Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pertumbuhan angka harapan hidup penduduk Indonesia telah mengalami

peningkatan dimana pada tahun 2000 angka harapan hidup dengan angka 66,0

dan 2010 menjadi 69,1 dan sampai tahun 2015 angka harapan hidup di Indonesia

menjadi 70,1 (BPS 2015). Peningkatan angka harapan hidup (AHH) di Indonesia

merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia. AHH

tahun 2014 pada penduduk perempuan adalah 72,6 tahun dan laki-laki adalah

68,7 tahun. Kondisi ini akan meningkatkan jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu

18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk

lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun

2025, jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa. Tahun 2050, satu dari empat

penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan

penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita (Kholifah, 2016)


Perubahan demografi ini akan berpengaruh terhadap berbagai aspek

kehidupan lanjut usia, baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan

keluarga dan masyarakat. Secara individu pengaruh proses ketuaan

menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik biologis, mental, maupun sosial

ekonomi. Ada yang menganalogikan menuanya manusia seperti ausnya suku

cadang suatu mesin yang bekerjanya sangat kompleks dengan bagian-bagian

yang saling mempengaruhi secara fisik atau somatik (Nugroho, 2010).


Ketika seseorang menjadi semakin tua, mereka cenderung mengalami

atau berpotensi mengalami masalah kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan

adanya penurunan fungsi organ, adanya kondisi penyakit kronis dan kehilangan
kemampuan untuk menyembuhkan diri (Papalia, 2008). Seiring bertambahnya

usia, lansia mengalami perubahan stuktural dan fungsional dalam tubuhnya dan

salah satunya mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada aorta, yaitu

arteri besar yang membawa darah dari jantung, yang menyebabkan semakin

parahnya pengerasan pembuluh darah dan semakin tingginya tekanan darah

sehingga menyebabkan lansia mengalami hipertensi (Kowalski, 2010).

Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan

tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di

Indonesia. Jumlah penderita hipertensi diseluruh dunia mencapai 993 juta jiwa

pada tahun 2013, sebanyak 643 juta jiwa berada di negara yang sedang

berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 2016 jumlah penderita hipertensi di

Indonesia diperkirakan 16,2 juta orang dewasa dan lansia, tetapi hanya 4% yang

merupakan hipertensi terkontrol (Depkes, 2017). Kasus tertinggi penyakit tidak

menular di Jawa Tengah di tahun 2016 pada kelompok penyakit jantung dan

pembuluh darah adalah penyakit hipertensi esensial (tidak diketahui sebabnya)

yaitu sebanyak 554.771 kasus (67,57%) lebih rendah dibandingkan tahun 2011

yaitu (634.860 kasus/72,13%) (Dinkes Provinsi Jateng, 2017).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabtupaten Semarang, Jawa

Tengah, kasus tertinggi penyakit tidak menular tahun 2011 adalah kelompok

penyakit jantung dan pembuluh darah. Jumlah kasus penyakit jantung dan

pembuluh darah dari total 1.409.857 kasus yang dilaporkan sebesar 62,43%

(880.193 kasus) adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Kasus tertinggi

pada kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah adalah penyakit hipertensi

esensial, yaitu sebanyak 634.860 kasus (72,13%). Presentase kasus hipertensi di

Kabupaten Semarang dalam lima tahun terakhir mengalami fluktuatif dimana


kasus tertinggi pada tahun 2013 yaitu 50,5% dan terendah pada tahun 2014 yaitu

21,63% (Dinkes Kabupaten Semarang, 2014).

Kejadian hipertensi cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya

usia khususnya lansia. Salah satu perubahan yang menonjol pada lansia adalah

pada kardiovaskuler dimana massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami

hipertrhofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan

jaringan ikat dan penumpukan lipofusin, hal ini akan mempengaruhi elastisitas

dan permeabilitas, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan sistolik dan

perfusi jaringan (Pudjiastuti, 2013), dengan demikian tekanan darah akan

meningkat, inilah yang menyebabkan prevalensi hipertensi meningkat (Hayens,

2009). Sebanyak 65% orang berusia 60 tahun atau lebih akan mengalami

hipertensi. Jenis hipertensi yang banyak dijumpai pada kelompok lansia adalah

isolated systilic hypertension. Jenis hipertensi ini terjadi saat nilai sistolic tinggi,

tetapi nilai diastolic normal. Tekanan darah sistolik meningkat seiring dengan

bertambahnya usia sedangkan nilai diastolik hingga usia 55 tahun kemudian

mengalami penurunan (Prasetyoningrum, 2014).

Diagnosis hipertensi pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun

ditetapkan dengan melihat nilai tekanan darah sistoliknya. Lansia mengalami

hipertensi jika tekanan darah sistoliknya lebih atau sama dengan 140 mmHg

(Prasetyo, 2014). Penurunan elastilitas dinding aorta menurun, katub jantung

menebal dan menjadi kaku kemampuan jantung memompa darah menurun 1%

setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunya

kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya

efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, seiring terjadinya postural


hipotensi, tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi

dari pembuluh darah perifer (Efendi & Makhfudli, 2009).

Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi

peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatis

didalam tubuh, ada beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi tekanan

darah yaitu dari faktor makanan, dapat mempengaruhi kesehatan termasuk

tekanan darah, beberapa makanan seperti teh dan kopi memiliki efek instan

terhadap tekanan darah namun bisa berakibat fatal pada akhirnya, faktor stress

juga dapat memicu suatu hormon dalam tubuh yang mengendalikan pikiran

seseorang. Jika mengalami stress hal tersebut dapat mengakibatkan tekanan

darah semakin tinggi dan meningkat, faktor lainnya yaitu aktivitas fisik.

Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah pada orang yang

tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut

jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih

keras pada setiap kontraksi. semakin keras usaha otot jantung dalam memompa

darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga

meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikan tekanan darah.

Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan

yang akan menyebabkan hipertensi (Potter & Perry, 2010).

Tekanan darah yang tinggi sangat berbahaya karena sangat memperberat

kerja organ jantung. Selain itu aliran tekanan darah tinggi membahayakan

tekanan arteri, organ jantung, ginjal dan mata. Penyakit hipertensi sering disebut

“silent killer” karena tidak memberikan gejala yang khas, tetapi dapat

meningkatkan kejadian stroke, serangan jantung, penyakit ginjal kronik bahkan

kebutaan jika tidak terkontrol dan dikendalikan dengan baik. Jika tekanan darah
tinggi terus dibiarkan maka akan dapat berkembang menjadi gagal jantung

kronik, stroke, serta pengecilan volume otak, sehingga kemampuan fungsi

kognitif dan intelektual seorang penderita hipertensi akan berkurang dan dampak

dari hipertensi dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan kematian

mendadak (Prasetyoningrum,2014).

Upaya yang dapat dilakukan penderita hipertensi untuk menurunkan

tekanan darah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara farmakologis dan

non farmakologis (Soenarta, Dkk dalam Zainatun 2016). Penatalaksanaan non-

farmakologi merupakan pengobatan tanpa mengunakan obat-obatan yang

diterapkan pada hipertensi, dengan cara ini penurunan tekanan darah diupayakan

melalui pencegahan dengan menjalani pola hidup sehat seperti, (penderita

hipertensi yang kelebihan berat badan dianjurkan untuk menurunkan berat

badannya sampai batas ideal dengan cara membatasi makanan berlemak,

mengurangi penggunaan garam, mengurangi konsumsi alcohol dan kopi,

melakukan olahraga secara teratur, berhenti merokok dan mengelola stress) dan

menggunakan bahan-bahan alami (Depkes, 2016).

Olahraga merupakan penatalaksanaan nonfarmakologi ketika olahraga

maka akan terjadi perubahan besar pada sistem sirkulasi dan pernapasan dimana

keduanya berlangsung bersamaan sebagai respon homeostatik. Latihan olahraga

yang sering digunakan pada penderita hipertensi adalah olahraga senam aerobik.

Banyak bentuk olahraga aerobik yang dapat ditempuh oleh pasien hipertensi

antara lain jogging dan senam aerobic. Salah satu program pemerintah yaitu

senam lansia dalam Prolanis (Program Pengelolahan Penyakit Kronis)

merupakan bentuk latihan jasmani aerobik. Senam ini juga termasuk program

pemerintah yang dijalankan oleh Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial (BPJS)


menurut Moniaga dkk dalam Syahrani (2016) olahraga yang cukup dapat

menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik, namun untuk kebanyakan

penurunan tekanan darah sistolik menunjukkan perbedaan yang lebih bermakna

daripada tekanan darah diastolic.


Senam lansia adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terearah

serta terencana yang diikuti oleh orang lanjut usia dalam bentuk latihan fisik

yang berpengaruh terhadap kemampuan fisik lansia. Aktifitas olahraga ini akan

membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap

kuat dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran dalam tubuh

(Widiantri dan Atikah, 2010). Senam dengan frekuensi tiga kali seminggu

terbukti melenturkan pembuluh darah (Depkes RI, 2007). Tujuan dari senam

lansia antara lain untuk meningkatkan daya tahan, kekuatan, koordinasi tubuh,

memelihara kesehatan. Selain itu senam lansia juga dapat menunda perubahan

fisiologis yang biasanya terjadi pada proses penuaan muskuloskletal, penurunan

kekuatan dan fleksibilitas, peningkatan kerentanan terhadap cidera, penurunan

kelenturan struktur sendi, serta melindungi lansia dari jatuh (Stanley, 2007).
Latihan fisik yang terdapat dalam olah raga atau senam lansia dapat

menstimulasi pengeluaran hormon Endorphin. Endorphin adalah neuropeptide

yang menghasilkan tubuh pada saat relaks/tenang. Endorphin dihasilkan di otak

dan susunan syaraf tulang belakang. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat

penenang alami yang diproduksi otak yang menyalurkan rasa nyaman dan

meningkatkan kadar endorphin dalam tubuh untuk mengurangi tekanan darah

tinggi. Olahraga terbukti dapat meningkatkan kadar b-endorphin empat sampai

lima kali di dalam darah. Sehingga, semakin banyak melakukan latihan maka

akan semakin tinggi pula kadar b-endorphin. Ketika seseorang melakukan

latihan, maka b-endorphinakan keluar dan ditangkap oleh reseptor didalam


hiphothalamus dan system limbik yang berfungsi untuk mengatur emosi.

Peningkatan b-endorphin terbukti berhubungan erat dengan penurunan rasa

nyeri, peningkatan daya ingat, memperbaiki nafsu makan, kemampuan seksual,

penurunan tekanan darah dan pernafasan (Sindhu, 2014).


Aktivitas fisik yang dapat menurunkan tekanan darah adalah aktivitas

fisik sedang yang teratur (konsumsi oksigen maksimum 40-60%), aktivitas ini

dilakukan selama kurang lebih 30 menit, dua kali sampai tiga kali dalam satu

minggu (Bonow. 2008). Menurut Beevers (2012) menyatakan meskipun tekanan

darah meningkat tajam ketika sedang melakukan aktivitas fisik/olahraga, namun

jika ativitas fisik dilakukan secara teratur akan lebih sehat dan memiliki tekanan

darah lebih rendah daripada mereka yang tidak melakukannya (Sheps, 2015).
Menurut ACSM pada tahun 2014 menyatakan hubungan antara aktifitas

fisik dengan hipertensi yaitu individu yang kurang aktif mempunyai risiko

menderita hipertensi 30-50% daripada individu yang aktif bergerak (Dalimartha,

2008). Berdasarkan penelitian Hasurungan (2012) menyatakan bahwa tidak

melakukan aktifitas fisik mempunyai risiko sebesar 2,899 kali lebih tinggi 28

dibandingkan yang melakukan aktifitas fisik. Sedangkan menurut hasil

penelitian yang dilakukan Yuliarti (2007) menyatakan bahwa responden yang

tidak melakukan aktifitas fisik berisiko 0,306 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan responden yang melakukan aktifitas fisik.


Berdasarkan studi pendahuluan peneliti pada bulan Oktober 2017 di

Posyandu lansia Desa Dadapayam terhadap salah satu kader Posyandu

didapatkan data jumlah lansia di Desa Dadapayam sebanyak 405 lansia di

yang aktif ikut kegiatan kesehatan lanjut usia antaranya 45 lansia laki-laki dan

26 lansia perempuan. Jumlah lansia penderita hipertensi di desa Dadapayam

sebanyak 49 orang. Kader tersebut Posyandu menyatakan bahwa kegiatan rutin


Posyandu lansia dilaksanakan setiap tengah bulan yaitu tgl 21 dan dilakukan

sebulan sekalis akan tetapi tidak semua lansia hadir ke Posyandu lansia, rata-

rata kehadiran lansia setiap bulan ke posyandu 50% dengan rincian lansia

penderita hipertensi yang datang ke posyandu lansia rata-rata 20% lansia dari

total kehadiran 50% lansia setiap bulan, Salah satu penyebab ketidakhadiran

lansia ke posyandu yaitu adanya kegiatan lain yang tidak bisa di tinggal.

Sebelumnya di posyandu lansia belum pernah di laksanakan senam lansia

dikarenakan tidak ada tenaga pengajar. Setelah berkoordinasi dengan kader

posyandu peneliti dan kader posyandu sepakat untuk bekerja sama

mengajarkan senam lansia khususnya lansia penderita hipertensi selain itu juga

bisa dilaksanakan diwaktu yang akan datang dan dijadikan kegiatan rutin lansia.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti

pengaruh senam lansia pada prolansi terhadap tekanan darah sistolik pada lansia

dengan hipertensi di Desa Dadapayam, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang.

B. Rumusan Masalah
Penderita hipertensi di Indonesia masih sangat tinggi, terutama pada

lansia. dimana pada lansia terjadi penurunan fungsi tubuh, apabila

mengkonsumsi obat anti hipertensi yang lama akan menimbulkan masalah atau

efek samping bagi tubuhnya. Maka dari itu diperlukannya terapi non

farmakologi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk menurunkan tekanan

darah bagi penderita hipertensi pada lansia yang salah satunya adalah senam

lansia yang merupakan salah satu program pokok dalam prolanis. Prolanis

adalah salah satu program pemerintah dalam Pengelolahan dan pengendalian

Penyakit Kronis pada lansia dan suatu sistem pelayanan kesehatan dan

pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan

peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial)


Kesehatan dalam rangka pemeliharan kesehatan bagi peserta yang menyandang

penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya

pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien Senam lansia ini juga termasuk

program pemerintah yang dijalankan oleh Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial

(BPJS) biasanya senam ini dilaksanakan sebuan sekali di posyandu.


Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah penelitian yang dapat

dikemukakan adalah adakah pengaruh senam lansia dalam prolansi terhadap

tekanan darah sistolik pada lansia dengan hipertensi di Desa Dadapayam,

kecamatan Suruh, kabupaten Semarang.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh senam lansia

dalam prolansi terhadap tekanan darah sistolik pada lansia dengan hipertensi

di Desa Dadapayam, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang


2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran tekanan darah sistolik lansia dengan hipertensi

sebelum dan sesudah diberikan senam lansia dalam program prolanis di

Desa Dadapayam, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang


b. Mengetahui gambaran tekanan darah sistolik lansia dengan hipertensi

sebelum dan sesudah penelitian pada kelompok control di Desa

Dadapayam, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang


c. Mengetahui perbedaaan tekanan darah sistolik lansia dengan hipertensi

sebelum dan sesudah dilakukan senam lansia dalam program prolanis di

Desa Dadapayam, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang


d. Mengetahui perbedaaan tekanan darah sistolik lansia dengan hipertensi

sebelum dan sesudah penelitian pada kelompok control di Desa

Dadapayam, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang


e. Menganalisis pengaruh senam prolanis terhadap penurunan tekanan

darah sistolik lansia dengan hipertensi di Desa Dadapayam, kecamatan

Suruh, kabupaten Semarang

D. Manfaat penelitian
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat yang menderita hipertensi mendapatkan informasi

tentang pentingnya berolahrga untuk menjaga kesehatan salah satunya

dengan melakukan senam prolanis sebagai pengobatan alternative.


2. Bagi tenaga kesehatan
Hasil penelitian diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan

khususnya perawat komunitas untuk lebih yakin dalam mengaplikasikan

senam prolansi untuk penatalaksanaan hipertensi dimasyarakat.


3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang

penatalaksanaan dengan nonfarmakologi, khususnya senam prolansi untuk

menurunkan tekanan darah sebagai penatalaksaan untuk hipertensi, dapat

dijadikan sebagai pengembangan dan informasi dalam ilmu keperawatan.


4. Bagi peneliti
Peneliti mendapatkan sebuah pengalaman nyata dalam membantu

penderita hipertensi dengan menerapkan penatalaksanaan nonfarmakologi

yaitu dengan dilakukannya senam prolanis

Anda mungkin juga menyukai