Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

GANGGUAN CEMAS (GANGGUAN CEMAS MENYELURUH, GANGGUAN


PANIK, FOBIA, GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF, GANGGUAN STRES
PASCA TRAUMA) FOKUS PADA KRITERIA DIAGNOSTIK

DisusunOleh:
Kayla Audivisi
1102012139

Pembimbing :
dr. Esther, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
Rumah Sakit Bhayangkara TK.I R. Said Sukanto
PERIODE 25 DESEMBER 2017 – 27 JANUARI 2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-Nya, pembuatan karya tulis berupa referat bidang ilmu kesehatan jiwa yang
berjudul “Gangguan Cemas (Gangguan Cemas Menyeluruh, Gangguan Panik, Fobia,
Gangguan Obsesif Kompulsif, Gangguan Stres Pasca Trauma) Fokus pada Kriteria
Diagnostik” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis referat ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan ilmu kesehatan jiwa di RS POLRI said Sukanto periode 25 Desember
2017 – 27 Januari 2018 agar dapat menerima kelulusan pada bidang kepaniteraan yang
bersangkutan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan referat ini.Terutama pembimbing kepada dr. Esther, Sp.KJ sebagai
pembimbing utama referat ini, serta para perawat bagian jiwa, rekan-rekan coass jiwa FK
Yarsi dan semua pihak yang memberi arahan dan dukungan dalam proses penyelesaian
referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan
masukan yang diberikan agar referat ini menjadi lebih sempurna. Akhir kata, semoga
referat ini dapat berguna bagi penulis dan pembacanya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, Januari 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pengalaman kecemasan memiliki dua komponen: kesadaran akan sensasi fisiologis


(seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa ia gugup atau ketakutan. Selain
pengaruh viseral dan motorik, kecemasan memengaruhi pikiran, persepsi, dan
pembelajaran. Kecemasan cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi,
tidak hanya persepsi waktu dan ruang tetapi juga orang dan arti peristiwa. Distorsi ini
dapat mengganggu proses pembelajaran dengan menurunkan konsentrasi, mengurangi
daya ingat, dan mengganggu kemampuan menghubungkan satu hal dengan hal lain—yaitu
membuat asosiasi.

Aspek penting emosi adalah efeknya pada selektivitas perhatian. Orang yang
mengalami kecemasan cenderung memperhatikan hal tertentu di dalam lingkungannya dan
mengabaikan hal lain dalam upaya untuk membuktikan bahwa mereka dibenarkan untuk
menganggap situasi tersebut menakutkan. Jika keliru dalam membenarkan rasa takutnya,
mereka akan meningkatkan kecemasan dengan respons yang selektif dan membentuk
lingkaran setan kecemasan, persepsi yang mengalami distorsi, dan kecemasan yang
meningkat. Jika sebaliknya, mereka dengan keliru menentramkan diri mereka dengan
pikiran selektif, kecemasan yang tepat dapat berkurang, dan mereka dapat gagal
mengambil tindakan pertahanan yang perlu.

3
BAB II

GANGGUAN CEMAS

Definisi Gangguan Cemas

Cemas di definisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan


adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan
untuk mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri
kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah.

Rasa cemas dapat dating dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya
terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga.
Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang sendiri.

Tanda dan Gejala Gangguan Cemas

Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni,


kesadaran terhadap sensasi fisiologis ( palpitasi atau berkeringat ) dan kesadaran terhadap
rasa gugup atau takut. Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga
mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut
menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat menganggu belajar
dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan
menganggu kemampuan untuk menghubungkan satu hal dengan lainnya.

Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan
melakukan seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi
mereka mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.

4
BAB III

KLASIFIKASI GANGGUAN CEMAS

III.1. GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

Gangguan Cemas Menyeluruh

Revisi edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR)
mendefinisikan gangguan cemas menyeluruh sebagai cemas dan kekhawatiran yang
berlebihan mengenai beberapa peristiwa atau aktivitas hampir sepanjang hari selama
sedikitnya 6 bulan.

Epidemiologi Gangguan Cemas Menyeluruh

Prevalensi gangguan cemas menyeluruh antara 3-8% dan rasio antara perempuan
dan laki-laki sekitar 2:1. Usia onset sukar untuk ditentukan karena mereka melaporkan
mengalami kecemasan selama yang dapat mereka ingat.

Etiologi Gangguan Cemas Menyeluruh

Faktor Biologi

Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ini adalah lobus oksipitalis yang
mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik dan
korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat pada timbulnya gangguan ini. Pada pasien juga
ditemukan sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan adalah
GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat, dan kolesitokinin. Pemeriksaan PET (Positron
Emission Tomography) ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa
putih otak.

Teori Genetik

Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien gangguan anxietas
menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga

5
tingkat pertama penderita juga mengalami gangguan yang sama. Sedangkan penelitian
pada pasangan kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada
kembar dizigotik.

Teori Psikoanalitik

Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari konflik bawah
sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif anxietas dihubungkan
dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi dihubungkan
dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Anxietas kastrasi berhubungan dengan
fase oedipal sedangkan anxietas superego merupakan ketakutan seseorang untuk
mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri (merupakan anxietas yang paling matang).
Teori Kognitif Perilaku

Penderita berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman, disebabkan oleh
perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif pada lingkungannya, adanya distorsi pada
pemrosesan informasi dan pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk
menghadapi ancaman.

