Anda di halaman 1dari 47

Portofolio

ISPA
(INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT)

Periode:
06 Desember 2017 – 19 Februari 2018

Oleh :
Yeni Intan Cahyati, S.Ked
04054821719114

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017 - 2018
HALAMAN PENGESAHAN

i
Laporan Kasus dengan Judul :
ISPA

Disusun Oleh:
Yeni Intan Cahyati, S.Ked
04054821719114

Telah diterima sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

Palembang, 19 januari 2018


Mengetahui,
Kepala Puskesmas Basuki Rahmat

dr. RA Emiria Umi Kalsum, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
portofolio ini dengan judul “ISPA”. Portofolio ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian IKM-IKK FK UNSRI.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. H. M. A. Husnil Farouk, MPH selaku pembimbing
yang telah memberikan pengarahan dan saran yang mendukung sehingga
portofolio ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Pimpinan Puskesmas Basuki Rahmat dr. RA Emiria Umi Kalsum, M.Kes sebagai
pembimbing, beserta staf, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan portofolio ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan portofolio ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikianlah penulisan portofolio ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, 19 Januari 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………................... i
Halaman Pengesahan…………………………………………................. ii
Kata Pengantar………………………………………………………....... iii
Daftar Isi…………………………………………………………............ iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 1

BAB II LAPORAN KASUS


2.1 Identitas Pasien……………………………………………………… 2
2.2 Anamnesis………………………………………………………….... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik…………………………………………………… 3
2.4 Diagnosis Kerja…………………………………………………....... 4
2.5 Rencana Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 4
2.6 Terapi………………………………………………………………... 4
2.7 Komplikasi…………………………………………………………... 5
2.8 Prognosis……………………………………………………………. 5
2.9 Kerangka Masalah Pasien…………………………………………… 6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Definisi……………………………………………………………....... 7
3.2 Epidemiologi………………………………………………………....... 8
3.3 Etiologi……………………………………………………………....... 8
3.4 Patofisiologi…………………………………………………………… 9
3.5 Gejala Klinis........................................................................................... 10
3.6 Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………… 15
3.7 Diagosis……………………………...………………………………... 17
3.8 Diagosis Banding……………………………...……………………… 17
3.9 Penatalaksanaan……………………………...……………………….. 18
3.10 Pencegahan…….…………………………...……………………….. 21
3.11 Komplikasi ......................................................................................... 25
3.12 Prognosis ............................................................................................ 28

iv
3.13 Kesimpulan ......................................................................................... 28

BAB IV PENCEGAHAN/PEMBINAAN
4.1 Genogram…………………………………….................................... 29
4.2 Home Visite…………………………………………………............. 29

DAFTAR PUSTAKA…………………………………........................... 34
LAMPIRAN 1…………………………………………………….......... 36
LAMPIRAN 2……………………………………………….................. 38
LAMPIRAN 3………………………………………………………...... 49

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
pengertian sebagai berikut:
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran
pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian
bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory
tract). Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
Penyebab dari ISPA sendiri terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus,
Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella danCorinebakterium. Virus penyebabnya
antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Micoplasma, Herpesvirus.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran nafas mulai hidung sampai
alveoli termasuk adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura
(Kemenkes RI, 2012). Penyakit infeksi ini paling sering diderita oleh anak balita
usia 1-4 tahun dan merupakan salah satu penyebab kematian balita di Indonesia
(Kemenkes RI, 2013c). Prevalensi penyakit ISPA pada balita mengalami
peningkatan yaitu pada tahun 2007 sebesar 15,5% dan pada tahun 2013 sebesar
25% (Kemenkes RI, 2007, 2013

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama Penderita : An. Putrilia Minatri
b. Umur : 7 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : Pelajar SD
e. Agama : Islam
f. Dokter Muda : Yeni Intan Cahyati

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan Aloanamnesis, 10-01-2018 11.00 WIB)


2.2.1 Keluhan Utama
rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti
bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer.

2.2.2 Keluhan Tambahan


Demam, batuk dan nyeri kepala.
2.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 2 hari yang lalu, pasien merasakan panas, kering dan gatal
dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung
tersumbat dengan ingus encer. Hidung tersumbat diikuti dengan
permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Selain itu
pasien juga merasakan demam dan nyeri dikepala. Sebelumnya gejala
seperti ini sudah dialami oleh kakak pasien, dan kakak pasien berobat ke
puskesmas. Kakak pasien mendapatkan obat dan kemudian sembuh.
Kurang lebih 3 hari pasien merasa bahwa hidungnya semakin tersumbat
karena ingusnya mulai mengental dan mulai batuk. Lalu pasien dibawa
ibu berobat ke puskesmas.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan seperti ini baru pertama kali diderita pasien

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

2
a. Riwayat keluhan yang sama pada keluarga (+) dialami oleh kakak
pasien.
b. Riwayat alergi (-) dalam keluarga.

2.2.6 Riwayat Penyakit Lingkungan


Teman SD pasien tidak memiliki keluhan yang sama.

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Generalis
a. Keadaan umum : tampak sakit ringan
b. Kesadaran : compos mentis
c. Nadi : 92 x/menit
d. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
e. Pernapasan : 21 x/menit
f. Suhu : 37,8oC
g. TB : 130 cm
h. BB : 20 kg
2.3.2 Keadaan spesifik
a. Kepala :
Kulit kepala : tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung : tampak permukaan mukosa hidung merah dan
membengkak, terdapat sekret hidung yang
mengental.
Telinga : tidak ada kelainan
Tenggorokan : faring hiperemis (+), tonsil T1-T1
Mulut dan mukosa : tidak ada kelainan
b. Leher : tidak ada kelainan
c. Thorax :
Inspeksi : simetris, retraksi tidak ada
Palpasi : Ictus cordis tidak terlihat dan teraba, stem fremitus

3
kanan = kiri
Perkusi : Batas jantung normal, Sonor pada kedua lapang
paru
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, HR 80 x/menit,
murmur (-), gallop (-), suara napas vesikuler (+)
ronkhi (-) wheezing (-)
d. Abdomen :
Inspeksi : Datar, simetris
Palpasi : Lemas, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
epigastrium, massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
e. Ekstremitas : Edema (-), CRT < 2 detik

St. Dermatologikus : tidak ada kelainan

2.4 Diagnosis Kerja


ISPA

2.5 Rencana Pemeriksaan Penunjang :


- pemeriksaan darah
- pemeriksaan kultur

2.6 Terapi
a. Non-farmakologis
- Menerangkan tentang penyakit dan pengobatannya
- Menjelaskan bahwa penyakit ini bisa menular udara yang telah
tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan,
oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air

4
Borne Disease dan dapat juga melalui kontak langsung dengan
pasien.
- Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu
tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam à
menghambat keluarnya panas.
- Jika pilek, bersihkan hidung untuk mempercepat kesembuhan dan
menghindari komplikasi yang lebih parah.
- Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat, yaitu yang
berventilasi cukup, dengan pencahayaan yang memadai, dan tidak
berasap.
- Apabila selama perawatan dirumah keadaan memburuk, maka
dianjurkan untuk membawa ke dokter.
- Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, obat yang
diperoleh tersebut harus diberikan dengan benar sampai habis.
- Dan untuk penderita yang tidak mendapatkan antibiotik, usahakan
agar setelah 2 hari kembali ke dokter untuk pemeriksaan ulang.
- Menjelaskan pada pasien untuk beristirahat total.
- Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk
memperkuat daya tahan tubuh.
b. Farmakologis
- Mengatasi demam
 Untuk dewasa diberikan obat Paracetamol
 Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun, demam diatasi
dengan memberikan parasetamol dan dengan kompres.
- Mengatasi batuk
 Dianjurkan memberi obat batuk yang aman, yaitu
ramuan tradisional berupa jeruk nipis ½ sendok teh
dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh ,
diberikan tiga kali sehari.
 Dapat digunakan obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
dekstrometorfan, dan antihistamin.

5
2.7 Komplikasi
Komplikasi dini antara lain dapat Penyakit ini sebenarnya
merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri 5-6 hari jika tidak
terjadi invasi kuman lainnya.Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis
paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi (laryngitis,
trakeitis, bronkiis dan bronkopneumonia.Selain itu dapat pula terjadi
komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta).

2.8 Prognosis
a. Quo ad Vitam : Bonam
b. Quo ad Functionam : Bonam
c. Quo ad Sanationam : Bonam

6
2.9 Kerangka Masalah Pasien

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
VARISELA

3.1. DEFINISI
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA,
istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory
Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran
pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala
penyakit. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian
atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan
organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru
termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). Infeksi akut
adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
Penyebab dari ISPA sendiri terdiri lebih dari 300 jenis bakteri,
virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus
Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella
danCorinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Micsovirus,
Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran nafas mulai
hidung sampai alveoli termasuk adneksanya seperti sinus, rongga telinga
tengah, dan pleura (Kemenkes RI, 2012). Penyakit infeksi ini paling sering
diderita oleh anak balita usia 1-4 tahun dan merupakan salah satu
penyebab kematian balita di Indonesia (Kemenkes RI, 2013c). Prevalensi

7
penyakit ISPA pada balita mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007
sebesar 15,5% dan pada tahun 2013 sebesar 25% (Kemenkes RI, 2007,
2013.
Balita dengan ISPA memerlukan penanganan dan perawatan yang
tepat mengingat ISPA merupakan salah satu penyebab kematian balita di
Indonesia. Dalam hal ini, ibu mempunyai peran penting dalam melakukan
upaya pencegahan dan perawatan pada balita yang menderita ISPA. Hal ini
dikarenakan anak usia balita belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri
sehingga masih sangat tergantung dari orang lain, terutama ibu. Ibu adalah
pemberi asuhan primer bagi anak yang sakit (Shepard, 1996 cit Friedman,
2010).

3.2. EPIDEMIOLOGI
Varisela   dapat   terjadi   di   sepanjang   tahun.   Di   Negara   Barat,   prevalensi
kejadian Varisela tergantung dari musim (musim dingin dan awal musim semi
lebih banyak). Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian, agaknya penyakit
virus menyerang pada musim peralihan. Angka kejadian di Negara kita belum
pernah diteliti, tetapi di Amerika dikatakan kira­kira 3,1­3,5 juta kasus dilaporkan
tiap tahun.4,5
Varisela  tersebar  kosmopolit  (di seluruh dunia),  dapat  mengenai  semua
golongan   umur,   termasuk   neonates   (Varisela   kongenital).   Tetapi   tersering
menyerang terutama anak­anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Bila
terjadi   pada   orang   dewasa,   umumnya   gejala   konstitusi   lebih   berat.   Transmisi
penyakit ini berlangsung secara aerogen. Varisela sangat mudah menular terutama
melalui kontak langsung, droplet atau aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun
melalui   saluran   nafas,   dan   jarang   melalui   kontak   tidak   langsung.   Masa
penularannya, pasien dapat menularkan penyakit selama 24­48 jam sebelum lesi
kulit timbul sampai semua lesi timbul krusta/keropeng, biasanya kurang lebih 6­7
hari   dihitung   dari   timbulnya   gejala   erupsi   di   kulit.   Penyakit   ini   cepat   sekali
menular   pada   orang­orang   di   lingkungan   penderita.   Seumur   hidup   seseorang

8
hanya satu kali menderita Varisela. Serangan kedua mungkin berupa penyebaran
ke kulit pada herpes zoster.1,2,4,6

3.3. ETIOLOGI
Varisela disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). Penamaan virus ini
memberi   pengertian   bahwa   infeksi   primer   virus   ini   meyebabkan   penyakit
Varisela, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Varisela Zoster Virus
(VZV) termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran diameter kira­kira 140–
200 nm.1,2,6
Varisela­Zooster   virus   diklasifikasikan   sebagai   herpes   virus   alfa   karena
kesamaannya   dengan   prototipe   kelompok   ini   yaitu   virus   herpes   simpleks.   Inti
virus  disebut  Capsid, terdiri  dari protein dan DNA dengan rantai  ganda, yaitu
rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat
molekul 100 juta yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius. Genom
virus mengkode lebih dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan sasaran
imunitas dan timidin kinase virus, yang membuat virus sensitif terhadap hambatan
oleh asiklovir dan dihubungkan dengan agen antivirus.7
VZV   dapat   pula   menyebabkan   Herpes   Zoster.   Kedua   penyakit   ini
mempunyai  manifestasi  klinis  yang  berbeda.  Kontak  pertama  dengan  virus   ini
akan   menyebabkan   Varisela,   oleh   karena   itu   Varisela   dikatakan   infeksi   akut
primer,  kemudian setelah penderita Varisela tersebut sembuh, mungkin virus itu
tetap ada di akar ganglia dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis)
dan   kemudian   VZV   diaktivasi   oleh   trauma   sehingga   menyebabkan   Herpes
Zoster.4,5,7
VZV  dapat   ditemukan   dalam  cairan  vesikel  dan  dalam   darah  penderita
Varisela sehingga mudah dibiakan dalam media yang terdiri dari fibroblast paru
embrio manusia.4

9
 
Gambar 1. Struktur partikel virus Varisela­zooster
Sumber : http://www.bio­rad.com
             
3.4. PATOFISIOLOGI
Varisela disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus herpes.
Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas bagian atas
dan   orofaring   (percikan   ludah,   sputum).   Multiplikasi   virus   di   tempat   tersebut
diikuti   oleh   penyebaran   virus   dalam   jumlah   sedikit   melalui   darah   dan   limfe
(viremia   primer).   Virus   VZV   dimusnahkan/   dimakan   oleh   sel­sel   sistem
retikuloendotelial,   di   sini   terjadi   replikasi   virus   lebih   banyak   lagi   (pada   masa
inkubasi). Selama masa inkubasi infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme
pertahanan tubuh dan respon yang timbul (imunitas nonspesifik).2,5,9 
Pada   sebagian   besar   individu   replikasi   virus   lebih   menonjol   atau   lebih
dominan   dibandingkan   imunitas   tubuhnya   yang   belum   berkembang,   sehingga
dalam waktu dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah
yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan panas dan malaise, serta virus menyebar
ke seluruh tubuh lewat aliran darah, terutama ke kulit dan membrane mukosa.
Lesi kulit muncul   berturut­berturut, yang menunjukkan telah memasuki siklus
viremia, yang pada penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh
imunitas   humoral   dan   imunitas   seluler   VZV.   Virus   beredar   di   leukosit
mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan pada Varisela yang tidak disertai
komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis infeksi pada
banyak organ selain kulit.2,9

10
Respon   imun   penderita   menghentikan   viremia   dan   menghambat
berlanjutnya   lesi   pada   kulit   dan   organ   lain.   Imunitas   humoral   terhadap   VZV
berfungsi   protektif   terhadap   Varisela.   Pada   orang   yang   terdeteksi   memiliki
antibodi   serum   biasanya   tidak   selalu   menjadi   sakit   setelah   terkena   paparan
eksogen.   Sel   mediasi   imunitas   untuk   VZV   juga   berkembang   selama   Varisela,
berlangsung   selama   bertahun­tahun,  dan   melindungi  terhadap  terjadinya   resiko
infeksi yang berat.9
Reaktivasi   pada   keadaan   tubuh   yang   lemah   sebagian   idiopatik   tanpa
diketahui penyebabnya, sebagian simptomatik (defisiensi imun melalui penyakit
system imun, neoplasia, supresi imun).3

3.5. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Masa inkubasi
dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien yang telah
menerima pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi
terhadap Varisela.1,9
Perjalanan   penyakit   dibagi   menjadi  2  stadium  yaitu  stadium  prodromal
dan   stadium   erupsi.   Stadium   prodromal   yaitu   24   jam   sebelum   kelainan   kulit
timbul, terdapat gejala seperti demam, malaise, kadang­kadang terdapat kelainan
scarlatinaform atau morbiliform. Stadium erupsi dimulai dengan terjadinya papul
merah,   kecil,   yang   berubah   menjadi   vesikel   yang   berisi   cairan   jernih   dan
mempunyai   dasar   eritematous.   Permukaan   vesikel   tidak   memperlihatkan
cekungan ditengah (unumbilicated).4
Gejala   klinis   mulai   gejala   prodromal,   yakni   demam   yang   tidak   terlalu
tinggi, malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa
papul   eritematosa   yang   dalam   waktu   beberapa   jam   berubah   menjadi   vesikel.
Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah
menjadi keruh (pustul) dalam waktu 24 jam dan kemudian pecah menjadi krusta.
Biasanya vesikel menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Sementara proses
ini berlangsung, dalam 3­4 hari erupsi tersebar disertai perasaan gatal. Timbul lagi
vesikel­vesikel yang baru di sekitar vesikula yang lama, sehingga menimbulkan

11
gambaran   polimorfi.   Stadium   erupsi   yang   seperti   ini   disebut   sebagai   stadium
erupsi bergelombang.1,2,4

Gambar 2. Gambaran ruam pada infeksi virus Varisela zoster
Sumber : http://health.howstuff works.com

Penyebaran   terutama   di   daerah   badan   dan   kemudian   menyebar   secara


sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut,   dan   saluran   napas   bagian   atas.   Jika   terdapat   infeksi   sekunder   terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai gatal.1
Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak
yang lebih besar dan dewasa, munculnya erupsi kulit didahului gejala prodromal.
Ruam   yang   seringkali   didahului   oleh   demam   selama   2­3   hari,   kedinginan,
malaise, anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, dan pada beberapa pasien dapat
disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering.9
Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan
skalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas.
Lesi   baru   muncul   berturut­turut,   dengan   distribusi   terutama   di   bagian   sentral.
Ruam cenderung padat kecil­kecil di punggung dan antara tulang belikat daripada
skapula   dan   bokong   dan   lebih   banyak   terdapat   pada   medial   daripada   tungkai
sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak tangan dan telapak kaki, dan

12
vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam jumlah yang lebih besar di daerah
peradangan, seperti daerah yang terkena sengatan matahari.9

Gambar 3. Gambaran orang yang terkena infeksi Varisela
Sumber : http://www.emedicinehealth.com

Gambar 4. Infeksi Varisela pada penderita dengan imunisasi
Sumber : http://www.emedicinehealth.com

13
Gambaran dari lesi Varisela berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang
dari   12   jam,   dimana   mula­mula   berupa   makula   eritematosa   yang   berkembang
menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari Varisela berdiameter 2­3
mm, dan berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit.
Vesikel   biasanya   superfisial   dan   berdinding   tipis,   dan   dikelilingi   daerah
eritematosa sehingga tampak terlihat seperti “embun di atas daun mawar”. Cairan
vesikel   cepat  menjadi  keruh  karena  masuknya  sel  radang,  sehingga  mengubah
vesikel menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula­mula di bagian tengah
sehingga   menyebabkan   umbilikasi   dan   kemudian   menjadi   krusta.   Krusta   akan
lepas dalam 1­3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang akan
berangsur   menghilang.   Apabila   terjadi   superinfeksi   dari   bakteri   maka   dapat
terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat meninggalkan bercak
hipopigmentasi yang dapat menetap selama beberapa minggu/bulan.9,14
Vesikel   juga   terdapat   di   mukosa   mulut,   hidung,   faring,   laring,   trakea,
saluran cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah
sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2­3 mm.9,14

Gambar 5. Lesi dengan spektrum luas
Sumber : Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E.
Varisela. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine; seventh
edition, vol 1 and 2. 2008. P.1885­1895.

14
Gambaran   khas   dari   Varisela   adalah   adanya   lesi   yang   muncul   secara
simultan   (terus­menerus),   di   setiap   area   kulit,   dimana   lesi   tersebut   terus
berkembang.   Suatu   prospective   study   menunjukkan   rata­rata   jumlah   lesi   pada
anak yang sehat berkisar antara 250­500. Pada kasus sekunder karena paparan di
rumah   gejala   klinisnya   lebih   berat   daripada   kasus   primer   karena   paparan   di
sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena paparan di rumah lebih intens dan
lebih lama sehingga inokulasi virus lebih banyak.5,9
Demam   biasanya   berlangsung   selama   lesi   baru   masih   timbul,   dan
tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi
pada   keadaan   yang   berat   dengan   jumlah   lesi   banyak   dapat   mencapai   40,5 oC.
Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh
infeksi   sekunder   bakterial   atau   komplikasi   lainnya.   Gejala   yang   paling
mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium vesikuler.9,14
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan
kelainan   kongenital,   sedangkan   infeksi   yang   timbul   beberapa   hari   menjelang
kelahiran dapat menyebabkan Varisela kongenital pada neonatus.1
Karena kemungkinan mendapat Varisela pada masa kanak­kanak sangat
besar,   maka   Varisela   jarang   ditemukan   pada   wanita   hamil   (0,7   tiap   1000
kehamilan). Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat
Varisela ketika hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit
(cutaneous scars), berat badan lahir rendah, hypoplasia tungkai, kelumpuhan dan
atrofi tungkai, kejang, retardasi mental, korioretinitis, atrofi kortikal, katarak atau
kelainan   mata   lainnya.   Angka   kematian   tinggi.   Bila   seorang   wanita   hamil
mendapat Varisela dalam 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus
yang   dilahirkan   akan   memperlihatkan   gejala   Varisela   kongenital   pada   waktu
dilahirkan  sampai  berumur 5 hari.  Biasanya  Varisela  yang  timbul  berlangsung
ringan dan tidak mengakibatkan kematian. Sedangkan bila seorang wanita hamil
mendapat Varisela dalam waktu 4­5 hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya
akan   memperlihatkan   gejala   Varisela   kongenital   pada   umur   5­10   hari.   Disini
perjalanan penyakit Varisela sering berat dan menyebabkan kematian sebesar 25­

15
30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan kurun waktu fetus berkontak dengan
Varisela dan dialirkannya antibody itu melalui plasenta kepada fetus.4

3.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran   histopatologi   yaitu   vesikula   terdapat   dalam   epidermis,
terbentuk akibat ‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan pada
herpes zoster dan herpes simpleks.5,6
Lesi   pada   Varisela   dan   herpes   zoster   tidak   dapat   dibedakan   secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel
epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik.9
Pemeriksaan   dapat   dilakukan   dengan   percobaan   Tzanck   dengan   cara
membuat sediaan hapus yang diwarnai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari
kerokan dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas
object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan
pewarnaan hematoxylin­eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon.
Hasilnya akan didapati sel datia berinti banyak.1,9

Gambar 6. Sel raksasa berinti banyak
Sumber : Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E.
Varisela. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine; seventh
edition, vol 1 and 2. 2008. P.1885­1895.
Di   samping   itu   Varisela   zoster   virus   (VZV)   polymerase   chain   reaction
(PCR) adalah metode pilihan untuk diagnosis Varisela. VZV juga dapat diisolasi

16
dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi
dari   cairan   vesikuler.   VZV  PCR  adalah  metode  pilihan   untuk  diagnosis  klinis
yang cepat. Real­time PCR metode tersedia secara luas dan merupakan metode
yang   paling   sensitif   dan   spesifik   dari   tes   yang   tersedia.   Hasil   tersedia   dalam
beberapa jam. Jika real­time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA)
neon   dapat   digunakan,   meskipun   kurang   sensitif   dibanding   PCR   dan
membutuhkan pengambilan spesimen yang lebih teliti.5,9
Berbagai   tes   serologi   untuk   antibodi   terhadap   Varisela   tersedia   secara
komersial   termasuk   uji   aglutinasi   lateks   (LA)   dan   sejumlah   enzyme­linked
immunosorbent tes (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan ternyata tidak
cukup   sensitif   untuk   mampu   mendeteksi   serokonversi   terhadap   vaksin,   tetapi
cukup  kuat  untuk  mendeteksi   orang  yang memiliki  kerentanan   terhadap   VZV.
ELISA   sensitif   dan   spesifik,   sederhana   untuk  melakukan,   dan   banyak   tersedia
secara komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan
cepat untuk dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial,
meskipun dapat menghasilkan hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan
kegagalan   untuk   mengidentifikasi   orang­orang   yang   tidak   terbukti   memiliki
imunitas  terhadap Varisela. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk
skrining kekebalan terhadap Varisela.5,12

3.7. DIAGNOSIS
Varisela   biasanya  mudah  didiagnosa  berdasarkan  gambaran   klinis  yaitu
penampilan  dan perubahan  pada karakteristik  dari ruam yang timbul,  terutama
apabila ada riwayat terpapar Varisela 2­3 minggu sebelumnya.9
Varisela   khas   ditandai   dengan   erupsi   papulovesikuler   setelah   fase
prodromal ringan atau bahkan tanpa fase prodromal, dengan disertai panas
dan   gejala   konstitusi   ringan.   Gambaran   lesi   bergelombang,   polimorfi   dengan
penyebaran   sentrifugal.   Sering   ditemukan   lesi   pada   membrane   mukosa.
Penularannya berlangsung cepat.2

17
Diagnosis   laboratorik   sama   seperti   pada   herpes   zoster   yaitu   dengan
pemeriksaan   sediaan   hapus   secara   Tzanck   (deteksi   sel   raksasa   dengan   banyak
nucleus/inti), pemeriksaan mikroskop electron cairan vesikel (deteksi virus secara
langsung) dan material biopsi (kultur), dan tes serologik (meningkatnya titer).2,3

3.8. DIAGNOSIS BANDING
Varisela dapat dibedakan dengan beberapa kelainan kulit, antara lain harus
dibedakan dengan variola. Pada variola, penyakit lebih berat, memberi gambaran
lesi monomorf, dan penyebarannya sentripetal dimulai dari bagian akral tubuh,
yakni telapak tangan  dan telapaka kaki, baru ke badan.1,2
Bedakan juga dengan herpes zoster. Pada herpes zoster lesi monomorf,
nyeri, biasanya unilateral. Pada herpes zoster juga sama­sama biasanya didahului
oleh   fase  prodromal,   setelah  fase  prodromal  sering  disertai   dengan  rasa  nyeri,
perubahan   pada   kulit   terjadi   pada   setengah   bagian   badan   (unilateral)   dan
berbentuk   garis   berkaitan   dengan   daerah   dermatom   dengan   lesi   yang   berupa
gelembung­gelembung kecil yang berkelompok di aatas dasar eritematosa. Dapat
terjadi   perkembangan   yang   berat   yang   meliputi   keterlibatan   mata   (Zoster
trigeminus   I),   mukosa   mulut   (Zoster   trigeminus   II,   III),   telinga   bagian   dalam
(Zoster oticus). Herpes zoster pada penderita insufisiensi imun atau tumor, terapi
resisten   dengan   bahaya   terjadi   efek   generalisasi   pada   kulit   dan   manifestasi
ekstrakutan.3,6
Dermatitis herpetiform  : biasanya simetris terdiri dari papula vesikuler
yang   eritematosus,   serta   ada   riwayat   penyakit   kronis,   dan   sembuh   dengan
meninggalkan pigmentasi.
Impetigo : lesi impetigo yang pertama adalah vesikel yang cepat menjadi
pustula dan krusta. Distribusi lesi impetigo terletak dimana saja. Impetigo tidak
menyerang mukosa mulut.
Skabies : pada skabies terdapat papula yang sangat gatal. Lokasi biasanya
antara   jari­jari   kaki.   Pada   pemeriksaan   laboratorium   didapatkan  Sarcoptes
Scabiei.

18
3.9. PENATALAKSANAAN
Tidak   ada   terapi   spesifik   terhadap   Varisela.   Pengobatan   bersifat
simptomatik dengan antipiretik dan analgesik. Untuk panasnya dapat diberikan
asetosal   atau   antipiretik   lain   seperti   asetaminofen   dan   metampiron.   Untuk
menghilangkan rasa gatal dapat diberikan antihistamin oral atau sedative. Topikal
diberikan   bedak  yang  ditambah   zat  anti  gatal  (mentol,   kamfora)  seperti   bedak
salisilat 1­2% atau lotio kalamin untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini
serta   menghilangkan   rasa   gatal.   Jika   timbul   infeksi   sekunder   dapat   diberikan
antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan obat­obat antivirus. VZIG
(Varisela zoster immunoglobuline) dapat mencegah atau meringankan Varisela,
diberikan intramuscular dalam 4 hari setelah terpajan. Yang penting pada penyakit
virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring. 1,2,4
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin, dan
analog  pyrophosphate foskarnet  terbukti  efektif  untuk mengobati  infeksi VZV.
Acyclovir  adalah  suatu  analog  guanosin   yang  secara  selektif   difosforilasi   oleh
timidin   kinase   VZV   sehingga   terkonsentrasi   pada   sel   yang   terinfeksi.   Enzim­
enzim selular kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang
mengganggu   sintesis   DNA   virus   dengan   menghambat   DNA   polimerase   virus.
VZV kira­kira sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir dibandingkan
HSV.9
Valacyclovir   dan   famcyclovir,   merupakan   prodrug   dari   acyclovir   yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam
darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.9
Pada   anak   normal   Varisela   biasanya   ringan   dan   dapat   sembuh   sendiri.
Pengobatan   topical   dapat   diberikan.   Untuk   mengatasi   gatal   dapat   diberikan
kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang
mengandung   kortikosteroid   dan   salep   yang   bersifat   oklusif   sebaiknya     tidak
digunakan.   Kadang   diperlukan   antipiretik,   tetapi   pemberian   golongan   salisilat
sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye.
Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah infeksi sekunder bakterial.9

19
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini Varisela dengan pemberian
acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia
2­12 tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah
lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam,
demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila
pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak
efektif lagi. Hal ini disebabkan karena Varisela merupakan infeksi yang relatif
ringan pada anak­anak dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga
tidak   memerlukan   pengobatan   acyclovir   secara   rutin.   Namun   pada   keadaan
dimana   harga  obat  tidak  menjadi  masalah,  dan  kalau  pengobatan   bisa dimulai
pada waktu yang menguntungkan (dalam 24 jam setelah timbul ruam), dan ada
kebutuhan   untuk   mempercepat   penyembuhan   sehingga   orang   tua   pasien   dapat
kembali bekerja, maka obat antivirus dapat diberikan.6,9
Pada   remaja   dan   dewasa,   pengobatan   dini   Varisela   dengan   pemberian
acyclovir   dengan   dosis   5   x   800   mg   selama   7   hari   menurunkan   jumlah   lesi,
penghentian   terbentuknya   lesi   yang   baru,   dan   menurunkan   timbulnya   ruam,
demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.9
Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol pada
orang dewasa muda yang sehat dengan Varisela menunjukkan bahwa pengobatan
dini (dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan acyclovir oral (5x800
mg   selama 7 hari) secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru,
mengurangi   luasnya   lesi   yang   terbentuk,   dan   menurunkan   gejala   dan   demam.
Dengan demikian, pengobatan rutin dari Varisela pada orang dewasa tampaknya
masuk   akal.   Meskipun   tidak   diuji,   ada   kemungkinan   bahwa   famciclovir,   yang
diberikan dengan dosis 200 mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan
dosis 1000 mg per oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir
pada remaja normal dan dewasa.
  Banyak   dokter   tidak   meresepkan   acyclovir   untuk   Varisela   selama
kehamilan   karena   risiko   bagi   janin   yang   dalam   pengobatan   belum   diketahui.
Sementara dokter lain merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk
infeksi   pada   trisemester   ketiga   ketika   organogenesis   telah   sempurna,   ketika

20
mungkin   ada   peningkatan   terjadinya   resiko   pneumonia   Varisela,   dan   ketika
infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir intravena
sering dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan Varisela yang disertai dengan
penyakit sistemik.9
Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten
dengan pneumonia Varisela menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu
36 jam dari rumah sakit) dengan acyclovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam)
dapat mengurangi demam dan takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi
serius lainnya dari Varisela pada orang yang imunokompeten, seperti ensefalitis,
meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular, sebaiknya diobati dengan
acyclovir intravena.9
Percobaan  terkontrol pada pasien immunocompromised  dengan varicela
menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan insiden
komplikasi yang mengancam kehidupan visceral ketika pengobatan dimulai dalam
waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena menjadi standar
perawatan   untuk   Varisela   pada   pasien   yang   disertai   dengan   imunodefisiensi
substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan famciclovir atau valacyclovir
mungkin cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh,
tetapi tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti. Pada penyakit
berat   atau   wanita   hamil   dapat   diberikan   acyclovir   IV   10mg/kgBB   tiap   8   jam
selama 7 hari.6,9
Serum   imuno   globulin­gama   tidak   dianjurkan   kecuali   pada   penderita
leukemia,   penyakit   keganasan   lain     dan   bila   terdapat   defisiensi   imunologis.
Vidarabine atau adenine arabinoside in vitro mempunyai sifat anti virus terhadap
virus Varisela. Vidarabine dapat digunakan dengan hasil yang baik pada penderita
pneumonie Varisela. Dosis yang dianjurkan ialah 15mg/kgBB/hari, tidak toksik
terhadap sumsum tulang dan tidak menekan immune response.4

3.10. PENCEGAHAN
Pencegahan   dengan   melakukan   vaksinasi.   Vaksin   dapat   diberikan   aktif
ataupun pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin Varisela berasal dari

21
galur   yang   telah   dilemahkan   (live   attenuated).   Pasif   dilakukan   dengan
memberikan zoster imuno globulin (ZIG) dari zoster imun plasma (ZIP).4
Vaksin   pasif   dengan   memberikan   ZIG.   ZIG   ialah   suatu   globulin­gama
dengan titer antibodi yang tinggi dan yang didapatkan dari penderita yang telah
sembuh dari infeksi herpes zoster. Pemberian ZIG sebanyak 5ml dalam 72 jam
setelah kontak dengan penderita Varisela dapat mencegah penyakit ini pada anak
sehat,   tapi   pada   anak   dengan   defisiensi   imunologis,   leukemia   atau   penyakit
keganasan   lainnya,   pemberian   ZIG   tidak   menyebabkan   pencegahan   yang
sempurna. Lagi pula diperlukan ZIG dengan titer yang tinggi dan dalam jumlah
yang lebih besar.4
ZIP   adalah   plasma   yang   berasal   dari   penderita   yang   baru   sembuh   dari
herpes   zoster   dan   diberikan   secara   intravena   sebanyak   3­14,3   ml/kgBB.
Pemberian ZIP dalam 1­7 hari setelah kontak dengan penderita Varisela pada anak
dengan   defisiensi   imunologis,   leukemia   atau   penyakit   keganasan   lainnya
mengakibatkan menurunnya insidens Varisela dan merubah perjalanan penyakit
Varisela   menjadi   ringan   dan   dapat   mencegah   Varisela   untuk   kedua   kalinya.
Pemberian globulin­gama akan menyebabkan perjalanan Varisela jadi ringan tapi
tidak mencegah timbulnya Varisela. Dianjurkan untuk memberikan globulin­gama
kepada bayi yang dilahirkan dalam waktu 4 hari setelah ibunya memperlihatkan
tanda­tanda   Varisela.   Ini   dapat   dilaksanakan   pada   jam­jam   pertama   kehidupan
bayi tersebut.4,5
Vaksin aktif dianjurkan agar vaksin Varisela ini hanya diberikan kepada
penderita  leukemia,  penderita  penyakit  keganasa  lainnya  dan penderita  dengan
defisiensi imunologis  untuk mencegah komplikasi dan kematian bila kemudian
terinfeksi oleh Varisela. Pada anak sehat sebaiknya vaksinasi Varisela ini jangan
diberikan karena bila anak tersebut terkena penyakit ini, perjalanan penyakitnya
ringan, lagi pula semua virus herpes dapat menyebabkan suatu penyakit laten dan
akibatnya   baru   nyata   beberapa   dasawarsa   setelah   vaksin   itu   diberikan.   Angka
serokonversi   mencapai   97­99%.   Diberikan   pada   yang   berumur   12   bulan   atau
lebih. Lama proteksi belum diketahui pasti, meskipun demikian vaksinasi ulangan
dapat diberikan setelah 4­6 tahun.1,4,5

22
Pemberiannya secara subkutan 0,5 ml pada yang berusia 12 bulan sampai
12 tahun. Pada usia di atas 12 tahun juga diberikan 0,5 ml, setelah  4­8 minggu
diulangi   dengan   dosis   yang   sama.   Bila   terpajannya   baru   kurang   dari   3   hari
perlindungan vaksin yang diberikan masih terjadi, karena masa inkubasinya antara
7­21 hari. Sedangkan antibody yang cukup sudah timbul antara 3­6 hari setelah
vaksinasi.1
Karakteristik  vaksin Varisela (Varivax,  Merck) merupakan  vaksin virus
hidup yang dilemahkan, yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin diisolasi
oleh Takahashi pada awal tahun 1970 dari cairan vesikular yang berasal dari anak
sehat   dengan   penyakit   Varisela.   Vaksin   Varisela   ini   dilisensikan   untuk
penggunaan umum di Jepang dan Korea pada tahun 1988. Vaksin ini diijinkan di
Amerika Serikat pada tahun 1995 untuk orang­orang usia 12 bulan dan yang lebih
tua.9,12
Keefektifan vaksin, setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin Varisela
antigen, 97% dari anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan
titer  antibodi  yang dapat  terdeteksi.  Sedangkan  lebih  dari 90% dari  responden
vaksin   mempertahankan   antibodi   untuk   setidaknya   6   tahun.   Dalam   studi   di
Jepang,   97%   dari   anak­anak   memiliki   antibodi   7   sampai   10   tahun   setelah
vaksinasi.   Efikasi   vaksin   diperkirakan   memiliki   ketahanan   70%   sampai   90%
terhadap infeksi, dan 90% sampai 100% terhadap penyakit sedang atau berat.12,13
Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan
yang lebih tua, rata­rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian satu
dosis, dan 99% mengembangkan  antibodi  setelah  pemberian  dosis  kedua yang
diberikan  4  sampai  8  minggu   kemudian.  Antibodi   bertahan   selama   minimal   1
tahun   pada   97%   dari   pemberian   vaksin   Varisela   setelah   dosis   kedua   yang
diberikan pada 4 sampai 8 minggu setelah dosis pertama.12
Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian
besar vaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara signifikan
lebih   ringan,   dengan   lesi   sedikit   (biasanya   kurang   dari   50),   banyak   yang
makulopapular   daripada   vesikuler.   Dimana   kebanyakan   orang   yang   pernah
mendapat vaksinasi sebelumnya tidak terjadi demam.12,13

23
Meskipun   pada   penemuan   dari   beberapa   studi   telah   menyarankan
sebaliknya,   penyelidikan   sebagian   belum   diidentifikasi   waktu   sejak   vaksinasi
sebagai   faktor   risiko   untuk   terobosan   Varisela.   Beberapa,   tetapi   tidak   semua,
penyelidikan baru­baru telah mengidentifikasi adanya asma, penggunaan steroid,
dan   vaksinasi   di   lebih   muda   dari   15   bulan   usia   sebagai   faktor   risiko   untuk
terobosan Varisela. Terobosan infeksi Varisela bisa menjadi hasil dari beberapa
faktor, termasuk gangguan replikasi virus vaksin oleh sirkulasi antibodi, vaksin
impoten akibat kesalahan penyimpanan atau penanganan, atau pencatatan tidak
akurat.  Penelitian   telah   menunjukkan   bahwa   dosis   kedua   vaksin   Varisela
meningkatkan kekebalan dan mengurangi penyakit terobosan pada anak­anak.12
Jadwal vaksinasi dan penggunaan vaksin Varisela dianjurkan untuk semua
anak   tanpa   kontraindikasi   yang  berusia   12   sampai   15   bulan.   Vaksin   ini   dapat
diberikan kepada semua anak pada usia ini terlepas dari riwayat Varisela.12
Dosis   kedua   vaksin   Varisela   harus   diberikan   pada   4   sampai   6   tahun
kemudian . Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6 tahun jika
setidaknya 3 bulan telah berlalu setelah dosis pertama (yaitu, interval minimum
antara dosis vaksin Varisela untuk anak­anak berusia di bawah 13 tahun adalah 3
bulan).   Namun,   jika   dosis   kedua   diberikan   setidaknya   28   hari   setelah   dosis
pertama, dosis kedua tidak perlu diulang.  Dosis kedua vaksin Varisela ini juga
dianjurkan bagi orang yang lebih tua,  dimana vaksin Varisela diberikan kepada
orang­orang 13 tahun atau lebih pada 4 sampai 8 minggu kemudian.12
Semua vaksin Varisela harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin
Varisela telah terbukti aman dan efektif pada anak­anak yang sehat bila diberikan
pada saat yang sama sebagai vaksin MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum
suntik   yang   terpisah.   Jika   vaksin   Varisela   dan   MMR   tidak   diberikan   pada
kunjungan   yang   sama,   maka   pemberian   harus   dipisahkan   setidaknya   28   hari.
Vaksin   Varisela   juga   dapat   diberikan   simultan   (tapi   di   lokasi   terpisah   dengan
jarum suntik yang terpisah) dengan semua vaksin anak lainnya.12
Data   dari   Amerika   Serikat   dan   Jepang   dalam   berbagai   penelitian
menunjukkan bahwa vaksin Varisela ternyata efektif sekitar 70% sampai 100%
dalam   mencegah   penyakit   atau   terjadinya   keparahan   penyakit   jika   digunakan

24
dalam   waktu   3   hari,   dan   mungkin   sampai   5   hari,   setelah   paparan.   ACIP
merekomendasikan   vaksin   untuk   digunakan   pada   orang   yang   tidak   terbukti
memiliki  kekebalan terhadap Varisela atau pada orang yang terpapar Varisela.
Jika   paparan   terhadap   Varisela   tidak   menyebabkan   infeksi,   vaksinasi   pasca
paparan   harus   diberikan   untuk   memberi   perlindungan   terhadap   paparan
berikutnya.12
Wabah   Varisela   yang   terjadi   dalam   beberapa   keadaan   (misalnya,pada
tempat penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan sampai dengan 6 bulan. Tetapi
vaksin Varisela diketahui telah berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah.
ACIP   merekomendasikan   pemberian   dosis   kedua   vaksin   Varisela   untuk
pengendalian   wabah.   Jadi   selama   wabah   Varisela,   orang­orang   yang   telah
menerima satu dosis vaksin Varisela harus menerima dosis kedua, yang diberikan
sesuai dengan interval vaksinasi yang telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan
untuk orang yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu
untuk orang yang berusia 13 tahun dan lebih tua).12
Kontraindikasi vaksinasi pada seseorang dengan reaksi alergi yang parah
(anafilaksis) dengan komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya, seharusnya
tidak  menerima  vaksin Varisela. Orang dengan imunosupresi karena leukemia,
limfoma, keganasan umum, penyakit defisiensi imun, atau terapi imunosupresif
tidak harus divaksinasi dengan vaksin Varisela. Namun, pengobatan dengan dosis
rendah   (kurang   dari   2   mg/kg/hari),   topikal,   penggantian,   atau   steroid   aerosol
bukan merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi. Orang yang imunosupresif yang
diterapi   dengan   steroid   telah   dihentikan   selama   1   bulan   (3   bulan   untuk
kemoterapi) dapat divaksinasi.12,13
Orang   dengan   imunodefisiensi   seluler   sedang   atau   berat   akibat   infeksi
human immunodeficiency  virus (HIV), termasuk orang­orang yang didiagnosis
dengan   acquired   immunodeficiency   syndrome   (AIDS)   tidak   boleh   menerima
vaksin   Varisela.   Anak   yang   terinfeksi   HIV   dengan   persentase   CD4   T­limfosit
15% atau lebih tinggi, dan anak­anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan
jumlah  CD4 200 per mikroliter  atau  lebih  tinggi  dapat dipertimbangkan  untuk
vaksinasi.12

25
Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya tidak
menerima   vaksin   Varisela.   Sampai   saat   ini,   tidak   ada   bukti   yang   merugikan
kehamilan atau janin yang dilaporkan di kalangan perempuan yang secara tidak
sengaja menerima vaksin Varisela sesaat sebelum atau selama kehamilan. Tetapi
ACIP   merekomendasikan   kehamilan   harus   dihindari   selama   1   bulan   setelah
menerima vaksin Varisela.12,13
Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat sebaiknya
ditunda sampai kondisi telah membaik. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan
untuk   mencegah   terjadinya   komplikasi   pada   pasien   ,   seperti   demam.   Pada
penyakit   yang   cenderung   ringan,   seperti   otitis   media   dan   infeksi   saluran
pernapasan   atas,   mendapat   terapi   antibiotik,   dan   paparan   atau   pemulihan   dari
penyakit lain tidak kontraindikasi terhadap vaksin Varisela. Meskipun tidak ada
bukti   bahwa   baik   Varisela   atau   vaksin   Varisela   memperburuk   tuberkulosis,
vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang­orang yang dikenal memiliki TB aktif.12
Pencegahan   dapat   dengan   mencegah   infeksi   sekunder   misalnya   seperti
kuku digunting agar pendek, mengganti pakaian dan alas tempat tidur sesering
mungkin.4

3.11. KOMPLIKASI
Komplikasi   pada   anak­anak   umumnya   jarang   terjadi.   Komplikasi   lebih
sering   terjadi   pada   orang   dewasa,   berupa   ensefalitis,   pneumonia,
glomerulonephritis, karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan
kelainan darah (beberapa macam purpura).1,2
Pada anak sehat, Varisela merupakan penyakit ringan dan jarang disertai
komplikasi. Angka mortalitas pada anak usia 1­14 tahun diperkirakan 2/100.000
kasus, namun pada neonates dapat mencapai hingga 30%. Komplikasi tersering
umumnya   disebabkan   oleh   infeksi   sekunder   bakterial   pada   lesi   kulit,   yang
biasanya disebabkan oleh Stafilokokus aureus atau Streptokokus beta hemolitikus
grup A, sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang
terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi
jarang   terjadi   sepsis   yang   disertai   infeksi   metastase   ke   organ   yang   lainnya.

26
Vesikel dapat menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang menghasilkan toksin
eksfoliatif.9,14
Pneumonia Varisela hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya
disebabkan   oleh   infeksi   sekunder   dan   dapat   sembuh   sempurna.   Pneumonia
Varisela   jarang   didapatkan   pada   anak   dengan   system   imunologis   normal,
sedangkan pada anak dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak
jarang ditemukan.4
Pneumonia,   otitis   media,   dan   meningitis   supurativa   jarang   terjadi   dan
responsif terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri
umum   dijumpai   dan   berpotensi   mengancam   kehidupan   pada   pasien   dengan
leukopenia.9
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan
berlangsung lebih lama, ruam Varisela  lebih  luas, dan komplikasi lebih sering
terjadi. Pneumonia Varisela primer merupakan komplikasi tersering pada orang
dewasa. Pada beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat
berkembang   mengenai   sistem   pernafasan   dimana   gejalanya   dapat   lebih   parah
seperti batuk, dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis,
dan batuk darah yang biasanya timbul dalam  1­6 hari sesudah timbulnya ruam.9,14
Varisela   pada   kehamilan   mengancam   ibu   dan   janinnya.   Infeksi   yang
menyebar luas dan Varisela pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu,
tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia Varisela tampaknya meningkat
secara   signifikan   pada   kehamilan.   Janin   dapat   meninggal   karena   kelahiran
prematur   atau   kematian   ibu   karena   Varisela   pneumonia   berat,   tetapi   Varisela
selama   kehamilan,   tidak,   jika   tidak   secara   subtansial   meningkatkan   kematian
janin.  Namun demikian,  pada Varisela  yang tidak  disertai  komplikasi,  viremia
pada   ibu   dapat   menyebabkan   infeksi   intrauterin   (kongenital),   dan   dapat
menyebabkan abnormalitas kongenital. Varisela perinatal (Varisela yang terjadi
dalam waktu 10 hari dari kelahiran) lebih serius daripada Varisela yang terjadi
pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian.9,14
Morbiditas   dan   mortalitas   pada   Varisela   secara   nyata   meningkat   pada
pasien dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus­menerus

27
dan   menyebar   luas   mengakibatkan   terjadinya   viremia   yang   berkepanjangan,
dimana mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu yang lebih lama
dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis yang signifikan.
Pada pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan kortikosteroid mungkin
dapat   berkembang   menjadi   pneumonia,   hepatitis,   encephalitis,   dan   komplikasi
berupa perdarahan,  dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan
hingga parah dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan Varisela
malignansi.9,14
Juga   mungkin   didapatkan   komplikasi   pada   susunan   saraf   seperti
ensefalitis, ataksia, nistagmus, tremor, myelitis transversa akut, kelumpuhan saraf
muka,   neuromielitis   optika   atau   penyakit   Devic   dengan   kebutaan   sementara,
sindroma   hipotalamus   yang   disertai   dengan   obesitas   dan   panas   badan   yang
berulang­ulang. Penderita Varisela dengan komplikasi ensefalitis setelah sembuh
dapat   meninggalkan   gejala   sisa   seperti   kejang,   retardasi   mental   dan   kelainan
tingkah laku.4
  Komplikasi   susunan   saraf   pusat   pada   Varisela   terjadi   kurang   dari   1
diantara   1000   kasus.   Varisela   berhungan   dengan   sindroma   Reye   (ensepalopati
akut disertai degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah
timbulnya   ruam.   Dulu,   dari   15­40%   pada   semua   kasus   sindroma   Reye
berhubungan   dengan  Varisela,  khususnya   pada  penderita   yang  diterapi  dengan
aspirin saat demam, dengan mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih
umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang
lagi   terjadi   yaitu   pada   1   diantara   33.000   kasus,   tetapi   merupakan   penyebab
kematian   tertinggi   atau   menyebabkan   kelainan   neurologi   yang   menetap.
Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas, dimana pada
banyak kasus  ditemukan  adanya VZV  antigen,  VZV  antibodi,  dan VZV  DNA
pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara
langsung pada sistem saraf pusat.9
Komplikasi   yang   jarang   terjadi   antara   lain   myocarditis,   pancreatitis,
gastritis   dan   lesi   ulserasi   pada   saluran   pencernaan,   artritis,   vasculitis   Henoch­
Schonlein,   neuritis,   keratitis,   dan   iritis.   Patogenesa   dari   komplikasi   ini   belum

28
diketahui, tetapi infeksi VZV melalui parenkim secara langsung dan endovascular,
atau vasculitis yang disebabkan oleh VZV antigen­antibodi kompleks, tampaknya
menjadi penyebab pada kebanyakan kasus.9,12
Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi
tersebut   di   atas,   sedangtkan   anak   dengan   defisiensi   imunologis,   anak   yang
menderita leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan anti metabolit atau
steroid (penderita sindrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering
mendapat  komplikasi tersebut, kadang­kadang Varisela pada penderita  tersebut
dapat menyebabkan kematian.4

3.12. PROGNOSIS
Dengan   perawatan   yang   teliti   dan   memperhatikan   higiene   memberi
prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit.1,2
 
3.13. KESIMPULAN
Varisela merupakan infeksi akut primer oleh virus Varisela zoster yang
menyerang   kulit   dan   mukosa,   klinis   terdapat   gejala   konstitusi,   kelainan   kulit
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran
10 sampai 21 hari. Biasanya diawali dengan gejala prodromal, yakni demam yang
tidak terlalu tinggi, malaise, dan nyeri kepala, kemudian disusul dengan timbulnya
papula eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel. Dimana
vesikel akan berkembang menjadi, pustul, dan kemudian menjadi krusta.
Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ektremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut, dan saluran nafas bagian atas.
Pada anak­anak jarang memberi komplikasi, sementara pada orang dewasa
komplikasi   yang   tersering   timbul   adalah   pneumonia.   Dan   pada   pasien   yang
disertai dengan defisiensi imun memberikan komplikasi yang lebih berat.
Untuk   membantu   diagnosa   dapat   dilakukan   percobaan   Tzanck   yang
diambil dari kerokan dasar vesikel dan didapatkan sel datia yang berinti banyak.

29
Untuk   pengobatan   dapat   diberikan   antivirus,   dimana   dosis   oral   yang
diberikan pada anak yaitu 4x20mg/kgBB selama lima hari. Sementara dosis yang
diberikan pada orang dewasa 5x800 mg selama tujuh hari. Disamping itu dapat
pula diberikan antipiretik, dan analgesik, serta bedak yang ditambah zat anti gatal
untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini, dan mengurangi rasa gatal.
Pencegahan   dapat   dilakukan   dengan   vaksin   Varisela   yang   berasal   dari
galur   yang   dilemahkan.   Diberikan   pada   anak   umur   12   bulan   atau   lebih,   dan
diberikan vaksin ulangan 4­6 tahun kemudian. Sementara pada anak yang berusia
12 tahun dosis ulangan diberikan 4­8 minggu setelah dosis pertama. Pemberian
vaksin ini dilakukan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml.

30
BAB IV
PENCEGAHAN ATAU PEMBINAAN KELUARGA

4.1 Genogram Keluarga Tn. Masno Syamsudin

Tn. Hasan/ 43 th   Ny.Suriana/ 42 th

Putri/ 11 tahun Rio Saputra/ 8th

4.2 Home Visite (9 Fungsi Keluarga)


4.2.1 Fungsi Holistik
Fungsi holistik adalah fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.
a. Fungsi Biologis: Didalam keluarga ini tidak terdapat penyakit yang
menurun seperti thalasemia, hemofilia, buta warna, dll. Di dalam
keluarga ini juga tidak terdapat penyakit menular yang terjadi sebelum
An. Rio Saputra terdiagnosis Varisela.
b. Fungsi Psikologis: Keluarga ini memiliki fungsi psikologis yang baik.
Hubungan antar anggota keluarga harmonis dan sangat akrab.
c. Fungsi Sosial Ekonomi: Kondisi ekonomi keluarga ini kebawah. Tn.
Hasan selaku kepala keluarga bekerja sebagai buruh dengan gaji
Rp.1.000.000,- per bulan sedangkan Ny. Idawati sebagai ibu rumah
tangga. Anak pertama, Putri, sedang duduk di kelas 5 SD Negeri 261
Palembang , Sedangkan anak kedua Ahmad sekolah di SD Negeri 261
Palembang kelas 2 SD. Tidak ada pungutan untuk biaya sekolah Putri

29
dan Rio. Keluarga ini berperan aktif dalam setiap kegiatan dan
kehidupan sosial di masyarakat seperti pengajian, dsb.
4.2.2 Fungsi Fisiologis
Keluarga diukur dengan skor APGAR, yaitu skor yang digunakan
untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut pandang setiap anggota
keluarga terhadap hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Skor
APGAR meliputi:
a. Adaptation: keluarga ini sudah mampu beradaptasi antar sesama
anggota keluarga, saling mendukung, saling menerima dan
memberikan saran satu dengan yang lainnya.
b. Partnership: komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling
membagi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah
yang dialami oleh keluarga tersebut.
c. Growth: Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota
keluarga akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga
tersebut.
d. Affection: Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga
ini sudah terjalin dengan cukup baik.
e. Resolve: Keluarga ini memiliki rasa kebersamaan yang cukup tinggi
dan kadang-kadang menghabiskan waktu bersama dengan anggota
keluarga lainnya.
Adapun skor APGAR keluarga ini adalah 7.75, dengan interpretasi
cukup (data terlampir).
4.2.3 Fungsi Patologis
Fungsi patologis dinilai dengan skor SCREEM:
a. Social: Interaksi keluarga ini dengan tetangga cukup baik.
b. Culture: Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang cukup
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.
Walaupun berasal dari dua budaya yang berbeda, namun hal ini tidak
menjadi hambatan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Bahasa
yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Palembang.

30
c. Religious: Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Economic: Status ekonomi keluarga ini menengah kebawah.
e. Educational: Tingkat pendidikan Tn. Hasan dan Ny. Suriana cukup
baik. Mereka berdua adalah seorang tamatan SMA.
f. Medical: Keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan kesehatan
yang memadai. Jika ada anggota keluarga yang sakit, mereka berobat
ke Puskesmas atau ke praktik dokter umum.
4.2.4 Fungsi Hubungan antarmanusia
Hubungan interaksi antar anggota keluarga sudah terjalin dengan
baik.
4.2.5 Fungsi Keturunan (genogram)
Fungsi genogram dalam keadaaan baik (sudah dijelaskan diatas).
4.2.6 Fungsi Perilaku (Pengetahuan, sikap, dan tindakan)
Pengetahuan tentang kesehatan keluarga ini sudah cukup baik, sikap sadar
akan kesehatan dan beberapa tindakan yang mencerminkan pola hidup sehat
sudah dilakukan dengan baik.
4.2.7 Fungsi Non-perilaku (Lingkungan, pelayanan kesehatan, keturunan)
Lingkungan rumah tergolong tidak sehat karena tidak terdapat pohon dan
tanaman serta tidak memiliki halaman rumah. Keluarga ini juga aktif
memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan. Jarak rumah dengan
puskesmas/rumah sakit cukup dekat sekitar 1 km dari Puskesmas Plaju.
4.2.8 Fungsi Indoor
Gambaran lingkungan dalam rumah belum memenuhi syarat-syarat
kesehatan. Dinding seluruh ruangan dirumah berbahan beton yang di cat
dan dalam keadaan bersih. Lantai sebagian berbahan keramik dan
sebagian lagi hanya semen. Pada ruang keluarga, lantai dilapisi dengan
karpet yang cukup tebal. terdapat 1 jendela di ruang keluarga dengan
ventilasi, sirkulasi udara, dan pencahayaan cukup baik.. Terdapat 1 kamar
tidur yang langsung berhubungan dengan ruang keluarga dengan ventilasi,
sirkulasi udara, dan pencahayaan kurang baik, Pada dapur, tidak terdapat

31
jendela dengan ventilasi, sirkulasi udara, dan pencahayaan kurang baik.
pada kamar tidur dan dapur lantai hanya dilapisi semen.
Sumber air bersih terjamin karena keluarga menggunakan air PAM.
Jamban ada di dalam rumah. Pengelolaan feses melalui septik tank.
Pengelolaan sampah dan limbah sudah cukup baik karena keluarga
membuang sampah di bak pembuangan sampah di sekitar lingkungan
tempat tinggal.
4.2.9 Fungsi Outdoor
Gambaran lingkungan luar rumah sudah cukup baik. Jarak rumah
dengan jalan raya tidak terlalu jauh, yaitu ± 10 meter. Tidak ada
kebisingan disekitar rumah. Tempat pembuangan umum tidak jauh dari
lokasi rumah, ± 500 meter.

4.3 Upaya Pencegahan dan Pembinaan


Upaya pencegahan dan pembinaan yang saya ajukan selaku Pembina
kesehatan keluarga An. Ahmad dapat ditinjau dari diseased-oriented point of view,
yaitu dalam rangka tatalaksana penyakit An. Ahmad berupa varisela. Saya
membagi penatalaksanaan menjadi dua bagian utama, yaitu penatalaksanaan non
farmakologis dan farmakologis. Pada penatalaksanaan non farmakologis, saya
menekan pada konsep komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE). Penjelasan
mengenai penyakit yang diderita, penyebab penyakit, dan hal-hal yang dapat
memperparah penyakit saya berikan kepada pasien. Penjelasan bahwa bintil
merah yang timbul dan terasa gatal pada kulit berasal dari gangguan virus. Saya
juga menjelaskan bahwa penyakit ini bisa menular melalui droplet dan kontak
langsung dari bintil pasien, sehingga pasien sebaiknya dijauhkan dari orang
sekitar hingga sembuh. Kemudian saya akan mengajarkan pasien untuk tidak
menggaruk bintil dan menjaga agar bintil tidak pecah. Tidak lupa pula
mengajarkan pasien untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk
memperkuat daya tahan tubuh.
Terapi Farmakologis yang saya ajukan adala pemberian obat topikal
berupa Bedak Salicyl 2% untuk mencegah pecahnya bintil merah. Kemudian

32
diberikan pula obat sistemik berupa Parasetamol tablet 3x250mg untuk
menurunkan demam, CTM tablet 4x2mg untuk mengurangi gatal, dan Asiklovir
tablet 4x400mg sebagai obat antivirus.

33
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda   Adhi,   dkk.   Varisela.   Dalam:   Ilmu   Penyakit   Kulit   dan   Kelamin;   edisi
Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. H.115­116.
2. Harahap   Marwali.   Varisela.   Dalam:   Ilmu   Penyakit   Kulit.   Jakarta:   Hipokrates;
2000. H.94­96.
3. Rassner,   Steinert.   Penyakit   virus   varisela­zoster.   Dalam:   Buku   Ajar   dan   Atlas
Dermatologi; edisi 4. Jakarta: EGC; 1995. H.44­45.
4. Hassan Rusepno, Alatas Husein. Varisela (cacar air,”chicken pox”). Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 2. Jakarta: INFOMEDIKA; 2007. P.637­640.
5. White David, Fenner Frank. Varisela­zoster virus. In: Medical Virology; Fourth
Edition. United Kingdom: Academic Press; 1994. P.330­334.
6. Siregar   RS.  Varisela.  Dalam:   Atlas   Berwarna  Saripati  Penyakit  Kulit;  edisi   2.
Jakarta: EGC; 2004. H. 88­84.
7. Lichenstein R. 2002 Oct 21. Pediatrics: Chicken vox or Varisela. (serial on the
internet).   2015   (cited   2015   sep   24):(about   4p).   Available   from:
 http:// www.emedicine.com.
8. Anonymous. Varisela zoster virus (VZV). (homepage on the internet). 2015 (cited
2015   sep   24about   8p).   Available   from:  http://www.bio­
rad.com/prd/de/DE/CDG/PDP/LRLEAK15/Varisela­Zoster­Virus­(VZV). 
9. Straus,   Stephen   E.   Oxman,   Michael   N.   Schmader,   Kenneth   E.   Varisela.   In:
Fitzpatrick’s   Dermatology   in   General   Medicine;   seventh   edition,   vol   1   and   2.
2008. P.1885­1895.
10. Anonymous.   Varisela   zoster   virus   infection   face   pictures.   (homepage   on   the
internet).   2015   (cited   2015   sep   24):(about   9p).   Available   from:
http://www.emedicinehealth.com/image­gallery/Varisela­zoster_viru/images.htm.
11. Anonymous.   Varisela.   (homepage   on   the   internet).   2015   (cited   2015   sep   24):
(about 8p). Available from: www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook.
12. Soedarmo   Sarmono   S.P,   dkk.   Varisela.   Dalam:   Buku   Ajar   Infeksi   &   Pediatri
Tropis; edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2002. H. 134­142.

34
Lampiran 1

Kondisi Rumah Keluarga An. Rio Saputra

Ruang
Keluarga
Kamar

Pintu masuk

Dapur Kamar mandi

Gambar 1. Kondisi Lingkungan Rumah An. Rio Saputra

35
Gambar 2. Pintu masuk rumah An. Rio Saputra

Gambar 3. Kondisi Dapur

Gambar 4. Kondisi WC

36
Gambar 5. Kondisi Kamar

37
Lampiran 2
SKOR APGAR

0 : Jarang/tidak sama sekali


1 : Kadang-kadang
2 : Sering/selalu

Variabel APGAR APGAR APGAR APGAR


Penilaian Tn. Hasan Ny. Suriana An. Putri An. Rio
Adaptation 2 2 1 1
Partnership 2 1 2 2
Growth 2 2 2 1
Affection 2 1 1 2
Resolve 1 2 1 1
Total 9 8 7 7

Interpretasi : ≤5 (Kurang), 6-7 (Cukup), dan 8-10 (Baik).


Rata-rata apgar score: 7,75 (Cukup)

38
Lampiran 3
SKOR SCREEM

Variabel Penilaian Penilaian


Social Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar baik.
Culture Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan
yang cukup terhadap budaya, tata karma, dan
perhatian terhadap sopan santun. Walaupun berasal
dari dua budaya yang berbeda, namun hal ini tidak
menjadi hambatan dalam menjalani kehidupan rumah
tangga. Anak penderita terkadang menggunakan
bahasa batak.
Religious Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Economic Status ekonomi keluarga ini menengah kebawah
Educational Tingkat pendidikan Tn. Hasan dan Ny. Suriana cukup
baik. Mereka berdua adalah seorang tamatan SMA.

Medical Keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan


kesehatan yang memadai. Jika ada anggota keluarga
yang sakit, mereka berobat ke Puskesmas atau ke
praktik dokter umum.

39

Anda mungkin juga menyukai