Anda di halaman 1dari 71

ABSTRAK

PENGGUNAAN RGP (RIGID GAS PERMEABLE) PADA ANAK SEBAGAI KOREKSI


AFAKIA PADA ANAK PASCA OPERASI KATARAK KONGENITAL DITINJAU DARI
KEDOKTERAN DAN ISLAM

Katarak kongenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir pada tahun pertama kehidupan
dan merupakan salah satub penyebab kebutaan pada anak yang sering di jumpai. Jika katarak tetap
tidak terdeteksi, kehilangan pengelihatan yang permanen dapat terjadi. Setelah pengangkatan lensa
pada katarak kongenital, maka mata akan mengalami afakia yaitu keadaan dimana mata tidak lagi
memiliki lensa. Pengelihatan anak dengan afakia dapat dikoreksi dengan beberapa cara,
diantaranya adalah menggunakan RGP (rigid gas permeable)\Penggunaan RGP merupakan salah
satu terapi koreksi tajam pengeliatan yang baik dan memilki keunggulan dibanding terapi lainnya,
berupa daya oksigenasi yang lebih baik di banding lensa kontak jenis lain dan tidak beresiko
terjadinya luksasi lensa jika di banding dengan penggunaan IOL. Tujuan penulisan skripsi ini
adalah memberikan informasi secara umum mengenai penggunaan RGP sebagai koreksi afakia
pasca operasi katarak kongenital sehinga dapat mencegah kebutaan atau penurunan tajam
pengelihatan pada anak dengan afakia pasca operasi katarak kongenital.
Menurut pandangan kedokteran tentang penggunaan RGP (Rigid Gas Permeable) sebagai koreksi
afakia pada anak pasca operasi katarak kongenital dapat menjadi pilihan terapi terbaik, karena
dapat mencegah komplikasi terjadinya amblyopia dan luksasi lensa intraokular jika dilakukakn
pemasangan IOL saat umur anak kurang dari 2 tahun. RGP juga mempunyai daya oksigenasi yang
lebih baik di banding lensa kontak jenis lainnya.
Menurut pandangan Islam penggunaan RGP sebagai koreksi afakia pada anak pasca operasi
katarak kongenital di perbolehkan karena terapi tersebut merupakan suatu bentuk perkembangan
teknologi yang bermanfaat sebagai pengobatan dan tidak mengandung unsur yang haram pada
bahan pembentuknya.
Dengan demikian penggunaan RGP pada anak dengan afakia pasca operasi katarak kongenital
sejalan dengan syariat islam dan kedokteran sebagai penatalaksanaan dalam koreksi tajam
pengelihatan.

Kata kunci: katarak kongenital, afakia, RGP (Rigid Gas Permeable)


PERNYATAAN PERSETUJUAN SKRIPSI

Skripsi ini telah kami setujui untuk dipertahankan di hadapan Penguji

Skripsi, Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS YARSI

Jakarta, 21 Maret 2017

Pembimbing Medik Pembimbing Agama

(dr. Tri Agus Haryono, Sp. M) (Dra. Hj. Siti Marhamah M.Ag)
PERNYATAAN PERSETUJUAN SIDANG

Skripsi ini telah kami setujui untuk dipertahankan di hadapan Penguji

Skripsi, Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS YARSI

Jakarta, 21 Maret 2017

Pembimbing Medik Pembimbing Agama

(dr. Tri Agus Haryono, Sp. M) (Dra. Hj. Siti Marhamah M.Ag)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, serta

shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad

SAW karena dengan berkah, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGGUNAAN RGP (RIGID GAS

PERMEABLE) SEBAGAI KOREKSI AFAKIA PADA ANAK PASCA

OPERASI KATARAK KONGENITAL DITINJAU DARI KEDOKTERAN

DAN ISLAM”. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai

gelar Dokter Muslim pada Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.

Terwujudnya skripsi ini adalah berkat bantuan dan dorongan dari berbagai

pihak. Dalam kesempatan ini nulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. dr. H. A. Insan Sosiaan A. Tunru, PhD selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas YARSI

2. dr. Syukrini Bahri, Sp.PK selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran

Universitas YARSI Jakarta.

3. dr. Lilian Batubara, M.Kes selaku Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran dan

selaku Komisi Penguji Skripsi FK Universitas YARSI yang telah menyetujui

judul skripsi ini.

4. dr. Yusnita, M.Kes selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Universitas

YARSI Jakarta.
5. dr. Tri Agus Haryono, Sp.M selaku dosen pembimbing medik yang

meluangkan waktu memberi saran, pengarahan, teliti dan sabar serta

kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih, semoga Allah SWT

selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya.

6. Dra. Hj. Siti Marhamah, M.Ag selaku dosen pembimbing agama Islam yang

telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan masukan dengan

sabar dan teliti. Terima kasih, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya.

7. Kepala dan staff perpustakaan Universitas YARSI yang telah membantu

dalam penyediaan sumber-sumber referensi untuk penyelesaian skripsi ini.

8. Abdul Hafid dan Dewi Sunarwati, kedua orang tua tersayang, Amy

Suryani, Joni Susilo dan Supini ketiga orang tua lainnya yang telah

memberikan dorongan materil, semangat, kasih sayang dan doa yang tiada

hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk

segalanya, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya.

9. Galih Gibral Andalusia, Gabriela Hafida Qarmuna, Gabriel Nabil Hafid,

sebagai adik-adik kandung tersayang, terima kasih atas kasih sayang dan

dukungan semangat yang tiada hentinya.

10. Fachryan Zuhri, Chandra Agus Listiono, Hersa Firda Kartika, Lusy

Cristi, Dira Sari Puji Astuti, Finda Safitri, Arum Kusuma Wardani, Dewi

Handayani, Mayarni, dan Sinta Arum Fatimah dkk yang selalu memberi

semangat dan kritik yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini,

semoga Allah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kalian semua.


11. Teman seperjuangan penulis dan teman-teman angkatan 2011 yang telah

menjadi pemicu dan selalu memberikan bantuan, dukungan, dan saran kepada

penulis.

12. Teman-teman lainnya serta pihak-pihak yang terlibat yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak

luput dari kesalahan dan kekurangan baik dari segi materi maupun bahasa yang

disajikan. Untuk itu penulis mohon maaf atas segala kekurangan & kekhilafan

yang tidak disengaja. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis

dan pembaca pada umumnya di dalam memberikan sumbang pikir dan dalam

perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik di

dalam penyempurnaan skripsi ini dari penulisan sampai dengan isi dan

pembahasannya.

Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu

meridhai kita semua.

Jakarta, 21 Maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

ABSTRAK ..................................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI......................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG ........................................................ iv

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

DAFTAR ISI ................................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1

1.2. Permasalahan ........................................................................... 4

1.3. Tujuan ...................................................................................... 5

1.3.1 Tujuan Umum.................................................................. 5

1.3.2 Tujuan Khusus................................................................. 5

1.4 Manfaat .................................................................................... 6

BAB II. PENGGUNAAN RIGID GAS PERMEABLE (RGP) SEBAGAI


KOREKSI AFAKIA PADA ANAK PASCA OPERASI
KATARAK KONGENITAL DITINJAU DARI SEGI
KEDOKTERAN .................................................................................... 7

2.1. Katarak Kongenital ................................................................. 7


2.1.1. Definisi ......................................................................... 7

2.1.2. Epidemiologi ................................................................ 8

2.1.3. Anatomi dan Embriologi .............................................. 9

2.1.3.1. Anatomi ........................................................... 9

2.1.3.2. Embriologi ....................................................... 9

2.1.4. Fisiologi Lensa ............................................................. 11


2.1.5. Etilogi ........................................................................... 12

2.1.6. Klasifikasi ..................................................................... 13

2.1.7. Patofisiologi .................................................................. 17

2.1.8. Gejala Klinis ................................................................. 18

2.1.9. Penatalaksanaan ............................................................ 20

2.1.9.1. Ekstraksi Kapsul ........................................... ... 21

2.1.9.2. Koreksi Tajam Pengelihatan ......................... .... 24

2.1.10. Komplikasi .............................................................. .... 26

2.2. Afakia ...................................................................................... 29

2.3. Rigid Gas Permeable Contact Lens ........................................ 33

2.3.1. Definisi ......................................................................... 33

2.3.2. Bahan Pembuatan Lensa .............................................. 34

2.3.3. Desain Lensa ................................................................ 35

2.3.4. Indikasi dan Kotraindikasi ........................................... 37

2.3.4.1. Indikasi ............................................................ 37

2.3.4.2. Kontraindikasi.................................................. 37

2.3.5. Pemeriksaan dan Penyesuaian...................................... 39

BAB III. PENGGUNAAN RIGID GAS PERMEABLE (RGP) UNTUK


AFAKIA PADA ANAK PASCA OPERASI KATARAK
KONGENITAL DITINJAU DARI SUDUT PANDANG
ISLAM........................................................................................... 41

3.1. Afakia Pasca Operasi Katarak Kongenital menurut padangan


Islam ....................................................................................... 41

3.2. Pandangan Islam Tentang Kewajiban Memelihara Kesehatan


Mata........................................................................................ 48
3.3. Penggunaan RGP untuk Afakia pada Anak Pasca Operasi
Katarak Kongenital Ditinjau dari Sudut Pandang Islam .......... 50

BAB IV. KAITAN PANDANGAN KEDOKTERAN DAN ISLAM


TERHADAP PENGGUNAAN RGP (RIGID GAS
PERMEABLE) SEBAGAI KOREKSI AFAKIA PADA
ANAK PASCA OPERASI KATARAK KONGENITAL ......... 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 56

5.1. Kesimpulan ............................................................................ 56

5.2. Saran ....................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 60


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perbandingan antara mata normal dan mata afakia..................... 31

Gambar 2. Formasi dan pembesaran pada mata afakia..................................32

Gambar 3. Pembesaran pada afakia................................................................32

Gambar 4. Cara pengukuran pupil dengan menggunakan penggaris


millimeter....................................................................................38

Gambar 5. Skema horizontal visible iris diameter.........................................38


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada katarak kongenital kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir pada

tahun pertama kehidupan berpotensi menyebabkan kebutaan pada anak. Jika

katarak tetap tak terdeteksi, kehilangan penglihatan yang permanen dapat terjadi.

Turunnya penglihatan akibat katarak tergantung pada posisi kekeruhan lensa, jika

kekeruhan lentikular timbul pada sumbu penglihatan maka akan terjadi gangguan

visus secara signifikan dan dapat berlanjut menjadi kebutaan (Lindsay, Chi,

2009).

Hasil studi menunjukan bahwa insiden katarak di Amerika Serikat adalah

1,5% dari 10.000 kelahiran, Australia 2,2% per 10.000 kelahiran, dan Inggris

lebih dari 3%per 10.000 kelahiran. 65% diantaranya merupakan katarak bilateral

(Lindsay, Chi, 2009).

Penundaan ekstraksi kapsul dan perbaikan pengelihatan setelah afakia

sangat mempengaruhi insiden terjadinya komplikasi. Diantaranya yang paling

sering terjadi adalah amblyopia dan glaukoma (Lambert, 1996). Masa emas untuk

ekstraksi kapsul adalah 8 minggu awal masa kehidupan (Woo, 2013).

Pasca operasi katarak kongenital, anak/bayi akan menderita keadaaan

dimana tidak adanya lensa yang disebut sebagai afakia. Keadaan ini akan

mengakibatkan terganggunya tajam pengelihatan berupa hipermetropi tinggi

akibat hilangnya salah satu media refraksi pada mata. Pada hipermetropia, benda-
benda jauh terfokus di retina hanya dengan akomodasi, sementara benda-benda

dekat di fokuskan di belakang retina, walaupun mata mengadakan akomodasi,

sehingga tampak kabur. Dengan demikian, individu hipermetropi memiliki

pengelihatan jauh lebih baik dari pada pengelihatan dekat (Sherwood, 2001).

Koreksi afakia pada mata dewasa dan anak/bayi mempunyai banyak

perbedaan. Alasannya, mata anak/bayi masih dalam tahap perkembangan selama

beberapa tahun pertama kehidupan dan selama awal masa kanak-kanak, elemen

refraksi pada mata akan mengalami perubahan secara radikal. Sedangkan, orang

dewasa sebelumnya mempunyai mata normal dan telah lepas dari tahun-tahun

awal masa perkembangan mata. Hal ini, berhubungan dengan resiko terjadinya

komplikasi amblyopia, dimana jika pengelihatan mata yang bermasalah akan tak

dapat lagi di perbaiki jika penatalaksanaan pengelihatan lewat dari masa emas

perkembangan mata pada anak (Rafii, 2014).