Tanda dan Gejala Klinis Gangguan Cemas Menyeluruh

Gejala utama adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom, dan


kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan mempengaruhi aspek
kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan dan
sakit kepala. Hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk pernafasan yang pendek,
berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran pencernaan. Terdapat juga kewaspadaan
kognitif dalam bentuk iritabilitas.

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk Gangguan Cemas Menyeluruh


A. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (perkiraan yang menakutkan), terjadi
hampir setiap hari selama setidaknya 6 bulan, mengenai sejumlah kejadian atau
aktivitas (seperti bekerja atau bersekolah).
B. Orang tersebut merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.
C. Kecemasan dan kekhawatiran dikaitkan dengan tiga (atau lebih) dari keenam
gejala berikut (dengan beberapa gejala setidaknya muncul hampir setiap hari
selama 6 bulan).
Perhatikan: hanya satu gejala yang diperlukan pada anak-anak

6
1. gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok
2. mudah merasa lelah
3. sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. mudah marah
5. otot tegang
6. gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur yang gelisah dan tidak
puas)
D. Fokus dari kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas hanya pada gambaran
gangguan Aksis I, misalnya cemas bukan karena mengalami serangan panik
(seperti pada gangguan panik), merasa malu berada di keramaian (seperti pada
fobia sosial), merasa kotor (seperti pada gangguan obsesif kompulsif), jauh dari
rumah atau kerabat dekat (seperti pada gangguan kecemasan perpisahan),
bertambah berat badan (seperti pada anoreksia nervosa), mengalami keluhan fisik
berganda (seperti pada gangguan somatisasi), atau mengalami penyakit serius
(seperti pada hipokondriasis), juga kecemasan dan kekhawatiran tidak hanya
terjadi selama gangguan stres pasca trauma.
E. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan distres yang secara klinis
bermakna atau hendaya sosial, pekerjaan, atau area penting fungsi lainnya.
F. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat) atau keadaan medis umum (misalnya hipertiroidisme) dan
tidak terjadi hanya selama gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan
perkembangan pervasif.

7
III.2. GANGGUAN PANIK

Gangguan Panik

Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak diduga dan spontan
yang terdiri atas periode rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah
serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun.
Gangguan panik dering disertai agorafobia, yaitu rasa takut sendirian di tempat umum,
terutama tempat yang sulit untuk keluar dengan cepat saat terjadi serangan panik.

Epidemiologi Gangguan Panik

Jenis kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Faktor
sosial satu-satunya yang dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah
riwayat perceraian atau perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang
pada dewasa muda, usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun, walaupun dapat
berkembang pada setiap usia.

Etiologi Gangguan Panik

Faktor Biologis

Gejala gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam
struktur otak dan fungsi otak. Beberapa penelitian telah menghasilkan hipotesis yang
menyebabkan disregulasi sistem saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan
panik. Sistem saraf otonomik dapat menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi
secara lambat terhadap stimuli yang berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap
stimuli yang sedang.

Sistem neurotransmitter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan


gammaaminobutyric acid (GABA).

Faktor Genetika

Angka prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan
panik. Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik
sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan gangguan panik

8
dibandingkan dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan gangguan
psikiatrik lainnya. Demikian juga pada kembar monozigot.

Faktor Psikososial

Teori kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang
dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik.

Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan


yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang
sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan
yang melanda, lengkap dengan gejala somatik.

Peneliti menyatakan bahwa serangan panik kemungkinan melibatkan arti bawah sadar
peristiwa yang menegangkan dan bahwa patogenesis serangan panik mungkin
berhubungan dengan faktor neurofisiologis yang dipicu oleh reaksi psikologis.

Tanda dan Gejala Klinis Gangguan Panik

Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relatif
singkat dan disertai gejala somatik. Suatu serangan panik secara tiba-tiba akan
menyebabkan minimal 4 dari gejala-gejala somatik berikut:

1. Palpitasi
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sesak napas
5. Perasaan tercekik
6. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
7. Mual dan gangguan perut
8. Pusing, bergoyang, melayang atau pingsan
9. Derealisasi atau depersonalisasi
10. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila
11. Rasa takut mati
12. Parestesi atau mati rasa
13. Menggigil atau perasaan panas.

9
Serangan panik sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat
selama 10 menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan
ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber
ketakutannya.

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Serangan Panik


Catatan: Serangan panik bukanlah gangguan yang diberi kode.
Suatu periode diskret rasa takut atau ketidaknyamanan yang intens, dengan tiba-tiba
timbul empat (atau lebih) gejala berikut dan mencapai puncaknya dalam 10 menit.
(1) palpitasi, jantung berdebar, atau denyut jantung meningkat
(2) berkeringat
(3) gemetar
(4) rasa napas pendek atau tercekik
(5) rasa tersedak
(6) nyeri atau tidak nyaman di dada
(7) mual atau gangguan abdomen
(8) rasa pusing, tidak stabil, kepala terasa ringan, atau pingsan
(9) derealisasi (rasa tidak nyata) atau depersonalisasi (lepas dari diri sendiri)
(10) rasa takut kehilangan kendali atau menjadi gila
(11) rasa takut mati
(12) parestesi (kebas atau rasa kesemutan)
(13) menggigil atau rona merah di wajah
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Panik Tanpa Agorafobia
A. Mengalami (1) dan (2):
(1) serangan panik berulang yang tidak diduga
(2) sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah satu
(atau lebih) hal berikut:
(a) kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan
(b) khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (contoh: hilang kendali,
serangan jantung, “menjadi gila”)
(c) perubahan perilaku bermakna terkait serangan
B. Tidak ada agorafobia

10
C. Serangan panik tidak disebabkan efek fisiologis langsung zat (contoh:
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (contoh:
hipertiroidisme)
D. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti fobia
sosial (contoh: pajanan terhadap situasi sosial yang ditakuti), fobia spesifik (contoh:
pajanan terhadap situasi fobik tertentu), gangguan obsesif kompulsif (contoh:
pajanan terhadap kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi),
gangguan stres pasca trauma (contoh: respons terhadap rangsangan terkait stresor
berat), atau gangguan kecemasan perpisahan (contoh: respons terhadap jauh dari
rumah atau kerabat dekat).

