Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Berdasarkan tempat tinggal didapatkan bahwa anemia di pedesaan lebih tinggi

dari pada perkotaan yaitu sebesar 22,8%. Secara nasional, prevalensi anemia pada

anak balita sebesar 28,1% dan anak 5-12 tahun 29%. Hal ini menunjukkan angka

tersebut mendekati masalah kesehatan masyarakat berat (severe public health

problem) dengan batas prevalensi anemia ≥40% (Riskesdas, 2013).


Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah atau

konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk

kebutuhan fisiologis tubuh (Riskesdas 2013). Menurut Siswono (2004) dalam

Dewi et al. (2012) anemia dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor

ekstrinsik yang mempengaruhi kejadian anemia, antara lain pengetahuan tentang

gizi khususnya anemia, tingkat pendidikan orang tua, tingkat ekonomi, infeksi,

dan kebiasaan hidup. Faktor intrinsik yang mempengaruhi kejadian anemia, antara

lain kehilangan darah secara kronis, seperti pada penyakit ulkus peptikum,

hemoroid, investasi parasit, asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak

adekuat, peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah, yang

berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan

menyusui.
Infeksi cacing masih merupakan masalah kesehayan di Indonesia. Infeksi

ini merupakan salah penyebab anemia defisiensi besi pada anak usia sekolah

dasar. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun

2006, yaitu sebesar 32,6 % (Sumanto, 2010). Kecamatan Abiansemal di


1
2

Kabupaten Badung adalah daerah yang memiliki prevalensi STH pada anak yang

lebih tinggi bila dibandingkan daerah lain di Provinsi Bali, yaitu berkisar antara

58,3-96,8% (Kapti, 2004). Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah Abiansemal

merupakan dataran tinggi basah dan beriklim lembab yang secara ekologis

merupakan media yang cocok untuk perkembangan cacing (Bappeda Badung,

2011). Spesies cacing tambang yang banyak ditemukan di Indonesia ialah N.

americanus yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth (STH).

Kelompok cacing ini siklus hidupnya melalui tanah (Sumanto, 2010).


Secara umum dampak yang ditimbulkan akibat anemia defisiensi besi

adalah penurunan kemampuan kerja seseorang dan keseluruhan populasi

(Malonda et al., 2011). Anemia defisiensi besi oleh karena berbagai faktor

penyebab mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, gangguan

prestasi belajar karena mengalami kesulitan berkonsentrasi dan penurunan

kemampuan berpikir, atau gangguan mental lain yang berlangsung lama bahkan

menetap (Lubis et al., 2008). Pada anak-anak sekolah telah ditunjukkan adanya

korelasi antara hemoglobin dan kesanggupan anak untuk belajar. Menurut

Sediaoetama (2010) dalam Sampouw et al. (2013) pada kondisi anemia, daya

konsentrasi dalam belajar tampak menurun. Bukti yang tersedia menunjukkan

gangguan pada perkembangan psikomotor dan kemampuan intelektual, serta

perubahan perilaku setelah terjadi anemia defisiensi besi (Sampouw et al., 2013).
Menurut Syah (2010) dalam Tuturoong et al. (2013) salah satu cara untuk

menilai perkembangan anak pada masa kanak - kanak pertengahan (6-12 tahun)

melalui hasil prestasi belajar. Hasil prestasi belajar didefinisikan sebagai hasil

yang telah dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan proses belajar mengajar

dalam waktu tertentu yang diwujudkan dalam bentuk angka maupun pernyataan.
3

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa prevalensi anemia pada anak

di Indonesia masih tinggi dan tingginya kasus infeksi cacing tambang di wilayah

kecamatan Abiansemal dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar anak usia

sekolah dasar. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

gambaran umum status anemia dan prestasi belajar anak usia sekolah dasar di SD

Negeri 4 Abiansemal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :


1. Bagaimanakah gambaran umum status anemia anak di SD N 4

Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali?


2. Bagaimanakah gambaran umum prestasi belajar anak di SD N 4

Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran kejadian anemia dan prestasi belajar anak

di SD N 4 Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.


1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui gambaran umum status anemia anak di SD N 4

Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.


b. Mengetahui gambaran umum prestasi belajar anak di SD N 4

Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

1.4 Manfaat
1.4.1 Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan

masukan dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan anemia.


1.4.2 Aspek Aplikatif
1) Memberi informasi mengenai gambaran umum status anemia dan

prestasi belajar anak di SD N 4 Abiansemal, Kabupaten Badung,


4

Provinsi Bali sehingga nantinya bisa dilakukan upaya pencegahan

anemia secara dini.


2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam

penatalaksanaan anemia untuk mencegah terjadi dampak yang lebih

serius.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Status Anemia


Status anemia adalah kondisi keseimbangan asupan (intake) zat gizi yang

berperan dalam pembentukan hemoglobin seperti Fe, protein, piridoksin (Vitamin

B6), Vitamin C, Vitamin E dan Vitamin B12 (kobalamin) dalam tubuh (Almatsier,

2002 dalam Lande, 2005).


2.1.1 Status Anemia Anak Usia Sekolah Dasar
Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah

atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi

untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan pedoman Kemenkes

1999, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok umur, maupun

golongan individu. Kelompok umur atau golongan individu tertentu dianggap

lebih rentan mengalami anemia dibandingkan kelompok lainnya. Anak

sekolah usia 6-12 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar Hbnya <12,0

g/dL (Riskesdas, 2013).


2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Anak Usia

Sekolah Dasar
Beberapa faktor yang mempengaruhi status anemia anak usia

sekolah dasar terdiri faktor ekstrinsik dan intrinsik.


