Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi
Gullani membagi klasifikasi komplikasi post-operasi LASIK menjadi 3 bagian,
yaitu:1
1. Irisan kornea (flap)
2. Interface
3. Ablasi stroma (ablation bed)

Komplikasi LASIK terkait flap2 Komplikasi lain operasi LASIK2

Flap inkomplit Flap striae

Free cap Epithelial ingrowth

Flap tipis dan buttonholes Keratitis difusi lamellar

Dislokasi flap Mata kering

Perforasi kornea Ekstasia kornea

Defek epithelial kornea Ablasi

Undercorrection / overcorrection

Keratitis bakterial

A.1 Flap inkomplit


Mikrokeratom berhenti pada pertengahan insisi dan tidak membuat flap
secara sempurna, sehingga menghasilkan suatu flap yang inkomplit. Inkomplit flap
dilaporkan terjadi 3% dari seluruh kasus.3 Obstruksi dapat terjadi dari insisi
mikrokeratom yang dihasilkan dari spekulum atau tirai doek bolong mata, bulu mata
atau debris, lipatan konjungtiva selama proses operasi berlangsung. Penyebab lainnya
dari flap inkomplit adalah loss of suction selama operasi, kegagalan electrical
(mekanisme mesin mikrokeratom), blokade pedal kaki, kesalahan kerja saat
pergerakan insisi, dan ketidaktepatan pemasangan dan pembersihan. Defek juga dapat
dihasilkan dari pisau yang terlalu tebal ataupun kerusakan dari membran / permukaan
kornea.4

A.2 Free cap


Free cap merupakan flap kornea tanpa sendi (hinge). Pembentukan free
cap terjadi akibat kegagalan membuat flap yang proper akibat mekanisme
pemberhentian automatic mikrokeratom. Free cap dapat terjadi selama operasi mata
dengan kurvatura kornea yang teramat datar (< 41D).5 Kesalahan yang paling sering
terjadi adalah akibat kesalahan (defek) mekanisme pemberhentian mikrokeratom
sehingga sendi (hinge) tidak terbentuk.4
.
A.3 Flap tipis dan buttonholes
Terjadi pada irisan atau insisi yang inadekuat, kesalahan prosedur
suction, irregular kornea, kualitas pisau yang kurang atau akibat “re-use” dan
malfungsi mesin.4 Debris dapat masuk dari pisau insisi, sehingga harus dibersihkan
dengan larutan salin seimbang. Dalam penatalaksanaannya (retreatment), digunakan
piringan dalam yang berbeda untuk membuat flap yang lebih tebal. Flap yang tipis
dan irregular dapat menyebabkan astigmatisma irregular dan meningkatkan risiko
pertumbuhan epitel yang terhambat (epithelial ingrowth).4

A.4 Dislokasi flap


Dislokasi flap biasanya diikuti dengan trauma. Pada 24 jam pertama
setelah LASIK, dislokasi flap ditandai dengan berkedip, memijat atau menekan
kelopak, gosokan mata yang membuat flap menjadi terlepas.6 Subluksasi atau
dislokasi flap merupakan masalah kegawatdaruratan dan harus direposisi secepatnya
untuk mencegah pembentukan lipatan dan penghambatan pertumbuhan epitel.7
A.5 Perforasi kornea
Dapat terjadi selama pembuatan flap. Pada akhirnya penempatan flap
menjadi tidak proper terhadap plate.8 Pada beberapa kasus, dilaporkan juga perforasi
kornea dapat terjadi selama ablasi laser.9 Dengan dilakukan rekonstruksi bilik depan
atau vitrektomi, diharapkan dapat memberikan perbaikan bagi pasien, sementara
perforasi yang kecil dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.10

A.6 Defek epitel kornea


Defek epitel kornea dapat terjadi akibat penggunaan anestesi topikal yang
berlebihan, juga trauma akibat instrumen, dan flap yang kering. Dengan antibiotik
profilaksis dan pemberian lubrikan secara intensif diharapkan dapat memberikan
progresifitas yang baik pada defek epitel kornea.11

A.7 Striae pada flap


Insiden flap striae setelah LASIK sering banyak dilaporkan.5 Flap striae
dibagi menjadi dua, yaitu:
- Macrostriae merupakan multiple striae yang dapat menjadi dislokasi striae
- Faint striae dapat terdeteksi pada tear film dan fluorescein12
Tanda yang khas dari macrostriae dapat membuat penurunan penglihatan pasien.
Penyebab tersering dari flap striae yaitu kesalahan penempatan ulang flap
(replacement), flap kering, dan kontraksi selama ablasi laser. Striae harus ditangani
sedini mungkin sebelum terjadi kesulitan dalam penanganan.13

