Anda di halaman 1dari 44

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. SM
TTL : 01 Maret 1996
Umur : 22 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Urimesing
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan : Belum Menikah
No.RM : 12 36 73
Ruangan : ICU/ Nifas
Jaminan Kesehatan : KIS
Tanggal MRS : 12 Oktober 2017 pukul 13.00 WIT

B. Anamnesis (Heteroanamnesis)
 Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
 Keluhan Tambahan : buang air besar encer, muntah, nyeri perut
 Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke UGD RSUD Dr. M. Haulussy Ambon dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Menurut
keterangan keluarga, pasien gelisah dan mengamuk sejak tadi pagi. 2
minggu yang lalu pasien mengalami buang air besar encer, lebih dari 5 kali
dalam sehari, tidak disertai darah, namun keluhan berhenti sejak 3 hari lalu.
Keluhan muntah dialami sejak 2 minggu lalu, 3 kali dalam sehari, muntah
air dan makanan. Keluarga juga mengatakan pasien sering merasakan nyeri
perut bagian bawah, nyeri seperti terpelintir, menjalar hingga ke pinggang
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien sedang hamil 5 bulan, hamil anak pertama
dan belum pernah mengalami keguguran. Keluarga mengatakan 2 bulan lalu

1
pasien pernah minum obat Gastrul 2 tablet. Pasien datang dengan pengantar
dari dr. Novy Riyanti, Sp. OG dengan diagnosa G1P0A0 gravid 23-24
minggu & GEA (Tanggal 3 Oktober 2017)
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien diketahui tidak memiliki riwayat penyakit asma, hipertensi dan
penyakit jantung
 Riwayat Pengobatan:
Pasien belum mendapat terapi hanya diberikan vitamin
 Riwayat Keluarga:
Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang sama.
 Riwayat Menstruasi:
 Menarche usia 12 Tahun
 Keluarga pasien mengaku tidak mengetahui siklus dan lama haid pada
pasien. HPHT = ?-05-2017
 Riwayat Perkawinan:
Pasien belum menikah
 Riwayat ginekologi :
Menurut keluarga pasien, pasien tidak memiliki keluhan pada kandungan.
 Riwayat obstetri :
G1P0A0 gravid 23-24 minggu
 Riwayat kontrasepsi :
Menurut keluarga pasien, pasien belum pernah menggunakan obat
kontrasepsi jenis apapun
 Riwayat kebiasaan :
Pasien tidak pernah merokok dan minum minuman beralkohol

C. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Delirium

2
GCS : E4V3M5
SpO2 : 98%
 Tanda vital
Tekanan darah : 80/50 mmHg
Nadi : 115 x/menit
Pernapasan : 32 x/menit
Suhu : 36,5ºC
 Pemeriksaan fisik
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Otorea -/-
Hidung : Rhinorea -/-
Gigi dan mulut : Dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB leher (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
Dada : Normochest
Paru : Bunyi pernapasan : vesikuler kiri = kanan
Bunyi Tambahan : Ronki -/-, Wheezing - / -
Jantung : BJ I/II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Perut : (pada pemeriksaan obstetri)
Hati : Pembesaran (-)
Ginjal : Ballotement (-)
Limpa : Pembesaran (-)
Alat genital : sulit dievaluasi
Ekstremitas : Dalam batas normal
Refleks : Dalam batas normal
 Pemeriksaan Obstetri:
 Pemeriksaan Abdomen
 Inspeksi: Striae gravidarum (+), Linea alba (+), Linea Nigra (-)
 Palpasi: TFU 2 jari diatas umbilicus (22 cm), Kontraksi (+)
 Perkusi: tidak dilakukan

3
 Auskultasi:
 DJJ = sulit dievaluasi
 Pemeriksaan genital
 Inspeksi : Sulit dievaluasi
 Inspekulo: tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Penunjang
 Darah Rutin, dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2017:
− Hemoglobin : 10,6 g/dL
− Leukosit : 21.500 /mm3
− Trombosit : 171.000 /mm3
− Hematokrit : 31,3 %
 EKG  tidak dapat dilakukan karena pasien gelisah
 USG  Kesan IUFD

E. Diagnosa
G1P0A0 hamil 23-24 minggu + IUFD + Syok Septik

F. Diagnosis Banding
− Gawat janin
− Syok Hipovolemik

G. Tatalaksana
− Pasang O2 nasal cannul 3 liter/ menit
− IVFD 2 jalur
 Loading RL 1 kolf : NaCl 0,9% 1 kolf
 Drip dopamin 2 amp dalam 500 cc RL 20 tpm
− Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
− Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
− Pasang kateter
− Konsul Anestesi  Rawat ICU

4
− Observasi TTV
− Rencana terminasi kehamilan bila kondisi Ibu stabil

H. Resume
Pasien perempuan usia 22 tahun G1 P0 A0 HPHT: ?-05-2017, UK: 23-24
minggu, merasa hamil 5 bulan datang dengan penurunan kesadaran sejak 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat buang air besar encer 2 minggu yang lalu.
Pasien riwayat minum gastrul 2 tablet 2 bulan lalu. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan TD 80/50 mmHg, N 115x/m, P 32x/m, S 36,5o C. Pada abdomen:
gravid, TFU 2 jari di atas pusat (22 cm), BU (+) kesan normal, kontraksi (+),
DJJ sulit dievaluasi. Pemeriksaan genital: sulit dievaluasi. Pada pemeriksaan
dengan USG kesan IUFD. Diagnosis G1P1A0 hamil 23-24 minggu, IUFD dan
Syok Septik. Rencana tindakan yang akan dilakukan adalah pasang oksigen
nasal cannul 3 liter/menit, resusitasi cairan dengan cara pasang infus 2 jalur,
injeksi antibiotik meropenem 3x1 gr/ iv, drip metronidazole 3x500 mg/ iv,
pasang kateter, konsul anestesi untuk rawat ICU, terminasi kehamilan bila
kondisi ibu stabil, KIE keluarga.

I. Follow Up

5
Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi
13/10/2017 S : gelisah P:
Hari 1 O:  Pasang O2 nasal cannul 3 liter/
TD = 90/60 mmHg menit
N = 112x/m  IVFD RL 20 tpm
P = 20x/m  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
S = 36,9 ͦ C  Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 KU = sakit berat, sopor  Rencana terminasi kehamilan bila
 Mata = Ca-/-, Si-/- kondisi Ibu stabil
 Abd = gravid (+), BU (+) kesan  Periksa darah kimia lengkap
normal, kontraksi (+), DJJ (-)
Urine 24 jam = 350 cc  Periksa elektrolit

A : G1P0A0 hamil 23-24 minggu +


IUFD + Syok Septik
14/10/2017 S : lemas, bayi lahir spontan
P:
Hari 2 O:  O2 nasal cannul 3 liter/ menit
TD = 100/70 mmHg  IVFD D10 : Renosan : Futrolit =
N = 92x/m 2:1:2 20 tpm
P = 20x/m  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
S = 36,7 ͦ C  Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 KU = sakit berat, sopor  Transfusi Albumin sampai
 Mata = Ca-/-, Si-/- Albumin > 2,5 mg/dL
 Abd = datar, BU (+) kesan
 Pasang NGT  susu 4 x 200 cc
normal.
 Vip albumin 3 x 2 tablet
 Ekstremitas : Edema (+)
Hasil Lab:
− GDS = 23 mg/dL
− Ureum = 75 mg/dL
− Kreatinin = 1,5mg/dL
− SGOT = 85 u/L
− SGPT = 98 u/L
− Albumin= 1,0 mg/dL
Urine 24 jam = 695 cc

A : P1A0 Partus Imaturus Spontan +


IUFD + Sepsis + Hipoglikemia +
Hipoalbuminemia
15/10/2017 S : lemas P:
Hari 3 TD = 110/80 mmHg  O2 nasal cannul 3 liter/ menit
N = 78x/m  IVFD D10 : Renosan : Futrolit =
P = 20x/m 2:1:2 20 tpm
S = 36,7 ͦ C  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
 Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 KU = sakit berat, sopor  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 Mata = Ca-/-, Si-/-  Transfusi Albumin sampai
 Abd = datar, BU (+) kesan Albumin > 2,5 mg/dL
normal.
 NGT  susu 4 x 200 cc
 Ekstremitas : Edema (+)
 Vip albumin 3 x 2 tablet
Urine 24 jam = 1975 cc

6
A : P1A0 Partus Imaturus Spontan
H-1+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia
16/10/2017 S : lemas P:
Hari 4 TD = 110/60 mmHg  O2 nasal cannul 3 liter/ menit
N = 69 x/m  IVFD D10 : Renosan : Futrolit =
P = 20 x/m 2:1:2 20 tpm
S = 36,7 ͦ C  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
 Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 KU = sakit sedang, somnolen  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 Mata = Ca-/-, Si-/-  Transfusi Albumin sampai
 Abd = datar, BU (+) kesan Albumin > 2,5 mg/dL
normal.
 NGT  susu 4 x 200 cc
 Ekstremitas : Edema (+)
 Vip albumin 3 x 2 tablet
Urine 24 jam = 1050 cc
 Cek darah lengkap
A : P1A0 Partus Imaturus Spontan  Cek elektrolit
H-2+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia
17/10/2017 S : lemas P:
Hari 5 TD = 120/80 mmHg  IVFD D10 : Renosan : Futrolit =
N = 78x/m 2:1:2 20 tpm
P = 20x/m  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
S = 36,7 ͦ C  Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 KU = sakit sedang, apatis  Transfusi Albumin sampai
 Mata = Ca-/-, Si-/- Albumin > 2,5 mg/dL
 Abd = datar, BU (+) kesan  Vip albumin 3 x 2 tablet
normal.  KCl 1 fl / 24 jam
 Ekstremitas : Edema (+)
 Aff NGT
 Transfusi trombosit 6 kantong
Hasil Lab:
 Darah rutin:  Periksa laboratorium Darah Kimia
− Hb = 13, 6 g/dL

WBC = 16.200 / mm3

PLT = 20.000 / mm3
 Darah Kimia:
− Ureum = 63 mg/dL
− Kreatinin = 0,8 mg/dL
− SGOT = 69 u/L
− SGPT = 71 u/L
− Albumin= 1,7 mg/dL
 Elektrolit:
− Natrium = 132 mmol/L
− Kalium = 1,2 mmol/L
− Chlorida = 107 mmol/L
Urine 24 jam =2275 cc

A : P1A0 Partus Imaturus Spontan


H-3+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia +
Trombositopenia + Hipokalemia

18/10/2017 S : lemas P:

7
Hari 6 TD = 110/70 mmHg  IVFD D10 : Renosan : Futrolit =
N = 86 x/m 2:1:2 20 tpm
P = 20 x/m  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV)
S = 36,7 ͦ C  Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 KU = sakit sedang, apatis  Transfusi Albumin sampai
 Mata = Ca-/-, Si-/- Albumin > 2,5 mg/dL
 Abd = datar, BU (+) kesan  Vip albumin 3 x 2 tablet
normal.
 Transfusi trombosit 6 kantong
 Ekstremitas : Edema (+)
 KCl 1 fl / 24 jam
 Diet TKTP
Urine 24 jam =2300 cc

Hasil Lab Darah Kimia:


 Ureum = 36 mg/dL
 Kreatinin = 0,6 mg/dL
 SGOT = 72 u/L
 SGPT = 67 u/L

A : P1A0 Partus Imaturus Spontan


H-4+ IUFD + Hipoalbuminemia
+Trombositopenia + Hipokalemia
19/10/2017 S : lemas P:
Hari 7 TD = 100/70 mmHg  IVFD D10 : Renosan : Futrolit =
N = 86 x/m 2:1:2 20 tpm
P = 20 x/m  Inj. Meropenem 3 x 1 gr (IV) 
S = 36,7 ͦ C Stop
 Drip Metronidazol 3 x 500 mg (IV)
 KU = sakit sedang, apatis  Stop
 Mata = Ca-/-, Si-/-  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
 Abd = datar, BU (+) kesan  Vip albumin 3 x 2 tablet
normal.  KCl 1 fl / 24 jam
 Ekstremitas : Edema (+)
 Aff kateter
Urine 24 jam =2275 cc
 Diet TKTP
 Boleh pindah ruangan  Nifas
A : P1A0 Partus Imaturus Spontan
H-5+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia
20/10/2017 S : gelisah P:
Hari 8 TD = 110/70 mmHg  IVFD RL 20 tpm
N = 90 x/m  Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
P = 20 x/m  Vip albumin 3 x 2 tablet
S = 36,7 ͦ C  Diet TKTP
 Cek darah rutin
 KU = sakit sedang, apatis
 Mata = Ca-/-, Si-/-
 Abd = datar, BU (+) kesan
normal.
 Ekstremitas : Edema (+)

A : P1A0 Partus Imaturus Spontan


H-6+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia

21/10/2017 S : gelisah P:

8
Hari 9 TD = 110/80 mmHg  Aff infus
N = 82 x/m  Vip albumin 3 x 2 tablet
P = 20 x/m  Diet TKTP
S = 36,7 ͦ C

 KU = sakit sedang, delirium


 Mata = Ca-/-, Si-/-
 Abd = datar, BU (+) kesan
normal.
 Ekstremitas : Edema (+)
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin:
− Hb = 12, 9 g/dL

WBC = 21.200 / mm3

PLT = 154.000 / mm3

A : P1A0 Partus Imaturus Spontan


H-7+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia
22/10/2017 S : keluarga pasien meminta untuk Pulang Paksa
Hari 10 dipulangkan
TD = 110/80 mmHg
N = 82 x/m
P = 20 x/m
S = 36,7 ͦ C

 KU = sakit sedang, delirium


 Mata = Ca-/-, Si-/-
 Abd = datar, BU (+) kesan
normal.
 Ekstremitas : Edema (+)

A : P1A0 Partus Imaturus Spontan


H-8+ IUFD + Sepsis +
Hipoalbuminemia

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Intra Uterine Fetal Death (IUFD)


1. Definisi
Menurut WHO Expert Commitee on the Prevention of Perinatal
Morbidity and Mortality (1970), yang dinamakan kematian janin ialah
kematian janin yang pada waktu lahir berat badannya di atas 1000 gram.
Kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu:1
a. Golongan I : kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu
penuh;
b. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu;
c. Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late
foetal death);
d. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga
golongan di atas.
Intra uterine fetal death (IUFD) atau kematian dalam rahim adalah
kematian janin dalam kehamilan sebelum terjadi proses persalinan pada usia
kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram.2
Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan,
WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah
merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya
hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih,
dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara
menggunakan pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan
batasan dari pengertian IUFD.3
2. Etiologi
Penyebab dari kematian janin intra uterin yang tidak dapat diketahui
sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia
kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan

10
jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan
patologi dari plasenta.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian perinatal :1,2
1) Faktor ibu (high risk mothers) :
a) Status sosial ekonomi yang rendah;
b) Tingkat pendidikan ibu rendah;
c) Umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurangg dari 20 tahun;
d) Paritas pertama dan paritas ke 5 dan lebih
e) Tinggi badan ibu dan berat badan ibu;
f) Kehamilan di luar perkawinan;
g) Kehamilan tanpa pengawasan antenatal;
h) Gangguan gizi dan anemia pada kehamilan;
i) Ibu dengan anamnesis kehamilan dan persalinan sebelumnya yang
tidak baik, misalnya kehamilan dan persalinan berakhir dengan
kematian janin, kematian bayi yang dini, atau kelahiran bayi berat
badan lahir rendah;
j) Riwayat persalinan yang diakhiri dengan tindakan bedah atau yang
berlangsung lama;
k) Riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi medik,
seperti hipertensi dan diabetes;
l) Penyakit lupus eritematosus sistemik pada ibu;
m) Penyakit trombofilia herediter;
n) Riwayat inkompatibilitas darah janin dan ibu;
2) Faktor bayi ( high risk infants) :
a) Kelainan kromosom;
b) Gerakan sangat berlebihan;
c) Cacat bawaan ;
d) Hidrops nonimun;
e) Infeksi virus, bakteri, ataupun protozoa;
f) Trauma lahir;
g) Berat badan lahir (BBL) < 2500 gr;

11
h) BBL > 4000 gr;
i) Bayi yang dilahirkan dari kehamilan kurang dari 37 minggu dan
lebih dari 24 minggu;
j) APGAR kurang dari 7;
k) Bayi yang lahir dengan infeksi intrapartum, trauma kelahiran, atau
kelainan kongenital.
3) Faktor plasenta :
a) Solusio plasenta;
b) Infeksi plasenta dan selaput ketuban;
c) Infark plasenta;
d) Perdarahan janin ke ibu.
3. Patofisiologi
Sesuai dengan etiologi dari kematian janin dalam rahim atau Intra
Uterine Fetal Death (IUFD), kematian janin disebabkan oleh tiga
permasalahan pokok yaitu kausa dari janin, kausa dari ibu, dan kausa dari
plasenta.3
a. Kausa Janin1,2
1) Gerakan Sangat Berlebihan
Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama
jika terjadi gerakan satu arah saja dapat membahayakan kondisi
janin. Hal ini dikarenakan gerakan yang berlebihan ini akan
menyebabkan tali pusar terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka
pembuluh darah yang mengalirkan darah dari ibu ke janin akan
tersumbat. Gerakan janin yang sangat liar menandakan bahwa
kebutuhan janin tidak terpenuhi.
2) Kelainan kromosom
Bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya kelainan genetik
berat (trisomi). Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya
baru terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil
otopsi janin. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan kromosom saat

12
janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya
banyak.
Malformasi kongenital mayor merupakan adanya kelainan
kromosom autosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain
neural-tube defect, hidrosefalus, penyakit jantung kongenital,
hidrops dan lain-lain. Malformasi kongenital mayor ini merupakan
kelainan genetis yang mengancam hidup janin dan mengganggu
kerja organ-organ vital.
3) Kelainan bawaan bayi
Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops
fetalis, yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi
cairan terjadi dalam rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas
bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari banyaknya
cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami
pembengkakan atau terjadi kelainan pada paru-parunya.
4) Malformasi janin
Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan
organ janin tidak berlangsung dengan sempurna. Karena
ketidaksempurnaan inilah suplai yang dibutuhkan janin tidak
terpenuhi, sehingga kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan
akan menyebabkan kematian pada janin.
5) Kehamilan multiple
Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun
perinatal meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin
pada kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan
perbedaannya bisa sampai 1000-1500 g). Hal ini bisa disebabkan
regangan uterus yang berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga
tidak lancar. Jika ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan
yang parah, suplai janin tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan
menyebabkan kematian janin.

13
6) Intra Uterine Growth Restriction
Kegagalan janin untuk mencapai berat badan normal pada
masa kehamilan. Pertumbuhan janin terhambat dan bahkan
menyebabkan kematian, yang tersering disebabkan oleh asfiksia saat
lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan
hipoglikemi.
7) Infeksi
Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini
telah menyerang maka akan menyebabkan janin mengalami
gangguan seperti, pembesaran hati, kuning, perkapuran otak,
ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Dan gangguan ini akan
membuat kesejahteraan janin memburuk dan jika dibiarkan terus-
menerus janin akan mati.
Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkat
kegawatdaruratan janin. Semakin parah morbiditas dan virulensi
dari infeksi yang diderita janin, semakin buruk kemungkinan janin
untuk dapat hidup di dalam uterus. Beberapa infeksi janin yang
dapat membahayakan janin antara lain infeksi TORCH (CMV,
Toxoplasma, Rubella), malaria, infeksi Streptococcus grup A dan
Streptococcus grup B, Salmonelosis atau demam tifoid, hingga
gangguan pembekuan darah dan syok.
Rubella dan Parovirus B19 merupakan salah satu agen paling
teratogenik yang diketahui. Sekitar 80% wanita hamil terinfeksi
rubella dan ruam selama 12 minggu akan mengalami infeksi
kongenital, usia 13-14 minggu berjumlah 54 %, dan pada akhir
trimester kedua sebanyak 25%. Adanya infeksi virus Rubella dan
Parovirus ini akan menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin
intra uterin yang berakibat pada kegagalan perkembangan jantung,
defek susunan syaraf pusat, ikterus, hepatitis, hambatan
pertumbuhan janin, trombositopenia, anemia, dan lain-lain.
Sitomegalovirus lebih banyak menyebabkan infeksi dan kecacatan

14
perinatal dibandingkan dengan hambatan perkembangan dan
pertumbuhan janin intra uterin. Infeksi CMV menyebabkan
mikrosefalus, retardasi mental-motorik, defisit saraf sensori,
hepatosplenomegali, anemia hemolitik, hingga sindroma anti-
fosfolipid.
8) Insufisiensi plasenta yang idiopatik
Merupakan bagian dari kasus hipertensi dan penyakit ginjal
yang sudah disebutkan diatas. Pada beberapa kasus, insufisiensi
plasenta ini terjadi pada kehamilan yang berturut-turut. Janin tidak
mengalami pertumbuhan secara normal.
9) Cedera janin
Cedera tengkorak dan otak janin adalah yang tersering.
Faktornya dapat disebabkan benturan antara kepala janin dan
panggul ibu. Dapat juga kecelakaan lalu lintas beberapa bulan
sebelum lahir menyebabkan paraplegia dan kontraktur.
b. Kausa Maternal1,2,3
Kasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal
ternyata hanya memiliki peranan yang kecil. Beberapa penyakit dari ibu
yang mempunyai kausa tersering berupa hipertensi dan diabetes pada
kehamilan. Penyakit-penyakit lain seperti autoantibodi, SLE, penyakit
rhesus merupakan sebab yang jarang jumlah kejadiannya. Pada intinya,
kasus kematian janin yang disebabkan oleh kausa ibu diakibatkan oleh
adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik tersebut
mengganggu perfusi darah dari ibu ke janin.
1) Lupus eritematousus sistemik
Penyakit yang etiologinya tidak diketahui, terjadi karena
kerusakan sel oleh autoantibodi dan kompleks imun yang
menyerang inti sel. Hampir terjadi pada wanita, dan prevalensinya
pada wanita subur adalah sekitar 1 per 500. Efek penyakit ini pada
janin dan neonatus adalah menghambat pertumbuhan serta
morbiditas dan mortalitas perinatal. Prognosis diperburuk dengan

15
kekambuhan lupus, proteinuria signifikan, gangguan ginjal, dan
hipertensi dengan atau tanpa preeklamsia. Penyebab tersering
disertai infark placenta dan penurunan perfusi. Dapat menimbulkan
anti-bodi anti-SS-A (Ro) dan anti-SS-B (La) daapat merusak sistem
hantaran dan jantung janin sehingga menyebabkan kematian janin.
2) Inkompatibilitas Rhesus darah
Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua
mempunyai peran dalam IUFD. Golongan darah Rhesus yang
berbeda tersebut memberikan suatu bentuk autoantibodi pada tubuh
janin, sehingga berakibat pada hiperkoagulitas darah dan reaksi
autoimun janin. Hampir semua kasus ibu hamil dengan
inkompatibilitas Rhesus berakibat pada kematian janin.
3) Hipertensi
Dalam kehamilan terbagi menjadi tiga jenis yaitu hipertensi
gestasional, pre-eklampsia, dan eklampsia. Ketiga jenis hipertensi
kehamilan ini merupakan bagian yang berurutan, sesuai dengan
tingkat keparahan. Hipertensi gestasional merupakan peningkatan
tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali
selama kehamilan, tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi
gestasional yang memberat akan menyebabkan terjadinya pre-
eklampsia. Pre-eklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel
disertai dengan adanya kombinasi antara hipertensi dan proteinuria
yang nyata selama kehamilan. Bila pre-eklampsia tidak segera
ditangani dengan baik, akan menimbulkan stadium pre-eklampsia
berat yang akhirnya mengakibatkan eklampsia. Eklampsia adalah
terjadinya kejang grand mal pada seorang wanita dengan
preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Hipertensi
kehamilan sejatinya mengakibatkan vasospasme dan iskemia dalam
pembuluh darah ibu. Pada hipertensi gestasional, terjadi peningkatan
curah jantung yang bermakna. Hal ini mengakibatkan adanya

16
peningkatan afterload jantung. Hal ini akan semakin parah bila
mencapai tahap pre-eklampsia, dimana terjadi peningkatan
resistensi perifer akibat vasospasme yang berlebihan dan berakibat
pada penurunan mencolok curah jantung. Bila keadaan ini terus
dibiarkan, maka akan mengganggu perfusi utero-plasenta dan
mengakibatkan hipoksia janin. Hal ini akan berakibat pada kematian
janin. Gejala dan tanda untuk masing-masing tipe hipertensi
kehamilan hampir mempunyai gambaran yang sama, terutama pada
keluhan nyeri kepala dan epigastrium. Pada hipertensi gestasional,
dapat dikenali adanya nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan
peningkatan tekanan darah yang nyata. Pre-eklampsia berat
ditegakkan dengan adanya ekskresi protein urin dalam 24 jam
sebesar 2 gram atau lebih, dan proteinuria 2+ atau lebih yang
menetap. Sedangkan pre-eklampsia ringan ditemukan proteinuria 1+
atau tidak ada sama sekali, dan merupakan kelanjutan dari hipertensi
gestasional. Oleh karena itu, pada pre-eklampsia, pembedaan antara
pre-eklampsia ringan dengan pre-eklampsia berat adalah sesuatu
yang sangat vital karena berhubungan dengan tekanan onkotik dan
volume cairan tubuh yang terganggu.
4) Diabetes mellitus tipe 2
Lebih merupakan faktor penyulit medis tersering pada
kehamilan. Pasien dipisahkan menjadi golongan yang mengidap
diabetes sebelum hamil (overt), dan yang mengidap saat hamil
(gestasional). Diabetes gestasional mengisyaratkan bahwa gangguan
ini dipicu oleh kehamilan, yang mungkin terjadi akibat perubahan-
perubahan fisiologis pada metabolisme glukosa. Keadaan ini dapat
menimbulkan efek bagi ibu dan janin. Efek yang akan dialami janin
adalah makrosomia disertai trauma lahir karena distosia bahu. Hal
ini disebabkan oleh karena pengendapan lemak yang berlebihan di
bahu dan badan. Hiperinsulinemia janin yang disebabkan oleh
hiperglikemia ibu pun akhirnya akan merangsang pertumbuhan

17
somatik yang berlebihan. Berkaitan dengan kematian janin, dugaan
kematian janin oleh karena diabetes gestasional masih merupakan
permasalahan yang belum ditemukan secara pasti bagaimana teori
terjadinya. Kemungkinan paling besar adalah adanya trauma janin
saat lahir akibat distosia bahu atau diabetes dipandang sebagai
pemicu hipertensi pada kehamilan yang akhirnya menimbulkan pre-
eklampsia dan eklampsia.
5) Ruptur uteri
Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim
akibat dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptur
uteri ini antara lain adanya diproporsi janin dan panggul, partus
macet, atau adanya partus traumatik, dimana terjadi trauma mekanis
yang kuat yang dapat merobek miometrium uterus. Penilaian klinis
pada rupture uterine ini berbeda antara pada uterus normal dengan
pada uterus bekas sectio caesarea. Penilaian klinis rupture uteri pada
uterus normal diawali oleh adanya lingkaran konstriksi (bald’s ring)
hingga umbilicus atau diatasnya, nyeri hebat pada perut bagian
bawah, hilangnya kontraksi uterus gravidus yang normal,
perdarahan pervaginam, dan syok. Biasanya, penyebab utama dari
ruptura uteri pada uterus normal adalah karena partus yang macet,
trauma atau kecelakaan pada ibu, dan lain-lain. Sedangkan pada
uterus bekas sectio caesarea, terjadi gejala nyeri yang khas,
perdarahan bertambah sedikit dari normal, dan bradikardia pada
janin. Ruptur tersebut terjadi sebelum atau pada fase laten
persalinan, dan pada fase aktif / kala II bila insisi transversal SBR.
Adanya ruptura uteri ini secara otomatis akan mengakibatkan
adanya perdarahan mendadak pada ibu dan trans-plasenta, sehingga
berakibat pada perdarahan janin yang masif dan kematian janin.
c. Kausa Plasenta2,3
Kasus kematian janin yang dikaitkan dengan kausa plasenta relatif
bersifat dependent, tidak bisa berdiri sendiri, atau tergantung dari

18
adanya penyebab yang lainnya. Kasus-kasus yang sering menyebabkan
kematian janin antara lain solusio plasenta, infeksi plasenta dan ketuban,
infark plasenta, dan perdarahan janin ke ibu.
1) Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat
implantasinya sebelum janin lahir. Beberapa jenis perdarahan akibat
solusio plasenta biasanya merembes di antara selaput ketuban dan
uterus kemudian lolos keluar yang menyebabkan perdarahan
eksternal. Solusio plasenta terbagi menjadi solusio plasenta totalis
dan parsialis. Solusio plasenta diawali perdarahan ke dalam desidua
basalis. Desidua kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis
yang melekat ke endometrium. Akibatnya, proses ini pada tahap
paling awal akan memperlihatkan pembentukan hematom desidua
yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan destruksi plasenta di
dekatnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya perfusi darah ke
janin melalui plasenta dan berakibat pada kematian janin. Pada
beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami ruptur sehingga
menyebabkan hematom retro plasenta, yang sewaktu membesar
semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Karena
masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi
untuk menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi
tempat implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan
selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai
perdarahan eksternal atau tetap dalam uterus. Hal inilah yang
membedakan antara solusio plasenta parsialis dengan totalis.
Gambaran klinis solusio plasenta ringan hingga berat pun berbeda.
Pada solusio plasenta ringan, terjadi ruptur sinus marginalis yang
menyebabkan perdarahan pervaginam warna merah hitam dan agak
tegang dengan bagian janin masih teraba. Solusio plasenta sedang
terjadi sakit perut terus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar
diraba, BJA sukar diraba dengan stetoskop biasa, dan terjadi
kelainan pembekuan darah. Solusio plasenta berat merupakan gejala

19
terberat dengan pelepasan solusio plasenta lebih dari duapertiga
luas, uterus tegang seperti papan, nyeri hebat, dan ibu-janin tiba-tiba
mengalami syok hingga meninggal.
2) Infeksi plasenta dan selaput ketuban yang secara klinis bermakna
jarang terjadi tanpa infeksi janin yang signifikan. Pada sebagian
kasus, pemeriksaan mikroskopik terhadap placenta dan selaput
ketuban dapat membantu identifikasi etiologi infeksi.
Korioamnionitis ditandai oleh sebukan leukosit mononuklear dan
po,imorfonuklear pada korion. Sementara banyak pihak yang
menganggap bahwa ini nonspesifik dan tidak selalu terdapat pada
infeksi janin dan ibu.
3) Infark plasenta merupakan kelainan plasenta yang tersering. Infark
plasenta terjadi karena akibat dari sumbatan pasokan vaskuler ibu,
yaitu sirkulasi antarvilus. Secara histopatologis terdapat gambaran
degenerasi fibrinoid trofoblas, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat
oklusi arteri spiralis. Secara umum, etiologi dari infark plasenta ini
terjadi karena penuaan trofoblas yang mengalami perubahan, dan
gangguan sirkulasi uteroplasenta. Sinsisium yang mengalami
penuaan mengalami degenerasi sinsisium. Sinsisium yang terurai
tersebut kemudian langsung terpajan dengan darah ibu, sehingga
menyebabkan bekuan darah pada vilus-vilus. Dari sini, terbentuklah
trombosis arteri vilus pada janin dan bahkan berakibat pada
kalsifikasi plasenta. Pembentukan trombosis dan kalsifikasi ini
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah ke janin yang berakibat
kematian janin. Gambaran infark plasenta ini dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan Patologi Anatomi dan Ultrasonografi.
4) Perdarahan janin-ke-ibu dapat sedemikian berat sehingga
menimbulkan kematian janin. Penyebabnya adalah trauma yang
meninbulkan gaya yang besar pada abdomen, dan terutama
menyebabkan plasenta laserasi dan mengancam nyawa. 10-30%
kasus trauma didapati perdarahan janin ke ibu.

20
4. Diagnosis
Untuk diagnosis pasti penyebab kematian janin sebaiknya dilakukan
otopsi janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi
secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin termasuk
analisis kromosom, juga kemungkinan terpapar infeksi utuk mengantisipasi
kehamilan selanjutnya.3,4
a. Tanda patologi
Apabila janin mati pada kehamilan yang telah lanjut, terjadilah
perubahan-perubahan sebagai berikut :5
1) Rigor mortis (tegang mati) : Berlangsung 2 ½ jam setelah mati,
kemudian janin menjadi lemas sekali.
2) Stadium maserasi I : Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini
mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi merah.
Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.
3) Stadium maserasi II : Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban
menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48 jam janin mati.
4) Stadium maserasi III : Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati.
Badan janin sangat lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar.
Terdapat edema di bawah kulit.
b. Gejala-gejala IUFD :4
1) BJA tidak terdengar lagi
2) Rahim tidak membesar dan fundus uteri turun
3) Pergerakan anak tidak teraba
4) Palpasi anak menjadi tidak jelas
5) Reaksi biologis menjadi negative, setelah anak mati kira-kira 10 hari
6) Pada foto rongen dapat terlihat :
a) Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi, disebabkan isi
tengkorak berkurang karena otak mencair (tanda spalding),
b) Tulang punggung janin sangan melengkung (tanda Naujokes),
c) Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin.
5. Tatalaksana

21
Bila disangka telah terjadi kematian janin dalam rahim, sebaiknya
diobservasi dahulu dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosis.
Selama observasi, 70-90 % akan terjadi persalinan yang spontan.1
Apabila setelah 2 minggu belum lahir atau kita tidak dapat menunggu
selama 2 minggu karena faktor psikologis, dilakukan induksi dengan
amniotomi, dan pemberian oksitosin atau prostaglandin.2
Jika pemeriksaan Radiologi tersedia, konfirmasi kematian janin
setelah 5 hari. Tanda-tandanya berupa overlapping tulang tengkorak,
hiperfleksi kolumna vertebralis, gelembung udara didalam jantung dan
edema scalp. USG merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk
memastikan kematian janin dimana gambarannya menunjukkan janin tanpa
tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin dan
cairan ketuban berkurang.2,3
Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan,
lakukan penanganan aktif. Penanganan aktif dilakukan pada serviks matang,
dengan melakukan induksi persalinan menggunakan oksitosin atau
prostaglandin. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks
dengan prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi.3,4
Persalinan dengan sectio cesare merupakan alternatif terakhir. Jika
persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan
serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol: Tempatkan
misoprostol 25 mcg dipuncak vagina, dapat diulang sesudah 6 jam.5
Penanganan terhadap hasil konsepsi adalah penting untuk
menyarankan kepada pasien dan keluarganya bahwa bukan suatu kegawatan
dari bayi yang sudah meninggal :5
1. Jika uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan maka pengosongan
uterus dilakukan dengan suction curetase
2. Jika ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat digunakan prostaglandin
E2 vaginal supositoria dimulai dengan dosis 10 mg,
3. Jika kehamilan > 28 minggu dapat dilakukan induksi dengan oksitosin.

22
6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat
terjadi bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2
minggu. Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim
ibu lebih dari 2 minggu sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya
tubuh ibu sendiri akan melakukan penolakan bila janin mati, sehingga
timbullah proses persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi
adalah sebagai berikut:2,4
a) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), yaitu adanya perubahan
pada proses pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan atau
internal bleeding.
b) Infeksi
c) Koagulopati maternal dapat terjadi walaupun ini jarang terjadi sebelum
4-6 minggu setelah kematian janin.
Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah
meninggal harus segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilkukan
secara normal, karena bila melalui operasi akan terlalu merugikan ibu.
Operasi hanya dilakukan jika ada halangan untuk melahirkan normal.
Misalnya janin meninggal dalam posisi melintang atau karena ibu
mengalami preeklampsia.3,4

B. Syok Septik
1. Definisi
Syok septik didefinisikan sebagai keadaan kegagalan sirkulasi akut
ditandai dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan
yang cukup ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh
konsentrasi laktat yang melebihi 4 mg / dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh
sebab-sebab lain.6

23
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks
dimulai dengan rangsangan endotoksin atau eksotoksin terhadap sistem
imunologi, sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan
mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan
kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang
menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan
disfungsi/kegagalan organ multipel.7
Nomenklatur mengenai sepsis telah banyak dilakukan, salah satu yang
paling sering digunakan ialah sepsis merupakan kelanjutan dari sebuah
sindrom respons inflamasi sistemik/ Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) atau yang sering disebut sindrom sepsis ditandai dengan
2 dari gejala berikut:8
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
Sepsis merupakan SIRS yang disertai dengan dugaan ataupun bukti
adanya sumber infeksi yang jelas. Sepsis dapat berlanjut menjadi sepsis
berat yaitu sepsis yang disertai dengan kegagalan organ multipel / Multiple
Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure (MODS/MOF). Sepsis berat
dengan hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg.9

Tabel 1. Perbedaan Sindrom Sepsis dan Syok Septik6

Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis


Sindroma sepsis Syok Septik
 Takipneu, respirasi >20x/m Sindroma sepsis ditambah dengan
 Takikardi >90x/m gejala:
 Hipertermi >38C  Hipotensi 90 mmHg
 Hipotermi <35,6C  Tensi menurun sampai 40 mmHg
 Hipoksemia dari baseline dalam waktu 1 jam
 Peningkatan laktat plasma

24
 Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam  Tidak membaik dengan pemberian
1 jam cairan, serta penyakit syok
hipovolemik, infark miokard dan
emboli pulmonal sudah disingkirkan

Gambar (1). Kriteria Bones untuk Pengenalan Sepsis Berat 10

2. Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia.
Respon sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang
beredar dalam darah atau hanya disebabkan produk toksik dari
mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi
lokal.Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat,
antara lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya
penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi
penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya
jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya
infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik.11

Infeksi traktus repiratorius merupakan penyebab sepsis yang tersering


diikuti infeksi abdomen dan jaringan lunak. Setiap sistem organ memiliki
patogen yang berbeda.11

Tabel 2. Etiologi Syok Septik11


Persentase Sumber Infeksi Patogen Penyebab
25% Traktus Repiratorius Bawah • Streptococcus pneumoniae

25
• Klebsiella pneumoniae
• Staphylococcus aureus
• Escherichia coli
• Legionella species
• Haemophilus species
• Anaerobes
• Gram-negative bacteria
• Fungi
25% Traktus urinarius • E coli
• Proteus species
• Klebsiella species
• Pseudomonas species
• Enterobacter species
• Serratia species
15% Jaringan Lunak • S aureus
• Staphylococcus epidermidis
• Streptococci
• Clostridia
• Gram-negative bacteria
• Anaerobes
15% Traktus Gastrointestinal • E coli
• Streptococcus faecalis
• Bacteroides fragilis
• Acinetobacter species
• Pseudomonas species
• Enterobacter species
• Salmonella species
10% Saluran Reproduktif Laki- • Neisseria gonorrhoeae
Laki dan Perempuan • Gram-negative bacteria
• Streptococci
• Anaerobes
5% Benda Asing S aureus, S epidermidis, fungi/yeasts
(eg, Candida species)
5% Infeksi lain-lain Neiserria meningitidis

3. Patofisiologi
Terdapat berbagai mekanisme yang mendasari terjadinya syok septik,
diantaranya akan dijelaskan di bawah ini:
a. Host Response
Infeksi yang memicu respon pejamu yang kompleks, bervariasi
dan berkepanjangan. Mekanisme proinflamasi dan antiinflamasi

26
berkontribusi untuk melawan infeksi dan pemulihan jaringan namun di
satu sisi dan mencederai organ dan menimbulkan infeksi sekunder
lainnya. Respon spesifik setiap pasien tergantung pada patogen
penyebab (jumlah dan virulensi) dan host (karakteristik genetik dan
penyakit penyerta) dengan respon yang berbeda di tingkat lokal,
regional dan sistemik. Respon host dapat saja berubah dari waktu ke
waktu secara paralel bersamaan dengan perubahan klinis.12
Secara umum, reaksi proinflamasi bertujuan menghilangkan
patogen serta dianggap bertanggung jawab menimbulkan efek
kerusakan jaringan pada sepsis berat. Sitokin antiinflamasi penting
untuk membatasi cedera jaringan baik lokal maupun sistemik serta
berefek meningkatkan kerentanan terhadap infeksi sekunder.12
b. Innate Immunity
Patogen mengaktifkan sel-sel kekebalan tubuh melalui interaksi
dengan reseptor pengenalan pola (pattern-recognition receptors).
Empat kelas utama pattern-recognition receptors yang telah
teridentifikasi antara lain:12
a) Toll-like receptor
b) C-type lectin receptors
c) Retinoic acid inducible gene1-like receptor
d) Nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors.
Reseptor ini mengenali struktur spesies mikroba sehingga disebut
pathogen-associated molecular patterns, sehingga menimbulkan
peningkatan regulasi transkripsi gen inflamasi dan menginisiasi
imunitas bawaan. Reseptor ini juga sensitif terhadap molekul endogen
yang dilepaskan dari cedera sel sehingga disebut damage-associated
molecular pattern atau alarmins. Alarmins juga dilepaskan selama
cedera steril seperti trauma, sehingga menimbulkan konsep bahwa
patogenesis kegagalan organ multiple pada sepsis dasarnya tidak
berbeda dari penyakit kritis noninfeksi.12
c. Kelainan koagulasi

27
Sepsis berat hampir selalu dikaitkan dengan perubahan koagulasi,
sering menyebabkan disseminated intravascular coagulation.
Kelebihan deposisi fibrin menyebabkan koagulasi akibat kerja faktor
jaringan, seperti glikoprotein transmembran yang dihasilkan oleh
berbagai jenis sel. Ketidakseimbangan mekanisme antikoagulasi
termasuk efek dari sistem protein C dan antitrombin, dengan
menurunkan bersihan fibrin menyebabkan depresi sistem fibrinolitik
(Gambar (2)).13
Protease-activated receptor (PARs) membentuk hubungan
molekuler antara koagulasi dan peradangan. Di antara empat subtipe
yang telah diidentifikasi, PAR1 khususnya terlibat dalam sepsis. PAR1
menimbulkan efek sitoprotektif ketika distimulasi melalui aktifnya
protein C atau rendahnya kadar trombin. Sebaliknya berefek merusak
fungsi pertahanan sel endotel diaktifkan oleh trombin dosis tinggi.13
d. Mekanisme antiinflamasi dan imunosupresi
Sistem kekebalan humoral, seluler dan mekanisme neurologi
melemahkan potensi efek berbahaya dari respon proinflamasi. Fagosit
dapat beralih ke fenotipe antiinflamasi yang mempromosikan perbaikan
jaringan dan regulasi sel T sebagai upaya mengurangi peradangan.
Selain itu, mekanisme saraf dapat menghambat inflammasi disebut
Neuroinflammatory refleks. Rangsangan sensorik disiarkan melalui
aferen saraf vagus ke batang otak, kemudian eferen saraf vagus
mengaktifkan nervus splenikus pada pleksus coliakus, menghasilkan
pelepasan norepinephrine di limpa dan sekresi asetilkolin oleh selT
CD4+. Pelepasan asetilkolin menargetkan reseptor α7 kolinergik pada
makrofag sehingga menekan pelepasan sitokin proinflamasi.12
Pasien yang bertahan hidup dari sepsis dini namun tetap
bergantung pada perawatan intensif terbukti mengalami imunosupresi,
terbukti dengan berkurangnya ekspresi HLA-DR pada sel myeloid.
Pasien ini sering memiliki fokus infeksi yang sedang berlangsung,
meskipun terapi antimikroba atau reaktivasi infeksi virus laten.

28
Beberapa penelitian menyatakan lemahnya respon leukosit terhadap
patogen pada pasien dengan sepsis. Temuan yang baru-baru ini
dikuatkan oleh studi postmortem pada pasien yang meninggal akibat
sepsis di ICU mengungkapkan adanya gangguan fungsi splenosit. Selain
limpa, paru-paru juga menunjukkan bukti imunosupresi, kedua organ
meningkatkan ekspresi ligan untuk penghambatan sel T reseptor pada
sel parenkim. Meningkatnya apoptosis sel B, sel T CD4+ dan sel
dendritik folikular, terlibat pada sepsis terkait imunosupresi dan
kematian.12
e. Disfungsi organ
Gangguan oksigenasi jaringan merupakan sebab utama terjadinya
disfungsi organ. Beberapa faktor termasuk hipotensi, kurangnya
pembentukan sel darah merah, dan trombosis mikrovaskuler
berkontribusi terhadap kurangnya suplai oksigen pada syok septik.
Peradangan dapat menyebabkan disfungsi endotel vaskular, disertai
dengan kematian sel dan hilangnya integritas barrier, sehingga
menimbulkan edema subkutis. Selain itu, kerusakan mitokondria yang
disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lainnya menyebabkan
penggunaan oksigen seluler. Cedera mitokondria melepaskan alarmins
kelingkungan ekstraselular, termasuk DNA mitokondria dan formil
peptida, yang dapat mengaktifkan neutrofil dan menyebabkan
kerusakan jaringan lebih lanjut.13
Kerusakan multiorgan di tingkat seluler tampaknya dipengaruhi
oleh disfungsi dan kerusakan pada mitokondria. Disfungsi dan
kerusakan mitokondria pada sepsis terjadi akibat interaksi patogen-
inang, selain juga dipengaruhi patogenisitas mikroorganisme. Syok
yang berkepanjangan dan hipoksia jaringan dapat menyebabkan
disfungsi mitokondria. Pada keadaan sepsis berat, aktivasi berbagai sel
imunitas khususnya neutrofil, serta hipoksia jaringan berkontribusi
terhadap terbentuknya ROS (Reactive Oxidant Specifics). ROS
berkontribusi terhadap kerusakan mitokondria, dan kejadian tersebut

29
memicu pembentukan ROS lebih banyak lagi, yang juga menyebabkan
programming kematian mitokondria.12, 14
Kematian mitokondria terjadi akibat penumpukan ROS yang
memicu sinyal untuk membuka pori-pori membran permeabilitas
mitokondria (Mitochondrial Permeability Transition, MPT), yang
menyebabkan edema matriks mitokondria, ruptur membran luar
mitokondria, serta aktivasi kaskade apoptosis. Namun, kadang tanpa
melalui fase MPT, kaskade apoptosis masih dapat dipicu akibat
pergerakan faktor pro-apoptosis melalui membran luar mitokondria
(Mitochondrial Outer Membrane Permeabilization, MOMP).12,14
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sepsis sangat bervariasi, tergantung pada lokasi
awal infeksi, organisme penyebab, pola disfungsi organ akut, status
kesehatan yang mendasari dan interval sebelum inisiasi pengobatan.12
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi,
dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel
(tidak dapat pulih), berikut akan dijelaskan satu persatu:8
a. Fase I: Kompensasi
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan
melalui mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek
simpatis, yaitu meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi
distribusi selektif aliran darah dari organ perifer non vital ke organ vital
seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah diastolik tetap normal
sedangkan tekanan darah sistolik meningkat akibat peninggian resistensi
arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi
secara temporer dengan meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu
terdapat peningkatan sekresi vasopressin dan renin – angiotensin –
aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan
air dalam sirkulasi.

30
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah,
kulit pucat dan dingin dengan pengisian kapiler (capillary refilling) yang
melambat > 2 detik.
b. Fase II: Dekompensasi
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal
mempertahankan curah jantung yang adekuat dan sistem sirkulasi
menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan perfusi yang buruk tidak lagi
mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung
secara anaerobik yang tidak efisien. Alur anaerobik menimbulkan
penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir dengan
asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam
karbonat intra selular akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang
CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan
respons terhadap katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan
menyebabkan terganggunya mekanisme energi dependent pompa Na/K
ditingkat selular, akibatnya integritas membran sel terganggu, fungsi
lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapat berakhir dengan
kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin
serta system koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan
timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombos disertai
tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain
histamin, serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan
interleukin 1), xanthin, oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal
serta PAF (platelets agregatin factor). Pelepasan mediator oleh
makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan stress atau
injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk
keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan
permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali

31
kejantung (venous return) semakin berkuarang diserai timbulnya depresi
miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang
bertambah, tekanan darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit
dingin dan mottled, capillary refilling bertambah lama), oliguria dan
asidosis (laju nafas bertambah cepat dan dalam) dengan depresi susunan
syaraf pusat (penurunan kesadaran).
c. Fase III: Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok
terus berlanjut, sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi
sistem multi organ lainnya. Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP)
akan habis terutama di jantung dan hepar, sintesa ATP yang baru hanya
2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi. Kematian akan
terjadi walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali. Manifestasi
klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan
kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda
kegagalan sistem organ lain.
Tanda dari infeksi maupun disfungsi organ sulit dideteksi,
beberapa pedoman konsensus internasional baru-baru ini memberikan
daftar panjang tanda-tanda awal terjadinya sepsis seperti yang tertera
pada gambar dibawah ini:12

Tabel 3. Tanda-tanda awal terjadinya sepsis12


Kriteria diagnostik untuk Sepsis, Severe Sepsis dan Septic shock
*Sepsis (didokumentasikan atau dicurigai infeksi ditambah ≥ 1 dari berikut):
Variabel umum:
 Demam (suhu > 38,3 ° C)
 Hipotermia (suhu < 36 ° C)
 Denyut jantung meningkat (> 90 denyut per menit atau > 2 SD di atas batas atas dari
kisaran normal untuk usia)
 Takipnea
 Perubahan status mental

32
 Edema substansial atau keseimbangan cairan positif (> 20 ml / kg berat badan selama
periode 24 jam)
 Hiperglikemia (glukosa plasma > 120 mg / dl [6,7 mmol / liter] tanpa adanya diabetes)
Variabel inflamasi:
 Leukositosis (jumlah sel darah putih > 12.000 / mm3)
 Leukopenia ( jumlah sel darah putih < 4000/mm3)
 Neutrofil imatur (batang)> 10 %
 Peningkatan CRP ( > 2 SD di atas batas atas dari kisaran normal )
 Peningkatan procalcitonin plasma (>2 SD di atas batas atas dari kisaran normal)
Variabel hemodinamik:
 Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mm Hg atau MAP < 70 mm Hg atau penurunan
TD sistolik > 40 mm Hg pada orang dewasa atau > 2 SD di bawah batas bawah dari
kisaran normal untuk usia)
 Saturasi oksigen vena campuran meningkat (> 70 %)
 Indeks jantung meningkat (> 3,5 liter / menit / meter persegi luas permukaan tubuh)
Variabel disfungsi organ:
 Hipoksemia arteri (rasio tekanan parsial oksigen arteri [PaO 2] terhadap fraksi oksigen
inspirasi [FiO2] < 300)
 Oliguria akut (urine output< 0,5 ml / kg / jam atau 45 ml / jam selama minimal 2 jam)
 Kenaikan tingkat kreatinin > 0,5 mg / dl (> 44 umol / liter)
 Kelainan koagulasi (INR > 1,5 aPTT > 60 detik)
 Ileus paralitik (tidak adanya bising usus)
 Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000 / mm3)
 Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total > 4 mg / dl [ 68 umol / liter ])
Variabel perfusi jaringan:
 Hiperlaktatemia (laktat> 1 mmol / liter)
 Penurunan pengisian kapiler dan mottling
Sepsis berat (sepsis ditambah disfungsi organ):
Syok septik (sepsis ditambah baik hipotensi [refrakter terhadap cairan intravena] atau
hiperlaktatmia)

Disfungsi organ akut yang paling umum mempengaruhi


pernapasan dan sistem kardiovaskular. Kerentanan sistem pernapasan
secara klasik bermanifestasi sebagai sindrom gangguan pernapasan
(ARDS) yang didefinisikan sebagai hipoksemia dengan infiltrat bilateral
yang tidak berasal dari jantung.14
Kerentanan sistem kardiovaskular dimanifestasikan terutama
sebagai hipotensi atau peningkatan serum laktat. Setelah ekspansi
volume yang memadai, hipotensi sering berlanjut, membutuhkan
penggunaan vasopresor dan disfungsi miokard dapat terjadi. Disfungsi
sistem saraf pusat biasanya penurunan kesadaraan. Pencitraan umumnya
tidak menunjukkan lesi fokal dan temuan pada electroencephalography
biasanya berupa ensefalopati nonfocal. Penyakit kritis polineuropati dan
miopati terjadi terutama pada pasien yang lama dirawat di ICU.12

33
Gagal ginjal akut dimanifestasikan sebagai penurunan produksi
urin dan peningkatan tingkat serum kreatinin dan sering memerlukan
pengobatan dengan terapi ginjal pengganti. Ileus paralitik, peningkatan
aminotransferase, trombositopenia, disseminated intravascular
coagulation, disfungsi adrenal umum terjadi pada pasien dengan sepsis
berat.12
5. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan awal syok septik adalah memberikan
resusitasi kardiorespirasi dan mengurangi ancaman langsung infeksi yang
tidak terkontrol. Resusitasi membutuhkan cairan intravena dan vasopressor
dengan terapi oksigen serta ventilasi mekanik yang disediakan seperlunya.
Komponen yang tepat diperlukan untuk mengoptimalkan resusitasi, seperti
pilihan dan jumlah cairan, jenis yang sesuai dan intensitas pemantauan
hemodinamik, dan peran penunjang agen vasoaktif.13
Pemberian antibiotik dengan cepat dan adekuat disertai operasi
pengangkatan fokus infeksi, merupakan tindakan utama dan satu-satunya
terapi yang ditujukan pada penyebab sepsis. Setiap keterlambatan dalam
hitungan jam dalam pemberian terapi antibiotik yang tepat pada syok septik
akan meningkatkan angka kematian sebesar 7%. Beberapa studi
menunjukkan frekuensi mengejutkan pada percobaan prospektif besar yang
lebih dari 2.000 pasien, pengobatan dengan antibiotik yang tidak sesuai
dengan mikroorganisme penyebab terbukti resisten pada 32% dari pasien.
Kematian berkurang dari 34% menjadi 18% ketika antimikroba yang tepat
diresepkan pada onset sepsis.13,15
Penatalaksaan awal pasien-pasien yang dicurigai dengan sepsis ialah
resusitasi cairan yang mencakup 3 proses, yaitu:10
a. Memaksimalkan penyebaran oksigen dan perfusi jaringan
b. Monitoring seksama dari tanda-tanda vital dan fungsi organ sebagai
pedoman resusitasi lanjutan
c. Menyiapkan strategi untuk menyingkirkan sumber infeksi

34
Proses ini ditujukan untuk menghentikan ( atau setidaknya
memperlambat ) onset dari sindrom disfungsi organ multipel / multi organ
dysfunction syndrome. Saat sepsis sudah dikonfirmasi, beberapa langkah
berikut sebaiknya sudah dilakukan seperti oksigen aliran tinggi, cannule,
terapi cairan, monitoring jumlah urin.10
 Early Goal Directed Therapy (EGDT)
Pada pertemuan tingkat internasional tentang “surviving sepsis
campaign” memutuskan bahwa early goal directed therapy (EGDT)
untuk pasien sepsis adalah meregulasi anti inflamasi, memperbaiki
preload, afterload dan kontraktilitas jantung sehingga hantaran oksigen
ke jaringan menjadi optimal, atasi gangguan keseimbangan elektrolit,
mendeteksi dan mengobati hipoksia jaringan secara cepat sebelum
kerusakan organ menjadi irreversible. Terapi suportif seperti resusitasi
cairan, vasopresor dan inotropik, tranfusi darah, ventilasi mekanik
bahkan upaya suportif bagi ginjal dapat diberikan.14
a. Perbaikan hemodinamik
Banyak pasien syok septik yang mengalami penurunan
volume intravaskuler, sebagai respon pertama harus diberikan cairan
jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan koloid dan kristaloid
tak diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan
CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.14
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-
1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis
berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah
CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen
tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12
mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit
>30% dan/atau pemberian dobutamin (dosis 5-10 μg/kg/menit
sampai maksimal 20 μg/kg/menit).14

35
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan,
yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis
awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal
meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan
sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi
dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua
vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali.
Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau
epinefrin).14
b. Pemakaian antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera
diberikan, dimana sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan
tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu menunggu hasil
kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman
masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi
untuk gram positif dan gram negatif.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam
pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi
inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan
patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang
diduga sumber sepsis.14 Oleh karena pada sepsis umumnya
disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi
yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat
dan gagal multi organ.7 Pemberian antibiotik kombinasi juga dapat
dilakukan dengan indikasi:
1) Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
2) Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni

36
3) Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam
berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab
teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik
daripada monoterapi.14
c. Terapi suportif
1) Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila
disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang
berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.7
2) Terapi cairan7,14
a) Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid
(NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.
b) Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan.
c) Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif
atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada
iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan
dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
3) Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih
hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan
dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit,
norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8

37
μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase
inhibitor (amrinone dan milrinone).7, 10,16
4) Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau
serum bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk
memperbaiki keadaan hemodinamik.7, 16
5) Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien
hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian
cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan.
Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan
untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun
secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti
gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu.7,10,16
6) Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi
(glikolisis, glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel,
peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu
terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme
protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino),
asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini
mungkin.7,10
7) Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan
terdapat penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada
kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar
gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok
dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat

38
diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena
ada risiko hipoglikemia.7,10
8) Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya
gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan
pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan
renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi
proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di
sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan,
berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan
bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti
menurunkan mortalitas.17
9) Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7
hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.14
d. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal,
analog lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF,
antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit
asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-
asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA);
imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi);
nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam
sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa
(activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human
activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas

39
pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang
tinggi.16

Gambar (2). Bagan Early Goal Directed Therapy (EGDT)18

6. Prognosis

40
Sekitar 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40-60% pasien dengan
syok septik meninggal dalam waktu 30 hari dan lainnya meninggal dalam 6
bulan berikutnya. Kematian sering disebabkan oleh kontrol infeksi yang
kurang, imunosupresi, komplikasi dari perawatan intensif, kegagalan organ
multipel, atau penyakit yang mendasari.15

41
BAB III
DISKUSI KASUS

Syok septik didefinisikan sebagai keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai


dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang cukup
ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang
melebihi 4 mg/ dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Sepsis berat
dan syok septik merupakan masalah kesehatan utama. Septik merupakan penyebab
kematian utama di ICU di seluruh dunia. Angka mortalitas tetap tinggi, yaitu
sebesar 30-50% meskipun kualitas perawatan sudah meningkat. Beratnya
komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh syok septik maka diagnosis syok septik
harus ditegakkan dengan tepat guna tatalaksana yang optimal. Diagnosis syok
septik sendiri dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan pasien wanita usia 22 tahun
G1P0A0 hamil 23-24 minggu datang dengan penurunan kesadaran, pasien riwayat
buang air besar encer 2 minggu yang lalu, pasien juga riwayat minum obat gastrul
2 tablet 2 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium/
GCS=E4M5V3. Tanda vital; tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 115x/menit,
pernapasan 32x/menit, suhu 36,8° Celcius. Pemeriksaan fisik mata didapatkan
konjungtiva anemis (+/+). Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen gravid,
TFU 2 jari di atas umbilicus (22 cm), kontraksi (+), DJJ sulit dievaluasi.
Pemeriksaan genitalia sulit dievaluasi. Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin
didapatkan kelainan berupa peningkatan bermakna kadar leukosit dalam darah
21.500 /mm3, hemoglobin 10,6 gr/dl, Trombosit 171.000 /mm3. Selain itu,
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa USG guna menunjang diagnosis dan
didapatkan kesan bahwa janin di dalam kandungan Ibu telah meninggal (IUFD).

42
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium maka dapat
disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah syok septik. Hal ini didasarkan
pada kriteria Bones tentang pengenalan sepsis berat, dimana pada pasien ini
didapatkan lebih dari 2 tanda Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
yakni takipneu, takikardia, peningkatan jumlah leukosit dalam darah yang lebih dari
12.000/ mm3 (leukositosis) disertai tanda-tanda syok berupa hipotensi yang tidak
membaik meski telah dilakukan resusitasi cairan.
Untuk tatalaksana dalam kasus ini, yang terpenting adalah penanganan syok
secara cepat untuk menghindari komplikasi lebih lanjut yang mungkin terjadi,
sehingga terapi awal yang diberikan adalah berupa terapi resusitasi cairan yang
dimana pada pasien ini dilakukan pemasangan IVFD 2 jalur untuk pemberian terapi
cairan intravena NaCl 0,9% dan pemberian dopamin sebagai agen vasopressor dan
inotropik untuk meningkatkan tekanan darah. Penting juga untuk dilakukan
pemasangan kateter urin guna memantau urin output sebagai parameter apakah
syok sudah teratasi atau belum selain daripada pemantauan tanda-tanda vital setiap
30 menit untuk mencegah syok berulang. Selain itu, diberikan juga terapi kausal
untuk menanggulangi infeksi berupa pemberian antibiotik seperti injeksi
meropenem 3x1 gr /iv, injeksi metronidazole 3x500 mg/iv.
Kematian janin ialah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan
sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. Kematian dinilai
dengan fakta bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak bernapas atau
menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung, atau pulsasi tali pusat,
atau kontraksi otot.
Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan
American College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan
bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intra
uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau
lebih.

Kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu :



Golongan I : kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh;

Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu;

43

Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late foetal
death);

Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di
atas.
Pada kasus ini, kematian janin dalam kandungan Ibu termasuk dalam kategori
golongan II karena usia kehamilan 20-28 minggu. Etiologi dari IUFD sendiri dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yakni faktor janin, faktor ibu dan faktor plasenta.
Patofisiologi IUFD pada kasus ini belum dapat diketahui dengan pasti, diduga
akibat infeksi pada Ibu yang sudah mencapai stadium sepsis. Diagnosis IUFD pada
kasus ini sendiri dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda serta dari hasil
pemeriksaan penunjang, yakni didapatkan DJJ tidak dapat didengar dan pada
pemeriksaan USG didapatkan kesan IUFD. Tatalaksana IUFD pada pasien ini ialah
terminasi kehamilan bila kondiri ibu telah stabil, namun pada perawatan hari ke 2
terjadi persalinan spontan dari janin yang telah meninggal.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi
bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu. Akan
tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2 minggu
sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan
melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbullah proses persalinan.

44

Anda mungkin juga menyukai