Keadaan afakia dapat dikoreksi dengan berbagai cara. Kacamata afakia

tidak di rekomendasikan bagi anak ataupun bayi, alasannya kacamata sangat berat

dan susah untuk di sesuaikan. Saat ini, Intraocular Lens (IOL) sangat di

rekomendasikan sebagai penatalaksaan afakia pada dewasa dan anak, namun

masih menjadi kontroversi untuk di aplikasikan pada bayi. Di karenakan mata

bayi memerlukan IOL dengan diameter yang lebih kecil, hal ini dapat membawa

banyak masalah pada masa yang akan datang saat si bayi beranjak dewasa.

Seperti, resiko terjadinya luksasi IOL ke dalam ruang vitreous saat

berkembangnya mata (Lindsay, 2009).


Penelitian yang dilakukan Borisovsky dkk 2013 juga memaparkan bahwa

ekstraksi kapsul pada katarak tanpa implantasi IOL lebih sedikit beresiko

komplikasi (katarak sekunder, sinekia posterior, pendarahan vitreous) dari pada

ekstraksi kapsul dengan implantasi IOL. Implantasi IOL akan lebih adekuat jika

dilakukan setelah anak berusia lebih dari 2 tahun, jika implantasi IOL dilakukan

setidaknya kurang dari 2 tahun maka akan berefek ketidak pasan letak IOL setelah

dewasa. Namun dalam rentan 2 tahun, komplikasi amblyopia mungkin terjadi

apabila tajam pengelihatan bayi tidak segera di koreksi (Borisovsky et al, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Woo dkk 2013 mengemukakan studi kasus

yang mereka lakukan pada 8 anak afakia yang dikoreksi dengan lensa kontak (soft

lens, RGP, silicon elastromer), 4 diantaranya mencapai tajam pengelihatan normal

20/20 saat dewasa. Hal ini bisa menjadi penatalaksaan yang lebih baik untuk

kasus anak dengan afakia.

Allah SWT pada dasarnya telah memberikan banyak nikmat, diantaranya

adalah nikmat sehat, karena dengan tubuh yang sehat maka manusia dapat

melakukan aktivitas dengan lancar, salah satunya adalah beribadah. Oleh karena

itu sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk menjaga kesehatnnya. Namun

adakalanya manusia mendapat penyakit. Dalam ajaran islam, penyakit yang

diderita seseorang memiliki beberapa makna, seperti halnya sebagai musibah,

sebagai cobaan, sebagai teguran Allah SWT, sebagai hukuman, sebagai

penghapus dosa, sebagai sarana menaikan derajat ke ilmuan, dan sebagai bentuk

kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. (Soenarwo, 2009). Keadaan afakia pada

anak pasca operasi katarak kongenital merupakan gangguan kesehatan mata dari
sekian banyak penyakit. Pada keadaan tersebut anak harus segara mendapatkan

pengobatan untuk mendapatkan tajam pengelihatan yang baik. Para fuqoha’ (ahli

fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum asalnya dibolehkan, sedangkan dalam

beberapa Hadist, hukum berobat saat seseorang menderita sakit berbeda-beda

tergantung tingkat keparahan sakitnya. Karena anak masih merupakan tanggungan

orang tua, maka sudah menjadi kewajiban orang tua untuk bertanggung jawab

akan masalah kesehatannya. Karena hukum berobat, indikasi, dan komplikasi

akibat pengobatan masih menjadi tanggungan ke dua orang tuanya, terlebih

ibunya. (Hannah, 2014)

Penggunaan RGP sebagai penatalaksanaan pada keadaan afakia pada anak

pasca operasi katarak kongenital memiliki beberapa keunggulan dibanding

pengobatan lainnya. Pengobatan yang diperbolehkan menurut Islam harus

mengandung tujuan untuk kesehatan dan kesembuhan, selain itu aman jika di

berikan, dan tidak mengandung bahan-bahan yang di haramkan. Jika dilihat dari

bahan pembentuknya RGP tidak mengandung bahan yang diharamkan dan

merupakan teknologi terbaru dalam memperbaiki visus pada anak dengan afakia.

Maka dari uraian diatas, penulis merasa perlu untuk membahas lebih lanjut

mengenai Penggunaan RGP sebagai penatalaksanaan pada keadaan afakia pada

anak pasca operasi katarak kongenital ditinjau dari segi kedokteran dan islam.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana penatalaksanaan katarak kongenital?

2. Bagaimana komplikasi sebelum dan setelah penatalaksanaan katarak

kongenital?
3. Bagaimana mengoreksi tajam pengelihatan pada anak dengan afakia?

4. Bagaimana cara penggunaan dan manfaat RGP (rigid gas permeable)

sebagai koreksi pengelihatan pada anak dengan afakia?

5. Bagaimana pandangan islam tentang hukum berobat?

6. Bagaimana pandangan islam tentang kewajiban memelihara kesehatan


mata?

7. Bagaimana pandangan islam tentang penggunaan RGP pada anak dengan

afakia?

1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Memaparkan bagaimana penatalaksanaan dalam pengggunaan RGP (rigid

gas permeable) untuk afakia pada anak dengan katarak kongenital ditinjau dari

segi kedokteran dan islam.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui penatalaksanaan katarak kongenital.

2. Mengetahui komplikasi sebelum dan setelah penatalaksanaan katarak

kongenital.

3. Mengetahui mengoreksi tajam pengelihatan pada anak dengan afakia.

4. Mengetahui cara penggunaan dan manfaat RGP (rigid gas permeable)

sebagai koreksi pengelihatan pada anak dengan afakia.

5. Mengetahui pandangan islam tentang hukum berobat.

6. Mengetahui pandangan islam tentang penggunaan RGP pada anak dengan

afakia.
7. Mengetahui pandangan islam tentang kewajiban memelihara dan menjaga

kesehatan mata.

1.3. Manfaat

1. Bagi Penulis

Skripsi ini berguna sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dokter muslim

Universitas YARSI. Dan dengan pembuatan skripsi ini, penulis dapat

mempelajari dan memahami tentang penatalaksaan dalam penggunaan RGP

untuk afakia pada anak dengan katarak kongenital, dan dapat memahami

bagaimana hubungan hal tersebut dalam pandangan islam

2. Bagi Civitas Akademika Universitas YARSI

Diharapkan skripsi ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi

Civitas akademika Universitas YARSI, dan dapat menjadi sumber

kepustakaan di samping buku pedoman ilmu pengetahuan tentang katarak

kongenital dan penggunaan RGP.

3. Bagi Masyarakat

Diharapkan skripsi ini dapat menyumbang informasi, kepustakaan, dan

menambah pengetahuan bagi masyarakat mengenai penggunaan RPG sebagai

pentalaksanaan koreksi pengelihatan pada anak afakia yang sebelumnya

menderita katarak kongenital ditinjau dari kedokteran dan islam.


BAB II

PENGGUNAAN RIGID GAS PERMEABLE (RGP) SEBAGAI KOREKSI

AFAKIA PADA ANAK PASCA OPERASI KATARAK KONGENITAL

DITINJAU DARI SEGI KEDOKTERAN

2.1. Katarak kongenital

2.1.1. Definisi

Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya

terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak

kongenital). Dapat juga berhubungan dengan trauma mata tajam maupun tumpul,

penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemik, pemajanan radiasi,

pemajanan yang lama sinar ultraviolet, atau kelainan mata lain seperti uveitis

anterior (Smeltzer, 2002).

Menurut Corwin (2001), katarak adalah penurunan progresif kejernihan

lensa. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan ketajaman

penglihatan berkurang. Katarak terjadi apabila protein-protein lensa yang secara

normal transparan terurai dan mengalami koagulasi (Corwin, 2001).

Sedangkan menurut Mansjoer (2000), katarak adalah setiap keadaan

kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (panambahan cairan) lensa,

denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua

mata dan berjalan progresif (Mansjoer, 2000)Jadi, dapat disimpulkan katarak

adalah kekeruhan lensa yang normalnya transparan dan dilalui cahaya menuju

retina, dapat disebabkan oleh berbagai hal sehingga terjadi kerusakan penglihatan

(Smeltzer, 2002).
Sedangkan, katarak kongenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak

lahir pada tahun pertama kehidupan dan merupakan salah satu penyebab kebutaan

pada anak yang sering di jumpai. Jika katarak tetap tak terdeteksi, kehilangan

penglihatan yang permanen dapat terjadi. Turunnya penglihatan akibat katarak

tergantung pada posisi kekeruhan lensa, jika kekeruhan lentikular timbul pada

sumbu penglihatan maka akan terjadi gangguan visus secara signifikan dan dapat

berlanjut menjadi kebutaan (Mansjoer, 2000).

2.1.2. Epidemiologi

Katarak kongenital secara umum terjadi 1 dalam setiap 2000 kelahiran

hidup, yang terjadi akibat gangguan pada perkembangan normal lensa. Prevalensi

pada negara berkembang sekitar 2-4 tiap 10.000 kelahiran hidup. Adapun

frekuensi kejadiannya sama antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Katarak

kongenital bertanggung jawab pada 10% kejadian kehilangan penglihatan pada

anak-anak (Lindsay, 2009).

Hasil studi menunjukan bahwa insiden katarak kongenital di Amerika

Serikat adalah 1,5% per 10.000 kelahiran, Australia 2,2% per 10.000 kelahiran,

dan Inggris lebih dari 3% per 10.000 kelahiran. 65% diantaranya merupakan

katarak bilateral. Katarak kongenital bilateral biasanya di asosiasikan dengan

penyakit sistemik dan faktor-faktor herediter, sedangkan katarak kongenital

unilateral biasanya lebih di asosiasikan dengan anomali okuler (termasuk

microphtalmia, aniridia, dan hiperplastik persisten vitreous primer). Diperkirakan

50% penyebab katarak kongenital idiopatik, 30% herediter (20% diantarnya

autosomal dominan), selebihnya oleh karena sebab lain (Lindsay, 2009).

2.1.3. Anatomi dan embriologi


2.1.3.1. Anatomi

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan

transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 10 mm. Dibelakang iris lensa

digantung oleh zonula zinnii yang menghubungkannya dengan korpus siliaris. Di

sebelah anterior lensa terdapat humor aquos dan disebelah posterior terdapat

humor vitreous. Lensa terdiri dari 65% persen air, 35% protein, dan sedikit sekali

mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi

di lensa dari pada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation

terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,

pembuluh darah ataupun saraf di lensa (Mutiarasari, 2011).

Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati

air dan elektrolit. Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus

lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-

serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi

kurang elastis. (Mutiarasari, 2011)

2.1.3.2. Embriologi

Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif yaitu ektoderm

permukaan, termasuk derivatnya yaitu krista neuralis, ektoderm neural dan

mesoderm. Ektoderm permukaan membentuk epidermis palpebra, glandula

adnexa, silia, glandula lakrimalis, lensa, epitel kornea, konjungtiva (Asbury,

2002).

Mata berasal dari tonjolan otak (optic vesicle). Lensa berasal dari

ektoderm permukaan pada tempat lens placode (penebalan), yang kemudian


mengadakan invaginasi (lens pit) dan melepaskan diri dari ektoderm permukaan

membentuk vesikel lensa (lens vesicle) dan bebas terletak di dalam batas-batas

dari optic cup (Mosby, 2008).

Segera setelah vesikel lensa terlepas dari ektoderm permukaan (30 hari

gestasi), maka sel-sel bagian posterior memanjang dan menutupi bagian yang

kosong (40 hari gestasi). Sel-sel yang mengalami engolasi ini disebut sebagai

serat lensa primer (nukleus embrionik). Sel pada bagian anterior lensa terdiri

dari sel-sel kuboid yang dikenali sebagai epitel lensa. Kapsul lensa berasal dari

epitel lensa pada bagian anterior dan dari serat lensa primer pada bagian

posterior (Mosby, 2008).

Pada tahap 7 minggu yaitu sewaktu lensa terlepas dari ektoderm

permukaan, kapsul hialin dikeluarkan oleh epitel lensa. Serat-serat lensa

sekunder memanjang dari daerah ekuatorial dan bertumbuh ke depan di bawah

epitel subkapsular, yang tetap berupa selapis sel epitel kuboid. Serat-serat ini

juga memanjang dan bertumbuh ke belakang di bawah kapsul posterior.

Hasilnya serat lensa sekunder ini membentuk nukleus fetal. Serat-serat ini

bertemu membentuk sutura lentis Y yang tegak di anterior dan Y yang terbalik

di posterior. (Mosby, 2008)

Pembentukan lensa selesai pada umur 8 bulan penghidupan fetus, inilah

yang membentuk substansi lensa yang terdiri dari korteks dan nukleus.

Pertumbuhan dan proliferasi dari serat-serat sekunder berlangsung terus selama

hidup tetapi lebih lambat, karenanya lensa menjadi sangat lambat bertambah

besar. Epitel lensa akan membentuk serat primer lensa secara terus menerus

sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa yang


membentuk nukleus lensa. Kemudian terjadi kompresi dari serat-serat tersebut

dengan disusul oleh proses sklerosis yang menyebabkan kakunya lensa apabila

semakin tua. Pada masa dewasa pertumbuhan lensa selanjutnya kearah perifer

dan subkapsular. (Paul, 2008).