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Gangguan Panik dengan Agorafobia


A. Mengalami (1) dan (2):
(1) serangan panik berulang yang tidak diduga
(2) sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah
satu (atau lebih) hal berikut:
(d) kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan
(e) khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (contoh: hilang kendali,
serangan jantung, “menjadi gila”)
(f) perubahan perilaku bermakna terkait serangan
B. Adanya agorafobia
C. Serangan panik tidak disebabkan efek fisiologis langsung zat (contoh:
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (contoh:
hipertiroidisme)
D. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti fobia
sosial (contoh: pajanan terhadap situasi sosial yang ditakuti), fobia spesifik
(contoh: pajanan terhadap situasi fobik tertentu), gangguan obsesif kompulsif
(contoh: pajanan terhadap kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang
kontaminasi), gangguan stres pasca trauma (contoh: respons terhadap rangsangan
terkait stresor berat), atau gangguan kecemasan perpisahan (contoh: respons
terhadap jauh dari rumah atau kerabat dekat).

11
III.3. FOBIA

Fobia
Istilah fobia mengacu pada rasa takut yang berlebihan terhadap suatu objek, situasi, atau
keadaan tertentu.
Fobia spesifik adalah adanya rasa takut yang kuat dan menetap akan suatu objek atau
situasi, sedangkan fobia sosial adalah adanya rasa takut yang kuat dan menetap akan
situasi yang dapat menimbulkan rasa malu.

Epidemiologi Fobia

Diperkirakan 5 – 10 % dari seluruh populasi mengalami gangguan ini. Gangguan


yang ditimbulkan dari fobia, apabila tidak dihiraukan, dapat menyebabkan munculnya
gangguan cemas lainnya, gangguan depresi, dan gangguan yang berhubungan dengan
penggunaan obat terlarang dan alkhohol.

Fobia spesifik lebih sering dijumpai dibandingkan dengan fobia sosial. Gangguan
ini paling sering dialami perempuan dan kedua tersering pada pria. Prevalensi 6 bulan
fobia spesifik berkisar antara 5 – 10 / 100 orang. Rasio wanita berbanding laki – laki
adalah 2 : 1, walaupun rasio untuk fobia terhadap darah, injeksi dan cedera berkisar antara
1 : 1. Puncak onset fobia spesifik darah-suntikan-sakit berkisar antara 5 – 9 tahun.
Sedangkan puncak onset fobia situasional berkisar pada umur 20. Umumnya objek
penyebab rasa takut adalah hewan, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.

Prevalensi untuk fobia sosial berkisar antara 3 – 13 %. Untuk prevalensi 6


bulannya berkisar antara 2 – 3 / 100 orang dimana kaum perempuan lebih sering
mengalami fobia sosial dibandingkan pria, namun pada studi klinis seringkali ditemukan
kebalikannya. Puncak onset fobia sosial adalah pada masa remaja, namun berkisar antara
usia 5 hingga 35 tahun.

Etiopatogenesis Fobia

Prinsip-prinsip umum pada fobia terdiri dari faktor psikoanalitik dan faktor
perilaku.

12
Faktor Psikoanalitik

Teori Sigmund Freud menyatakan neurosis fobik, merupakan penjelasan analitik


untuk fobia spesifik dan fobia sosial. Rasa cemas adalah sinyal untuk menyadarkan ego,
bahwa dorongan terlarang di alam bawah sadar yang akan memuncak dan untuk
menyadarkan ego untuk melakukan mekanisme pertahanan melawan daya insting yang
mengancam. Fobia merupakan hasil konflik yang terpusat pada masalah masa kanak-
kanak yang tidak terselesaikan. Jika tindakan represi untuk mencegah cemas gagal, sistem
ego seseorang akan mengaktifkan mekanisme pertahanan yang berupa “mengalihkan” (
displacement ), dimana masalah yang tidak selesai dari masa kanak-kanak akan dialihkan
kepada objek atau situasi yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan rasa cemas.
Objek atau situasi tersebut menjadi simbol dari masalah yang dahulu dialaminya (
Symbolization ).

Mekanisme pertahanan ego terhadap rasa cemas terdiri dari tiga hal, yakni
represion, displacement, dan symbolization. Sehingga rasa cemas tersebut teratasi dengan
membentuk phobic neurosis.

Pada agoraphobia atau erythrophobia, rasa cemas diduga datang dari rasa malu
yang mempengaruhi superego. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat temperamen yang
berbeda yang menyebabkan mereka dapat menangani stimuli stress dari luar dengan cara
yang berbeda. Dalam memunculkan fobia, diperlukan tingkat stress yang cukup, seperti
kekerasan dalam rumah tangga, terkucilkan dari kehidupan sosial sampai kehilangan orang
yang dicintai.