1. Faktor ekstrinsik
a. Faktor gizi
- Faktor sumber makanan zat besi. Kecukupan gizi

dipengaruhi oleh kurangnya mengkonsumsi sumber

makanan hewani sebagai salah satu sumber zat besi yang

mudah diserap (heme iron) dan konsumsi bahan makanan

nabati (non-heme iron) yang merupakan sumber zat besi

yang tinggi tetapi sulit diserap sehingga dibutuhkan porsi

5
6

yang besar untuk mencukupi kebutuhan zat besi harian

(Akhmadi, 2009 dalam Dewi et al., 2012).


- Faktor nutrisi yang mempercepat penyerapan zat besi.

Anemia bisa disebabkan karena kekurangan zat gizi yang

berperan dalam penyerapan zat besi seperti, protein dan

vitamin C (Indartanti et al., 2014).


- Faktor nutrisi yang menghambat penyerapan zat besi.

Konsumsi makanan tinggi serat, tannin dan phytat dapat

menghambat penyerapan zat besi (Indartanti et al., 2014).


b. Tingkat pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan berhubungan dengan status kesehatan yaitu

dengan meningkatkan pendidikan kemungkinan akan dapat

meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan daya beli

makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga (Achadi,

2007 dalam Nickyta, 2010). Soekirman (1999) melaporkan

bahwa pendidikan ayah atau suami berpengaruh positif terhadap

status gizi anggota keluarganya. Pendidikan orang tua secara

tidak langsung akan menentukan pilihan barang termasuk jenis

makanan apa yang akan dikonsumsi (Siahaan, 2012).


c. Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan berpengaruh terhadap daya beli atau kemampuan

untuk menyediakan pangan di rumah. Pemilihan bahan bangan

yang akan disediakan, dan pemberian uang saku terhadap anak.

Berdasarkan status pekerjaan orang tua terdapat juga dampak

terhadap status gizi anak yaitu ibu yang bekerja memiliki

kendala kesulitan untuk menyediakan makanan yang sehat di

rumah, akibatnya anak lebih memilih jajan atau mengkonsumsi


7

makanan di luar rumah yang tidak terjamin keamanan serta

kesehatan makanannya (Siahaan, 2012).


d. Penghasilan Orang Tua
Faktor risiko yang terbukti mempunyai hubungan dengan

kejadian infeksi kecacingan yang menyebabkan anemia adalah

umur, perilaku anak dan penghasilan perkapita keluarga.

Penelitian ini dilakukan pada anak sekolah dasar di Kelurahan

Pannampu Kec. Tallo Kotamadya Makassar. Infeksi cacing

tambang juga berhubungan dengan kemiskinan (Arif dan Iqbal,

2004 dalam Siahaan 2012). Menurut Peter Hotez (2008),

semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat maka akan

semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing tambang.

Hal ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga personal

higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggal (Siahaan, 2012).


e. Infeksi
Infeksi cacing tambang menyebabkan anak kehilangan darah

akibat perdarahan intestinal kronik yang terjadi perlahan

sehingga menyebabkan anemia defisiensi besi (Sumanto, 2010).


f. Pengetahuan tentang gizi
Menurut Nasoetion & Khomsan (1995) dalam Siahaan (2012)

pengetahuan tentang gizi menjadi landasan yang menentukan

konsumsi pangan. Individu yang memiliki pengetahuan baik

akan mempunyai kemauan untuk menerapkan pengetahuan

gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangannya,

sehingga pangannya dapat mencukupi kebutuhan.


2. Faktor intrinsik
8

a. Kehilangan darah secara kronis, seperti pada penyakit ulkus

peptikum, hemoroid, infestasi parasit (Siswono, 2004 dalam

Dewi et al., 2012).


b. Asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat

(Siswono, 2004 dalam Dewi et al., 2012).


c. Peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel

darah, yang berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa

pubertas, masa kehamilan dan menyusui (Siswono, 2004 dalam

Dewi et al., 2012).


d. Faktor obesitas. Berdasarkan penelitian di Meksiko diketahui

bahwa defisiensi besi juga dapat terjadi 2-4 kali pada wanita dan

anak-anak obesitas. Obesitas merupakan prediktor status besi

yang rendah. Data ini menunjukkan bahwa hubungan antara

status besi yang rendah dan obesitas cenderung disebabkan oleh

peningkatan reaksi inflamasi yang akan menyebabkan

peningkatan hepcidin di sirkulasi. Peningkatan produksi

hepcidin di sirkulasi akan menghambat penyerapan zat besi

(Lopez et al., 2011).


2.1.3 Penentuan Status Anemia
Menentukan status anemia dapat dilakukan dengan metode penilaian

kadar hemoglobin (Hb). Terdapat dua metode pengukuran hemoglobin yaitu

cyanmethemoglobin dan sistem HemoCue®. Metode pengukuran hemoglobin

dan sumber sampel darah (darah kapiler dibandingkan darah vena) dapat

mempengaruhi hasil pengukuran kadar hemoglobin (WHO, 2011).


Cyanmethemoglobin dan sistem HemoCue® adalah metode yang

umum direkomendasikan dalam survei untuk menentukan prevalensi populasi

anemia. Dalam metode Cyanmethemoglobin, darah akan diencerkan dengan


9

reagen dan konsentrasi hemoglobin ditentukan setelah interval waktu tertentu

yang dikalibrasi fotometer secara akurat.


Pengukuran Cyanmethemoglobin adalah metode laboratorium rujukan

untuk penentuan hemoglobin kuantitatif. Metode ini digunakan untuk

perbandingan dan standarisasi metode lain. Sistem HemoCue® didasarkan

pada metode Cyanmethemoglobin dan telah terbukti stabil dan bertahan lama

dalam populasi lapangan. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam

menilai konsentrasi hemoglobin dengan metode ini yaitu sumber dari sampel

darah. Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai-nilai hemoglobin diukur

dalam sampel kapiler yang lebih tinggi daripada yang diukur dalam sampel

vena, berpotensi menyebabkan hasil negatif palsu (WHO, 2011). Di Indonesia

umumnya penentuan kadar Hb dilakukan langsung di lapangan menggunakan

alat Hemocue (Riskesdas, 2013) dan hemometer digital (easy touch) yang

merupakan alat untuk mengukur hemoglobin secara digital, lebih valid, cepat,

dan mudah (Kusmiyati et al., 2013).