2.1.4. Fisiologi lensa

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk

memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,

menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa

sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas

cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda

dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang (Mosby,

2008).

Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih

sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara

korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina

dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan

refraksi lensa perlahan-lahan berkurang (Mutiarasari, 2011).

Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation

(sodium dan kalium). Kedua kation berasal dari humour aqueous dan vitreous.

Kadar kalium di bagian anterior lensa lebih tinggi di bandingkan posterior. Dan

kadar natrium di bagian posterior lebih besar. Ion K bergerak ke bagian posterior

dan keluar ke aqueous humour, dari luar Ion Na masuk secara difusi dan bergerak

ke bagian anterior untuk menggantikan ion K dan keluar melalui pompa aktif Na-

K ATPase, sedangkan kadar kalsium tetap dipertahankan di dalam oleh Ca-


ATPase (Mutiarasari, 2011).

Metabolisme lensa melalui glikolsis anaerob (95%) dan HMP-shunt (5%).

Jalur HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak dan ribose,

juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldose reduktse

adalah enzim yang merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol dirubah

menjadi fructose oleh enzim sorbitol dehidrogenase (Mutiarasari, 2011).

2.1.5. Etiologi

Etiologi dari katarak kongenital sendiri dapat dibagikan berdasarkan

jenis katarak pada seseorang yaitu katarak kongenital unilateral atau bilateral.

Kebanyakan dari katarak kongenital unilateral adalah idopatik (tidak diketahui

penyebabnya). Katarak kongenital bilateral biasanya merupakan penyakit

herediter (diwariskan secara autosomal dominan) dan sering bersarna penyakit

sistemik yang lain. Katarak kongenital unilateral paling banyak ditemukan

bersama penyakit anomali okular yang lain. Selain itu, penyebab-penyebab

utama yang lain adalah bisa disebabkan oleh penyakit infeksi maternal (Mosby,

2008).

1. Herediter dan penyakit sistemik lain.

Beberapa katarak kongenital adalah herediter, tidak terkait dengan

penyakit lain. Cara pewarisan yang paling sering adalah autosomal dominan.

Pewarisan autosamal resesif jarang terjadi. Penyakit herediter dengan kelainan

kromosom yang menyebabkan katarak antara lain trisomy 18 (Edward's

syndrome), trisomy 21 (Down ,s syndrome), Turner's syndrome, dan trisomy 13

(Patau's syndrome). Selain itu penyakit sistemik lain seperti sindrom

kraniofasial, penyakit muskuloskeletal dan renal serta penyakit metabolik


(galaktosemia, sindrom fabry sindrom, sindrom wilson) bisa menjadi penyebab

katarak kongenital terutama katarak kongenital bilateral (Vaughan, 2000).

2. Anomali okular

Katarak kongenital unilateral sering disertai dengan anomaly okular yang

lain seperti persistent fetal vasculature (PFV), disgenesis segmen anterior dan

tumor pada segmen posterior. Anomali ini bisa menyebabkan mekanisme

fisiologis pada lensa berubah dan akhirnya menyebabkan katarak (Mosby, 2008)

3. Penyakit infeksi maternal

Katarak kongenital dapat juga disebabkan karena infeksi intrauterine

terutama petryakit TORCH yaitu seperti toxoplasmosis, rubella dan infeksi

cylomegalovirus dan virus herpes. Contoh lain adalah varicella, koriomeningitis

virus dan HIV (Mosby, 2008).

2.1.6. Klasifikasi

Lambert dkk (1996) menjelaskan bahwa katarak kongenital berdasarkan

morfologinya, katarak kongenital di bedakan atas :

1. Katarak zonular

A. Nuklear

Katarak jenis ini bersifat genetik dan terjadi akibat hambatan

perkembangan lensa pada stadium awal, oleh karena itu melibatkan nukleus

embriogenik. Kondisi ini terjadi bilateral dan ditandai dengan kekeruhan

berbentuk lingkaran kecil di tengah lensa. Gambaran kekeruhan tersebut seperti

bedak, sehingga disebut pulvurulenta dan biasanya tidak berukuran 3-4mm.

Katarak nuklear total, kekeruhan biasanya terjadi di nukleus embriogenik

dan fetal, kadang-kadang di nukleus infantil. Katarak jenis ini mempunyai ciri
kekeruhan dengan densitas seperti kapur (chalky) di bagian sentral yang sangat

mengganggu penglihatan. Kekeruhan biasanya bilateral dan non-progresif.

B. Lamellar

Katarak lamelar atau zonular merupakan katarak kongenital paling banyak

yang menyebabkan gangguan visus, dan sekitar 49% dari semua kasus.

Katarak lamelar dapat disebabkan oleh kelainan genetik ataupun

lingkungan. Kondisi lingkungan yang dihubungkan dengan katarak lamellar

adalah defisiensi vitamin D. Kadang-kadang infeksi maternal rubella yang diidap

antara minggu ke-7 dan ke-8 kehamilan juga dapat menyebabkan katarak lamelar.

Kekeruhan pada katarak lamelar terjadi pada nukleus fetal di sekeliling

nukleus embriogenik. Kadang-kadang terlihat dua gambaran kekeruhan seperti

cincin. Mempunyai karakteristik opasifikasi lemelar lentikular berlapis diantara

nukleus dan korteks (sandwich). Massa lensa yang tidak mengalami kekeruhan

jelas di internal dan eksteranal zona katarak, kecuali kekeruhan kecil yang

berbentuk linier seperti jari-jari roda, yang dapat terlihat hampir di ekuator.

Katarak lamelar biasanya bilateral, namun kebanyakan mempunyai derajat

intraokular (pengelihatan) yang berbeda oleh karena opasifikasi, hal ini dapat

menyebabkan amblyopia.

C. Sutural

Kekeruhan berupa punctate opacities yang tersebar di sekitar anterior dan

posterior sutura Y. katarak ini biasanya statis, bilateral, dan tidak banyak berefek

pada penglihatan. Kekeruhan tiap individu bervariasi dalam ukuran dan bentuk

serta mempunyai pola yang berbeda, oleh karena itu dibagi menjadi:

a) Katarak floriform; kekeruhan lensa tersusun seperti daun bunga.


b) Katarak kolariform; kekeruhan lensa berbentuk seperti batu karang.

c) Katarak bentuk tombak (spear-shaped); kekeruhan lentikular dalam bentuk

tumpukan jarum kristalin yang tersebar.

d) Katarak embriogenik aksial anterior; kekeruhan berupa titik di dekat sutura-Y

anterior.

e) Sutural katarak bisa bersamaan dengan nuclear katarak, namun jika sutural

katarak dan nuklera katarak muncul terpisah, mereka jarang merusak

pengelihatan. Biasanya yang pertama kali ditermukan terlebih dahulu adalah

sutural katarak.

D. Kapsular

Merupakan opasitas lensa yang melibatkan salah satu kapsul anterior atau

posterior lensa. Katarak kapsular anterior: nonaksial, statis, dan secara visual tidak

signifikan. Sedangkan, katarak kapsular posterior: jarang, biasanya berkaitan

dengan sisa arteri hialoidea yang persisten.

2. Katarak polar

Katarak polar anterior melibatkan bagian sentral dari kapsul anterior dan

diantara korteks superfisial. Hal ini dapat terjadi melalui:

a) Terlambatnya perkembangan bilik mata depan. Pada kasus ini, kekeruhan

biasanya bilateral, statis, dan secara visual tidak signifikan.

b) Perforasi kornea. Katarak juga dapat didapat pada usia infantil dengan

adanya kontak antara kapsul lensa dengan bagian belakang kornea,

biasanya setelah perforasi kornea yang disebabkan oleh oftalmia

neonatorum atau sebab lain.


Katarak polar posterior dikaitkan dengan sisa arteri hialoidea persisten

(Mittendorf dot), lentikonus posterior, Persisten Hyperplastic Primary Vitreus

(PHPV).

3. Katarak total

Dapat unilateral atau bilateral, kebanyakan merupakan kasus herediter.

Penyebab terpenting adalah infeksi rubella pada trimester pertama kehamilan.

Biasanya anak lahir dengan katarak nuklear densitas putih atau katarak parsial.

Katarak ini merupakan jenis yang progresif. Lensa dapat lunak atau mencair

(katarak Morgagni kongenital).

4. Katarak membranosa

Kadang-kadang terjadi absorpsi parsial atau total dari katarak kongenital,

menyisakan katarak membranosa yang tipis. Pasien biasa terdiagnosa sebagai

afakia kongenital. Hal ini dihubungkan dengan sindrom Hallermann-Streiff-

Francois.

5. Persisten Hiperplastic Primary Vitreous (PHPV)

Biasanya bersifat unilateral yang muncul bersama dengan retrolenticular

fibrovascular membrane. Walaupun lensa pada kebanyakan PHPV pada

permulaannya jernih, lambat laun akan opak. Saat lensa masih terlihat jernih,

membran retrolentikular terkadang cukup opak untuk mengobstruksi axis

pengelihatan.

2 dari 3 penderita katarak kongenital dengan jenis PHPV adalah penderita

mikrophtalmic. Hampir seluruh mata dengan PHPV mempunyai prognosis yang

buruk.
2.1.7. Patofisiologi

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya

transparansi, ditandai dengan adanya perubahan pada serabut halus multiple

(zonula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa,

misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan Kimia

dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi. Sehingga terjadinya

pengkabutan pandangan/kekeruhan lensa sehingga dapat menghambat jalannya

cahaya ke retina. Hal ini diakibatkan karena protein pada lensa menjadi water

insoluble dan membentuk partikel yang lebih besar. Dimana diketahui dalam

struktur lensa terdapat dua jenis protein yaitu protein yang larut dalam lemak

(soluble) dan tidak larut dalam lemak (insolube) dan pada keadaan normal protein

yang larut dalam lemak lebih tinggi kadarnya dari pada yang tidak larut dalam

lemak.

Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi

karena disertai adanya influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut

lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa

suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah

enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan

pasien yang menderita katarak.

Mekanisme lainnya yang terlibat adalah konversi sitoplasmik lensa dengan

berat molekul rendah yang larut air menjadi agregat berat molekul tinggi larut air,

fase tak larut air dan matriks protein membran tak larut air. Hasil perubahan

protein menyebabkan fluktuasi yang tiba-tiba pada indeks refraksi lensa,

menyebarkan jaras-jaras cahaya dan menurunkan kejernihan. Area lain yang


sedang diteliti meliputi peran dari nutrisi pada perkembangan katarak secara

khusus keterlibatan dari glukosa dan mineral serta vitamin. (Mutiarasari, 2011)

2.1.8. Gejala klinis

Pada katarak kongenital, kelainan utama terjadi di nukleus lensa, nukleus

fetal, atau nukleus embrional, tergantung pada waktu stimulus karaktogenik atau

di kutub anterior atau posterior lensa apabila kelainannya terletak di kapsul lensa

(Vaughan, 2000).

Pada katarak developmental, kekeruhan pada lensa timbul pada saat lensa

dibentuk. Jadi lensa belum pernah mencapai keadaan normal. Kekeruhan lensa,

sudah terdapat pada waktu bayi lahir. Kekeruhan pada katarak kongenital jarang

sekali mengakibatkan keruhnya seluruh lensa. Letak kekeruhannya, tergantung

saat terjadinya gangguan pada kehidupan janin, sesuai dengan perkembangan

embriologik lensa. Bentuk katarak kongenital memberikan kesan tentang

perkembangan embriologik lensa, juga saat terjadinya gangguan pada

perkembangan tersebut. Kekeruhan lensa kongenital sering dijumpai dan sering

secara visual tidak bermakna. Kekeruhan parsial atau kekeruhan di luar sumbu

penglihatan atau tidak cukup padat untuk mengganggu transmisi cahaya tidak

memerlukan terapi selain pengamatan untuk menilai perkembangannya. Katarak

kongenital sentral yang padat memerlukan tindakan bedah (Wijana, 1993).

Katarak kongenital yang menyebabkan penurunan penglihatan yang

bermakna harus dideteksi secara dini, sebaiknya di lakukan pada bayi baru lahir

oleh dokter anak atau dokter keluarga. Katarak putih yang dan besar dapat tampak

sebagai leukokoria yang dapat dilihat oleh orang tua. Katarak infantilis unilateral

yang padat, terletak di tengah, dan garis tengahnya lebih besar dari 2 mm akan
menimbulkan amblyopia deprivasi permanen apabila tidak diterapi dalam masa 2

bulan pertama kehidupan sehingga mungkin memerlukan tindakan bedah segera.

Katarak bilateral simetris memerlukan penatalaksanaan yang tidak terlalu segera,

tetapi apabila penanganannya ditunda tanpa alasan yang jelas, dapat terjadi

amblyopia deprivasi bilateral (Wijana, 1993).

Kekeruhan pada katarak kongenital dapat dijumpai dalam berbagai bentuk

dan gambaran morfologik. Pada pupil mata bayi yang menderita katarak

kongenital akan terlihat bercak putih atau suatu leukokoria. Pada setiap leukokoria

diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti untuk menyingkirkan diagnosis banding

lainnya. Pemeriksaan leukokoria dilakukan dengan melebarkan pupil (Ilyas,

1998). Bila fundus okuli tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi

indirek, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. (Ilyas, 2000)

Jika pada katarak kongenital ini kekeruhannya hanya kecil saja sehingga

tidak menutupi pupil, maka penglihatannya bisa baik dengan cara memfokuskan

penglihatan di sekitar kekeruhan. Jika lubang pupil tertutup katarak seluruhnya

maka penglihatannya tidak akan normal dan fiksasi yang buruk akan

mengakibatkan terjadinya nistagmus dan ambliopia. Pernah dilaporkan katarak

monokular dan binokular yang telah dioperasi secara dini penglihatannya baik

setelah diberi koreksi afakia. Katarak kongenital merupakan indikasi untuk

dirujuk segera ke dokter ahli mata (Vaughan, 2002).

2.1.9. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksaannya, semua anak baru lahir berhak mendapat

pemeriksaan mata, termasuk evaluasi dengan ophthalmoskopi. Pemeriksaan dari

refleks fundus dapat menyatakan keadaan sedikit keruh. Evaluasi lengkap dari
refleks merah yang simetris secara normal mudah dikerjakan di dalam ruangan

gelap dengan cahaya yang terang dari ophthalmoscopy direct kedalam kedua mata

secara simultan (Moore, 1996).

Penatalaksanaan dalam mengoreksi katarak pada anak/bayi dan dewasa

mempunyai banyak perbedaan. Terpenting diantaranya adalah peningkatan resiko

amblyopia. Orang dewasa dengan katarak kongenital sebelumnya mempunyai

pengalaman dalam pengelihatan yang normal, hal ini menurunkan/mengeliminasi

resiko berkembangnya amblyopia pada mata. Sendangkan katarak pada anak/bayi

sangat beresiko untuk menderita amblyopia. Jika penatalaksanaan tertunda sampai

lewat periode emas perkembangan mata, perngelihatan normal tidak akan

kembali/pulih (Moore, 1996).

Setelah pengangkatan lensa pada katarak kongenital, maka mata anak/bayi

akan mengalami afakia, yaitu keadaan dimana mata tidak lagi memiliki lensa.

Pengelihatan anak dengan afakia dapat di koreksi dengan beberapa cara. Menurut

letaknya, di bedakan atas koreksi secara eksternal dan IOL (internal) (Rafii et al

2013)

2.1.9.1. Ekstraksi kapsul

Ekstraksi kapsul tergantung pada unilateral dan bilateral, adanya kelainan

mata lain, dan saat terjadinya katarak. Katarak kongenital prognosisnya kurang

memuaskan bergantung pada bentuk katarak dan mungkin sekali pada mata

tersebut telah terjad nistagmus. Bila terdapat nistagmus, maka keadaan ini

menunjukkan hal yang buruk pada katarak kongenital (Ilyas, 1998).

Ilyas (1998) juga mengungkapkan bahwa pengobatan katarak kongenital

bergantung pada:
1. Katarak total bilateral, dimana sebaiknya dilakukan pembedahan

secepatnya segera katarak terlihat.

2. Katarak total unilateral, yang biasanya diakibatkan trauma, dilakukan

pembedahan 6 bulan setelah terlihat atau segera sebelum terjadinya strabismus;

bila terlalu muda akan mudah terjadi ambliopia bila tidak dilakukan tindakan

segera; perawatan untuk ambliopia sebaikanya dilakukan sebaik-baiknya.

3. Katarak total atau kongenital unilateral, mempunyai prognosis yang

buruk, karena mudah sekali terjadinya ambliopia; karena itu sebaiknya dilakukan

pembedahan secepat mungkin, dan diberikan kacamata segera dengan latihan

bebat mata.

4. Katarak bilateral parsial, biasanya pengobatan lebih konservatif

sehingga sementara dapat dicoba dengan kacamata atau midriatika, bila terjadi

kekeruhan yang progresif disertai dengan mulainya tanda-tanda strabismus dan

amblyopia maka dilakukan pembedahan, biasanya mempunyai prognosis yang

lebih baik (Ilyas, 1998).

Tindakan pengobatan pada katarak kongenital adalah operasi.

1. Operasi katarak kongenital dilakukan bila refleks fundus tidak tampak

2. Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada

usia 2 bulan atau lebih muda bila telah dapat dilakukan pembiusan.

Tindakan bedah pada katarak kongenital yang umum dikenal adalah

disisio lensa, ekstraksi liniar, ekstraksi dengan aspirasi (Ilyas, 1998).

Terapi bedah untuk katarak kongenital adalah ekstraksi lensa melalui

insisi limbus 3 mm dengan menggunakan alat irigasi-aspirasi mekanis. Jarang

diperlukan fakoemulfikasi, karena nukleus lensa lunak. Berbeda dengan ekstraksi


lensa pada orang dewasa, sebagian besar ahli bedah mengangkat kapsul posterior

dan korpus viterum anterior dengan menggunakan alat mekanis pemotong-

penyedot korpus vitreum. Hal ini mencegah pembentukan kekeruhan kapsul

sekunder, atau after-cataract (katarak ikutan). Dengan demikian, pengangkatan

primer kapsul posterior menghindari perlunya tindakan bedah sekunder dan

meningkatkan koreksi optis dini (Vaughan, 2000).

Pada katarak kongenital jenis katarak zonularis, apabila visus sudah

sangat terganggu, dapat dilakukan iridektomi optis, bila setelah pemberian

midriatika visus dapat menjadi lebih baik. Bila tak dapat dilakukan iridektomi

optis, karena lensa sangat keruh maka pada anak-anak di bawah umur 1 tahun,

disertai fundus yang tak dapat dilihat, dilakukan disisi lensa, sedang pada anak

yang lebih besar dilakukan ekstraksi linier. Koreksi visus pada anak dapat berarti,

bila anak itu sudah dapat diperiksa tes visualnya. Iridektomi optis, mempunyai

keuntungan, bahwa lensa dan akomodasi dapat dipertahankan dan penderita tidak

usah memakai kacamata yang tebal (Wijana, 1993).

Pada katarak kongenital membranasea yang cair (umur kurang dari 1

tahun), dilakukan disisi lensa. Pada katarak yang lunak (umur 1-35 tahun)

dilakukan ekstraksi linier (Wijana, 1993).

1. Disisi Lensa: (Needling)

Pada prinsipnya adalah kapsul lensa anterior dirobek dengan jarum,

massa lensa diaduk, massa lensa yang masih cair akan mengalir ke bilik mata

depan. Selanjutnya dibiarkan terjadi resorbsi atau dilakukan evakuasi massa

(Ghozie, 2002).
Lebih jelasnya: dengan suatu pisau atau jarum disisi, daerah limbus di

bawah konjungtiva ditembus ke coa dan merobek kapsula lensa anterior dengan

ujungnya, sebesar 3-4 mm. jangan lebih besar atau lebih kecil. Maksudnya agar

melalui robekan tadi isi lensa yang masih cair dapat keluar sedikit demi sedikit,

masuk ke dalam coa yang kemudian akan diresorbsi. Oleh karena massa lensa

masih cair, maka resorbsinya seringkali sempurna (Wijana, 1993).

Kalau luka terlalu kecil, sekitar 0,5-1 mm, robekan dapat menutup

kembali dengan sendirinya dan harus dioperasi lagi, sedang bila luka terlalu

besar, isi lensa keluar mendadak seluruhnya ke dalam COA, kemudian dapat

terjadi reaksi jaringan mata yang terlalu hebat untuk bayi, sehingga mudah terjadi

penyulit (Wijana, 1993).

Wijana (1993) juga mengemukakan bahwa indikasi dilakukannya disisi

lensa:

1. Umur kurang dari 1 tahun

2. Pada pemeriksaan, fundus tak terlihat.

Disisi lensa sebaiknya dilakukan sedini mungkin, karena fovea

sentralisnya harus berkembang waktu bayi lahir sampai umur 7 bulan.

Kemungkinan perkembangan terbaik adalah pada umur 3-7 bulan. Syarat untuk

perkembangan ini fovea sentralis harus mendapatkan rangsang cahaya yang

cukup. Jika katarak dibiarkan sampai anak berumur lebih dari 7 bulan, biasanya

fovea sentralisnya tak dapat berkembang 100 %, visusnya tidak akan mencapai

5/5 walaupun dioperasi. Hal ini disebut amblyopia sensoris (amblyopia ex

anopsia). Jika katarak itu dibiarkan sampai umur 2-3 tahun, fovea sentralis tidak

akan berkembang lagi, sehingga kemampuan fiksasi dari fovea sentralis tak dapat
lagi tercapai dan mata menjadi goyang (nistagmus), bahkan dapat terjadi pula

strabismus sebagai penyulit. Jadi sebaiknya operasi dilakukan sedini mungkin,

bila tidak didapat kontraindikasi untuk pembiusan umum. Operasi dilakukan

pada satu mata dulu, bila mata ini sudah tenang, mata sebelahnya dioperasi pula,

jika kedua mata sudah tenang, penderita dapat dipulangkan (Wijana, 1993).

Pada katarak kongenital yang mononukelar dan dibedah dini, disertai

pemberian lensa kontak segera setelah pembedahan, dapat menghindari

gangguan perkembangan penglihatan (Wijana, 1993).

2. Ekstraksi Linier

Pada prinsipnya yang dilakukan adalah bilik mata depan ditembus dan

kapsul anterior lensa dirobek dan massa lensa dievakuasi serta dibilas dengan

larutan Ringer Laktat (Al Ghozie, 2003).

2.1.9.2. Koreksi tajam pengelihatan.

Seperti yang sudah di sebutkan sebelumnya, penatalaksanaan katarak

kongenital tidak hanya dengan mengekstraksi lensa yang keruh, namun juga harus

mengkoreksi visus pengelihatan. Pasca ekstraksi lensa, mata akan mengalami

afakia, yaitu keadaan dimana tidak adanya lensa. Keadaan ini mengakibatkan

masalah pengelihatan, diantaranya adalah turunnya visus, dan hipermetropi tinggi.

Pada anak/bayi, afakia harus segera di koreksi untuk menghindari amblyopia

(Rafii, 2013).

Pengelihatan anak dengan afakia dapat di koreksi dengan beberapa cara.

Menurut letaknya, di bedakan atas koreksi secara eksternal dan IOL (internal)

(Rafii, 2013).
Koreksi pengelihatan pada anak/bayi dengan afakia secara eksternal

diantranya adalah :

1. Kacamata afakia

Kacamata afakia jarang di gunakan untuk mengoreksi binocular atau

monocular afakia pada anak karena memiliki banyak kelemahan, diantaranya

adalah mempersempit lapang pandang sampai kira-kira 30%, menaikan

gelombang nystagmus, dan dapat membuat perbedaan ukuran retina sampai

dengan 30%. Kerugian lainnya, menggunakan kacamata afakia pada anak/bayi

sangatlah berat dan terlalu besar.

Kacamata afakia biasanya hanya di gunakan pada anak dengan orang tua

yang tidak kooperatif.

2. Kontak lens afakia

Kontak lens dapat di sesuiakan pada mata dengan segala umur dan sangat

efektif dalam merehabilitasi pengelihatan pada pediatric afakia. Biasanya sering

digunakan sebagai penatalaksanaan dasar untuk afakia (Rafii, 2013).

Pada kasus afakia unilateral, kontak lens dapat di aplikasikan sebagai

pengobatan primer. Dan pada kasus afakia bilateral, lensa kontak banyak di

aplikasikan dengan penambahan kekuatan lensa untuk mengkoreksi pengelihatan.

Tipe lensa kontak yang biasanya di gunakan dalam mengoreksi afakia adalah rigid

gas permeable, silicon elastomer, dan lensa hydrogel (Rafii, 2013).

Sedangkan, secara internal, koreksi afakia adalah dengan menggunakan

Intra Ocular Lens (IOL). Implantasi IOL pada anak dengan afakia memiliki

beberapa keuntungan untuk mengurangi komplikasi yang biasanya di dapat

dengan koreksi secara eksternal. Namun, jika di hubungkan dengan teknik


implantasi, IOL memiliki kesulitan dalam pemilihan kekuatan IOL yang sesuai,

dan resiko visual axis opacification(VAO) atau posterior capsular

opacificarion(PCO) setelah implantasi (Rafii, 2013).

2.1.10. Komplikasi

Menurut Lamber dkk (1996), komplikasi yang dapat timbul pasca

ekstraksi lensa pada katarak kongenital, diantaranya adalah :

a) Amblyopia

Amblyopia adalah ancaman terburuk bagi pengelihatan setelah operasi

katarak pada anak/bayi. Hal ini muncul jika pengelihatan tidak segera di koreksi

pasca oprasi ekstraksi lensa yang mengakibatkan retina menerima gambaran tak

fokus selama periode emas perkembangan mata. Amblyopia terkait dengan

perubahan neuroanatomikal pada nucleus genikulata lateral, juga dominansi

columns pada korteks striata

b) Opasifikasi kapsul posterior

Opasifikasi kapsul posterior menjadi masalah umum pada mata anak. Jika

kapsul posterior yang intak di tinggalkan post operasi katarak.

