Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena terselesainya laporan
kasus besar yang berjudul ---------. Laporan kasus ini disusun sebagai sarana diskusi dan
pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.
Ucapan terima kasih banyak disampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan laporan kasus besar ini hingga
selesai tepat pada waktunya. Terutama kepada dr. Arif Lianto Lie, Sp.PD yang telah
memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan laporan kasus besar ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus besar ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, baik mengenai susunan bahasa, isi,
pembahasan, maupun kadar ilmiah yang tertulis dalam case besar ini. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan
kasus besar. Semoga hasil penulisan laporan kasus besar ini memberikan informasi dan
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penyusun
1
Daftar Isi
Kata pengantar.............................................................................................................. 1
Daftar isi....................................................................................................................... 2
BAB I. Pendahuluan..................................................................................................... 3
BAB II. Laporan kasus................................................................................................. 4
BAB III. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 20
BAB IV. Penutup......................................................................................................... 38
Daftar Pustaka...............................................................................................................39
2
BAB I
Pendahuluan
Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar. Tetapi,
munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global.1 Telah
diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada
orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. HIV meningkatkan angka
kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB
pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau tanpa
terinfeksi HIV. TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang tidak khas, dengan meningkatnya
supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis.
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi
lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. Klasifikasi diare menurut lama waktu diare terbagi
menjadi akut dan kronik. Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan
menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai
pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari.
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. Sebenarnya para pakar didunia telah
mengajukan beberapa kriteria mengenai batasan kronik pada kasus diare tersebut, ada yang 15 hari, 3
minggu, 1 bulan, dan 3 bulan, tetapi di Indonesia dipilih waktu lebih dari 15 hari supaya dapat lebih
3
BAB II
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK
NIM : 112015294
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.M
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status pernikahan : sudah menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : bekerja di bengkel cat
Alamat : Prambatan kidul, no.24 RT 004 RW 001 Kaliwungu, Kudus
No. RM : 456xxx
Tanggal masuk RS : 12 november 2016
4
Dikasuskan tanggal : 12 november 2016
II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis : tanggal 12 november 2016
Keluhan utama : batuk lebih dari 2 bulan SMRS
5
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak memiliki keluarga yang memiliki gejala yang sama. Riwayat kencing manis (-), darah
tinggi (-), sakit maag (-), penyakit jantung (-), penyakit paru-paru (-).
Riwayat Obat :
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama sebelumnya.
Kulit
Warna kulit : sawo matang, sianosis (-), ikterus (-)
Kelembapan : lembab (normal), kering (-), berminyak (-)
Temperatur : hangat
Tekstur : kasar
Mobilitas : pada daerah lipatan kulit dapat mudah digerakkan
Turgor kulit : normal
Lesi : tidak tampak adanya lesi
6
Kepala
Normocephali, rambut hitam dan distribusi merata, tidak teraba benjolan, tidak
tampak alopesia, tidak mudah rontok.
Mata
Alis mata mata hitam (+/+), edema palpebra (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+).
Telinga
Normotia, tidak terdapat fistula pre dan retro aurikula, nyeri tekan tragus (-), nyeri saat
menggerakkan aurikula keatas dan kebawah, liang telinga lapang, serumen (-) sekret (-)
Hidung
Septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), nyeri tekan pada sinus
frontal dan maksilaris (-).
Mulut
Bibir : sianosis (-), bibir pucat (-)
Mukosa oral : tukak aftosa (+), terdapat selaput putih tebal (+)
Gusi : gingivitis (-), perdarahan gusi (-)
Lidah : tampak simetris, atrofi papil lidah (-), lesi (-), terdapat selaput putih tebal (+)
Faring : tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (+)
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid (-), jaringan parut (-), benjolan
(-), retraksi suprasternal (-), hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), deviasi
trakea (-), JVP 5+1 cmH2O
7
Toraks
Inspeksi
Bentuk toraks : normal, lebih besar lebarnya dibanding kedalamannya,
diameter lateral lebih besar dari diameter anteroposterior.
Pergerakan toraks : dinding dada simetris saat statis dan dinamis, tipe pernafasan
abdominal-torakal, retraksi sela iga (-), spider nevi (-), jejas
trauma (-), benjolan (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), tidak teraba massa/benjolan abnormal, tidak teraba pelebaran sela iga.