2.2 Penyebab Anemia Defisiensi Besi

Menurut Bakta (2012) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh

rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat

perdarahan menahun.

1) Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat

berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon,

divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang


b. Saluran genitalia wanita: menorrhagia, atau metrorhagia
c. Saluran kemih: hematuria
d. Saluran napas: hemoptoe
10

2) Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau

kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak

serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).


3) Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa

pertumbuhan dan kehamilan.


4) Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik.

Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir

identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan

kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan

paling sering pada laki-laki adalah perdarahan gastrointestinal, di

negara tropis paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara

itu, pada wanita paling sering karena menor-metrorhagia.

Penyebab anemia defisiensi besi Menurut Umur (Abdulsalam et al., 2002):

1) Bayi di bawah umur 1 tahun.


Pada umur 1 tahun umumnya penyebab persediaan besi yang kurang

diakibatkan oleh bayi berat badan lahir rendah atau lahir kembar.
2) Anak berumur 1-2 tahun.
Penyebab ketersedian besi yang kurang pada umur 1-2 tahun

diantaranya karena (1) masukan (intake) besi yang kurang karena tidak

mendapat makanan tambahan; (2) kebutuhan meningkat karena infeksi

berulang/menahun; (3) malabsorbsi; (4) kehilangan berlebihan karena

perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum

Meckeli.
3) Anak berumur 2-5 tahun.
Penyebab yang umum pada usia 2-5 tahun yaitu masukan besi kurang

karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme, kebutuhan

meningkat karena infeksi berulang/menahun, kehilangan darah berlebih


11

karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum

Meckel.
4) Anak berumur 5 tahun – masa remaja.
Penyebab kekurangan besi diakibatkan kehilangan berlebihan karena

perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan poliposis.


5) Usia remaja – dewasa
Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.
2.2.1 Infeksi Cacing Tambang
Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh

Ancylostoma duodenale (A. duodenale) dan Necator americanus (N.

americanus). Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang

menderita infeksi cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di

daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N.

americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies

ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia.

Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting

anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat

merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam

mengganggu kecerdasan anak usia sekolah. Sampai saat ini infeksi cacing

tambang masih merupakan salah satu penyakit tropis terpenting. Penurunan

produktifitas sebagai indikator beratnya gangguan penyakit ini (Sumanto,

2010).
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu

melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah

terjadi pelekatan otot esophagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang

menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat

kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan.

Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan


12

pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan

termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing

ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan

enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan

keluar melalui saluran cerna. Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada

usus sampai dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar

antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500

cacing dewasa. Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai

200 ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal

kronik yang terjadi perlahan-lahan (Sumanto, 2010).


Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang

tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah

cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus.

Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak

dibandingkan N. americanus. Kebanyakan infeksi cacing tambang bersifat

ringan bahkan asimtomatik. Dalam 7-14 hari setelah infeksi terjadi ground

itch. Pada fase awal, yaitu fase migrasi larva, dapat terjadi nyeri tenggorokan,

demam subfebril, batuk, pneumonia dan pneumonitis. Kelainan paru-paru

biasanya ringan kecuali pada infeksi berat, yaitu bila terdapat lebih dari 200

cacing dewasa. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal kerongkongan, suara

serak, mual, dan muntah. Pada fase selanjutnya, saat cacing dewasa

berkembang biak dalam saluran cerna, timbul rasa nyeri perut yang sering

tidak khas (abdominal discomfort). Karena cacing tambang menghisap darah

dan menyebabkan perdarahan kronik, maka dapat terjadi hipoproteinemia

yang bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas atau perut.


13

Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi 5.000 - 10.000 telur/hari

dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5 tahun (Sumanto, 2010).
Gejala klinik penyakit cacing tambang berupa anemia yang diakibatkan

oleh kehilangan darah pada usus halus secara kronik. Terjadinya anemia

tergantung pada keseimbangan zat besi dan protein yang hilang dalam usus

dan yang diserap dari makanan. Kekurangan gizi dapat menurunkan daya

tahan terhadap infeksi parasit. Beratnya penyakit cacing tambang tergantung

pada beberapa faktor, antara lain umur, lamanya penyakit dan keadaan gizi

penderita (Sumanto, 2010).


Penyakit cacing tambang menahun dapat dibagi dalam tiga golongan,

yaitu infeksi ringan, sedang dan berat. Infeksi ringan ditandai dengan

kehilangan darah yang dapat diatasi tanpa gejala, walaupun penderita

mempunyai daya tahan yang menurun terhadap penyakit lain. Infeksi sedang

ditandai dengan kehilangan darah yang tidak dapat dikompensasi dan

penderita kekurangan gizi, mempunyai keluhan pencernaan, anemia, lemah,

fisik dan mental kurang baik. Sedangkan pada infeksi berat dapat

menyebabkan keadaan fisik buruk dan payah jantung (Sumanto, 2010).

2.3 Klasifikasi Anemia Defisiensi Besi


Defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu (Bakta, 2012):
1) Deplesi besi (Iron depleted state): keadaan dimana cadangan besi

menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.


2) Eritropoesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erytropoesis): keadaan

dimana cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk

eritropoesis sudah terganggu, tetapi belum tampak anemia secara

laboratorik.
3) Anemia defisiensi besi: keadaan dimana cadangan besinya kosong dan

sudah tampak gejala anemia defisiensi besi.


