Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit parkinson adalah gangguan neurologik degeneratif yang disebabkan

oleh degenerasi sel-sel saraf di bagian substansia nigra yang menyebabkan kelemahan

koordinasi motorik. Sel sel saraf tersebut mati atau mengalami kerusakan, karena

kehilangan kemampuan untuk memproduksi dopamin. Gangguan motorik dapat

berupa gejala tremor, bradikinesia, rigiditas, dan instabilitas postural. Pada awalnya

penyakit parkinson ini diyakini hanya sebagai gangguan motorik saja, namun

kenyataannya sebagian penderita parkinson menunjukkan gejala non motorik.


Penyakit parkinson telah dikenal sejak abad kesembilan. Pada tahun 1817

Dr.James Parkinson, seorang klinisi dari London secara resmi mempublikasikan kasus

pasien yang mengalami shaking palsy dalam sebuah buku berjudul An Essay on The

Shaking Palsy. Sejak saat itulah muncul istilah parkinsonisme. Kemudian pada tahun

1861, Jean-Martin Charcot bersama Alfred Vulpian menambahkan bradikinesia dan

rigiditas dalam gejala parkinson. Johnson dkk mengemukakan bahwa diagnosis klinis

penyakit parkinson dapat ditegakkan bila dijumpai sekurang-kurangnya 2 dari 4 gejala

berikut yaitu: tremor, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural . Pada tahun

1960 Ehringer dan hornykiewicz mengungkapkan bahwa kematian neuron dengan

berkurangnya produksi dopamin serta lesi di pars kompakta substansia nigra yang

mendasari penyakit parkinson.


Penyakit parkinson terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi meningkat

secara eksponensial pada umur 65 sampai 90 tahun. Rata-rata 0,3% dari seluruh

populasi dan 3% dari populasi diatas 65 tahun. Namun suatu studi yang dilakukan

pada 120.000 pasien di London menunjukkan insiden yang lebih rendah. Lima sampai

sepuluh persen pasien mempunyai gejala sebelum umur 40 tahun (young onset

1
parkinson disease). Laporan terendah ditemukan pada orang Asia dan kulit hitam

Afrika sedangkan insiden tertinggi pada orang kulit putih. Penyakit parkinson

merupakan gangguan gerakan,umumnya dijumpai pada populasi usia 50 – 70 tahun,

di mana prevalensinya pada penduduk Amerika Serikat dan Kanada sebanyak 3 %.

Penyakit parkinson lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Penderita

penyakit parkinson diperkirakan sebanyak 876.665 orang di Indonesia dari total

penduduk.
Meskipun penyebab penyakit parkinson bersifat idiopatik, namun diperkirakan

bahwa faktor neurodegeneratif yang dicetuskan oleh faktor genetik, paparan

lingkungan serta penuaan juga memegang peranan penting. Bahkan pada pertemuan

World Parkinson Meeting di Shanghai China tahun 1911, hal ini di dukung lagi

dengan penemuan-penemuan patologis di mana didapatkan lesi dengan proses

degeneratif terutama di daerah limbik. Disimpulkan ada 5 gejala non motorik yang

muncul mendahului gejala motorik, yaitu: gangguan penciuman, obstipasi, gangguan

tingkah laku, gangguan tidur, dan gangguan kognitif.

BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas
 Nama : Tn. K
 Tempat/Tanggal Lahir : Cilacap, 3 September 1956
 Agama : Islam
 Usia : 60 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Status : Menikah
 Pekerjaan : Pensiunan

2
 Alamat : Jl. Usmar Harun RT 02 / 05, no. 20,

Cawang

Anamnesis (Autoanamnesis)

 Keluhan utama :
Benjolan pada selangkangan kiri dirasakan sejak 1 tahun yang lalu

Riwayat anestesi dan operasi : Tidak ada


Riwayat penyakit paru/asma : Tidak ada
Riwayat penyakit jantung / vascular : Tidak ada
Riwayat penyakit diabetes mellitus : Tidak ada
Riwayat penyakit SSP : Penyakit Parkinson 3 tahun terakhir
Riwayat gangguan pembekuan darah : Tidak ada
Riwayat penyakit gastrointestinal : Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal / urologi : Tidak ada
Riwayat alergi obat / makanan : Amoxicilin
Riwayat minum alkohol : Tidak ada
Riwayat minum obat-obatan herbal / jamu : Tidak ada
Riwayat minum obat-obatan saat ini : Miniaspi, Stalevo, Sifrol ER

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Baik, GCS15 (E4M6V5)


 Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82x/menit, regular kuat angkat
Pernafasan : 20x/menit, Ronkhi tidak ada, Wheezing tidak ada
Suhu : 36,70 C
VAS : 2/10

 Tinjauan Sistem
Kepala / Leher : Normocephal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterus, buka mulut 3 cm, Mallampati II, ekspresi

wajah datar
Leher : Tidak teraba massa tumor,tidak ada pembesaran

kelenjar,tidak ada deviasi trakea, TMD 6,8 cm,

menoleh kekanan dan kekiri kesan hipertoni

3
Paru : Napas spontan, pernapasan thoracoabdominal, simetris

kanan = kiri, BP = vesikuler, bunyi tambahan ronki

(-/-), wheezing (-/-)


Jantung : Bunyi jantung I/II regular murni, bising (-), bunyi

tambahan (-)
Abdomen : Cembung, nyeri tekan (-), teraba massa tumor setinggi

umbilikus, peristaltik (+) kesan normal


Urogenital : Urine spontan
Ekstremitas : Edema(-), sianosis(-), fraktur(-), tremor pada kedua

tangan terutama tangan kiri, gaya berjalan lambat

dengan langkah kecil, kepala dan badan condong

kedepan

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah (30 Maret 2017) :
• Hemoglobin : 14,7g/dl
• Leukosit : 7,5 rb/uL
• Hematokrit : 43,2 %
• Trombosit : 223 rb/uL
• Ureum : 26 mg/dl
• Kreatinin : 0,80 mg/dl
• GDS : 80 mg/dl
• SGOT : 15 U/L
• SGPT : 10 U/L
• Masa Perdarahan : 1.20 menit
• Masa Pembekuan : 12 menit
• Natrium : 147 mmol/L
• Kalium : 4.0 mmol/L
• Clorida : 106 mmol/L

Radiologi
Foto thoraks PA (29 Maret 2017)

4
• Cor dalam batas normal
• Pulmo : Tidak ada infiltrate
• Sinus dan diafragma dalam batas normal
• Costae dan tulang – tulang normal
Kesan : Foto Thorax normal

Elektrokardiogram
Sinus rithm , HR 83x/menit normo axis

Diagnosis pra bedah : Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra


Rencana tindakan : Herniotomy + MESH

Kesimpulan
Pasien termasuk kategori ASA PS II

Rencana Anestesi
General Anesthesia

Anjuran

1. Puasa 8 jam pre operasi (mulai pukul 05.00 WIB)


2. Pasang IV-Line dengan IV-catheter 18 G di tangan kanan, IVFD RL 20

tetes/menit
3. Antibiotik profilaksis 1 jam sebelum operasi
4. Siap darah PRC 500 cc di Bank Darah

5
5. Obat Parkinson (Stalevo) tetap diminum besok pagi (1 jam sebelum operasi

dengan sedikit air)

Identifikasi Masalah
 Masalah medis
 Sistem susunan saraf pusat : tremor, rigiditas, bradikinesia, instabilitas

postural
 Masalah pembedahan : perkiraan waktu operasi, perdarahan intraoperatif
 Masalah anestesi :
- Hipotensi yang dapat terjadi akibat obat-obat anestesi atau perdarahan
- Nyeri postoperatif
- Sebaiknya menghindari obat-obatan anestesi yang dapat mencetuskan

terjadinya parkinson atau yang memperberat gejala parkinson selama

preoperatif, intraoperatif maupun postoperative

Persiapan Preoperatif
 Berikan Informasi ke pasien dan keluarga pasien tentang prosedur anestesi

yang akan dilakukan dan persetujuan tindakan, termasuk risiko, penyulit dan

komplikasi yang dapat terjadi. Membawa obat antiparkinson ke kamar operasi.


 Persiapan alat dan obat anestesi umum (intubasi)
 Obat Premedikasi : Midazolam 3mg
Fentanyl 100 mcg
Propofol 150 mg
Vecuronium 6mg

 Intraoperatif

6
Status Anestesi Intraoperasi

Jalannya operasi :
 Operasi berlangsung selama ± 2 jam (mulai pukul 13.15 sampai

dengan 15.15 WIB)


 Perdarahan sekitar ±150 cc
 Cairan RL ± 700 cc
 Produksi urine ± 250 cc

Post operatif
Pemantauan post operatif di Recovery Room RS UKI selama 1 jam dengan pain

control drip Tramadol 100mg.


• Waktu selesai operasi : 15.15
• Kesadaran : Compos Mentis
• Tekanan Darah : 130/90 mmHg
• Nadi : 56x/menit
• Respiratory Rate : 16x/menit
• SPO2 : 99%

7
PEMBAHASAN

Pasien pria berumur 60 tahun, dengan riwayat penyakit parkinson yang

diketahui sejak 3 tahun yang lalu. Pada pasien ini ditemukan gejala tremor pada kedua

tangan dan lebih jelas terlihat tremor pada tangan kiri, rigiditas, dengan bradikinesia/

gerak tubuh melambat, wajah dengan efek datar seperti topeng, termasuk

ketidakstabilan reflex postural dengan langkah dan gaya berjalan dengan langkah

kecil, dengan kepala dan badan condong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan

sendiri, terdapat kekakuan pada leher yang termasuk dalam kriteria diagnosis

probable menurut Hughes dan perjalanan penyakitnya masuk dalam stadium III

menurut Hoehn dan Yahr.


Penyakit parkinson mempengaruhi gerakan (gejala motorik) dan gejala lainnya

termasuk gangguan suasana hati, gangguan tidur, dan sensasi (gejala non-motorik) .
Penyakit parkinson terdiri dari tiga gejala yang disebut trias klasik yaitu tremor,

kekakuan otot (rigiditas), bradikinesia/akinesia.


Kriteria diagnosis penyakit Parkinson menurut Hughes:
1. Possible
Terdapat salah satu gejala utama:
1. Tremor (gemetar) istirahat
2. Rigiditas (kekakuan)
3. Bradikinesia (berkurangnya kecepatan gerakan)
4. Kegagalan reflex postural

2. Probable

8
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan reflex postural)

dan alternatif lain: tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris, atau

bradikinesia asimetris.
3. Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu

gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda cardinal), atau dua dari tiga tanda

tersebut, dengan satu dari ketiga tanda pertama, asimetris. Bila semua tanda-

tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan beberapa bulan

kemudian.

Perkembangan penyakit parkinson dapat dievaluasi dengan skala menurut Hoehn dan

Yahr yaitu :
 Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,

terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan,

biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak (unilateral), gejala yang

timbul dapat dikenali orang terdekat.


 Stadium II : Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/

cara jalan terganggu


 Stadium III: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu

saat berjalan/ berdiri, disfungsi umum sedang


 Stadium IV: Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya

untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri

sendiri, tremor dapat berkurang dibanding sebelumnya.


 Stadium V: Stadium kakhetik (cachetic stage), kecacatan total, tidak

mampu berdiri dan berjalan, memerlukan perawatan tetap

Pada pasien ini telah mendapat pengobatan dengan Stalevo (Carbidopa

12,5mg, Levadopa 50mg, entacapone 200mg) selama masa rawat jalan, dan selama

rawat inap di rumah sakit. Begitu pula saat 1 jam sebelum operasi pasien dianjurkan

9
untuk minum obat antiparkinson (dengan sedikit air putih) untuk mencegah gejala

eksaserbasi intraoperasi.
Penatalaksanaan penyakit parkinson terbagi atas 2 bagian yaitu secara medikal

dan tindakan operasi. Pengobatan parkinson secara medikal terbagi atas 2 yaitu secara

farmakologi dan non farmakologi. Secara farmakologi dengan obat golongan

dopaminergik yaitu Levodopa/ benserazide, DA agonis(bromocryptine, pramipexole,

ropinirole),MAO-B inhibitor (selegilline), COMT inhibitor (entacapone, tolcapone),

NMDA receptor antagonis (amantadine), dan obat golongan antikolinergik ;

trihexyphenidil. Tindakan operasi yaitu Ablative/lesioning (thalamotomy,

pallidectomy) dan Deep brain stimulation.