A.8 Epithelial ingrowth


Mekanisme sel epitel bermigrasi ke interface kornea:14
1. Irisan mikrokeratom yang membawa sel ke interface selama keratektomi.
2. Irigasi pada stromal bed setelah ablasi dan epitel sel menuju interface.
3. Sel pada interface berkembang menjadi lamellar interface pada jembatan menuju
flap.
4. Pertumbuhan di luar epitel.
Faktor risiko penting pada epithelial ingrowth termasuk defek epitel perifer, poor
flap, free cap, dan perforasi flap kornea. Poor flap akan memacu migrasi epitel sel ke
interface. Epithelial ingrowth dilihat dengan menggunakan slit lamp, terlihat seperti
garis abu-abu kurang dari 2 mm dari flap, dan paling baik dideteksi dengan slit lamp
iluminasi.14

Tahap-tahap epithelial ingrowth:15


- Grade 1 : Thin ingrowth
Biasanya 1-2 sel yang tebal, non-progresif kurang dari 2 mm dari flap
dan sulit terdeteksi.
- Grade 2 : Thicker ingrowth
Deteksi dengan slit lamp, memiliki ketebalan lebih dari 2 mm.
- Grade 3 : Thickened ingrowth
Terjadi nekrosis sel epitel
.
A.9 Keratitis difusi lamelar
Infiltrat difusi terlihat dibawah flap tanpa tanda infeksi bakterial. Biasanya
muncul seminggu setelah operasi.16 Penyebab tersering ialah post-operatif yang
disebabkan dari pajanan bedak sarung tangan, minyak, lilin, fragmen-fragmen besi,
endotoksin bakterial, defek epitel, laser ablasi, dan sekresi kelenjar meibom.17
Tahap-tahap keratitis difusi lamellar:18
Stage 1. Sel granular putih di perifer lamellar flap.
Stage 2. Sel granular putih dalam aksis visual.
Stage 3. Putih dan clumped cells pada aksis penglihatan.
Stage 4. Keratitis difusi lamelar berat.
Komplikasi LASIK

Insisi kornea Interface Ablasi bed

A.10 Mata kering


Permukaann okular yang terdiri dari kornea, konjungtiva, kelenjar
lakrimalis, dan neural refleks bekerja bersama-sama dalam menjaga keseimbangan
dan kesehatan mata, fungsi normal air mata, serta kenyamanan bola mata.19
Kehilangan sensibilitas mata disebabkan karena penurunan sekresi air mata, ketika
terjadi secara bilateral, maka tingkat berkedip pasien akan berkurang. Tindakan bedah
refraktif pada kornea dapat menghasilkan hipoestesia, hingga mengganggu fungsi air
mata.20
Mata kering kontra indikasi terhadap bedah laser excimer. Dilaporkan
kasus yang terjadi menyebabkan hipoestesia dan hiperestesia.21 Perbaikan fungsi
sensibilitas kornea dengan LASIK memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
PRK.22 Pasien myopia dengan fungsi air mata yang melemah sebelum tindakan
operatif memiliki risiko yang lebih besar secara signifikan mengalami sindrom mata
kering selama satu bulan setelah operasi LASIK.23
Penyebab yang mungkin timbul pada abnormalitas produksi air mata
setelah PRK dan LASIK, yaitu trauma operatif pada epitel, toksisitas pada obat
tetesan mata topikal, respon inflamasi terhadap bedah refraktif meliputi pelepasan
sitokin dan mediator inflamasi, kualitas yang buruk pada lapisan lemak, dan
evaporasi pada tear film.23,24
Perbedaan mendasar antara LASIK dan PRK terletak pada kedalaman
ablasi kornea (130 – 180 um) dan adanya pembuatan flap pada prosedur LASIK.
Terdapat perdebatan antara sendi flap yang dibuat di nasal, lebih baik dibandingkan
posisi sendi di bagian superior.24
A.10 Ektasia Kornea
Ektasia kornea sebagai komplikasi post-operatif digambarkan dengan area
non-inflamasi, kornea yang semakin pipih dengan area ektasia melalui gambaran
topografi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gulani AC. LASIK corneal complication (letter). Ophthalmology. 1999;106:1457.


2. Sridhar MS, Rao SK, Vajpayee RB, et al. Complications of Laser—in-situ-
Keratomileusis. Indian Journal Ophthalmol. 2002;50;265-82.
3. Farah SG, Azar DT, Gurdal C, et al. Laser in situ keratomileusis: Literature review of a
developing technique. Journal Cataract Refract Surgery. 1998;24:989-1006.
4. Gimbel HV. Flap complications of lamellar refractive surgery. Am Journall
Ophthalmology. 1999;127:202-24.
5. Gimbel HV, Anderson Penno EE. Intraoperative complications. In: Gimbel HV,
Anderson Penno EE, editors. LASIK Complications: Prevention and Management.
Thorofare, NJ: SLACK Incorporated. 1998:47-49.
6. Probst LE, Machat J. Removal of flap striae following laser in situ keratomileusis.
Journal Cataract Refractive Surgery. 1998;24:153-55.
7. Melki SA, Talamo JH, Demetriades AM, et al. Late traumatic dislocation of laser in situ
keratomileusis corneal flaps. Ophthalmology. 2000;107:2136-39.
8. Pallikaris IG, Siganos DS. Laser in situ keratomileusis to treat myopia; Early experience.
Journal Cataract Refractive Surgery. 1997;23: 39-49.
9. Joo CK, Kim TG. Corneal perforation during laser in situ keratomileusis. Journal
Cataract Refractive Surgery. 1999;25:1165-67.
10. Chang SW, Asraf FM, Azar DT. Wound healing patterns following perforation sustained
during laser in situ keratomileusis. Journal Formos Medical Assoc. 2000;99:635-41.
11. Smirennaia E, Sheludchenko V, Kourenkova N, et al. Management of corneal epithelial
defect following laser in situ keratomileusis. Journal Cataract Refractive Surgery.
2001;17.
12. Rabinowitz YS, Rasheed K.Fluorescein test for the detection of striae in the corneal flap
after laser in situ keratomileusis. Am J Ophthalmol. 1999;127:717-18.
13. Kulatza PV, Stark WJ, O’Brien TP.. Management of flap striae. IOC. 2000;40:87-92.
14. Helena MC, Meisler D, Wilson SE. Epithelial ingrowth within the lamellar interface after
laser in situ keratomileusis. Cornea. 1997;16:300-5
15. Perez-Santonja JJ, Ayala MJ, Sakla HF, et al. Retreatment after laser in situ
keratomileusis. Ophthalmology. 1999;106:21-28.
16. Godinich AC, Steinert RF, Wu HK. Late occurrence of diffuse lamellar keratitis after
laser in situ keratomileusis. Arch Ophthalmol. 2001;119:1074-1076.
17. Kaufman SC, Maitchouk DY, Chiou AG, et al. Interface inflammation after laser in situ
keratomileusis. Sands of Sahara syndrome. Journal Cataract Refract Surgery.
1998;24:1589-93.
18. Linebarger EJ, Hardten Dr, Lindstom RL. Diffuse lamellar keratitis: Diagnosis and
management (review). Journal Cataract Refractive Surgery. 2000;26:1072.
19. Stern ME, Beuerman RW, Fox RI, et al. The pathology of dry eye: The interaction
between the ocular surface and lacrimal gland. Cornea. 1998;17:584-89.
20. Perez-Santonja JJ, Sakla HF, Cardona C, et al. Corneal sensitivity after photorefractive
keratectomy and laser in situ keratomileusis for low myopia. Am J Ophthalmol.
1999;127:497-504.
21. Kanellopoulos AJ, Pallikaris IG, Donnenfeld ED, et al. Comparison of corneal sensation
following photorefractive keratectomy and laser in situ keratomileusis. Journal Cataract
Refractive Surgery. 1997;23:34-38.
22. Patel S, Perez-Santonja JJ, Alio JL, et al. Corneal sensitivity and some properties of the
tear film after laser in situ keratomileusis. Journal Refractive Surgery. 2001;17:17-24.
23. Yu EY, Leung AT, Rao SK, et al. Effect of laser in situ keratomileusis onn tear stability.
Ophthalmmology. 2000;107:2131-35.
24. Vesaluoma MH, Tervo TT. Tenascin and cytokines in tear fluid after photorefractive
keratectomy. Journal Cataract Refractive Surgery. 1998;14:447-54.

Anda mungkin juga menyukai