14

2.4 Dampak Anemia Defisiensi Besi


Defisiensi besi terutama menyerang golongan rentan, seperti anak-anak,

remaja putri, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan

rendah. Secara klasik defisiensi besi dikaitkan dengan anemia gizi besi. Defisiensi

besi berpengaruh luas terhadap kualitas sumber daya manusia, yaitu terhadap

kemampuan belajar dan produktivitas kerja. Secara klinis dapat dilihat dampak

anemia diantaranya (1) lelah, lesu, lemah, letih, loyo (5L); (2) bibir tampak pucat;

(3) nafas pendek; (4) lidah licin; (5) denyut jantung meningkat; (6) susah buang

air besar; (7) nafsu makan berkurang; (8) kadang-kadang pusing; (9) mudah

mengantuk (Almatsier, 2002 dalam Lande, 2006).

2.5 Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi


Pengobatan harus segera dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan

ini. Prinsip tata laksana anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab

dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.


1. Terapi antihelmintik
WHO menganjurkan pemberian mebendazole dan pirantel pamoate,

dengan pemberian ½ dosis dewasa untuk anak-anak usia 2-12 tahun.

Dalam 2-3 minggu setelah terapi selesai, dilakukan pemeriksaan ulang

feses. Jika masih terdapat telur maupun cacing dewasa, dilakukan terapi

ulang. Pencegahan infeksi cacing tambang dilakukan dengan perbaikan

lingkungan dengan meniadakan tanah berlumpur serta pemakaian alas kaki

saat melewati daerah habitat cacing tambang, sangat dianjurkan. Cuci

tangan sebelum dan sesudah makan menurunkan kemungkinan infeksi A.

duodenale (Sumanto, 2010).


2. Preparat besi
15

Preparat besi dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Garam ferro di

dalam tubuh diabsorbsi oleh usus sekitar tiga kali lebih baik dibandingkan

garam ferri. Preparat yang tersedia berupa ferro sulfat, ferro glukonat,

ferro fumarat. Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang

dianjurkan 3-6 mg besi elemental/kgBB/hari diberikan dalam 2-3 dosis

sehari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang

ada dalam garam ferro. Garam ferro sulfat mengandung besi elemental

20%, sementara ferro fumarat mengandung 33%, dan ferro glukonat 12%

besi elemental (Gunadi et al., 2009).


Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua

waktu makan, namun preparat besi dapat menimbulkan efek samping pada

saluran cerna. Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama

asam askorbat atau asam suksinat. Pemberian besi dapat dilakukan pada

saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorbsi

obat sekitar 40%-50% (Gunadi et al., 2009). Dalam 4-30 hari setelah

pengobatan didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi

terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya

kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan

(Abdulsalam et al., 2002).


3. Asupakan zat besi dalam makanan
Manajemen anemia defisiensi besi juga dilengkapi dengan intake

kecukupan zat besi yang masuk melalui makanan. Besi di dalam makanan

dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi non-heme yang antara lain

terdapat di dalam beras, bayam, jagung, gandum, kacang kedelai berada

dalam bentuk senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam lambung

oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap untuk diserap di dalam usus.
16

Penyerapan Fe-non heme dapat ditingkatkan oleh komponen lain dalam

makanan yaitu fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam

amino. Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk

heme yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging sapi, lebih

mudah diserap (Abdulsalam et al., 2002).


4. Transfusi darah
Transfusi hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi pasien ADB

dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko untuk

terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis.

Transfusi darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai infeksi

berat, dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose. Pada

keadaan ADB yang disertai dengan (Abdulsalam et al., 2002).

2.6 Prestasi Belajar


2.6.1 Definisi
Menurut Syah (2010) dalam Tuturoong et al. (2013) prestasi belajar

merupakan hasil yang telah dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan

proses belajar mengajar dalam waktu tertentu baik perubahan tingkah laku,

keterampilan dan pengetahuan dan kemudian akan diukur dan dinilai yang

kemudian diwujudkan dalam angka atau pernyataan


2.6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar diantaranya:
1) Tingkat kecerdasan/ intelegensi.
Tingkat kecerdasan sangat menentukan berhasil atau tidaknya

seorang siswa dalam belajar. Semakin tinggi tingkat kecerdasan

siswa, semakin baik pula nilai hasil belajar yang diperoleh (Syah,

2006 dalam Malonda et al., 2011).


2) Motivasi.
Motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

hasil belajar seorang siswa. Apabila motivasi siswa kurang dalam


17

belajar, maka akan mempengaruhi hasil belajar siswa itu sendiri.

Motivasi dapat mempengaruhi semangat siswa dalam belajar.

Motivasi belajar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil

belajar atau prestasi belajar (Hamdu dan Agustina, 2011).


3) Tingkat Pendidikan Orang Tua.
Pendidikan orang tua yang tinggi akan mempengaruhi status

pekerjaan orang tua dan kemampuan orang tua untuk memberikan

fasilitas pendidikan kepada anaknya yang secara tidak langsung akan

mempengaruhi prestasi belajar anak. Jenjang pendidikan formal

menurut undang-undang sistem pendidikan nasional terdiri atas

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi

jenjang pendidikan menengah yang berbentuk Sekolah Dasar (SD)

dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah

(MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah

merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan

menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan yang

berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan

(MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan

tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah

mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis,

dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi (Depdiknas,

2003).
4) Pekerjaan Orang Tua.
18

Pekerjaan orang tua juga berpengaruh terhadap kemampuan orang

tua untuk menyediakan fasilitas belajar yang efektif dan efisien bagi

anak.
5) Faktor sarana prasarana dan tenaga pengajar di sekolah.
Sarana prasarana yang cukup serta tenaga pengajar yang

berkompetensi dapat menunjang keberhasilan proses belajar itu

sendiri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa SMA

Provinsi Sumatera Utara menunjukkan hubungan yang signifikan

antara sarana prasarana atau media belajar dengan prestasi belajar

siswa (Rajagukguk, 2008).