Penyakit parkinson dikarakterisir oleh berkurangnya neuron dopaminergik

pada substansia nigra pada ganglia basalis. Substantia nigra berfungsi untuk

mengontrol gerakan sadar dan pengaturan suasana hati. Pada penyakit parkinson,

asetilkolin terdapat dalam jumlah normal pada striatum. Akan tetapi, defisiensi

dopamin menyebabkan ketidakseimbangan rasio dopamin:asetilkolin, dengan

demikian semakin memperburuk gejala penyakit parkinson. Defisiensi dopamin

dihubungkan dengan peningkatan aktivitas inhibitory nuclei pada ganglia basalis,

yang pada akhirnya menyebabkan inhibisi berlebihan bahkan penghentian nukleus

talamus dan batang otak yang menerima aliran dari ganglia basalis. Inhibisi

berlebihan pada talamus menyebabkan penekanan pada sistem motor kortikal

sehingga terjadi akinesia, rigiditas, dan tremor. Degenerasi saraf menyebabkan

penurunan produksi dopamin pada nigrostriatal juga menyebabkan peningkatan

aktivitas kolinergik striatal yang mengakibatkan efek tremor. Sedangkan inhibisi pada

batang otak berkontribusi pada abnormalitas postural dan abnormalitas gerakan

melangkah. Abnormalitas patologis yang utama adalah degenerasi sel dengan

10
hilangnya neuron dopaminergik yang terpigmentasi di pars kompakta substansia nigra

di otak dan ketidakseimbangan sirkuit motor ekstrapiramidal (pengatur gerakan di

otak). Pada orang normal berkurangnya dopamin 5% perdekade, pada penderita

parkinson menurun 45% selama dekade pertama setelah di diagnosis. Biasanya gejala

baru muncul ketika dopamin di striatum sudah berkurang 60-80%3 .

Pertimbangan perioperatif
Manajemen perioperatif pasien parkinson merupakan tantangan bagi seorang

ahli anestesi. Perhatian harus dipusatkan pada tiga hal, yaitu pemberian obat-obatan

anti parkinson pada periode perioperatif, adanya kemungkinan interaksi merugikan

dari obat-obatan anestesi dengan obat anti parkinson, serta gangguan fisiologis yang

ditimbulkan oleh penyakit parkinson.


Pada fase awal penyakit, fungsi intelektual pasien biasanya masih normal.

Namun seiring waktu, fungsi intelektual semakin menurun. Terapi farmakologis yang

diberikan pada pasien parkinson ditujukan langsung untuk mengatasi gejala-gejala

yang timbul.
Pemeriksaan pre anestesi pasien dengan penyakit Parkinson mencakup hal-hal berikut

ini:
1. Diagnosis dan durasi penyakit
2. Penilaian terhadap perubahan-perubahan pada berbagai sistem
3. Prosedur pembedahan yang akan dilakukan (elektif atau darurat)
4. Obat-obatan anti parkinson yang dikonsumsi dan efek yang ditimbulkan

serta potensi interaksi dengan agen anestesi yang akan digunakan


5. Pemberian levodopa atau antikolinergik preoperatif
6. Premedikasi dan profilaksis aspirasi asam lambung
Tabel.1 Penilaian pasien dengan penyakit parkinson yang direkomendasikan

Sistem Penilaian Tes

Kepala dan leher Disfungsi otot faring

Disfagia

11
Sialorrhoea

Blepharospasme

Pernapasan Gangguan pernapasan dari Rontgen Thorax


kekakuan, bradikinesia atau gerakan
involunter terkoordinasi dari otot-
otot pernapasan

Tes fungsi paru


(spirometri)

Analisa gas darah


arteri

Kardiovaskuler Hipotensi ortostatik EKG

Aritmia jantung

Hipertensi

Hipovolemia

Disfungsi otonom

Gastrointestinal Berat badan Serum albumin

Gizi buruk Tes alergi kulit

Kerentanan terhadap refluks

Urologi Kesulitan dalam berkemih

Endokrin Metabolisme glukosa abnormal Konsentrasi


(selegine) glukosa darah

Musculoskeletal Kekakuan otot

CNS Kekakuan otot

Tremor

Akinesia

Kebingungan

Depresi

12
Halusinasi

Gangguan berbicara
Dikutip dari : Nicholson G, Pereira AC, Hall GM. Parkinson’s disease and anesthesia. British