Pulmo
Anterior Posterior
Inspeksi Kanan dan Simetris saat statis Simetris saat statis dan
Kiri dan dinamis dinamis
Tidak tampak Tidak tampak retraksi
retraksi interkostal interkostal
Tidak tampak deformitas
pada tulang vertebra
Palpasi Kanan dan Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Kiri sela iga tidak sela iga tidak melebar
melebar fremitus taktil normal dan
fremitus taktil simetri
normal dan Tidak ada benjolan
simetris
Tidak ada benjolan
Perkusi - Pulmo dextra sonor Pulmo dextra dan sinistra
hingga ICS IV linea sonor seluruh lapang paru
midclavicula dextra
dan pulmo sinistra
sonor hingga ICS II
8
linea parasternal
- batas paru-hati linea
midclavicularis detra
ICS V. Peranjakan
hati 2 jari dari batas
paru hati
Auskultasi Kiri - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
- Wheezing (-), Ronki - Wheezing (-), Ronki (-)
(-)
Kanan - Ronki basah halus - Suara nafas vesikuler
pada apeks paru - Wheezing (-), Ronki (-)
- Wheezing (-)
cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan (redup) : ICS IV linea parasternal dextra
Batas atas (redup) : ICS II linea sternal sinistra
Pinggang (redup) : ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri (redup) : ICS IV 3 jari medial linea aksilaris
sinistra
Auskultasi : katup aorta : A2 > P2, murmur (-)
Katup pulmonal : P2 > A2, murmur (-)
Katup trikuspid : T1> M1, murmur (-)
Katup mitral : M1> T1, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi
Abdomen tampak datar dan simetris, warna kulit sawo matang, tidak tampak pelebaran vena,
tidak tampak spider nevi, tidak tampak adanya massa atau benjolan, tidak tampak caput medusa,
tidak tampak luka bekas operasi. Pada umbilikus tidak terdapat hernia atau peradangan.
9
Auskultasi
Bising usus (+) normoperistaltik
Perkusi
Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Palpasi : supel, tidak teraba massa, nyeri tekan (-) pada 4 kuadran abdomen pasien
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : ballotement dan bimanual tidak teraba
Otot
Kekuatan : 5 5
Otot
10
Tonus : Normotonus Normotonus
Kekuatan : 5 5
HEMATOLOGI
Darah Rutin
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 102 mg/dL 75-110 mg/dL
Ureum 11.0 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Creatinin 0.77 mg/ dL 0.9 – 1.3 mg/dL
SGOT 15 U/L 15 – 40 U/L
SGPT 20 U/ L 10 - 40 U/L
Albumin 3.10 g/ dL 3.4 – 4.8
Natrium 139 mmol/ L 135 – 147
Kalium 4.53 mmol/ L 3.5 – 5.1
IMUNOSEROLOGI
Anti HIV Stik Negatif
11
Radiologi ( 12 November 2016)
bronkovaskuler meningkat.
Kesan :
V. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis
3. Sering merasa lemas, mual, nyeri menelan dan nafsu makan menurun
5. Riwayat sering sariawan pada mulut, dan pada saat dirawat dirumah sakit juga pasien sedang
6. BAB cair 4 kali, terdapat ampas, lendir (-), darah (-), perut terasa mulas (+)
Pemeriksaan Fisik
1. IMT 17,36 kg/m2 (kurus)
2. Konjungtiva pucat (+/+)
3. Mulut
Mukosa oral : tukak aftosa (+), terdapat selaput putih tebal (+)
Lidah : terdapat selaput putih tebal (+)
Faring : faring hiperemis (+)
4. Auskultasi toraks didapatkan ronki (+) pada apex kanan anterior
12
Pemeriksaan Penunjang
1. Haemoglobin 7.0 g/dL, jumlah leukosit 16000/mm3, jumlah trombosit 636.000/uL
2. Foto polos thoraks kesan
Pulmo : gambaran proses KP paru aktif disertai efusi pleura kiri
VI. ASSEMENT
1. TB paru
Dasar: Batuk > 2 bulan, BB menurun, auskultasi toraks didapatkan ronki (+) pada apex kanan,
hasil foto toraks (pulmo) gambaran proses KP paru aktif disertai efusi pleura kiri
X-foto thorax
BTA Sputum
Monitor TTV
Monitor saturasi O2
Monitor pasien minum obat rutin
Pemeriksaan BTA akhir bulan ke 2,4,6 pengobatan
X-foto toraks 3 bulan sekali
13
2. Diare akut
Elektrolit
Kultur tinja
Rehidrasi: RL 20 tpm
TTV
Elektrolit
3. kandidosis oral
Dasar: plak putih tebal pada mukosa oral dan lidah
Pemeriksaan langsung: usapan mukokutan dengan larutan KOH 20% atau dengan pewarnaan gram,
Pemeriksaan biakan
14
Initial Plan Monitoring (IPMx)
Keluhan pasien
4. Faringitis
Dasar: faring tampak hiperemis (+)
apabila curiga penyebab jamur dapat dilakukan pembiakan jamur dalam agar sabouroud dextrosa
apabila curiga karena penyakit TB paru dapat dilakukan pemeriksaan sputum basil tahan asam,
Paracetamol 3x500mg
15
Initial Plan Therapy (IPTx)
Monitoring TTV
Monitor Hb
Tirah baring
VII. PROGNOSIS
S: batuk (+), dahak masih berwarna kuning kental (+), nyeri menelan (+), sudah tidak BAB cair, badan
masih lemas.
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)
Mulut : tukak aftosa (+), selaput putih tebal (+), faring hiperemis (+)
Leher : retraksi suprasternal (-), trakea deviasi (-), KGB dan tiroid tidak
membesar
16
Abdomen : supel, NT (-), bising usus (+) normoperistaltik
A : TB paru
Anemia
Kandidosis oral
Faringitis
P : terapi lanjutan
S: batuk (+), dahak masih berwarna kuning(+), nyeri menelan (+), badan lemas (-), BAB dan BAK
normal.
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)
Mulut : tukak aftosa (+), selaput putih tebal (+), faring hiperemis (+)
Leher : retraksi suprasternal (-), trakea deviasi (-), KGB dan tiroid tidak
membesar
Hasil : positif 1
Leukosit >10/LPB
17
Epitel 3-5/LPB
A : TB paru
Anemia
Kandidosis oral
Faringitis
P : terapi lanjutan
S: batuk berkurang, dahak masih berwarna kuning (+), nyeri menelan (+), sudah tidak BAB cair.
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)
Mulut : tukak aftosa (+), selaput putih tebal (+), faring hiperemis (-)
Leher : retraksi suprasternal (-), trakea deviasi (-), KGB dan tiroid tidak
membesar
A : TB paru
Kandidosis oral
P : terapi TB paru
18
Ethambutol 500 1x2
19
BAB III
Tinjauan Pustaka
Ulkus pedis
20
6. Rata-rata biaya untuk perawatan kaki diabetika dibutuhkan
$2687/pasien/tahun atau $4595/ulkus/episode, 80% dari biaya
tersebut digunakan untuk membiayai rawat inap.
7. Manajemen kaki diabetika terutama difokuskan untuk
mencegah dan menghindari amputasi ekstremitas bawah.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara:
- Melakukan identifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi
amputasi,
- Memberikan pengobatan segera dan efektif pada keadaan di
mana terjadi gangguan luka akut.
Deskripsi Ulkus
23
tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber, lokasi ulkus
tersering adalah dipermukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah
plantar (metatarsal dan tumit: 37%)
dan daerah dorsum (11%).
Klasifikasi Ulkus DM
Status Infeksi
27
Pada ulkus kaki terinfeksi dan kaki diabetik terinfeksi (tanpa ulkus)
harus dilakukan kultur dan sensitifitas kuman. Metode yang dipilih
dalam melakukan kultur adalah aspirasi pus/cairan.
Namun standar kultur adalah dari debridemen jaringan nekrotik.
Kuman pada infeksi kaki diabetik bersifat polimikrobial.
Staphylococcus dan Streptococcus merupakan patogen dominan.
Hampir 2/3 pasien dengan ulkus kaki diabetik memberikan komplikasi
osteomielitis. Osteomielitis yang tidak terdeteksi akan mempersulit
penyembuhan ulkus. Oleh sebab itu setiap terjadi ulkus perlu
dipikirkan kemungkinan adanya osteomielitis.
Diagnosis osteomielitis tidak mudah ditegakkan. Secara klinis bila
ulkus sudah berlangsung >2 minggu, ulkus luas dan dalam serta lokasi
ulkus pada tulang yang menonjol harus dicurigai adanya osteomielitis.
Spesifisitas dan sensitivitas pemeriksaan
rontgen tulang hanya 66% dan 60%, terlebih bila pemeriksaan
dilakukan sebelum 10–21 hari gambaran kelainan tulang belum jelas.
Seandainya terjadi gangguan tulang hal ini masih sering sulit
dibedakan antara gambaran osteomielitis atau artropati neuropati.
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan karena di samping dapat
mendeteksi adanya osteomielitis juga dapat memberikan informasi
adanya osteolisis, fraktur dan dislokasi,
gas gangren, deformitas kaki. Uji probe to bone menggunakan probe
logam steril dapat membantu menegakkan osteomielitis karena
memiliki nilai prediksi positif sebesar 89%. Untuk lebih memastikan
osteomielitis pemeriksaan MRI sangat membantu
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Namun diagnosis pasti osteomielitis tetap didasarkan pada
pemeriksaan kultur tulang.
Penatalaksanaan Keperawatan Ulkus Kaki Diabetik
28
Penatalaksanaan ulkus diabetik dilakukan secara
komprehensif melalui upaya; mengatasi penyakit komorbid,
menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka
agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen,
revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau
emergensi.
Penyakit DM melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi
penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia,hiperkolesterolemia,
gangguan kardiovaskular (stroke,
penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya
harus dikendalikan.
Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada
kasus ulkus diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya
pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka
tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris,
calus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang.
Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan larutan
garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing
(kompres).
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu
- debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik,
debridement bedah.
- Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka
cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam
rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik.
- Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan pemberian
enzim eksogen secara topikal pada permukaan lesi. Enzim
tersebut akan menghancurkan residu residu protein.
Contohnya, kolagenasi
29
akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis debridement yang
sering dipakai adalah papin, DNAse dan fibrinolisin.
Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena
luka. Proses ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen
yang secara alami akan melisiskan jaringan nekrotik. Secara sintetis
preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi
lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai
agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses
granulasi. Belatung (Lucilla serricata) yang disterilkan sering
digunakan untuk debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim
yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik.
Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat
dan efisien. Tujuan debridemen bedah adalah untuk :
1. mengevakuasi bakteri kontaminasi,
2. mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat
penyembuhan,
3. Menghilangkan jaringan kalus,
4. mengurangi risiko infeksi lokal.
31
hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti
mikroba,
dan sebagainya.
Ovington memberikan pedoman dalam memilih dressing yang tepat
dalam menjaga keseimbangan kelembaban luka:
- Kompres harus mampu memberikan lingkungan luka yang lembab
- Gunakan penilaian klinis dalam memilih kompres untuk luka luka
tertentu yang akan diobati
- Kompres yang digunakan mampu untuk menjaga tepi luka tetap
kering selama sambil tetap mempertahankan luka bersifat lembab
- Kompres yang dipilih dapat mengendalikan eksudat dan tidak
menyebabkan maserasi pada luka
- Kompres yang dipilih bersifat mudah digunakan dan yang bersifat
tidak sering diganti
- Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga
luka sehingga dapat meminimalisasi invasi bakteri.
- Semua kompres yang digunakan harus dipantau secara tepat.
Pengendalian Infeksi
32
injeksi. Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection
dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti:
ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/
tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin,
fluoroquinolone + clindamycin. Sementara pada infeksi berat yang
bersifat life threatening infection dapat diberikan beberapa alternatif
antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam +aztreonam,
piperacillin/tazobactam + vancomycin, vancomycin +
metronbidazole+ceftazidime, imipenem/cilastatin atau
fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada infeksi berat
pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.
Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama
dan sering kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping
pemberian antibiotika juga harus dilakukan reseksi bedah. Antibiotika
diberikan secara empiris, melalui parenteral
selama 6 minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto
radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai
bersih pemberian antibiotika dapat dipersingkat,
biasanya memerlukan waktu 2 minggu.
33
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa
tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-
34
tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan
insulin.
gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini
kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes
tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh
35
gemuk. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang
telah terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2
36
Diabetes mellitus gestasional
hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil
37
Penatalaksanaan diabetes mellitus
diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan
38
Terapi non farmakologi
Pengaturan diet
dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah
Olah raga
39
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah
atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga
40
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2005).
Terapi farmakologi
Insulin
42
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2
atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Golongan Sulfonilurea
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta
43
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina
Suharto, 1995).
44
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami
lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam
(Katzung, 2002).
100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana
obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar
45
lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi
diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal
46
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan
Golongan Biguanida
c. Golongan Tiazolidindion
luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan
47
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel
β pankreas.
menyebabkan
48
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh:
Hipertensi
kenaikan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg
2008).
Jenis-jenis hipertensi
49
timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti
Hipertensi sekunder
50
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2006).
KlsifikasiTekana
n TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Darah
Normal < 120 < 80
51
Pengelolaan hipetensi
asupan garam (total, < 5 g/hari), asupan lemak jenuh dan alkohol (pria
< 21 unit dan perempuan < 14 unit per minggu), banyak makan buah
52
yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah
Alkes, 2006).
Terapi farmakologi
53
meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi merupakan
faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes
diabetes khususnya.
54
merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan
55
hipertensi, diperlukan perhatian khusus seperti nefropati, retinopati,
56
Terapi farmakologi
terhadap hipo-hiperglikemia.
dengan diabetes
57
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat
58
penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan
sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau asam urat dalam
dkk., 2006).
60
merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan
2006).
Diuretics
telah ditunjukan paling tidak pada satu studi menjadi sama efektif
61
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat
beta yang kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang
62
CCB (Calcium Chanel Blocker)
ACE inhibitor, dan ARB. Target tekanan darah pada pasien diabetes
2005).
2006).
jawab dalam terapi obat pasien untuk mencapai hasil (outcomes) yang
dkk., 2004).
64
pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi
lainnya.
yang paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara
pemakaian, tepat kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien
2011).
oleh pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat
65
sindrom. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh kondisi
obat, saran yang berkaitan dengan sebab dan efek atau kejadian
66
Jenis-jenis Drug Related Problems (DRPs) dan penyebabnya
menurut
obat berkesinambungan.
potesiasi.
67
d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa
obat.
68
3. Terapi obat salah
kepada pasien.
yang diharapkan.
69
a. Dosis terlalu tinggi untuk pasien.
70
7. Kepatuhan
mengerti.
merasa sehat.
Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).13 Tetapi
yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.
Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti dehidrasi,
perdarahan akut dan kehamilan. parameter yang paling umum dipakai untuk
menunjukkan penurunan masasa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh
hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga prameter tersebut saling
bersesuaian. Di negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki
adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. WHO
71
menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Kriteria Anemia Menurut WHO
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
keperluan klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit
dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara
ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di
rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh
karena itu, beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan
memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up
anemia.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia disesuaikan dengan etiologi dari anemia, sebagai
contoh penggunaan kortikosteroid berguna pada penatalaksanaan dengan
anemia autoimun hemolitik. Penatalaksaan yang baik untuk anemia disebabkan
oleh kehilangan darah adalah mengkoreksi penyebab utama dan pemberian oral
Ferrous sulfate hingga anemia teratasi dan untuk selama beberapa bulan
73
selanjutnya. Meskipun dosis umumnya ferrous sulfate adalah 325 mg oral 3x
sehari, pemberian dosis rendah dapat memberikan hasil yang sama efektif dan
menyebabkan efek samping yang lebih sedikit. Transfusi sel darah merah dalam
bentuk PRC harus diberikan kepada pasien yang memiliki perdarahan secara
aktif dan untuk pasien dengan anemia berat dan gejala. Transufi paliatif tidak
boleh digunakan sebagai pengganti terapi khusus. Pada penyakit kronis yang
berhubungan dengan anemia gangguan kronis, erythropoietin mungkin dapat
membantu dalam mencegah atau mengurangi tranfsui sel darah merah. Risiko
tranfusi darah adalah reaksi hemolitik dan risiko penularan penyakit menular.
Pasien dengan autoimun antibodi terhadap sel darah merah berada pada risiko
yang lebih besar dari reaksi transfusi hemolitik karena kesulitan dalam lintas
pencocokan darah.
74
75
Daftar Pustaka
1. Scheffler NM, 2004 Nov-Dec, Innovative treatment of a diabetic ulcer: a case study.
): 111-2 (journal article - case )
2. Stolle LB;at all, 2004 Feb; The metabolism of the diabetic foot. (journal article) ISSN:
0001-6470 PMID: 15022818 CINAHL AN: 2009394327
3. Bennett,P.EpidemiologyofType2DiabetesMillitus.InLeRoithet.al,
DiabetesMillitusaFundamentalandClinical
Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1): 544-7.
6. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes. A,erican
Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
7. Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Melitus
8. Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.
9. Sujaya, I Nyoman. “Pola Konsumsi Makanan
Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.” Jurnal
Skala Husada”. 2009;6(1);75-81.
76