2.6.3 Pengukuran Prestasi Belajar
Tes hasil belajar berguna untuk mengukur penguasaan materi

pelajaran yang telah dikuasai sesuai dengan bidang studi yang telah diikuti

oleh siswa. Prestasi dapat bersifat kualitatif (seperti baik sekali, baik, sedang,

kurang, kurang sekali, dan sebagainya) atau dapat berupa kuantitaif (berupa

angka-angka). Prestasi belajar siswa dibuktikan melalui nilai atau angka nilai

dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru terhadap tugas siswa dan

ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuhnya (Tu’u, 2004 dalam Cahyo,

2010).

2.7 Status Anemia dan Prestasi Belajar Anak


Anak usia sekolah merupakan fase yang sangat penting dalam

pertumbuhan. Periode anak usia sekolah ini disebut juga dengan istilah latency,

yakni periode dimana proses pertumbuhan berlanjut dari masa balita, namun

dengan efek pertumbuhan yang tidak sebesar pada periode sebelumnya. Pada fase

ini, tubuh dengan optimal menyimpan cadangan nutrisi yang diperlukan anak

pada fase pubertas nantinya. Anak usia sekolah merupakan fase dimana aktivitas

anak berlangsung sangat dinamis dan aktif sehingga membutuhkan asupan nutrisi
19

yang memadai dan rentan mengalami infeksi. Kecukupan konsumsi zat gizi yang

seimbang harus dipenuhi oleh anak usia sekolah dan zat gizi yang perlu

diperhatikan pada anak usia sekolah adalah energi, protein, Fe, vitamin A, vitamin

C dan Ca (Akhmadi, 2009 dalam Dewi et al., 2012). Infeksi cacing tambang yang

didapatkan dari sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anemia

defisiensi besi yang merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan besar

dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah (Sumanto, 2010).


Anak usia sekolah berada dalam masa pertumbuhan yang membutuhkan

zat gizi yang tinggi khususnya zat besi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.

Kekurangan zat besi akibat infeksi cacing tambang akan menyebabkan anak

mengalami anemia defisiensi besi. Kekurangan zat besi berpengaruh pada

perkembangan mental, anak memiliki perkembangan psikomotor lebih rendah

dari pada anak sehat, prestasi belajarnya lebih rendah dibandingkan dengan anak

normal (Nakita, 2010 dalam Tuturoong, 2013). Kekurangan zat besi pada anak

akan menyebabkan pertumbuhan kurang optimal, kemampuan belajar menurun

(Lokollo dkk, 2010 dalam Tuturoong, 2013). Anemia defisiensi zat besi

berhubungan erat dengan penurunan konsentrasi belajar sehingga berpengaruh

terhadap prestasi belajar anak.


Faktor lainnya seperti motivasi, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan

orang tua, sarana dan prasarana sekolah juga memberikan dampak terhadap

prestasi belajar. Jika faktor-faktor tersebut rendah akan mengakibatkan penurunan

prestasi belajar.
20
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir


Anemia merupakan suatu kondisi ketika jumlah sel darah merah atau

konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk

kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia defisiensi besi terjadi bila asupan besi ke

eritroid di sumsum tulang terganggu sehingga menyebabkan konsentrasi

hemoglobin menurun.
Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting

anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat

merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu

kecerdasan anak usia sekolah. Penurunan produktifitas sebagai indikator beratnya

gangguan penyakit ini (Sumanto, 2010).


Defisiensi besi di masa awal menunjukkan bahwa anak dengan anemia

pada masa bayi cenderung memiliki penurunan kemampuan berpikir. Keadaan

anemia defisiensi akan menyebabkan penurunan prestasi belajar pada anak usia

sekolah. Studi longitudinal menunjukkan bahwa anemia yang terjadi pada masa

bayi akan menyebabkan perubahan yang nyata pada masa kanak-kanak.

Perubahan tersebut diantaranya fungsi kognitif yang rendah, prestasi sekolah dan

masalah perilaku. Ada keterlibatan besi dalam sintesis dan pelepasan

neurotransmiter, penyerapan dan degradasi menjadi besi lainnya yang

mengandung protein, secara langsung dan tidak langsung dapat mengubah fungsi

otak. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kegagalan mentransfer besi ke

otak selama periode tertentu pada perkembangan awal otak (Batra et al., 2005).
Status anemia dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor gizi,

pengetahuan tentang gizi, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan

riwayat infeksi. Prestasi belajar dipegaruhi oleh berbagai macam faktor internal

21
22

dan eksternal. Infeksi cacing tambang secara langsung akan mempengaruhi status

anemia anak. Anemia akan berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan

anak sehingga mengakibatkan penurunan prestasi belajar anak.

3.2. Konsep Penelitian

Status anemia Prestasi belajar

Faktor yang Faktor yang


mempengaruhi: mempengaruhi:

IMT Pendidikan Orang


Tua
Infeksi Cacing
Tambang Pekerjaan Orang Tua

Status Gizi Intelegensi

Motivasi
= mempengaruhi
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian gambaran Gangguan konsentrasi
umu anemia dan prestasi
Sarana-prasaran
belajar anak usia sekolah dasar di SD Negeri 4 Abiansemal
sekolah
23
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian


Desain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan

penelitian atau menguji kesahihan hipotesis yang berisi struktur dan strategi

penelitian agar proses penelitian dapat berjalan dengan sistematis, teratur dan

terencana. Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional deskriptif

dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui gambaran umum status

anemia dan prestasi belajar pada anak usia sekolah dasar.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di SD Negeri 4 Abiansemal,

Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.


4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai dari perancangan tema, penyusunan proposal,

pelaksanaan penelitian, pengumpulan dan pengolahan data, serta

pembuatan laporan hasil penelitian yang dilakukan dari November 2014

sampai dengan Januari 2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Variabilitas Populasi
a. Populasi Target
Dalam penelitian ini, populasi target adalah siswa SD di Kabupaten

Badung.
b. Populasi Terjangkau
Pada penelitian ini yang menjadi populasi terjangkau adalah seluruh

siswa kelas IV, V, dan VI di SD Negeri 4 Abiansemal, Kabupaten

Badung sebanyak 82 orang.


4.3.2 Kriteria Sampel
a. Kriteria Inklusi
Adapun kriteria inklusi yang menjadi karakteristik umum pada

subyek penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Siswa kelas IV, V, dan VI SD Negeri 4 Abiansemal.

24
25

2. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini (menandatangani

lembar persetujuan/informed consent).


b. Kriteria Eksklusi
Berikut di bawah ini adalah kriteria eksklusi pada subyek penelitian:
1. Anak yang sedang mengonsumsi tablet besi dalam kurun waktu

30 hari terakhir.
2. Anak yang tidak bisa diambil sampel darahnya saat

pengambilan sampel darah di lapangan.


4.3.3 Besar Sampel
Dalam penelitian ini, perkiraan besar sampel akan menggunakan

formula dibawah ini. Berdasarkan penelitian sebelumnya prevalensi anemia

defisiensi besi anak usia sekolah (P) = 29%. Ditentukan deviasi (d) = 10%

dan power penelitian 95% (Z1-α = 1,96). Perhitungan jumlah sampel minimal

yang diperlukan adalah sebagai berikut:

Jumlah sampel yang akan digunakan adalah jumlah sampel koreksi

ditambah 20% untuk mengantisipasi drop out dan karena variabel yang

diteliti banyak. Jadi Jumlah sampelnya sebesar 41 orang.


Keterangan:
n = jumlah sampel
Z1-= koefisien reliabilitas
P = perkiraan kejadian di populasi
 = standar deviasi di populasi
d = tingkat presisis/efek size
nk = jumlah sampel koreksi
N = jumlah populasi
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel dari populasi

terjangkau yang terpilih menggunakan teknik simple random sampling,


26

dimana penulis menghitung terlebih dahulu jumlah subyek dalam populasi

(terjangkau) yang akan dipilih subyeknya sebagai sampel penelitian.

Kemudian peneliti akan mengumpulkan nama seluruh subyek terpilih dari

masing-masing kelas IV, V, dan VI. Setiap nama subyek akan diurut sesuai

dengan daftar absensi kelas kemudian digabungkan dengan kelas selanjutnya,

sampai ketiga kelas tersebut telah selesai diurut sesuai dengan daftar absensi.

Jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 41 orang. Subyek yang tersedia

dalam populasi terjangkau sebanyak 82 orang. Dari data yang telah diurut

tersebut, sampel penelitian diambil setiap berselang dua nomor sampai

didapatkan jumlah sampel yang diinginkan berdasarkan perhitungan besar

sampel.

4.4 Variabel Penelitian


4.4.1 Klasifikasi Variabel
Variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
1. Status anemia
2. Indeks Massa Tubuh (IMT)
3. Prestasi belajar
4. Pekerjaan orang tua
5. Pendidikan orang tua
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Status anemia dapat diketahui dengan menentukan kadar Hb

langsung di lapangan menggunakan alat hemomter digital yaitu Easy

Touch Hb. Status anemia dikategorikan menjadi anemia dan tidak

anemia dengan cut off point:


- Anemia <12 g/dL
- Tidak anemia ≥12 g/dL.
2. Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran IMT bertujuan untuk

mengetahui status obesitas subyek penelitian. Status obesitas

dikumpulkan dengan cara penimbangan berat badan (BB)

menggunakan timbangan digital SECA dengan ketelitian 0,1 kg dan


27

pengukuran tinggi badan (TB) menggunakan microtoise dengan

ketelitian 0,1 cm. Indeks Massa Tubuh dihitung berdasarkan hasil

pembagian berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dala

meter kuadrat (kg/m2).

Klasifikasi status obesitas didasarkan pada pembagian IMT untuk

orang Indonesia:
- Kurus (IMT < 18,5)
- Normal (IMT 18,5-24,9)
- Berat Badan Lebih (IMT 25-27)
- Obesitas (IMT > 27)
3. Prestasi belajar anak diukur dan dinilai dalam bentuk angka.

Penilaian prestasi belajar anak dinilai berdasarkan raport siswa. Nilai

yang digunakan adalah nilai rerata raport semua mata pelajaran

siswa SD Negeri 4 Abiansemal seluruh semester yang telah dilalui

dengan perhitungan jumlah nilai dibagi jumlah mata pelajaran dan

kemudian ditambahkan nilai rerata seluruh semester dibagi jumlah

total semester. Prestasi belajar dikategorikan menjadi dua yaitu:


- Baik (rerata nilai raport seluruh semester ≥ 75)
- Cukup (rerata nilai raport seluruh semester 60 - 75)
- Kurang (rerata nilai raport seluruh semester < 60)
4. Pekerjaan orang tua. Status pekerjaan ayah dikelompokkan menjadi:
- Buruh/ petani
- Bukan buruh/ petani
- Tidak bekerja
Status pekerjaan ibu dikelompokkan menjadi:
- Bekerja
- Tidak bekerja
5. Pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua, ayah dan ibu

dikelompokkan menjadi tiga yaitu:


- Tinggi (jika pendidikan terakhir orang tua subyek adalah

diploma/perguruang tinggi).
- Menengah (jika pendidikan terakhir orang tua subyek adalah SMA

dan SMP).
28

- Dasar (jika pendidikan terakhir orang tua subyek adalah SD/tidak

tamat SD/tidak pernah sekolah).

4.5 Bahan Penelitian


Penelitian ini menggunakan bahan-bahan berupa: sampel darah kapiler

yang diambil langsung di lapangan.

4.6 Instrumen Penelitian


Penelitian ini menggunakan alat/instrumen penelitian berupa:
1. Alat ukur kadar hemoglobin darah di lapangan: Easy Touch Hb
2. Kuesioner
3. Raport Siswa

4.7 Alur Penelitian

4.7.1 Prosedur Permohonan Ijin

Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti melakukan beberapa

tahap persiapan sebagai berikut:

a. Mengajukan ethical clearance kepada komisi etik.

b. Mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada institusi

tempat dilakukannya penelitian yaitu SD Negeri 4 Abiansemal.

c. Mengajukan surat permohonan bantuan petugas kesehatan untuk

membantu proses pengambilan sampel darah.

d. Melakukan koordinasi dengan pihak SD Negeri 4 Abiansemal

mengenai jadwal dan tempat yang digunakan dalam penelitian.

4.7.2 Pengambilan Sampel

Sampel diambil dengan cara simple random sampling. Peneliti

menghitung terlebih dahulu jumlah populasi terjangkau dan didapatkan

jumlh populasi terjangkau sebanyak 82 orang. Dari 82 orang sampel

akan dipilih sebanyak 41 orang sampel yang diperlukan.


29

4.7.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data diambil dari kuesioner gambaran gejala anemia yang

diisi oleh responden dengan waktu pengerjaan 30 menit. Calon

responden diberi kesempatan untuk memutuskan kesediaannya menjadi

responden dan bagi yang bersedia diminta untuk menandatangani

informed consent. Pengumpulan data meliputi pengumpulan data

anemia dan pengumpulan data hasil prestasi belajar.

a. Pengumpulan Data Anemia

Data anemia dikumpulkan dengan melakukan pengukuran terhadap

kadar hemoglobin setiap sampel dengan menggunakan hemometer

digital yaitu Easy Touch Hb. Prosedur pengukuran kadar Hb yang

dilakukan oleh petugas Puskesmas setempat. Proses pengukuran

hemogblobin melalui beberapa tahapan yaitu:

- Pastikan code card sudah terpasang pada alat hemometer digital.

- Pasang strip pada ujung alat.

- Bersihkan ujung jari pada bagian yang akan diambil darahnya.

- Ambil sampel darah kapiler pada ujung jari menggunakan lancet

yang telah disediakan.

- Setelah darah yang keluar pada ujung jari sudah cukup,

dekatkan sampel darah pada ujung jari tersebut ke satu mulut

strip supaya diserap langsung oleh ujung mulut strip.

- Tunggu hasilnya sekitar 6 detik dan baca kadar Hemoglobinnya.

Kelebihan dari hemometer digital adalah tingkat keakuratannya

lebih valid daripada hemometer sahli, lebih cepat, dan lebih simpel
30

cara pemeriksaannya. Sedangkan kekurangannya yaitu harga lebih

mahal.

b. Pengumpulan Data Hasil Prestasi Belajar

Data hasil prestasi belajar diperoleh dari rerata nilai raport seluruh

semester sampel penelitian. Proses pengumpulan data nilai raport

melalui beberapa tahap yaitu:

- Menyiapkan identitas subyek yang akan menjadi responden

sebanyak 41 orang.

- Mengumpulkan data raport seluruh semester dari subyek

penelitian.

- Nilai yang telah dikumpulkan akan dicari reratanya dihitung dari

total nilai semua mata pelajaran masing-masing semester dibagi

jumlah mata pelajaran dan kemudian ditambahkan nilai rerata

masing-masing semester dibagi jumlah total semester yang telah

dilalui oleh masing-masing subyek.

Keterangan

nreata = rerata nilai semua mata pelajaran pada masing-masing

semester

nakhir = rerata nilai seluruh semester


31

Calon responden diberi kesempatan untuk memutuskan kesediaannya menjadi

responden dan bagi yang bersedia diminta untuk menandatangani informed

consent.

4.8 Cara Pengolahan dan Analisis Data


4.8.1 Pengolahan Data
a. Editing
Proses editing dilakukan untuk memeriksa data yang sudah

terkumpul dan jika ada kekurangan langsung dilengkapi tanpa

dilakukan panggantian jawaban responden.


b. Coding
Pada tahap ini dilakukan dengan memberi kode pada semua

responden agar mempermudah dalam pengolahan data.


c. Entry
Data entri adalah kegiatan memasukan data yang telah

dikumpulkan kedalam tabel atau data base computer, kemudiam

membuat distribusi frekuensi sederhana.


d. Tabulating
Tabulasi dilakukan untuk pengorganisasian data yang sudah

terkumpul agar mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk

disajikan serta dianalisa.


4.8.2 Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menganalisa secara deskriptif

dengan menghitung distribusi frekuensi tiap variabel penelitian

yaitu karakteristik status anemia dan prestasi belajar siswa dalam

bentuk distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel.


b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui korelasi status

anemia dan prestasi belajar pada siswa dengan menggunakan uji

chi square dan Pearson correlation. Pada CI 95%, jika P-value <

0,05 dikatakan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik,


32

namun jika P-value > 0,05 dikatakan tidak terdapat hubungan

yang bermakna secara statistik.