Faktor Perilaku

John B. Watson memiliki hipotesis mengenai fobia, dimana fobia muncul dari rasa
cemas dari stimuli yang menakutkan yang muncul bersamaan dengan stimuli kedua yang
bersifat netral. Jika dua stimuli dihubungkan bersamaan, stimuli netral tersebut bisa
membangkitkan kecemasan oleh dirinya sendiri. Contohnya pada seseorang yang fobia
dengan kucing, dahulu ia pernah dicakar oleh kucing, dimana cakaran tersebut merupakan
stimuli yang menakutkan, sedangkan kucing tersebut merupakan stimuli yang netral,
namun karena stimuli tersebut muncul secara bersamaan, sehingga kucing tersebut juga
menjadi stimuli yang menakutkan.

13
Teori pembebasan perilaku menyatakan , kecemasan adalah dorongan yang
memotivasi organisme melakukan perilaku tertentu untuk menghilangkan pengaruh yang
menyakitkan. Teori ini dapat diaplikasikan pada fobia spesifik terhadap situasi tertentu
atau fobia sosial, dengan contoh dimana seseorang dapat menghindari berbicara didepan
khayalak ramai. Organisme belajar, dengan tindakan tertentu dapat menghilangkan
stimulus yang mendatangkan kecemasan Penghindaran tersebut menjadi gejala yang
stabil karena efektif dalam melindungi seseorang dari kecemasan fobik

Berikut ini etiopatogenesis fobia spesifik dan fobia sosial :

Fobia Spesifik

Pembentukan fobia spesifik muncul karena proses pemasangan objek spesifik atau
situasi tertentu dengan perasaan takut dan panik. Kecenderungan nonspesifik untuk
merasakan takut dan cemas membentuk efek back group, misalnya pada suatu keadaan
tertentu seperti mengemudi bila dihubungkan dengan kecelakaan, akan menyebabkan
seseorang mengalami asosiasi permanen antara mengemudi dengan kecelakaan.
Mekanisme asosiasi lain antara objek fobik dan emosi fobik adalah modelling, dimana
seseorang mengamati reaksi orang lain dan pengalihan informasi, seseorang diperingati
tentang bahaya tertentu misalnya ular berbisa

Hasil studi menemukan jikalau seseorang dengan fobia spesifik tersebut memiliki
anggota keluarga tingkat satu memiliki fobia dengan jenis yang sama. Sehingga faktor
genetik juga memiliki peran dalam fobia spesifik, contohnya pada fobia terhadap darah-
suntikan-sakit yang tampak nyata terkait dengan keluarga.

Fobia Sosial

Penelitian melaporkan jika beberapa anak kemungkinan memiliki faktor keturunan


berdasarkan inhibisi perilaku yang konsisten. Hal ini cukup sering pada anak-anak dengan
orang tua yang memiliki gangguan serangan panik, dan mungkin berkembang menjadi
pemalu yang parah saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan didikan
keluarga yang tertutup, kurang perduli, dan terlalu protektif mengenai anak mereka.
Beberapa hal kecil dapat menjadi indikator dari sifat seseorang, seperti seseorang yang
berkuasa mungkin cenderung berjalan dengan dagu terangkat dan melakukan kontak mata,
dibandingkan dengan seseorang yang dikalahkan sering berjalan dengan kepala tertunduk
dan jarang melakukan kontak mata.

14
Secara spesifik, penggunaan obat antagonis reseptor β-adrenergik ( propanolol ) untuk
fobia kinerja contohnya berbicara di depan publik. Seseorang dengan fobia kinerja
biasanya melepaskan lebih banyak norepinephrine atau epinephrine, secara sentral
maupun perifer, dibandingkan orang-orang non-fobik, atau orang-orang tersebut lebih
sensitif terhadap stimulasi kadar adrenergik yang normal. Pengamatan bahwa mono amine
oxidase inhibitor (MAOI) yang lebih efektif dibandingkan obat-obatan tricylcic pada
terapi fobia sosial menyeluruh, diduga jikalau aktivitas dopaminergik berhubungan dengan
patogenesis gangguan fobia sosial.

Faktor genetik diduga memiliki keterkaitan dengan fobia sosial. Anggota keluarga
tingkat pertama pada seseorang dengan gangguan fobia memiliki kecenderungan untuk
mengalami fobia sosial sebanyak tiga kali lebih sering dibandingkan dengan yang tidak.

Tanda dan Gejala Fobia

Fobia ditandai oleh kesadaran akan kecemasan yang berat ketika pasien terpapar
situasi atau objek spesifik. DSM-IV-TR menyatakan bila serangan panik dapat terjadi
pada pasien dengan fobia spesifik atau fobia sosial, namun mereka sudah mengetahui
kemungkinan terjadinya serangan panik tersebut. Paparan terhadap stimulan tertentu
dapat mencetuskan terjadinya serangan panik

Seseorang yang memiliki fobia akan menghindari stimulus fobianya, bahkan


sampai pada taraf yang berlebihan. Contohnya seorang pasien fobia mungkin
menggunakan bus untuk bepergian jarak jauh daripada pesawat terbang. Seringkali, pasien
dengan gangguan fobia juga memiliki masalah dengan gangguan penggunaan zat-zat
terlarang sebagai upaya pelarian mereka dari rasa cemas tersebut. Selain itu, diperkirakan
sepertiga dari seluruh pasien fobia juga memiliki keadaan depresif yang berat.

Pada pemeriksaan status mental ditandai dengan adanya ketakutan yang irasional
dan ego-distonik terhadap situasi, aktifitas atau objek tertentu. Pasien umumnya
menceritakan bagaimana cara mereka menghindari stimulus tersebut. Umumnya pasien
dengan fobia juga memiliki gejala depresi.

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Fobia Spesifik


A. Rasa takut berlebihan yang nyata, menetap, dan tidak beralasan, dicetuskan oleh
adanya atau antisipasi terhadap suatu objek atau situasi spesifik (contoh: terbang,
ketinggian, hewan, disuntik, melihat darah)

15
B. Pajanan terhadap stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respons kecemasan
segera, dapat berupa serangan panik terikat secara situasional atau serangan panik
dengan predisposisi situasional. Catatan: Pada anak, ansietas dapat ditunjukkan
dengan menangis, tantrum, diam tidak bergerak, atau memegang erat
sesuatu/seseorang
C. Orang tersebut menyadari bahwa rasa takutnya berlebihan atau tidak beralasan.
Catatan: Pada anak, gambaran ini dapat tidak ditemukan
D. Situasi fobik dihindari atau dihadapi dengan kecemasan maupun penderitaan yang
intens
E. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau distres pada situasi yang ditakuti
mengganggu fungsi rutin normal, pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas
maupun hubungan sosial secara bermakna, atau terdapat distres yang nyata karena
memiliki fobia ini
F. Pada seseorang berusia di bawah 18 tahun, durasinya sedikitnya 6 bulan
G. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik yang berkaitan dengan objek
atau situasi spesifik tidak disebabkan gangguan jiwa lain.
Tentukan tipe:
- Tipe hewan
- Tipe lingkungan alami (ketinggian, badai, air)
- Tipe cedera-darah-suntikan
- Tipe situasional (takut tersedak, muntah, atau menderita penyakit; pada anak, takut
suara keras atau karakter berkostum)
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Fobia Sosial
A. Rasa takut yang nyata dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau
penampilan saat seseorang terpajan dengan orang yang tidak dikenalnya atau
terpajan dengan kemungkinan akan diperhatikan secara seksama oleh orang lain.
Individu ini takut kalau ia akan bertindak sedemikian rupa (atau menunjukkan
gejala kecemasan) yang akan membuatnya dipermalukan atau memalukan.
Catatan: Pada anak, harus terdapat bukti kapasitas hubungan sosial sesuai usia
dengan orang yang dikenalnya dan kecemasan harus terdapat di lingkungan
sebaya, tidak hanya di dalam interaksi dengan orang dewasa.
B. Pajanan terhadap situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan
kecemasan yang dapat berupa serangan panik terikat secara situasional atau
serangan panik dengan predisposisi situasional. Catatn: Pada anak, kecemasan

16
dapat ditunjukkan dengan menangis, tantrum, diam tidak bergerak, atau
bersembunyi dari situasi sosial yang orang-orangnya tidak dikenal.
C. Orang tersebut menyadari bahwa rasa takutnya berlebihan atau tidak beralasan.
Catatan: Pada anak, gambaran ini dapat tidak ditemukan
D. Situasi sosial atau penampilan sosial yang ditakuti dihindari atau dihadapi dengan
kecemasan maupun penderitaan yang intens
E. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau distres pada situasi sosial atau
penampilan yang ditakuti mengganggu fungsi rutin normal, pekerjaan (atau
akademik), atau aktivitas maupun hubungan sosial secara bermakna, atau terdapat
distres yang nyata karena memiliki fobia ini
F. Pada seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, durasinya sedikitnya 6 bulan
G. Rasa takut atau penghindaran tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
atau keadaan medis umum dan tidak dapat digolongkan sebagai gangguan jiwa lain
H. Jika terdapat keadaan medis umum atau gangguan jiwa lain, rasa takut pada
Kriteria A tidak terkait dengannya, contoh rasa takut bukan pada gagap atau
gemetar pada penyakit Parkinson, atau takut pada perilaku makan abnormal pada
anoreksia nervosa atau bulimia nervosa

17
III.4. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF

Gangguan Obsesif Kompulsif


Gambaran penting gangguan obsesif kompulsif adalah gejala obsesi atau kompulsi
berulang yang cukup berat hingga menimbulkan penderitaan yang jelas pada orang yang
mengalaminya.
Obsesi adalah pikiran, perasaan, gagasan, atau sensasi yang berulang dan mengganggu.
Berlawanan dengan obsesi yang merupakan peristiwa mental, kompulsi adalah suatu
perilaku.

Epidemiologi Gangguan Obsesif Kompulsif

Prevalensi gangguan obsesi kompulsif sebesar 2-2,4%. Sebagian besar gangguan


dialami pada saat remaja atau dewasa muda (umur 18-24 tahun), tetapi bisa terjadi pada
masa kayak. Perbandingan laki-laki : perempuan berimbang, dan seringkali dilatar
belakangi oleh ciri kepribadian anankastik yang menonjol.

Etiologi Gangguan Obsesif Kompulsif

Penyebab gangguan obsesi kompulsif bersifat multifactorial, yaitu interaksi antara factor
biologik, genetik, factor psikososial.

Faktor Biologik

Neurotransmitter

1. Sistem Serotonergik
Telah banyak pengujian obat yang mendukung hipotesis bahwa disregulasi dari
obat-obat serotonergik lebih efektif dari obat yang mempengaruhi sistem
neurotransmitter lain, tetapi patofisiologi jelas hubungan serotonin dapat
mempengaruhi gangguan obsesif kompulsif masih belum jelas. Studi klinis yang
telah meneliti konsentrasi metabolisme serotonin pada cairan serebrospinal dan
afinitasnya dan jumlah platelet-binding sites dari tritiated imipramine (Trofranil),
yang berhubungan dengan daerah perlekatan reuptake serotonin, dan telah
dilaporkan temuan variabel pada pasien gangguan obsesi kompulsif.

2. Sistem noradrenergik

18
Pada masa sekarang ini, sudah berkurang bukti-bukti nyata yang menyatakan
bahwa disfungsi pada sistem noradrenergik pada gangguan obsesi kompulsif.
Laporan anekdotal menunjukkan kemajuan pada gejala obsesi kompulsif yang
menggunakan clonidine oral, obat yang menurunkan jumlah pelepasan
norephineprin dari ujung saraf presinaptik.

Neuroimunnologi

Berdasarkan sejumlah kejadian nyata, terdapat hubungan positif antara infeksi


streptokokus dan gangguan obsesi kompulsif. Infeksi Streptokokus hemoliticus grup-a
dapat menyebabkan demam rematik, dan berkisar antara 10-30% dari pasien tersebut
berkembang menjadi Sydenham’s chorea dan menunjukkan gejala obsesi kompulsif.

Studi Pencitraan Otak

Neuroimaging pada pasien dengan gangguan obsesi kompulsif telah menghasilkan


data yang menunjukkan kelainan fungsi pada jalinan saraf antara korteks orbitofrontal,
kaudatus, dan thalamus. Contoh studi pencitraan otak lainnya yaitu positron emission
tomography (PET) telah menunjukkan aktivitas yang meningkat (metabolisme dan aliran
darah) pada lobus frontal, basal ganglia (terutama pada kaudatus), dan cingulum pada
pasien dengan gangguan obsesi kompulsif. Keterlibatan pada area tersebut pada patologi
pasien dengan gangguan obsesi kompulsif. Tampak lebih berhubungan dengan jalur
kortikostiatal daripada jalur amigdala yang lebih fokus pada penelitian gangguan cemas.
Tatalaksana secara farmakologi dan kebiasaan dilaporkan dapat memperbaiki
abnormalitas. Data dari studi fungsi kerja otak sesuai dengan data dari studi gambaran
otak secara struktural. Studi computed tomographic (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI) menemukan bahwa bagian kaudatus bilateral lebih kecil pada pasien dengan
gangguan obsesi kompulsif. Kedua studi pencitraan otak tersebut juga menunjukkan hasil
yang mendukung observasi prosedur neurologis yang melibatkan cingulum, kadang
menunjukkan hasil efektif pada pengobatan gangguan obsesi kompulsif. Pernah
dilaporkan pada studi MRI, terdapat peningkatan waktu relaksasi T1 pada korteks frontal,
temuan tersebut sesuai dengan lokasi abnormalitas pada studi PET.

Genetik

Terdapat studi yang mendukung hipotesis bahwa terdapat pengaruh genetik pada
gangguan obsesi kompulsif. Terdapat bukti tiga sampai lima kali lebih besar kemungkinan

19
mendapatkan gangguan obsesi kompulsif atau jenis lainnya pada angka kejadian. Studi
juga menunjukkan hubungan gangguan obsesi kompulsif pada pasien kembar lebih tinggi
pada kembar monozigot daripada kembar dizigot. Studi lain juga menunjukkan
peningkatan angka kejadian pada gangguan yang menyerupai obsesi kompulsif, gangguan
tik, gangguan bentuk tubuh, hipokondriasis, gangguan makan, dan gangguan kebiasaan,
seperti menggigit kuku.

Data Biologis Lainnya

Studi elektrofisiologi, studi elektroensepalogram saat tidur, dan studi


neuroendokrin telah memberkan data yang mengindikasi beberapa kesamaan antara
gangguan depresif dan gangguan obsesi kompulsif. Insiden menunjukkan peningkatan
pada abnormalitas EEG nonspesifik yang terdapat pada pasien gangguan obsesi kompulsif.
Studi sleep EEG menunjukkan abnormalitas yang menyerupai gangguan depresif, seperti
menurunnya rapid eye movement latency. Studi neuroendokrin juga telah menunjukkan
analogi dengan gangguan depresif, seperti nonsupresi pada tes supresi dexametason pada
satu pertiga pasien dan turunnya sekresi hormon pertumbuhan dengan infus klonidin.

Seperti telah disebutkan, studi telah menyarankan hubungan yang memungkinkan


antara kasus gangguan obsesi kompulsif sebelunya dan beberapa tipe sindrom tik motorik.
Sebagian besar studi keluarga dari probandus dengan gangguan obsesi kompulsif
ditemukan peningkatan angka kejadian kelainan Tourette dan tik motorik yang kronis
hanya disekitar kerabat yang juga mendapatkan kelainan tik. Hasil studi juga
menunjukkan kotransmisi antara sindrom Tourette, gangguan obsesi kompulsif, dan tik
motorik kronis pada keluarga.

Faktor Kebiasaan

Berdasarkan studi teori, obsesi adalah kondisi yang menstimulus. Hubungan antara
stimulus netral menjadi berasosiasi dengan ketakutan atau anxietas melalui proses dari
hasil pengkondisian yang berhubungan yang menyebabkan anxietas. Pada objek
sebelumnya dan dikatakan bahwa stimuli yang sesuai dapat mencetuskan anxietas atau
rasa tidak nyaman.

20
Kompulsi diartikan dalam arti lain. Ketika seseorang menemukan bahwa
melakukan suatu tindakan dapat mengurangi anxietas yang berhubungan dengan pikiran
yang obsesif, ia menjadikan kegiatan tersebut sebagai strategi untuk melakukan kegiatan
kompulsi atau kebiasaan untuk mengendalikan anxietas. Secara bertahap, karena efek
pengurangan anxietas, strategi tersebut menjadi menetap, menjadi suatu pola kebiasaan
yang kompulsif. Mempelajari teori menunjukkan teori yang berguna untuk menjelaskan
beberapa aspek dari gangguan obsesi kompulsif, sebagai contoh ide-ide yang mencetuskan
anxietas tidaklah sepenuhnya menyebabkan ketakutan, dan tindakan yang dilakukan
hanyalah berupa pola atau suatu kebiasaan.

Faktor Psikososial

Faktor Personalitas

Gangguan obsesi kompulsif dihubungkan dengan pikiran obsesif yang perduli pada
detail, perfeksionalitas, dan personalitas lainnya. Sebagian besar orang dengan gangguan
obsesi kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif yang menyertai sebelumnya. Hanya
sekitar lima belas sampai tiga puluh lima persen dari pasien dengan gangguan obsesi
kompulsif yang terdapat gangguan obsesif yang berkembang.

Faktor Psikodinamik

Insight psikodinamik mungkin dapat membantu pada pemahaman masalah pada


penatalaksanaan, kesulitan interpersonal, dan masalah pesonalitas yang sesuai dengan
gangguan Axis I. Tidak sedikit pasien dengan gangguan obsesi kompulsif menolak
berkooperatif dengan pengobatan secara efektif dengan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRIs) dan terapi kebiasaan. Bagaimanapun juga gejala dari gangguan obsesi
kompulsif mungkin saja disertai secara biologis, gangguan psikodinamis mungkin
menyertai. Pasien dapat menjadi sadar bahwa gejalanya dapat menetap.

Kontribusi lainnya untuk pengertian psikodinamis melibatkan dimensi


interpersonal. Studi telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling mendukung
pasien melalui partisipasi aktif dalam ritual atau modifikasi pada rutinitas sehari-hari.
Akomodasi studi pada keluarga yang berhubungan dengan stress yang terjadi pada
keluarga, penolakan kebiasaan yang dilakukan pasien, dan keadaan keluarga yang miskin.
Seringkali anggota keluarga terlibat dalam usaha untuk mengurangi kecemasan atau
mengontrol ekspresi kemarahan pasien. Pola ini atau hubungannya disesuaikan dengan

21
pola penatalaksanaan yang akan dilakukan. Dengan melihat pada pola hubungan
interpersonal dari perspektif psikodinamik, pasien dapat mempelajari bagaimana kelainan
pasien dapat mempengaruhi orang lain.

Penelitian menyarankan bahwa gangguan obsesi kompulsif dapat meningkatkan


angka stresor lingkungan, terutama pada mereka yang dalam proses kehamilan, kelahiran,
atau proses tumbuh kembang pada anak-anak.

Gambaran Klinis Gangguan Obsesif Kompulsif

Obsesi dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum:

 Suatu gagasan atau impuls yang memaksa dirinya secara bertubi-tubi dan terus
menerus ke dalam kesadaran seseorang
 Perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi sentral dan
sering kali menyebabkan orang melakukan tindakan kegagalan melawan gagasan
atau impuls awal
 Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien); yaitu ia dialami sebagai
asing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk
psikologis.
 Pasien mengenali obsesi dan kompulsif merupakan sesuatu yang mustahil dan
tidak masuk akal
 Individu yang tenderita obsesi kompulsif merasa adanya dorongan kuat untuk
menahannya
Ada 4 pola gejala utama gangguan obsesi kompulsif yaitu :

1. Kontaminasi; pola yang paling sering terjadi yang diikuti oleh perilaku mencuci
dan menghindari obyek yang dicurigai terkontaminasi
2. Sikap ragu-ragu yang patologik; obsesi tentang ragu-ragu yang ikuti dengan
perilaku mengecek/memeriksa. Tema obsesi tentang situasi berbahaya atau
kekerasan (seperti lupa mematikan kompor atau tidak mengunci rumah).
3. Pikiran yang intrusif; pola yang jarang, pikiran yang intrusif tidak disertai
kompulsi, biasanya pikira berulang tentang seksual atau tindakan agresif.
4. Simetri; obsesi yang tema kebutuhan untuk simetri, ketepatan sehingga bertindak
lamban, misalnya makan memerlukan waktu berjam-jam, atau mencukur kumis
dan janggut.

22
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Gangguan Obsesif Kompulsif
A. Baik obsesi atau kompulsi:
Obsesi seperti yang dijelaskan dalam (1), (2), (3), dan (4):
(1) pikiran, impuls, atau bayangan yang berulang dan menetap yang dialami pada
suatu waktu selama terjadi gangguan, sebagai sesuatu yang mengganggu dan
tidak sesuai serta dapat menimbulkan kecemasan atau distres yang nyata
(2) pikiran, impuls, atau bayangan bukanlah kekhawatiran berlebihan mengenai
masalah kehidupan nyata
(3) orang tersebut berupaya mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau
bayangan tersebut, atau menghilangkannya dengan pikiran atau tindakan lain
(4) orang tersebut menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan obsesional itu
adalah hasil pikiran mereka sendiri (bukan dari luar seperti pada insersi
pikiran)
Kompulsi seperti yang dijelaskan dalam (1) dan (2):
(1) perilaku berulang (contoh: mencuci tangan, melakukan urutan, memeriksa)
atau tindakan mental (contoh: berdoa, menghitung, mengulang kata-kata di
dalam hati) yang membuat orang tersebut terdorong untuk melakukannya harus
sebagai respons terhadap obsesi, atau menurut aturan yang harus diterapkan
dengan kaku
(2) perilaku atau tindakan mental tersebut ditujukan untuk mencegah atau
mengurangi penderitaan atau mencegah peristiwa atau situasi yang
menakutkan; meskipun demikian, perilaku atau tindakan mental ini benar-
benar berlebihan atau tidak berkaitan secara realistik dengan apa yang awalnya
hendak dihilangkan atau dicegah
B. Pada suatu titik selama perjalanan gangguan, penderita menyadari bahwa obsesi
atau kompulsi mereka berlebihan dan tidak beralasan. Catatan: Hal ini tidak
berlaku pada anak
C. Obsesi atau kompulsi menyebabkan distres nyata, memakan waktu (lebih dari 1
jam per hari), atau mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau
akademik), atau aktivitas maupun hubungan sosial secara signifikan
D. Jika terdapat gangguan aksis 1 lain, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas pada hal
tersebut (contoh: preokupasi terhadap makanan dengan adanya gangguan makan;

23
menarik-narik rambut dengan adanya trikotilomania; peduli dengan penampilan
adanya gangguan dismorfik tubuh; preokupasi memiliki penyakit berat dengan
adanya hipokondriasis; preokupasi terhadap dorongan atau fantasi seksual dengan
adanya parafilia; atau berpikir mendalam akan rasa bersalah dengan adanya
gangguan depresif berat)
E. Gangguan ini tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat atau kondisi
medis umum

24
III.5. GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

Gangguan Stres Pasca Trauma


Gangguan stres pasca trauma adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat,
terlibat di dalam, atau mendengar stresor traumatik yang ekstrem.

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Gangguan Stres Pasca Trauma


A. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatik dan kedua hal ini ada:
(1) orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan peristiwa
atausejumlah peristiwa yang melibatkan kematian atau cedera serius yang
sebenarnya atau mengancam, atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya
atau orang lain
(2) respons orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak berdaya,
atau horor. Catatan: Pada anak, hal ini dapat ditunjukkan dengan perilaku
agitasi atau kacau
B. Peristiwa traumatik secara terus-menerus dialami kembali pada satu (atau lebih)
cara berikut ini:
(1) mengingat kembali peristiwa secara berulang dan mengganggu yang
menimbulkan distres, termasuk bayangan, pikiran, persepsi. Catatan: Pada anak
yang masih kecil, dapat terjadi permainan berulang yang mengekspresikan
tema atau aspek trauma
(2) mimpi berulang mengenai peristiwa tersebut yang menimbulkan penderitaan.
Catatan: Pada anak, bisa terdapat mimpi yang menakutkan tanpa kandungan
yang dapat dikendali
(3) bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa traumatik tersebut terjadi
kembali (termasuk rasa membangkitkan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi,
dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat bangun atau ketika
mengalami intoksikasi). Catatan: Pada anak yang masih kecil, anak dapat
melakukan kembali hal yang spesifik trauma
(4) penderitaan psikologis yang intens pada pajanan terhadap sinyal internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik
(5) reaktivitas fisiologis pada pajanan sinyal internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik

25
C. Penghindaran persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma serta membuat
kebas responsitivitas umum (tidak terjadi sebelum trauma), seperti yang
ditunjukkan dengan tiga (atau lebih) hal berikut ini:
(1) upaya menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berkaitan dengan
trauma
(2) upaya menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang membangkitkan ingatan
akan trauma
(3) ketidakmampuan mengingat kembali aspek penting trauma
(4) minat atau partisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang signifikan
(5) perasaan lepas atau menjadi asing dari orang lain
(6) kisaran afek yang terbatas (tidak mampu memiliki rasa cinta)
(7) rasa masa depan yang memendek
D. Menetapnya peningkatan keadaan terjaga (tidak terjadi sebelum trauma), seperti
yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih) hal berikut:
(1) sulit tidur atau sulit tetap tidur
(2) iritabilitas atau ledakan kemarahan
(3) sulit berkonsentrasi
(4) hypervigilance
(5) respons kaget yang berlebihan
E. Durasi gangguan (gejala Kriteria B, C, dan D) lebih dari satu bulan
F. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
gangguan di dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain
Tentukan jika:
- Akut: jika durasi gejala kurang dari 3 bulan
- Kronis: jika durasi gejala 3 bulan atau lebih
Tentukan jika:
- Dengan awitan tertunda: jika awitan gejala sedikitnya 6 bulan setelah stresor

26
DAFTAR PUSTAKA

Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Editor Dr, RusdiMaslim.
Jakarta 2013.
Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan kedua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2008.
Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilak Psikiatri Klinis,
Edisi ketujuh, Jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 2010.
Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakanke VI, Airlangga University
Press, Surabaya 1992.

27

Anda mungkin juga menyukai