Journal of Anaesthesia. 2002;89(6):904-16

Pemilihan TeKnik dan Agen Anestesi


Teknik anestesi yang dipilih, apakah anestesi umum ataupun regional

tergantung beberapa faktor seperti kebutuhan pembedahan/prosedur operasi, ahli

anestesi, persetujuan pasien, kondisi pasien dan faktor risiko yang ada. Untuk

pemilihan anestesi pada pasien ini berdasar pada kebutuhan pembedahan, ahli

anestesi, kondisi pasien, dan tidak ada kontraindikasi anestesi regional. Kombinasi

dengan tehnik epidural dipilih sebagai antisipasi kemungkinan operasi yang

memanjang, sebagai analgetik pasca bedah dan beberapa keuntungan dari anestesi

regional dibandingkan anestesi umum.


Pada pasien ini dilakukan anestesi umum walau sebenarnya dengan anestesi

regional ada beberapa kelebihan yang dapat dipertimbangkan dibandingkan anestesi

umum yaitu:
1. Pasien dapat mengutarakan keluhan sehingga dapat dilakukan penanganan

lebih cepat.
2. Efek pelumpuh otot pada anestesi umum dapat dihindari, dimana efek tersebut

dapat menyamarkan myopotential yang merupakan tanda awal eksaserbasi

intra operatif.
3. Pasien dapat tetap meneruskan terapi antikolinergik oral/ levodopa oral

sebelum operasi, selama operasi jika dibutuhkan, dan segera setelah operasi.
4. Anestesi regional tidak menggunakan agen anestesi inhalasi, dimana

penggunaan anestetik inhalasi yang dikombinasikan dengan opioid intravena

dapat mencetuskan gejala penyakit Parkinson.


5. Anestesi regional memudahkan pengelolaan nyeri post operatif dan menekan

respon stres akibat tindakan operasi.

13
6. Pasien dengan penyakit parkinson lebih rentan mengalami infeksi paru

sebelum dan setelah prosedur operasi dengan anestesi umum, karena mereka

mengalami kesulitan untuk membersihkan sekret akibat terganggunya reflex

batuk dan menelan.


7. Insiden postoperative nausea and vomiting (PONV) lebih jarang ditemukan

pada anestesi regional, dimana PONV dapat menghambat pemberian terapi

parkinson post operatif.


Teknik anestesi regional juga memiliki kekurangan dibandingkan dengan teknik

anestesi umum. Beberapa kekurangan dari teknik anestesi regional adalah.


1. Sulitnya memposisikan pasien dengan penyakit Parkinson.
2. Anestesi regional tidak dapat menghilangkan gejala penyakit parkinson seperti

tremor dan rigiditas. Tremor dapat mengganggu peralatan monitor dan

menyulitkan interpretasinya.
3. Beberapa prosedur operasi memerlukan keadaan di mana pasien tidak boleh

bergerak sama sekali.


Jika diputuskan untuk melakukan tindakan anestesi umum, perlu dilakukan

antisipasi terhadap kemungkinan difficult airway, hipereaktif jalan napas serta aspirasi

akibat sekret yang banyak. Perlu juga dipertimbangkan kemungkinan perlunya

ventilasi mekanik post operasi. Pada pasien yang menjalani prosedur anestesi umum,

rigiditas yang terjadi setelah pemberian fentanyl dosis tinggi maupun rendah dapat

ditemukan pada pasien normal. Namun pada penderita parkinson lebih cenderung

terjadi kebingungan dan halusinasi post operasi.


Selanjutnya, penting untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan

pengobatan pada periode post operatif. Dosis rutin dari obat anti parkinson harus

segera dilanjutkan secepat mungkin setelah operasi dilakukan untuk mencegah gejala

eksaserbasi. Penghentian levodopa secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala

eksaserbasi, terutama disfagia dan rigiditas otot otot skelet dinding dada sehingga

14
akan mempengaruhi kemampuan ventilasi dan akan memperburuk gangguan

respirasi, atau dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome (NMS).


Namun terdapat suatu laporan kasus dimana pemberian levodopa diberikan

melalui nasogastric tube intra operatif pada pasien parkinson yang menjalani prosedur

laparatomi darurat akibat perforasi ileum dengan teknik anestesi umum. Obat-obatan

yang dapat menimbulkan gejala extrapiramidal, antagonis dopamin (seperti

fenotiazin, butirofenon/ droperidol), serta metoklopramid tidak boleh diberikan.

Aspirasi pulmoner merupakan penyebab kematian tersering pada pasien parkinson.

Agen prokinetik seperti cisapride atau domperidon tidak memberikan efek pada

keseimbangan dopamin sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk

menggantikan metoklopramid.
Jika diputuskan untuk tindakan anestesi umum beberapa agen yang perlu

dipertimbangkan. Pada penggunaan agen anestesi inhalasi,salah satu hal yang harus

dihindari adalah kemungkinan terjadinya takiaritmia akibat penggunaan halotan pada

pasien parkinson yang diterapi dengan levodopa, karena halothan dapat

mengsensitisasi jantung terhadap katekolamin. Belum ada laporan mengenai efek

buruk dengan penggunaan isofluran, sevofluran, maupun desfluran pada pasien

Parkinson. Isofluran dan sevofluran merupakan agen inhalasi pilihan meskipun dapat

menimbulkan hipotensi, terutama pada pasien dengan neuropati otonom serta pada

pasien yang mendapatkan terapi bromocriptin atau selegiline.


Ketamin harus digunakan dengan hati-hati karena dapat terjadi interaksi antara

levodopa dengan sifat simpatomimetik dari ketamin. Namun demikian, belum ada

laporan mengenai efek buruk yang terjadi pada penggunaan ketamin pada pasien

parkinson. Adanya kemungkinan gangguan kardiovaskular pada pasien geriatri

dengan penyakit parkinson menyebabkan ketamin jarang digunakan. Walaupun

15
demikian, terdapat laporan bahwa ketamin dapat menghentikan gejala motorik

parkinson untuk sementara.


Propofol dapat mencetuskan diskinesia. Namun propofol dapat juga

menghentikan tremor. Hal ini menunjukkan bahwa propofol memiliki efek baik

eksitasi maupun inhibisi terhadap pasien parkinson. Fentanyl berpotensi

memperburuk rigiditas otot. Kekakuan otot yang di induksi opioid berespon terhadap

pelumpuh otot dan diperkirakan akibat penghambatan presinaptik dari pelepasan

dopamin. Alfentanil dihubungkan dengan reaksi distonik akut pada pasien parkinson.

Morfin dosis kecil dilaporkan dapat menurunkan diskinesia, namun dalam dosis besar

dapat memperberat diskinesia. Terdapat laporan terjadinya agitasi, rigiditas otot, serta

hipertermi akibat pemberian meperidine pada pasien parkinson yang mendapatkan

selegiline (suatu MAO Inhibitor). Namun pengalaman klinis menunjukkan bahwa

tidak banyak pasien parkinson yang mendapatkan terapi selegiline. Pemberian opioid

sistemik sebagai analgesia post operatif pada pasien parkinson yang sebelumnya telah

mendapatkan agen sedasi akan menyebabkan kesulitan dalam penanganan pasien

tersebut. Hal ini mungkin berhubungan dengan fakta bahwa pasien parkinson 8 kali

lebih berisiko mengalami delirium post operatif dibandingkan dengan pasien tanpa

Parkinson. Paracetamol dan obat-obatan NSAID dapat diberikan dengan aman.


Tidak ada laporan mengenai penggunaan pelumpuh otot non depolarisasi

dapat memperburuk gejala Parkinson. Bagaimanapun, perdebatan muncul mengenai

penggunaan suxamethonium. Seorang peneliti melaporkan terjadinya hiperkalemia

akibat penggunaan suxamethonium pada pasien parkinson. Namun peneliti lainnya

menegaskan bahwa suxamethonium tidak menginduksi hiperkalemia. Jika

antikolinergik diperlukan, maka agen yang cocok adalah glycopyrrolate bromide

karena obat ini tidak melewati sawar darah otak. Ventilasi dan reflex airway harus

16
dinilai secara teliti sebelum memutuskan untuk melakukan ekstubasi pada pasien

dengan parkinson sedang dan berat. Ondansetron merupakan agen alternatif yang

aman untuk pencegahan maupun penanganan emesis pada pasien parkinson.

Butyrophenone dan phenothiazine, yang bekerja dengan memblok reseptor dopamin,

dapat memperparah penyakit parkinson.


Tabel 2. Kemungkinan interaksi obat-obatan dengan penyakit Parkinson

Obat-obatan Keterangan

Agen Intravena
Propofol Hindari pada prosedur stereotactic
Thiopentone Dapat digunakan dengan aman
Etomidate Dapat digunakan dengan aman

Agen Volatil
Halothan Dapat mencetuskan aritmia
Isofluran Dapat digunakan dengan aman
Sevofluran Dapat digunakan dengan aman
Desfluran Dapat digunakan dengan aman

Agen Pelumpuh Otot


Suxamethonium Dapat mencetuskan hiperkalemia
Agen non-depolarisasi Dapat digunakan dengan aman

Analgetik
Morfin Dapat menimbulkan rigiditas otot
Petidin Hindari pada pasien yang menggunakan selegiline
Fentanyl Dapat menimbulkan rigiditas otot
Alfentanil Dapat menimbulkan reaksi distonik

Dikutip dari: Rudra A, Rudra P, Chatterjee S, Das T, Ray M, Kumar P. Parkinson’s


disease and anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2007;51(5):382-388

17
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus anestesi pada pasien pria 60 tahun dengan diagnosa

hernia inguinalis lateralis sinistra dengan penyakit parkinson yang menjalani operasi

herniotomy dan MESH. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Jika diputuskan teknik anestesi yang dipilih, apakah

anestesi umum ataupun regional tergantung beberapa faktor seperti kebutuhan

pembedahan/prosedur operasi, ahli anestesi, persetujuan pasien, kondisi pasien dan

faktor risiko yang ada. Pada kasus ini pemilihan anestesi umum lebih

dipertimbangkan oleh karena keuntungan anestesi umum dibandingkan anestesi

regional. Pasien ini mendapatkan analgetik post operasi melalui drip. Tidak

ditemukan komplikasi baik intraoperatif maupun pasca operasi pada kasus ini.
Untuk pemilihan anestesi tidak ada teknik anestesi yang sederhana untuk

pasien parkinson. Oleh karena itu, penilaian pre operatif yang teliti, pemberian terapi

saat tindakan anestesi dan setelah anestesi, serta menghindari agen-agen yang

diketahui dapat mencetuskan gejala parkinson merupakan faktor utama dalam

mengurangi morbiditas dan mortalitas post operatif .

DAFTAR PUSTAKA

1. Doyle SR, Kremer MJ. Parkinson disease. AANA Journal. 2003;71(3):229-34

18
2. Nicholson G, Pereira AC, Hall GM. Parkinson’s disease and anesthesia.

British Journal of Anaesthesia. 2002;89(6):904-16


3. Naesh O. Jensen S. Parkinson’s Disease: a Challenge to the anesthesiologist.

Lakartidingen. 2010; 107 (23):1552-5


4. Shaikh SI, Verma H. Parkinson’s disease and anaesthesia. Indian Journal of

Anaesthesia. 2011;55(3):228-34
5. Omoigui S. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. EGC. Jakarta.2012;88-89
6. Goyal N, Wajifdar H, Jain A. Anaesthetic management of a case of parkinson’s

disease for emergency laparotomy using enteral levo-dopa intraoperatively.

Indian Journal of Anaesthesia. 2007;51(5):427-28


7. Oguz E, Ozturk I, Ozkan D, Ergil J, Aydin GB. Parkinson’s disease and spinal

anesthesia. Turk J Anaesth Reanim. 2014;42(5):280-2


8. Holyachi R. Karajagi S. Biradar S. Anaesthesia Management of a geriatric

Patient with Parkinson’s Disease, who was Posted for Emergency

Laparatomy- A Case Report. Journal of Clinical and Diagnostic Research.

2013
9. Rudra A, Rudra P, Chatterjee S, Das T, Ray M, Kumar P. Parkinson’s disease

and anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2007;51(5):382-8

10. Lee LA, Meyer TA. Anesthetic Drugs May Interact With Medications Used for

Parkinson’s Disease. The Official J of the Anesthesia Patient Safety

Foundation. 2015
11. Shaikh SI, Verma H. Parkinson’s disease and Anaesthesia. Indian J of

Anaesthesia. 2011

19

Anda mungkin juga menyukai