4.9 Jadwal Penelitian

Tahun/Bulan Ke- 2014 2015 2016

Kegiatan 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

Penyusunan
proposal

Pengujian proposal

Persiapan penelitian

Pengumpulan data
dan penelitian

Pengolahan dan
analisis data
33

Pembuatan laporan
penelitian

Revisi hasil
penelitian

Pengujian skripsi

Publikasi laporan
penelitian

4.10 Rancangan Dana

Kebutuhan Banyak Jumlah


Bahan Habis Pakai
Hemometer digital 2 buah Rp. 2.700.000,00
Test Strip Kadar Hemoglobin 50 buah Rp. 1.400.000,00
Lancet 50 buah Rp. 100.000,00
Alkohol swab 1 kotak Rp. 100.000,00
Masker 1 kotak Rp. 100.000,00
Handschoen 1 kotak Rp. 100.000,00
Subtotal Rp. 4.500.000,00
Peralatan Penunjag Proposal
Biaya Pembuatan Laporan - Rp. 250.000,00
ATK - Rp. 250.000,00
Subtotal Rp. 500.000,00
Total Rp. 5.000.000,00
34

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam M, Daniel A. 2002. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia


Defisiensi Besi. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 – 77.

Bakta. 2012. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

Bappeda Kabupaten Badung. 2011. Laporan Akhir Pemetaan dan Identifikasi Pola
Ruang Permukiman di Kabupaten Badung. Pemerintah Kabupaten Badung.

Batra J & Sood, A. 2005. Iron Deficiency Anaemia : Effect on Cognitive


Development in Children : A Review. Indian Journal of Clinical Biochemistry,
2005, 20 (2) 119-125.

Cahyo R. 2010. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar


Kewirausahaan Siswa Kelas XI SMK N 1 Punggelan Banjarnegara”. Semarang.
Universitas Negeri Semarang.

Depdiknas, 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Sekolah Dasar. Jakarta:


Depdiknas.

Dewi M, Sutiari K, Wulandari L. 2012. Status Anemia Gizi Besi dan Konsumsi
Zat Gizi pada Anak Usia Sekolah di Lima Panti Asuhan di Kota Denpasar. Arc.
Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009 Vol. 1 No. 1 : 35 – 42.

Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. 2009. Terapi dan Suplementasi Besi pada Anak.
Sari Pediatri, Vol. 11, No. 3, Oktober 2009.

Hamdu G & Agustina L. 2011. Pengaruh Motivasi Belajar Siswa Terhadap


Prestasi Belajar IPA. Studi Kasus terhadap Siswa Kelas IV SDN Tarumanagara
Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No.
1, April 2011.

Indartanti D, Kartini A. 2014. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia


pada Remaja Putri. Journal of Nutrition College, Volume 3, Nomor 2, Tahun
2014, Halaman 33-39.

Kapti N, Ariwati L, Sudarmaja M. 2004. Reinfeksi A. lumbricoides dan T.


trichiura serta faktor-faktor risikonya pada anak-anak SD N 1 Taman, SD N 3
Mambal, dan SD N 3 Sibang Kaja. Denpasar: Laporan Hasil Penelitian DUE-Like
Universitas Udayana Batch III.

Kusmiyati K, Meilani N, Ismail S. 2013. Kadar Hemoglobin dan Kecerdasan


Intelektual Anak. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 3,
Oktober 2013.
35

Lande F. 2005. “Hubungan Status Anemia dengan Prestasi Belajar Siswa SMU di
Semarang yang berasal dari Papua”. Semarang. Universitas Muhammadiyah
Semarang.

Lopez A, Osendarp S, Boonstra A et. al., 2011. Sharply higher rates of iron
deficiency in obese Mexican women and children are predicted by obesity-related
inflammation rather than by differences in dietary iron intake. Am J Clin Nutr
2011;93:975–83.

Lubis B, Saragih R, Gunadi D et. al., 2008. Perbedaan Respon Hematologi dan
Perkembangan Kognitif pada Anak Anemia Defisiensi Besi Usia Sekolah Dasar
yang Mendapat Terapi Besi Satu Kali dan Tiga kali Sehari. Sari Pediatri, Vol. 10,
No. 3, Oktober 2008.

Malonda N, Kapantow N, Basuki A et. al., 2011. Hubungan Antara Kejadian


Anemia dengan Hasil Belajar Siswi SMP Negeri 11 Manado. BULETIN IDI
MANADO.

Nickyta, Primadiati 2010. “Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan


Intelektual (Intelligence Quotient – IQ) pada Anak Usia Sekolah Dasar Ditinjau
dari Status Sosial-Ekonomi Orang Tua dan Tingkat Pendidikan Ibu”. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

Rajagukguk,W. 2008.Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa SMA


Sesuai Tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan.
J.Pend.Mat. & Sains Vol 1 (3), 2008 h 45-51.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Sampouw A, Bolang A, Basuki A. 2013. “Hubungan Antara Anemia dengan


Prestasi Belajar Siswa Kelas 4 dan 5 SD Sta. Theresia Malalayang”. Manado.
Universitas Sam Ratulangi.

Siahaan N. 2012. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Anemia


Remaja Putri di Wilayah Kota Depok pada Tahun 2011 (Analisi Data Sekuder
Survei Anemia Remaja Putri Dinas Kesehatan Kota Depok Tahun 2011”. Depok.
Universitas Indonesia.

Sumanto D. 2010. “Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah
(Studi kasus kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak)”. Semarang.
Universitas Diponegoro.

Tuturoong M, Malonda N, Kapantow M. 2013. Hubungan Antara Kadar


Hemoglobin (Hb) dengan Prestasi Belajar pada Anak Sekolah Dasar di Kelurahan
Bunaken Kota Manado Sulawesi Utara. Manado. Universitas Sam Ratulangi.

World Health Organization, 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis


of anaemia and assessment of severity. Geneva, Switzerland. Department of
Nutrition for Health and Development (NHD) World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai