBD di Kabupaten
Kota Subulussalam.
23
3.9, Analisis Data
Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan atau menggambarkan karakteristik setiap variabel penelitian.
Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam
analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel .
1. Informed Consent
Lembar persetujuan responden diberikan kepada calon responden dengan
tujuan supaya subyek mengetahui maksud dan tujuan serta dampak
pengumpulan data, jika subyek bersedia diteliti maka subyek harus
menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika subyek tidak bersedia
diteliti maka peneliti harus tetap menghormati hak klien.
3. Confidentiality (kerahasian)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijamin oleh
peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan disajikan pada hasil
penelitian.
4. Privacy
Di dalam penelitian ini, peneliti menjamin privasi responden dengan tidak
menanyakan hal-hal lain selain yang berkaitan dengan lingkup peneliti.
24
BAB 4
GAMBARAN UMUM, HASIL DAN PEMBAHASAN
25
Timur : Kabupaten Dairi
1. Desa Penanggalan
Diagram 4.1
2. Desa Jontor
3. Desa Lae ikan
4. Desa Cepu
5. Desa Kampung baru
6. Desa Penuntungan
7. Desa Lae motong
8. Desa Lae bersih
9. Desa Sikelang
10. Desa Kuta tengah
c. Jumlah Penduduk
26
Diagram 4.2. Diagram 4.3.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3
menyebutkan bahwa status sehat dan pelayanan kesehatan merupakan hak
masyarakat (human rights). Untuk itu, berbagai upaya dilakukan untuk
meningkatkan sektor kesehatan baik dalam bidang pelayanan, pembangunan
infrastruktur dan masalah pembiayaan. Di Kecamatan Penanggalan berbagai
fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, posyandu, praktek dokter dan lainnya telah
tersedia. Dari tahun ke tahun jumlah fasilitas terus mengalami peningkatan.
Adapun jumlah sarana Kesehatan di Kecamatan Penanggalan berjumlah 38 unit
yang terdiri dari 13 Posyandu, 1 Puskesmas, dan 3 tempat prakter dokter.
27
Selain fasilitas fisik kesehatan, hal lain yang juga sangat penting adalah
ketersediaan tenaga kesehatan. Pada tahun 2012 tenaga kesehatan yang terdapat di
Kecamatan Penanggalan adalah dokter praktek, mantri, bidan, dan perawat,
termasuk dukun bayi / tradisional yang sudah terdaftar di Dinas Kesehatan.
Dengan rincian dokter 1 orang, mantri kesehatan 3 orang, bidan 12 orang dan
dukun bersalin berjumlah 7 orang.
Diagram 4.4.
No. Ket
Kecamatan 2015 2016 2017
1. Penanggalan 0 2 7
2. Simpang kiri 5 5 28
3. Rundeng 0 0 0
4. Sultan Daulat 1 0 0
5. Longkib 0 0 1
Jumlah 6 7 36
28
Dari table diatas didapati bahwa jumlah kasus di kecamatan penanggalan
di tahun 2015 tidak ada, namun terdapat peningkatan kasus menjadi 2 kasus pada
tahun 2016 dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2017.
Diagram 4.5 Tren Kejadian Kasus di Kota Subulussalam DBD tahun 2014 –
2017.
Kejadian DBD
8
7
6
5
4
Kejadian DBD
3
2
1
0
2015 2016 2017
Desa Penanggalan 33
Desa Jontor 11
Desa Cepu 9
Desa Penungtungan 6
29
Desa Kampung Baru
Desa Sikelang -
Alamat Responden
0% 0% 0% 0% 0%
Penanggalan
10%
Jontor
15% Lae ikan
2% Cepu
55%
penuntungan
18%
Kampung baru
Lae bersih
30
Tabel 4.3 Distribusi usia responden
15-35 tahun 16
36- 49 tahun 37
>50 tahun 7
Usia Responden
12%
27% 15-35 tahun
36- 49 tahun
>50 tahun
61%
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa responden yang berusia 15-35
tahun sebanyak 27%, 36-49 tahun sebanyak 62%, dan responden yang berusia
>50 tahun sebanyak 11%.
31
Tabel 4.4 Distribusi tingkat pendidikan responden
SD 31
SMP 8
SMA/K 11
22%
SD
SMP
16%
62%
SMA/K
32
4.2.2 Data Khusus
Penyebab DBD 25 33 2
Cara penularan 37 10 13
Ciri nyamuk 31 29 0
Waktu penggigitan 29 22 9
Tempat berkembangbiak 37 18 5
Pola demam 17 38 5
Menyebabkan kematian 40 14 6
Menular 38 12 10
Kapan dibawa ke RS 9 45 6
33
Diagram 4.9 Tingkat pengetahuan pasien terhadap penyakit DBD
9%
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa banyak jawaban yang benar
sebanyak 49%, jawaban yang salah 42% dan jawaban tidak tahu sebanyak 9%.
Kegunaan abate 11 36 13
Cara pencegahan 18 15 27
3M 27 21 12
3M+ 23 32 5
Kegunaan abate 11 24 25
Pemberian abate 14 6 40
34
Kegunaan fogging 19 31 10
Program puskesmas 5 17 38
40%
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa banyak jawaban yang benar
sebanyak 32%, jawaban yang salah 40% dan jawaban tidak tahu sebanyak 28%.
35
BAB 5
PEMBAHASAN DAN PEMECAHAN MASALAH
5.1. Pembahasan
Dari diagram diatas didapati bahwa jumlah kasus di kecamatan
penanggalan di tahun 2015 tidak ada, namun terdapat peningkatan kasus
menjadi 2 kasus pada tahun 2016 dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada
tahun 2017.
5.2.Pemecahan Masalah
1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dengan
melakukan promosi kesehatan selama 3 hari berturut-turut dalam jam
operasional (08.00 – 14.00 wib) di Puskesmas Penanggalan mengenai
tentang penyebab DBD, cara penularan penyakit DBD, ciri nyamuk
penyebab penyakit DBD, waktu penggigitan nyamuk, tempat hinggap
nyamuk, tempat berkembangbiaknya nyamuk DBD, pola demam dari
penyakit DBD, apakah penyakit DBD dapat menular dan menyebabkan
kematian seta kapan harus membawa anak ke RS, kegunaan abate, cara
36
mencegah, arti dari 3M, berapa kali pasien menguras bak mandi dalam
seminggu, arti dari 3M+, kegunaan abate, cara pemberian abate yang
benar, kegunaan dari fogging, dan program puskesmas yang dilakukan
oleh dokter internship.
37
Gambar 5.2. Pembagian kuisioner ke masyarakat Kec. Penanggalan
38
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran kejadian dan tingkat
pengetahuan pasien mengenai penyakit dan pencegahan Demam Berdarah,
didapatkan hasil bahwa :
6.2. Saran
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, maka penulis
menyarankan :
39
5. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah baru
yang berkaitan dengan peningkatan kejadian DBD di Kecamatan
Penangggalan.
40
DAFTAR PUSTAKA
41