Pada banyak kasus, kapsul posterior akan beropasifikasi dalam kurun

waktu 1 bulan postoperasi katarak. Jika di biarkan, kualitas gambaran pada retina

menurun parah, karena ini akurasi refraksi pada mata menjadi musthail.

c) Pertumbuhan membrane sekunder

Membrane sekunder dapat terbentukantara upil atau diatas permukaan

anterior/posterior IOL setelah operasi katarak pad infan.

Membaran pupilari sering di temukan pad mata microphtalmic yang

sebelumnyadi beri penatalaksanaan operasi selama periode neonatal. Saat


membrane masih tipis, mebran dapat di hilangkan dengan menggunakan YAG

laser. Dalam beberapa kasus, operasi intraocular juga di butuhkan.

d) Lepasnya retina (Ablasio retina)

Lepasnya retina pada pasca operasi katarak kongenital terkadang

merupakan Rhegmatogenus (satu atau lebih lubang-lubang di retina) sekunder di

dasar vitreous posterior. Bila korpus vitreous menyusut, ia dapat menarik sebagian

retina pada tempatnya melekat, sehingga menimbulkan robekan/lubang pada

retina.

Faktor yang meningkatakan resiko lepasnya retina adalah myopia dan

operasi berulang. 4 dari 6 anak yang menderita ablasio retina pernah melakukan

operasi berulang untuk mengkoreksi membrane sekunder.

e) Endophtalmitis

Dalam banyak kasus, endophtalmitis terdiagnosa setelah beberapa hari

pasca operasi katarak kongenital. Endophtalmitis sering di akibatkan oleh

Staphylococcus aureus, Staphylococcuc epidermidis, Streptococcus pneumoniae,

Streptococcus viridians.

Obtruksi duktus lakrimalis, eksim pada daerah periorbital dan ISPA

merupakan faktor resiko yang sangt berhubungan dengan endophtalmitis pasca

operasi katarak kongenital

f) Reproliferasi lensa.

Hal ini terkadang terjadi pada daerah retro-iridio dan terjadi enkapsulasi

dengan sisa-sisa kapsul lensa anterior dan posterior. Saat terjadi enkapsulasi,

adakalanya material lensa yang reprolifetatif meluas sampai lubang pupil dan

mengakibatkan obstruksi visual aksis


g) Inflamasi post operasi

Meliputi photophobia, injeksi konjungtiva. Inflamasi sterlah operasi dapat

di minimalkan dengan pemakaian kortikosteroid topikal.

h) Edem kornea

Meliputi dekompensasi kornea dan atau bullous keratopathy.

Dekompensasi kornea sementara sering terjadi post operasi katarak kongenital,

namun bullous keratopathy merupakan komplikasi yang sangat jarang. Bullous

keratopathy biasanya di temukan pada mata yang di implantasikan IOL,

sedangkan dekompensasi kornea sementara dapat terjadi jika masih tertinggal

detergen pada kanula/instrumen operasi yang tidak di bilas dengan baik saat

melewati chambera okuli anterior.

i) Abnormalitas pupil

Dalam beberapa kejadian, muskulus sphincter pupil rusak intraoperasi saat

instrument vitreous di robek atau iris rusak saat prolaps selama operasi.

j) Glaukoma

Tipe glaucoma yang sering menjadi komplikasi pasca operasi katarak kongenital

dalah glaucoma sudut terbuka. Tidak seperti glaucoma sudut tertutup yang dapat

di temukan segera pasca operasi, glaucoma sudut terbuka biasanya terdiagnosa

setelah 1 tahun kemudian. (Lambret, 1996)

2.2. Afakia

Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa

sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi (Ilyas, 2004).

Gejala yang dikeluhkan pasien afakia adalah tajam penglihatan menurun.

Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan visus 1/60 atau lebih rendah
jika afakia tidak ada komplikasi, limbal scar yang dapat ditemukan pada afakia

akibat pembedahan, pasien mengalami penurunan tajam penglihatan (biasanya

hipermetropia yang sangat tinggi) yang dapat dikoreksi dengan lensa positif, bilik

mata depan dalam, iris tremulans, jet black pupil, test bayangan purkinje hanya

memperlihatkan 2 bayangan (normalnya 4 bayangan), pemeriksaan fundus

memperlihatkan diskus kecil hipermetropi, retinoskopi memperlihatkan

hipermetropi tinggi, biasanya terlihat bekas operasi, jika sudah mengalami

komplikasi dapat ditemukan edema kornea, peningkatan TIO, iritis, kerusakan

iris, CME (cystoid macular edema) (Neil, 2007).

Afakia dapat dikoreksi menggunakan lensa kontak, kacamata, atau operasi.

Kaca mata afakia hanya dapat digunakan jika kondisinya afakia bilateral, jika

hanya satu mata maka akan terjadi perbedaan ukuran bayangan pada kedua mata

(aniseikonia). Jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau kaca mata, maka

dipertimbangkan penanaman lensa intraokuler(pseudofakia). Dan diperlukan

tatalaksana untuk komplikasi (Khurana, 2003).

Optik pada Afakia

Menurut Khurana (2003), optik pada afakia dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Perubahan data kardinal mata

Perubahan optik yang terjadi setelah pengangkatan lensa adalah:

a. Mata menjadi hipermetropi tinggi

b. Penurunan total power pada mata menjadi +44 D dari +60 D

c. Titik fokus anterior menjadi 23,3 mm didepan kornea

d. Titik fokus posterior 31 mm dibelakang cornea (panjang

anteriorposterior bola mata 24 mm)


e. 2 titik prinsipal hampir terletak di permukaan anterior kornea

f. Titik nodul sangat dekat dengan yang lain dan terletak 7,75mm

dibelakang permukaan anterior kornea

Gambar 1. Perbandingan antara mata normal dan mata afakia

Sumber: Agarwal dkk. Apple, M.D.Textbook of Ophthalmology. India: Jaypee

Brothers Medical Publisher. 2002

2. Pembentukan bayangan pada afakia

Pada afakia, bayangan yang terbentuk membesar 33%. Panjang fokus

anterior pada emetrop adalah 17,05 mm, sedangkan pada afaki adalah

23,22 mm. Rasio panjang fokus anterior emetrop dan afakia adalah

23,22/17,05=1,32, artinya bayangan yang terbentuk pada afakia 1,32 kali

lebih besar(33%) dibandingkan pada emetrop.


Gambar 2. Formasi dan pembesaran pada mata afakia. A.Tanpa koreksi, B.
Dengan kacamata, C. Dengan lensa kontak

Sumber: Agarwal dkk. Apple, M.D.Textbook of Ophthalmology. India: Jaypee Brothers


Medical Publisher. 2002

Gambar 3. Permbesaran pada afakia

Sumber: Dr Sunita Agarwal, Dr Athiya Agarwal, David J. Apple, M.D.Textbook of


Ophthalmology. India: Jaypee Brothers Medical Publisher. 2002

3. Tajam penglihatan pada afakia

4. Akomodasi pada afakia


Terjadi kehilangan akomodasi karena tidak terdapat lensa.

5. Penglihatan binokular dan afakia

Afakia monokuler pada anak terjadi aniseikonia sebesar 30% disebabkan

oleh anisometropia.

2.3. Rigid gas permeable contact lens

2.3.1. Definisi

Lensa kontak rigid gas permeable adalah lensa yang dibuat dari plastik tipis

yang flexible dan oksigen bisa masuk ke mata melewat lensa yang menempel di

depan kornea. Dalam penggunaannya RGP memerlukan penggunaan dan

pemeriksaan kesehatan mata yang konsisten karena debris lebih mudah menempel

pada RGP (AAO, 2006).

Lensa RGP lebih mudah digunakan dan jarang tertinggal dari kornea. Jika

dibandingkan dengan lensa kontak lunak (soft lens), pengguna RGP perlu waktu

yang lebih lama untuk menyesuaikan lensanya. Namun, RGP akan lebih nyaman

jika dipakai pada waktu yang lama, hal ini karena RGP bersifat mudah dilalui

oksigen sehingga kornea dapat berfungsi dengan baik, dan pada saat penggunaan

RGP, oksigen bukan hanya didapat pada saat mata berkedip, tapi juga dari udara

bebas yang dapat melalui lensa untuk mencapai kornea (AAO, 2006).

2.3.2. Bahan Pembuatan Lensa

1. Cellulose Acetate Butyrate (CAB)

Merupakan bahan yang pertama kali digunakan dalam pembuatan lensa

kontak RGP. Kelebihan CAB adalah kemampuan permeabilitas oksigen yang

lebih baik daripada PMMA. Kekurangannya adalah lebih rapuh, daya tahan
pemakaiannya lebih singkat dan kualitas penglihatan yang dihasilkan lebih

rendah.

2. Silicone Acrylates (SA)

Silicone acrylates merupakan generasi selanjutnya bahan pembuatan lensa

kontak RGP. Bahan ini berasal dari copolymer antara silikon dan PMMA . Silikon

mempunyai kemampuan permeabilitas oksigen yang tinggi, akan tetapi silikon

bersifat hidrofobik, terlalu lunak dan fleksibel. PMMA ditambahkan bertujuan

untuk meningkatkan kelembaban dan membuat lensa kontak lebih kaku. Dengan

perbandingan antara PMMA dan silikon 65 % dan 35 % maka lensa kontak RGP

yang terbentuk akan bersifat kuat, stabil dan permeabilitas tinggi.

3. Flourine Copolymer

Jenis copolymer yang terbaru adalah fluorosilicone acrylates dan

perfluoropolyether. Fluorine bersifat meningkatkan permeabilitas oksigen saat

melalui suatu kelarutan. Lensa kontak dengan komposisi fluorine memiliki nilai

Dk (permeabilitas oksigen) yang tertinggi dibandingkan bahan pembuatan lensa

kontak RGP lainnya sehingga dapat diberikan dengan diameter yang lebih besar

agar lebih nyaman dalam pemakaiannya dan lebih stabil serta lebih fleksibel

daripada silicone acrylate dan PMMA. Generasi terbaru bahan pembuatan lensa

kontak RGP didasarkan pada konsep biomimesis.

Konsep ini meningkatkan biokompatibilitas bahan agar dapat beradaptasi

dengan baik. Penerapan bahan polimer baru ini diharapkan dapat menghindari

efek samping akibat lensa kontak. Kopolimer polysulphone dengan bahan lensa

kontak yang ada. Menghasilkan polimer baru yang lebih stabil, tipis dan lebih
biocompatible. Hanya saja lensa kontak RGP jenis ini masih sulit didapatkan

(Wahyuni, 2007).

2.3.3. Desain Lensa

Permukaan kurva dasar dari sebuah lensa kontak memiliki fungsi optikal

dan fungsi mengikat. Permukaan yang lebih datar mempunyai jari - jari lebih

panjang dari kurvatura, sebaliknya kurva yang curam memiliki jari - jari yang

pendek. Pencuraman dasar kurva meningatkan kelengkungan suatu lensa kontak.

Seperti juga lensa kaca mata, daya suatu lensa kontak dijelaskan sebagai daya

vertek posterior diukur dengan menempelkan lensa ketika adaptasi lensa kontak

dengat lensometer. Lensa RGP didisain berdasarkan: kurvatura kornea, jumlah

astigmatisma kornea, pemeriksaan refraksi, posisi kelopak dan ukuran palpebra

(Lye, 2005) (Khurana, 2006).

Lensa RGP dapat didesain dengan bentuk:

1. Lensa sferis

Merupakan lensa yang paling umum digunakan untuk memperbaiki

miopia dan hipermetropia. Lensa sferis mempunyai jari – jari kurvatura yang

sama dari suatu bagian datar. Satu jari – jari kurva dasar dan satu daya yang

digunakan untuk menentukan sebuah lensa sferis.

2. Lensa permukaan depan torik

Merupakan lensa torik dengan komponen silinder yang terletak dibagian

permukaan anterior lensa kontak, sedangkan bagian permukaan posteriornya lensa

sferis. Lensa jenis ini dapat dibuat dari semua jenis material tembus gas. Lensa

kontak ini digunakan untuk kelainan refraksi jenis astigmatisma dengan 1 – 2


dioptri. Lensa ini diperlukan apabila lensa RGP sferis tidak mengkoreksi

penglihatan dengan sepenuhnya akibat adanya astigmatisme sisa yang nyata.

3. Lensa permukaan belakang torik

Merupakan lensa torik dengan komponen silinder yang terletak dibagian

pemukaan posterior lensa kontak. Lensa ini mempunyai dua kurva dengan

kelengkungan yang berbeda. Satu kurva dipasang sesuai dengan kurvatura kornea

yang paling datar, sedangkan kurva yang satunya lagi disesuaikan dengan jumlah

astigmatisma korneanya. Lensa kontak ini digunakan untuk kelainan refraksi jenis

astigmatisma murni dengan lebih dari 2 dioptri. Apabila lensa sferis tidak mampu

memberi kepuasan fisik dan fisiologi dalam fitting, maka diperlukan lensa jenis

ini.

4. Lensa bitorik

Merupakan lensa torik dengan komponen silinder yang terletak dibagian

pemukaan anterior dan posterior lensa kontak. Lensa kontak ini digunakan untuk

kelainan refraksi jenis astigmatisma dengan lebih dari 2,5 dioptri. Bentuk dan

ketebalan tepi lensa kontak adalah faktor penting dalam kenyamanan pemakai

lensa kontak. Ketebalan minimum pusat dari lensa minus rendah atau daya plus

ditentukan oleh ketebalan lensa dan diameter yang diinginkan (Khurana, 2006).

2.3.4. Indikasi dan Kontraindikasi penggunaan Lensa Rigid Gas Permeable

2.3.4.1. Indikasi

Lensa kontak RGP dapat digunakan pada keadaan dry eye, dapat

mengoreksi kelainan astigmat, serta kondisi kornea yang irregular paska trauma,

operasi keratoplasti maupun operasi refraktif, dapat digunakan untuk mengontrol


progresivitas myopia dan dapat digunakan untuk pemakaian lensa jangka lama

karena kemampuan transmisi oksigen yang lebih besar dibanding lensa kontak

jenis lain

2.3.4.2. Kontraindikasi

Adanya kelainan pada kornea atau konjungtiva (contoh: keratitis,

pterigium), penggunaan obat-obatan yang dapat menghambat produksi air mata,

penyakit endokrin (tiroid, diabetes dan lain-lain), blefaritis, disfungsi kelenjar

meibomian, olahraga (renang), higiene yang jelek.

Pada pemeriksaan kondisi mata penting dilakukan pemeriksaan pupil

meliputi ukuran, bentuk, keadaan dan reaksi terhadap cahaya. Pengukuran pupil

sebenarnya penting terutama apabila lensa kontak akan diberikan tanpa

menggunakan trial lens terlebih dahulu . Pengukurannya dapat menggunakan

penggaris dan dilakukan dari limbus ke limbus melalui bagian tengah pupil.

Gambar 4. Cara pengukuran pupil dengan menggunakan penggaris milimeter

Sumber : Wahyuni dkk. Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 3. Departemen/SMF Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2007
Metode yang sama dapat digunakan untuk mengukur horizontal visible iris

diameter (HVID) untuk meghitung total diameter lensa. Dimensi kornea

horisontal dan vertikal didasarkan pada HVID dan vertical visible iris diameter
(VVID), karena zona transisi antara kornea dan skera sulit ditentukan dengan

mata telanjang (Wahyuni,2007).

Gambar 5. Skema Horisontal Visible Iris Diameter (HVID)

Sumber : Indri Wahyuni, Trisnowati Taib Saleh. Jurnal Oftalmologi Indonesia

Vol. 5, No. 3. Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Unair/RSU

Dr. Soetomo Surabaya. 2007

2.3.5. Pemeriksaan dan penyesuaian lensa RGP pada anak/bayi

Menurut Lindsay (2009), dalam menyesuiakan lensa kontak pada anak/infant di

butuhkan beberapa pemeriksaan, diantaranya :

1. Mengetahui sejarah kasus

Pastikan apakah anak lahir prematur atau cukup bulan. Hal ini penting,

karena anak yang lahir prematur mempunyai kurvatura kornea yang lebih curam

dan diameter kornea yang lebih kecil. Jika sebelumnya anak mempunyai masalah

dengan anestesi umum, hal ini mungkin dapat mengesampingkan kemungkinan

menggunakan anastesi untuk pemeriksaan dan penyesuaian lensa kontak yang

akan datang.

Katarak kongenital juga dapat berhubungan dengan penyakit sisteik lain

yang dapat membatalkan penggunaan lensa kontak


2. Pemeriksaan segmen anterior

Akan sangat baik jika dilakukan dengan hand-held sit lamp. Pemeriksaan

harus meliputi penilaian kelopak mata, chamber anterior, kornea, dan konjungtiva

dengan fluorscein dan blue light filter untuk memeriksa apakah ada nosa pada

kornea atau konjungtiva.

3. Keratometri

Keratometri digunakan untuk menentukan radius dari kurvatura pada

kornea. Akan sangat baik jika menggunakan hand-held autokeratometer (Lindsay,

2009).

4. Refraksi

Untuk menentukan adanya refraksi error pada pasien dapat dilakukan

pemeriksaan retinoskopi, teknik ini sangat berguna untuk kasus over-refraction

contact lens pada penyesuaian awal dan kunjungan perawatan selanjutnya

(Lindsay,2009)

Penggunaan anetesi umum pada saat pemeriksaan masih menjadi

kontroversi. Salah satu di antaranya, anastesi umum beresiko akan kematian.

Laporan terakhir di Amerika, kasus kematian pada saat dilakukannya prosedur

anasteri lokal sangatlah jarang, yakni dari 250.000 prosedur anastesi lokal, hanya

satu yang mengalami kematian. Resiko mortalitas pada saat anastesi pada anak

lebih tinggi di banding pada dewasa. Disamping itu, anestesi umum dapat

mempengaruhi tekanan intraokuler, anestesi umum dapat mengurangi tekanan

intraokuler yang berefek pada topografi pada kornea terganggu (Lindsay,2009).

Seminggu pasca operasi ekstraksi lensa, penyesuaian lensa kontak pada

pasien dilakukan. Sebaiknya dilakukan tanpa bantuan anestesi umum. Selanjutya


pasien di evaluasi, dikatakan gagal jika pasien hanya mampu menggunakan lensa

RGP dibawah 4 jam per hari. Penggantian dan evaluasi lensa RGP dilakukan

setahun pasca operasi ekstraksi lensa (Lambert, 2012).

Namun, disamping itu, dari beberapa kasus yang di laporkan oleh Woo

dkk (2013). Kunjungan, evaluasi, pemeriksaan, dan penggantian lensa RGP lebih

bergantung pada keluhan-keluhan yang timbul dari awal pemakaian lensa RGP

(Woo, 2013).
BAB III

PENGGUNAAN RIGID GAS PERMEABLE (RGP) UNTUK AFAKIA

PADA ANAK PASCA OPERASI KATARAK KONGENITAL DITINJAU

DARI SUDUT PANDANG ISLAM

3.1. Afakia Pasca Operasi Katarak Kongenital menurut padangan Islam

Katarak kongenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir pada

tahun pertama kehidupan dan merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak

yang sering di jumpai. Jika katarak tetap tak terdeteksi, kehilangan penglihatan

yang permanen dapat terjadi. Turunnya penglihatan akibat katarak tergantung

pada posisi kekeruhan lensa, jika kekeruhan lentikular timbul pada sumbu

penglihatan maka akan terjadi gangguan visus secara signifikan dan dapat

berlanjut menjadi kebutaan (Mansjoer, 2000).

Katarak kongenital secara umum terjadi 1 dalam setiap 2000 kelahiran

hidup, yang terjadi akibat gangguan pada perkembangan normal lensa. Prevalensi

pada negara berkembang sekitar 2-4 tiap 10.000 kelahiran hidup. Adapun

frekuensi kejadiannya sama antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Katarak

kongenital bertanggung jawab pada 10% kejadian kehilangan penglihatan pada

anak-anak (Lindsay, 2009).

Katarak kongenital merupakan kelainan bawaan yang berkembang sejak

janin dalam kandungan dan bergejala sebagai kekeruhan pada lensa saat bayi

dilahirkan. Insidensi katarak kongenital merupakan salah satu ketetapan Allah

SWT dalam menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi.

Sebagaimana firman Allah SWT:


Artinya:Katakanlah:"Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang
telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya
kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal" (Q.S at-
Taubah (9): 51)

Artinya: ”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (Q.S Al-Hadiid (57): 22)

Dari ayat-ayat diatas jelaslah bahwa segala yang terjadi adalah karena

kehendak Allah SWT, begitu juga dengan ciptaan-Nya. Allah SWT menciptakan

manusia dengan segala kekurangan serta kelebihannya (Zainuddin,1996).

Anak adalah anugerah dan amanah dari Allah SWT, oleh karena itu sudah

menjadi kewajiban orang tua agar mencari pengobatan bagi anaknya untuk

meningkatkan kualitas kelangsungan hidup (Zainuddin,1996).

Walaupun kesembuhan datang dari Allah SWT, orang tua tetap harus

mencari dan melakukan pengobatan terhadap penyakit anaknya. Pengobatan

hanyalah wasilah (perantara). Penggunaan obat ataupun metode pengobatan

lainnya bisa menyembuhkan, bisa juga tidak menyembuhkan jika Alah SWT

belum menghendaki atau menunda suatu penyembuhan. Atau bisa saja terjadi

Allah SWT memberikan penyembuhan tanpa menggunakan atau melalui


pengobatan apapun. Tanpa kehendak dan izin Allah SWT maka suatu penyakit

tidak dapat disembuhkan (Zainuddin,1996).

Allah SWT berfirman:

Artinya: ” Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak


ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Yunus (10): 107)

Bagi orang tua, disamping ikhtiar dan keyakinan, janganlah lupa berdo’a

untuk kesembuhan anaknya. Namun jika ternyata Allah SWT berkehendak lain

(tidak sembuh). Maka perlu diingat, kadangkala Allah SWT memberikan suatu

penyakit sebagai ujian dan jembatan bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri

kepada-Nya. Bagi seorang muslim, yang paling utama dalam hidup ini adalah

mendapatkan ridha Allah SWT, sehingga hal itu tidak perlu menjadi masalah

(Zuhroni dkk, 2003).

Mata merupakan salah satu indera yang sanggup menjangkau serta

menjalin hubungan alam dengan sekitarnya. Segala sesuatu yang dapat di jangkau

oleh indera tersebut merupakan hakikat kekuatan indera, Indera itu dinamakan

‘panca indera’ dan salah satu diantaranya adalah indera pengelihatan. Jiwa

manusia dapat mengenal berbagai yang ada di jagad raya melalui ‘jendela’ yang

menghubungkan dengan alam. Tanpa adanya ‘jendela’, kelak anak tidak akan

mengenal hakikat yang berada diluar jiwanya dan ia akan tetap berada dalam

ketidaktahuan (Habanakah, 1998).


Dalam pengambilan cara untuk mendapatkan kesembuhan (berobat)

haruslah memenuhi tiga syarat berikut agar tidak terjatuh dalam kesyirikan

(Shalih,1999):

1. Hati tetap bersandar pada Allah SWT. Bukan pada obat. Maksudnya,

ketika berusaha untuk mendapatkan kesehatan, hatinya senatiasa

bertawakkal dan memohon pertolongan pada Allah SWT demi

berpengaruhnya sebab tersebut. Hatinya tidak condong terhadap obat

tersebut sampai-sampai merasa tenang kepada obat, bukan kepada

Allah SWT. Apabila seseorang merasa pasti akan berhasil tatkala telah

memperhitungkan segala sesuatunya, maka ada padanya indikasi

bahwa hatinya telah bersandar kepada suatu obat. Bukan kepada Allah

SWT. Hal tersebut juga dapat di indikasikan ada pada diri orang yang

sangat kecewa atas sebuah kegagalan padahal orang itu merasa telah

mengambil atau mengerjakan pengobatan dengan sebaik-baiknya.

2. Pengobatan yang diambil harus terbukti secara syar’i maupun qodari.

Secara syar’i maksudnya terdapat dalil dalam Al-Qur’an dan Hadist

yang menyebutkan bahwa pengobatan tersebut dapat digunakan

sebagai sarana penyembuhan. Misalnya: membacakan ayat-ayat Al-

Qur’an sebagai terapi penyembuhan orang yang keerasukan jin, madu

sebagai sarana pengobatan sakit demam, dan lain sebagainya. Adapun

secara qodari adalah sudah menjadi sunatullah, atau pengalaman, atau

terbukti melalui penelitian ilmiah bahwa sebab tersebut dapat

digunakan sebagai terapi penyembuhan. Contohnya adalah

penggunaan obat-obatan kimiawi untuk mencegah atau mengobati


penyakit tertentu. Pengambilan sebab secara qodari ini dibagi menjadi

dua jenis hukum: halal dan haram. Yang pertama adalah sebab yang

halal misalnya parasetamol dan kompres air hangat untuk meredakan

demam. Adapun sebab yang haram misalnya penggunaan enzim

pankreas babi dan cangkok organ babi untuk pengobatan pada

manusia. Jika seseorang menetapkan sesuatu sebagai obat, sementara

Allah SWT tidak menetapkan sebagai obat, baik syar’i maupun qodari,

berarti dia telah menjadikan dirinya sekutu bagi Allah SWT dalam

hukum terhadap sesuatu.

3. Harus tetap memiliki keyakinan bahwa berpengaruh atau tidaknya

sebuah pengobatan hanya Allah SWT yang menakdirkannya, betapa

pun keampuhan obat tersebut. Artinya, jika Allah SWT menghendaki

untuk berpengaruh, maka akan dapat memberikan pengaruh sejalan

dengan sunatullah. Akan tetapi, jika Allah SWT menghendakitnya

untuk tidak berpengaruh, maka tidak akan memberikan pengaruh

apapun. Contohnya: api besar sunatullahnya akan mampu membakar

siapa saja. Namun tatkala Allah SWT menghendaki lain, maka api

tersebut menjadi dingin sebagai mana dalam kisah nabi Ibrahim.

Allah SWT Berfirman:

Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Q.S Al-
Anbiya (21): 35).
Artinya: ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.S Al-
Baqarah (2): 155)

Penatalaksanaan katarak kongenital tidak hanya dengan mengekstraksi

lensa yang keruh, namun juga harus mengkoreksi visus pengelihatan. Pasca

ekstraksi lensa, mata akan mengalami afakia, yaitu keadaan dimana tidak adanya

lensa. Keadaan ini mengakibatkan masalah pengelihatan, diantaranya adalah

turunnya visus, dan hipermetropi tinggi. Pada bayi/infant, afakia harus segera di

koreksi untuk menghindari amblyopia (Moore, 1996).

Penatalaksanaan dalam mengoreksi katarak pada anak/bayi dan dewasa

mempunyai banyak perbedaan. Terpenting diantaranya adalah peningkatan resiko

amblyopia. Orang dewasa dengan katarak kongenital sebelumnya mempunyai

pengalaman dalam pengelihatan yang normal, hal ini menurunkan/mengeliminasi

resiko berkembangnya amblyopia pada mata. Sendangkan katarak pada anak/bayi

sangat beresiko untuk menderita amblyopia. Jika penetalaksanaan tertunda sampai

lewat periode emas perkembangan mata, perngelihatan normal tidak akan

kembali/pulih (Moore, 1996).

Allah SWT membuat segala sesuatu sebaik-baiknya dan memulai

penciptaan manusia dari tanah. Kemudian di jadikanNya keturunan dari saripati

air yang hina (mani) (Yunus, 1994).


Allah SWT menciptakan kedua mata sebagia pusat indera pengelihatan

agar bisa menikmati keindahan-keindahan yang telah diberikan oleh Nya. Karena

itu seseorang yang sakit wajib hukumnya untuk berobat agar sembuh dari

penyakitnya sehingga dapat menggunakan akal pikiran dan tubuhnya dengan baik

dalam menjalankan perintah Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari. Setiap

muslim seharusnya meyakini bahwa Allah SWT lah yang menurunkan penyakit

dan Dia pula yang menurunkan obatnya (Zainuddin, 1996). Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT:

Artinya:“ Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak


ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Yunus (10): 107).

3.2. Pandangan Islam Tentang Kewajiban Memelihara Kesehatan Mata

Kesehatan merupakan nikmat Allah SWT yang sangat besar, yang

dilimpahkanNya kepada manusia, karena dengan tubuh yang sehat maka manusia

dapat melakukan segala aktifitas dengan lancar. Kesehatan merupakan suatu

keadaan yang sangat penting bagi manusia. Setiap manusia sangat mendambakan

kesehatan yang baik mulai dari anak yang baru lahir sampai yang berusia lanjut.

Kesehatan selalu di butuhkan guna kelangsungan hidup dan kebugaran tubuh.

Kesehatan tubuh menjadi hal pokok yang harus dimiliki oleh setiap orang

(Su’dan, 1997).
Agama Islam sangat menekankan agar menusia menjaga kesehatannya dan

juga menjaga tubuhnya dari setiap penyebab yang dapat menjadikannya menderita

sakit. Manusia dengan kondisi yang sehat dapat melakukan segala amal ibadah

dan menjalankan amar-ma’ruf nahi munkar serta dapat menjalankan segala

rutinitas sehari-hari dan dapat menjalankan segala tugasnya sebagai khalifah di

muka bumi ini (Su’dan,1997).

Menurut ajaran Islam, dimensi kesehatan bukan hanya kesehatan fisik,

mental, dan sosial saja tetapi islam juga melihat dimensi kesehatan meliputi sehat

fisik, mental, sosial dan sehat spiritual (Zulfikti, 1994). Hal inilah yang menjadi

landasan kuat bagi manusia dalam menjalani kehidupan sesuai dengan konsep

Hablummin Allah SWT Hablumminannas (Yunus, 1994).

Mata merupakan suatu kenikmatan yang harus di syukuri dengan sebaik-

baiknya, agar manusia dapat selamat dari siksa akibat perbuatan yang dilakukan

lewat mata tresebut. Islam telah memberikan ajaran bahwasanya mata itu

diciptakan agar dipergunakan untuk (Yunus, 1994):

1. Memperoleh petunjuk dalam kegelapan

Dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an dan Hadist serta fiqih

yang akan memberikan tuntunan dalam menjelajahi muamalat di

dunia.

2. Memperoleh pertolongan dari segala hajat kebutuhan

Dengan banyak diterimanya informasi serta peringatan-peringatan

yang bersifat visual yang akan mempermudah dalam memenuhi

kebutuhan dan pertolongan di dalam masyarakat.


3. Melihat dan menyaksikan segala kejadian yang ada dilangit dan

dibumi, yang selanjutnya dapat mengambil manfaat dan bersyukur

terhadap keagungan dan kekuasaan Allah SWT.

Organ pengelihatan tersebut harus dijaga, dipelihara, dan diobati dengan

baik apabila mengalami gangguan. Pada prinsipnya syariat islam menganjurkan

belajar ilmu kedokteran dan memperaktikannya karena tujuan untuk kemaslahatan

manusia, bermanfaat bagi mereka dan kesehatan tubuh mereka (Zainuddin,1996).

Dengan demikian maka mata harus selalu dijaga dan di pelihara dari empat

hal, yaitu (Zainuddin,1996):

1. Melihat orang lain yang bukan mahramnya tanpa ada keperluan,

berpotensi menimbulkan dorongan nafsuyang akan mengarah kepada

tindakan maksiat.

2. Melihat dan mendang orang Islam dengan menunjukan kesinisan dan

meremehkan. Menjadikan sifat takabur dalam diri dan berpotensi

memutuskan tali silahturahmi di dalam masyarakat.

3. Melihat aneka ragam keindahan bentuk dan rupa yang membuka dan

menimbulkan keinginan nafsu.

4. Untuk melihat, yang menjadikan takutnya orang Islam. Dengan

menyatakan bahwa di tempat tertentu atau di dalam diri orang

tertentu terdapat “penampakan” atau makhluk lain yang dapat

menimbulkanbeban mental bagi orang yang terkena.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa setelah perbaikan visus

pada anak dengan afakia pasca operasi katarak kongenital, diharapkan anak
tersebut dapat menggunakan sebaik mungkin indra pengelihatannya, menjaga

kesehatan matanya, dan dapat menjaga sebaik mungkin pandangannya.

3.3. Penggunaan RGP untuk Afakia pada Anak Pasca Operasi Katarak

Kongenital Ditinjau dari Sudut Pandang Islam

Rigid Gas Permeable merupakan salah satu hasil dari kemajuan teknologi

di bidang kedokteran mata. Penatalaksanaan dengan menggunakan RGP

sebelumnya telah disesuaikan ukurannya terlebih dahulu dengan dengan lensa

bola mata pemakai, sehingga pemakai dapat melihat kembali secara normal.

(Wahyuni, 2007).

Setelah pengangkatan lensa pada katarak kongenital, maka mata anak/bayi

akan mengalami afakia, yaitu keadaan dimana mata tidak lagi memiliki lensa.

Rafii, Shirzadeh dkk (2013) menjelaskan bahwa pengelihatan anak dengan afakia

dapat di koreksi dengan beberapa cara. Menurut letaknya, di bedakan atas koreksi

secara eksternal dan IOL (internal). Penggunaan RGP adalah koreksi tajam

pengelihatan secara eksternal. Bahan-bahan yang digunakan pada RGP sebagian

besar bersifat cair (hirophillic) dan tidak mengandung unsur haram didalamnya

sehingga boleh digunakan karena pada dasarnya Islam memperbolehkan sesuatu

apa saja sebagai bahan obat, dengan syarat bahan yang dipakai haruslah dengan

yang halal dan dilarang menggunakan cara atau obat yang melanggar ketentuan

agama. Dalam hadist Rasulullah SAW menganjurkan agar berobat namun di

larang menggunakan yang haram, antara lain:

َّ‫لَّتهده هاو ْوا‬ َِّ ‫لَّ ِل ُك‬


َّ ‫لَّدهاءََّّده هواءََّّفهتهده هاو ْواَّ هو ه‬ َّ‫ّللاهَّأ ه ْنزه ه‬
َّ‫َّ هو هجعه ه‬،‫لَّالدا هَّءَّ هوالد هوا هء‬ َّ ََّّ‫إِن‬

َّ‫ِب هح هرام‬
Artinya:“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya. Dan Allah
menetapkan untuk setiap penyakit ada obatnya. Karena itu, carilah obat itu
dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud).

Allah SWT berfirman:

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka574. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Al-A'raf (7): 157)

Menurut Islam semua pengobatan yang bermanfaat boleh digunakan,

termasuk pengobatan dengan metode medis maupun alternatif, seperti operasi,

obat, suntikan dan lain-lain. Sepanjang tidak menggunakan bahan yang

diharamkan, maka semua yang bermanfaat adalah halal hukumnya (Zuhroni,

2008). Imam muslim meriwayatkan dari abu zubair yang meriwayatkan dari Jabir

bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫اءَّبه هرأهَّبِإ ِ ْذ ِنَّهللاَِّ هعز ه‬


َّ‫َّوَّ هجل‬ ِ ‫ْبَّده هوا ُءَّالد‬ ِ ُ ‫َّفهإِذهاَّأ‬،‫ِل ُك ِلَّدهاءَّده هوا ُء‬
‫صي ه‬
Artinya:“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu tepat untuk suatu penyakit,
penyakit itu akan sembuh dengan seizin Allah ‘Azza wa Jalla.”
(HR.Muslim).

Yang dimaksud hadist tersebut adalah orang tua yang mempunyai anak

dengan afakia pasca operasi katarak kongenital harus berusaha untuk berobat

kepada ahlinya sehingga pengobatan yang di berikan sesuai. Jika penyakit diobati

sesuai dengan prosedur dan terapinya maka atas izin Allah SWT, penyakit

tersebut akan sembuh. Oleh sebab itu, orang tua seharusnya tidak hanya berusaha

tapi juga harus selalu berdo’a untuk kesembuhan anaknya. (Zuhroni, 2003)

Islam melarang melakukan tindakan yang dapat mencelakakan diri sendiri

dan orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Hadist Rasullulah SAW:

َّ‫ار‬
‫ض هر ه‬ َّ ‫ض هر هَّرَّ هو ه‬
ِ َّ‫ل‬ َّ ‫ه‬
‫لَّ ه‬
Artinya:“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
(HR. Ibn Majah dan Ahmad).

Hadist tersebut menjelaskan bahwa sebagai seorang dokter muslim dalam

memberikan pengobatan terhadap pasien termasuk mengkoreksi tajam

pengelihatan pada anak dengan afakia psca operasi katarak kongenital, harus

benar-benar memikirkan manfaat dan mudharatnya. Selain itu harus memilih

pengobatan yang tepat dan sesuai dengan penyakitnya. Jangan sampai tindakan

seorang dokter menyebabkan kemudharatan terhadap pasiennya. (Zuhroni dkk,

2003).

Seperti yang di riwayatkan Bukhari:

ُ‫شفهاءَّله َّه‬ َّ‫هللاُ دهاءَّ ِإلَّ أ ه ْنزه ه‬


‫ل ه‬ َّ ‫أ ه ْنزه هلَّ هما‬
Artinya:“Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”
(HR. Bukhari)

Demikianlah Islam menganjurkan umatnya untuk berobat apabila sakit, dan

berobatlah pada dokter yang menguasai medis sebagai ahlinya, sehingga upaya

penyembuhan mendapat hasil yang maksimal (Zuhroni dkk, 2003). Karena Jika

seseorang yang sakit tidak berobat kepada ahlinya yaitu dokter, maka lambat laun

akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan lama-kelamaan akan menyebabkan

kehancuran atau kebutaan (Yunus, 1994).

Penggunaan RGP sebagai koreksi tajam pengelihatan saat ini merupakan

teknologi terbaru. Teknologi sendiri dapat di ibaratkan sebuah pedang bermata

dua yang dapat digunakan untuk tujuan baik dan jahat sekaligus. Suatu teknologi

dapat memberikan manfaat dan musdharat yang banyak, tergantung bagaimana

manusia menggunakannya.

Jika di bandingkan dengan terapi lainnya, penggunaan RGP memiliki lebih

banyak keunggulan dan sedikit komplikasi. Dalam islam, apabila dalam

pengobatan, di perkirakan terdapat kerusakan yang lebih besar maka hal ini tidak

boleh di perbolehkan. Seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang

membahayakan, sehingga harus mempertimbangkan antara keuntungan dan

kerugian dari suatu obat yang di gunakan (Uddin, 2003). Hal ini menjadi dasar

pemilihan RGP oleh karena lebih banyak memberikan manfaat dan lebih sedikit

mudharat yang ditimbulkan di banding terapi lainnya.

Hal ini sesuai dengan Hadist Rasullulah SAW:

‫إذاَّتعارضَّضررانَّدفعَّأخفهما‬
Artinya:“Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang
paling ringan.” (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa agama islam

memperbolehkan pengunaan RGP untuk afakia pada anak pasca katarak

kongenital, karena terapi tersebut merupakan suatu bentuk perkembangan

teknologi yang bermanfaat sebagai pengobatan dan sesuai dengan ajaran Islam.
BAB IV
KAITAN PANDANGAN KEDOKTERAN DAN ISLAM TERHADAP
PENGGUNAAN RGP (RIGID GAS PERMEABLE) SEBAGAI
KOREKSI AFAKIA PADA ANAK PASCA OPERASI
KATARAK KONGENITAL

Berdasarkan penjelasan pada bab II dan bab III, maka dapat ditemukan

kaitan pandangan antara ilmu kedokteran dan islam, antara lain:

Menurut pandangan kedokteran tentang penggunaan RGP (Rigid Gas

Permeable) sebagai koreksi afakia pada anak pasca operasi katarak kongenital

dapat menjadi pilihan terapi terbaik, karena dapat mencegah komplikasi terjadinya

amblyopia dan luksasi lensa intraokular jika dilakukakn pemasangan IOL saat

umur anak kurang dari 2 tahun. RGP juga mempunyai daya oksigenasi yang lebih

baik di banding lensa kontak jenis lainnya.

Menurut pandangan Islam tentang penggunaan RGP (Rigid Gas

Permeable) sebagai koreksi afakia pada anak pasca operasi katarak kongenital di

perbolehkan karena terapi tersebut merupakan suatu bentuk perkembangan

teknologi yang bermanfaat sebagai pengobatan dan tidak mengandung unsur yang

haram pada bahan pembentuknya.

Kedokteran dan islam sependapat bahwa penggunaan RGP (Rigid Gas

Permeable) sebagai koreksi afakia pada anak pasca operasi katarak kongenital

diperbolehkan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Katarak Kongenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir

pada tahun pertama Setelah pengangkatan lensa pada katarak

kongenital, maka mata anak/bayi akan mengalami afakia, yaitu

keadaan dimana mata tidak lagi memiliki lensa. Setelah anak menjadi

afakia, visus pengelihatan anak perlu di koreksi. Dalam

penatalaksanaannya, katarak kongenital perlu di ekstraksi melalui

tinfakan bedah. Tindakan bedah pada katarak kongenital yang umum

dikenal adalah disisio lensa, ekstraksi liniar, ekstraksi dengan aspirasi.

Setelah mengekstraksi lensa, mata perlu mendapatkan koreksi tajam

pengelihatan dengan beberapa cara. Menurut letaknya, di bedakan atas

koreksi secara eksternal dan IOL (internal).

2. Komplikasi yang paling mungkin terjadi sebelum ekstraksi lensa

pada katarak kongenital adalah amblyopia, karena selama masa

perkembangan mata anak belum pernah melihat secara normal. Jika

sudah menjadi amblyopia, maka visus pada mata anak tidak akan bisa

pulih. Sedangkan komplikasi setelah pengangkatan kapsul lensa adalah

sering terjadinya subluksasi lensa IOL ketika anak sudah mulai

beranjak dewasa jika tajam pengelihatan dikoreksi dengan IOL.

3. Pengelihatan anak dengan afakia dapat di koreksi dengan beberapa

cara. Menurut letaknya, di bedakan atas koreksi secara eksternal dan

IOL Koreksi pengelihatan pada anak/bayi dengan afakia secara


eksternal diantranya adalah kacamata afakia, kontak lens afakia.

Sedangkan, secara internal, koreksi afakia adalah dengan

menggunakan Intra Ocular Lens (IOL).

4. Lensa RGP lebih mudah digunakan and jarang tertanggal dari

kornea. Jika dibandingkan dengan lensa kontak lunak (soft lens),

pengguna RGP perlu waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan

lensanya. Namun, RGP akan lebih nyaman jika dipakai pada waktu

yang lama, hal ini karena RGP bersifat mudah dilalui oksigen sehingga

kornea dapat berfungsi dengan baik, dan pada saat penggunaan RGP,

oksigen bukan hanya didapat pada saat mata berkedip, tapi juga dari

udara bebas yang dapat melalui lensa untuk mencapai kornea.

Seminggu pasca operasi ekstraksi lensa, penyesuaian lensa kontak

pada pasien dilakukan. Selanjutya pasien di evaluasi, dikatakan gagal

jika pasien hanya mampu menggunakan lensa RGP dibawah 4 jam per

hari. Penggantian dan evaluasi lensa RGP dilakukan setahun pasca

operasi ekstraksi lensa.

5. Anak merupakan anugerah dari Allah SWT yang harus dirawat dan

di jaga. Dalam mencari pengobatan, hendaknya orang tua memenuhi

tiga syarat agar tidak masuk dalam kesyirikan, diantara hati tetap

bersandar pada Allah SWT bukan obat, pengobatan harus terbukti

secara syar’i maupun qodari, dan memiliki keyakinan bahwa

berpengaruh atau tidaknya sebuah pengobatan hanya Allah SWT yang

menakdirkannya.
6. Pada prinsipnya Islam menekankan untuk senantiasa menjaga

kesehatan mata, karena mata sangat berfungsi untuk menunjang segala

rutinitas sehari-hari, termasuk beribadah.

7. RGP (rigid gas permeable) merupakan teknologi terbaru di bidang

kedokteran mata. Bahan yang digunakan pada RGP tidak mengandung

unsur haram didalamnya. Penggunaan RGP sebagai koreksi tajam

pengelihatan di perbolehkan dalam islam karena lebih banyak

memberikan manfaat dan lebih sedikit mudharat yang ditimbulkan di

banding terapi lainnya.

5.1. Saran

1. Kepada Dokter

Disarankan kepada dokter untuk bisa lebih mengkaji lebih jauh tentang

penggunaan RGP (Rigid Gas Permeable) pada anak dengan afakia pasca

operasi katarak kongenital, karena bisa menjadi salah satu pilihan utama

untuk dapat memperbaiki tajam pengelihatan anak dengan afakia. Diharapkan

dokter juga dapat mengedukasi dengan baik kepada orang tua pasien

mengenai bagaimana cara penggunaan RGP dan evaluasinya.

2. Kepada Masyarakat

Diharapkan agar masyarakat terlebih orang tua dengan afakia pasca operasi

katarak kongenital segera mencari pengobatan untuk memperbaiki tajam

pengelihatan anak sebelum lewat masa emas perkembangan mata agar dapat

menghindari komplikasi berupa amblyopia.


3. Kepada Peneliti

Disarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut

tentang memperbaiki tajam pengelihatan dengan menggunakan RGP, dan

mengembangkan keunggulan RGP sebagai terapi tajam pengelihatan.

4. Kepada Pemerintah

Diharapkan pemerintah dapat menunjang penelitian yang berhubungan

dengan pencarian terapi pada anak dengan afakia pasca operasi katarak

kongenital dari segi fasilitas, sumber daya, dan biaya.

5. Kepada Ulama

Diharapkan ulama dapat menyebarkan dakwah agar orang tua menganggap

anak sebagai anugerah yang perlu di rawat termasuk mencarikan pengobatan

yang terbaik sesuai syariat Islam jika anak sakit. Serta memberikan

pemahaman tentang bagaimana merawat kesehatan mata dan menjaga

pandangan sesuai syariat Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya 2006. Departemen Agama RI. Cetakan ke-10:


Jakarta.
Agarwal dkk. 2002. Textbook of Ophtalmology. Jaypee Brothers Medical
Publisher: India.
Al Ghozie dkk, 2002. Handbook of Ophtalmology. A Guide to Medical
Examination: UK.
American Academy of Opthamology Staff, 2006. Rigid gas Permeable lens,
dalam Clinical Optic Basic and Clinical Science Course: San Fransisco
Amos CF dkk. 1992. Rigid Gas Permeable Contact Lens Correction of Aphakia
Following Congenital Cataract Removal During Infancy. Journal of
Pediatric Strabismus: USA
Borisovsky, Giad dkk. 2013. Result of Congnital Cataract Extraction with and
without Primary IOL implantanation in infant and children. Clinilcal and
Experimental Ophthalmology: USA
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta
Friedman NJ, Kaiser PK. 2010. Essentials of Ophthalmology. Elsevier Inc:
Singapore
Habanakah A. 1998. Pokok-pokok Akidah Islam. Gema Insani Press.
JakartaShalih ASM, 1999. Syarah Kitab Tauhid Jilid I. Darul Fatah:
Jakarta.
Hannah Neng. 2014. Pandangan Islam tentang Pengasuhan Anak. Edisi 45.
Suplemen Jiwa: Jakarta
Ilyas S, 2004. Kelainan Refrakasi dan Koreksi Penglihatan. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Ilyas S, 2000. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Ilyas S, 1998. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta
Jugno SR, Carol D. 2001. The British Congenital Cataract Interest Group,
Measuring and Interpreting the Incidence of Congenital Ocular Anomalies:
Lessons from a National Study of Congenital Cataract in the UK.Tersedia
di http://www.iovs.org/misc.shtml. Diakses tanggal 3 Februari 2015
Khurana AK, 2003. Opthalmology. New Age International: New Delhi.
Lambert SR dkk. 2013. Long Term Risk of Glaucoma After Katarak Kongenital
Surgery. Elsvier Science Inc: New York.
Linda, Hunter DG dkk. 2012. Contact Lenses in Children: Getting it Right-Lens,
Age and Need. Clinical Update Pediatrics: USA.
Lindsay RG, Chii JT. 2009. Contack Lens Management of Infantile Aphakia.
Elsevier Inc: New York
Lundstrom M dkk, 2004. Postoperative aphakia in modern cataract surgery: part
2: detailed analysis of the cause of aphakia and the visual outcome. Elsvier
Science Inc: New York.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid I. Media
Aesculapis FKUI: Jakarta
Moore DB. 1994. Pediatric Cataracts-Diagnosis and Treatment. American
Academy of Optometry: Massachusetts.
Martinez SP dkk. 2009. Congenital Cataracts: Complications and Functional
Ressult According to Different Surgical Techniques. Elsvier Science Inc:
New York.
Mosby. 2008. Posterior polar cataract. Saudi Journal Ophtalmol: Saudia Arabia
Mutiarasari, Handayani. 2011. Katarak Juvenil. Inspirasi No.XIV: Jakarta
Neil J F, Kaiser PK. 2007. Essentials of Ophthalmology. Elsevier .
Rafii AB, Shirzadeh dkk. 2014. Optical Correction of Aphakia in Children.
Journal of Ophtalmic and Vision Research: Iran,
Sherwood Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC: Jakarta
Smeltzer, Hollick EJ dkk. 2002. Lens Epithelial Cell Regresion on the Posterior
Capsule With Different Intraocular Lens Material. BJ Opthamol: USA
Su’dan, 1997. Konsep Kesehatan Dalam Islam. Tersedia di
http://www.psikolog2.tripod.com. Diakses tanggal 11 Maret 2017.
Uddin, 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Departemen
Agama RI: Jakarta.
Vaughan DG dan Asbury T, 2000. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika:
Jakarta.
Wahyuni Indri, Saleh. 2007. Fitting Lensa Kontak Rigid Gas Permeable (RGP).
Jurnal Oftalmologi Indonesia: Surabaya.
Woo Minhe dkk, 2013. Long-term Visual and Ocular Health Outcomes of 2 Sets
of Bilaterally Aphakic Siblings Utilizing Contact Lens Correction. Elsvier
Science Inc: New York.
Wijana dan Nana SD, 1993. Ilmu Penyakit Mata. Penerbit Abadi Tegal: Jakarta.
Yunus Z 1994.Kesehatan Menurut Islam. Balai Pustaka: Jakarta.
Yunus,1997. Islam dan Pengobatan. Institute perkembangan minda: Kuala
Lumpur.
Zainuddin M, 1996. Tanya Jawab Agama dan Kehidupan. Lentera Basari: Jakarta
Zuhroni, Riani N, Nazaruddin N, 2003. Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan
kedokteran 2. Depag RI: Jakarta
Zuhroni, 2008. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran (Fiqih
Konrenporer). Edisi ke-II. Depag RI: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai