Anda di halaman 1dari 76

Kata pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena terselesainya laporan
kasus besar yang berjudul ---------. Laporan kasus ini disusun sebagai sarana diskusi dan
pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.
Ucapan terima kasih banyak disampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan laporan kasus besar ini hingga
selesai tepat pada waktunya. Terutama kepada dr. Arif Lianto Lie, Sp.PD yang telah
memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan laporan kasus besar ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus besar ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, baik mengenai susunan bahasa, isi,
pembahasan, maupun kadar ilmiah yang tertulis dalam case besar ini. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan
kasus besar. Semoga hasil penulisan laporan kasus besar ini memberikan informasi dan
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Kudus, Febuari 2017

Penyusun

1
Daftar Isi

Kata pengantar.............................................................................................................. 1
Daftar isi....................................................................................................................... 2
BAB I. Pendahuluan..................................................................................................... 3
BAB II. Laporan kasus................................................................................................. 4
BAB III. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 20
BAB IV. Penutup......................................................................................................... 38
Daftar Pustaka...............................................................................................................39

2
BAB I

Pendahuluan

Penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar. Tetapi,

munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global.1 Telah

diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada

orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. HIV meningkatkan angka

kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB

pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau tanpa

terinfeksi HIV. TB memperlihatkan gambaran klinis TB paru yang tidak khas, dengan meningkatnya

supresi imun terkait HIV maka gambaran klinis TB berubah dan lebih sulit untuk didiagnosis.

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah

padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi

lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar

tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. Klasifikasi diare menurut lama waktu diare terbagi

menjadi akut dan kronik. Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan

menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai

pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari.

Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. Sebenarnya para pakar didunia telah

mengajukan beberapa kriteria mengenai batasan kronik pada kasus diare tersebut, ada yang 15 hari, 3

minggu, 1 bulan, dan 3 bulan, tetapi di Indonesia dipilih waktu lebih dari 15 hari supaya dapat lebih

cepat menginvestasi penyebab diare dengan lebih cepat.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

JL. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

SMF PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU

Nama : Ineke Pania Mexi Tanda Tangan

NIM : 112015294

Dr. Pembimbing : dr. Arif Lianto Lie, Sp.PD

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.M
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status pernikahan : sudah menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : bekerja di bengkel cat
Alamat : Prambatan kidul, no.24 RT 004 RW 001 Kaliwungu, Kudus
No. RM : 456xxx
Tanggal masuk RS : 12 november 2016

4
Dikasuskan tanggal : 12 november 2016

II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis : tanggal 12 november 2016
Keluhan utama : batuk lebih dari 2 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan batuk lebih dari 2 bulan SMRS. Batuk disertai dengan dahak
berwarna kuning kehijauan tanpa disertai darah. Batuk tidak disertai dengan keluhan sesak nafas
dan nyeri dada. Sebelumnya pasien sudah membeli obat di warung untuk keluhan batuknya,
tetapi tidak dirasakan ada perbaikan. Pasien tidak pernah mengeluarkan keringat yang banyak
pada malam hari, dan Pasien juga mengatakan tetangga dilingkungan tempat tinggalnya ada
yang mengalami gejala yang sama, yaitu batuk lama yang tidak sembuh. Pasien menerangkan
bahwa tempat ia tinggal rumah satu dengan yang lainnya sangat berdekatan.
Pasien juga mengeluh sering lemas, mual, nyeri menelan dan nafsu makan menurun. Pasien
makan 2 kali sehari dengan porsi sedikit. Pasien mengatakan bahwa berat badan sudah turun
kurang lebih 5 kg dalam 2 bulan terakhir. Selain itu pasien juga sering timbul sariawan di mulut,
dan pada saat dirawat dirumah sakit juga pasien sedang sariawan di mulutnya. Sariawan yang
muncul biasanya lebih dari satu. Pasien tidak mengeluh demam sebelumnya.
Pasien mengatakan BAB cair 4 kali, terdapat ampas, tidak disertai lendir, ataupun darah dan
perutnya terasa mulas. Tidak ada riwayat makan makanan diluar sebelumnya. Pasien
mengatakan BAK lancar, air kencing berwarna kuning, tidak ada darah, tidak keruh, pancuran
air kencing tidak menetes, dan tidak dirasakan sakit atau nyeri saat BAK. Pasien bukan seorang
perokok aktif dan tidak minum alkohol.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku tidak pernah mengalami riwayat penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat
kencing manis (-), darah tinggi (-), sakit maag (-), penyakit jantung (-).

5
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak memiliki keluarga yang memiliki gejala yang sama. Riwayat kencing manis (-), darah
tinggi (-), sakit maag (-), penyakit jantung (-), penyakit paru-paru (-).

Riwayat Obat :
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama sebelumnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum (dilakukan pada tanggal 12 November 2016)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tinggi badan : 161 cm
Berat badan : 45 kg
Indeks Massa Tubuh : 17,36 kg/m2 (kurus)
Tanda vital :
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 84x/ menit, kuat angkat, denyut regular
 Nafas : 20x/menit, reguler
 Suhu aksila : 36,10C
 Saturasi O2 : 98 %

Kulit
 Warna kulit : sawo matang, sianosis (-), ikterus (-)
 Kelembapan : lembab (normal), kering (-), berminyak (-)
 Temperatur : hangat
 Tekstur : kasar
 Mobilitas : pada daerah lipatan kulit dapat mudah digerakkan
 Turgor kulit : normal
 Lesi : tidak tampak adanya lesi

6
Kepala
Normocephali, rambut hitam dan distribusi merata, tidak teraba benjolan, tidak
tampak alopesia, tidak mudah rontok.

Mata
Alis mata mata hitam (+/+), edema palpebra (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+).

Telinga
Normotia, tidak terdapat fistula pre dan retro aurikula, nyeri tekan tragus (-), nyeri saat
menggerakkan aurikula keatas dan kebawah, liang telinga lapang, serumen (-) sekret (-)

Hidung
Septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), nyeri tekan pada sinus
frontal dan maksilaris (-).

Mulut
Bibir : sianosis (-), bibir pucat (-)
Mukosa oral : tukak aftosa (+), terdapat selaput putih tebal (+)
Gusi : gingivitis (-), perdarahan gusi (-)
Lidah : tampak simetris, atrofi papil lidah (-), lesi (-), terdapat selaput putih tebal (+)
Faring : tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (+)

Leher
Pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid (-), jaringan parut (-), benjolan
(-), retraksi suprasternal (-), hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (-), deviasi
trakea (-), JVP 5+1 cmH2O

7
Toraks
Inspeksi
Bentuk toraks : normal, lebih besar lebarnya dibanding kedalamannya,
diameter lateral lebih besar dari diameter anteroposterior.
Pergerakan toraks : dinding dada simetris saat statis dan dinamis, tipe pernafasan
abdominal-torakal, retraksi sela iga (-), spider nevi (-), jejas
trauma (-), benjolan (-)

Palpasi
Nyeri tekan (-), tidak teraba massa/benjolan abnormal, tidak teraba pelebaran sela iga.

Pulmo

Anterior Posterior
Inspeksi Kanan dan  Simetris saat statis  Simetris saat statis dan
Kiri dan dinamis dinamis
 Tidak tampak  Tidak tampak retraksi
retraksi interkostal interkostal
 Tidak tampak deformitas
pada tulang vertebra
Palpasi Kanan dan  Nyeri tekan (-)  Nyeri tekan (-)
Kiri  sela iga tidak  sela iga tidak melebar
melebar  fremitus taktil normal dan
 fremitus taktil simetri
normal dan  Tidak ada benjolan
simetris
 Tidak ada benjolan
Perkusi - Pulmo dextra sonor Pulmo dextra dan sinistra
hingga ICS IV linea sonor seluruh lapang paru
midclavicula dextra
dan pulmo sinistra
sonor hingga ICS II

8
linea parasternal
- batas paru-hati linea
midclavicularis detra
ICS V. Peranjakan
hati 2 jari dari batas
paru hati
Auskultasi Kiri - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
- Wheezing (-), Ronki - Wheezing (-), Ronki (-)
(-)
Kanan - Ronki basah halus - Suara nafas vesikuler
pada apeks paru - Wheezing (-), Ronki (-)
- Wheezing (-)

cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan (redup) : ICS IV linea parasternal dextra
Batas atas (redup) : ICS II linea sternal sinistra
Pinggang (redup) : ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri (redup) : ICS IV 3 jari medial linea aksilaris
sinistra
Auskultasi : katup aorta : A2 > P2, murmur (-)
Katup pulmonal : P2 > A2, murmur (-)
Katup trikuspid : T1> M1, murmur (-)
Katup mitral : M1> T1, murmur (-)

Abdomen
Inspeksi
Abdomen tampak datar dan simetris, warna kulit sawo matang, tidak tampak pelebaran vena,
tidak tampak spider nevi, tidak tampak adanya massa atau benjolan, tidak tampak caput medusa,
tidak tampak luka bekas operasi. Pada umbilikus tidak terdapat hernia atau peradangan.

9
Auskultasi
Bising usus (+) normoperistaltik

Perkusi
Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)

Palpasi : supel, tidak teraba massa, nyeri tekan (-) pada 4 kuadran abdomen pasien
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : ballotement dan bimanual tidak teraba

Genital : tidak dilakukan

Ekstremitas superior Kanan Kiri

Luka : Tidak ada Tidak ada

Varises : Tidak ada Tidak ada

Otot

Tonus : Normotonus Normotonus

Massa : Eutrofi Eutrofi

Sendi : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan : Aktif Aktif

Kekuatan : 5 5

Oedem : Tidak ada Tidak ada

Lain-lain : Akral hangat Akral hangat

Ekstremitas Inferior Kanan Kiri

Luka : Tidak ada Tidak ada

Varises : Tidak ada Tidak ada

Otot

10
Tonus : Normotonus Normotonus

Massa : Eutrofi Eutrofi

Sendi : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan : Aktif Aktif

Kekuatan : 5 5

Oedem : Tidak ada Tidak ada

Lain-lain : Akral hangat Akral hangat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG (12 November 2016)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Haemoglobin 7.0 g/dL 13,2-17,3 g/dL

Leukosit 16000/mm3 3600-11000/mm3

Hematokrit 24.20 % 41-52 %

Jumlah Trombosit 636.000/uL 150000-400000/uL

KIMIA
Gula Darah Sewaktu 102 mg/dL 75-110 mg/dL
Ureum 11.0 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Creatinin 0.77 mg/ dL 0.9 – 1.3 mg/dL
SGOT 15 U/L 15 – 40 U/L
SGPT 20 U/ L 10 - 40 U/L
Albumin 3.10 g/ dL 3.4 – 4.8
Natrium 139 mmol/ L 135 – 147
Kalium 4.53 mmol/ L 3.5 – 5.1

IMUNOSEROLOGI
Anti HIV Stik Negatif

11
Radiologi ( 12 November 2016)

Pemeriksaan X-foto Thoraks

COR : CTR tak dinilai, batas kiri tertutup kesuraman.

PULMO : tampak kesuraman pada paru, corakan

bronkovaskuler meningkat.

Diafragma dan sinus kanan normal & diafragma-

sinus kiri suram.

Kesan :

Cor : tidak membesar

Pulmo : gambaran proses KP paru aktif

disertai efusi pleura kiri.

V. DAFTAR ABNORMALITAS

Anamnesis

1. Batuk > 2 bulan, disertai dengan dahak berwarna kuning kehijauan

2. Tetangga di lingkungan rumah ada yang mengalami gejala batuk lama

3. Sering merasa lemas, mual, nyeri menelan dan nafsu makan menurun

4. Berat badan sudah turun + 5 kg dalam 2 bulan terakhir

5. Riwayat sering sariawan pada mulut, dan pada saat dirawat dirumah sakit juga pasien sedang

sariawan di mulutnya. Sariawan yang muncul biasanya lebih dari satu.

6. BAB cair 4 kali, terdapat ampas, lendir (-), darah (-), perut terasa mulas (+)

Pemeriksaan Fisik
1. IMT 17,36 kg/m2 (kurus)
2. Konjungtiva pucat (+/+)
3. Mulut
Mukosa oral : tukak aftosa (+), terdapat selaput putih tebal (+)
Lidah : terdapat selaput putih tebal (+)
Faring : faring hiperemis (+)
4. Auskultasi toraks didapatkan ronki (+) pada apex kanan anterior

12
Pemeriksaan Penunjang
1. Haemoglobin 7.0 g/dL, jumlah leukosit 16000/mm3, jumlah trombosit 636.000/uL
2. Foto polos thoraks kesan
Pulmo : gambaran proses KP paru aktif disertai efusi pleura kiri

VI. ASSEMENT

1. TB paru

Dasar: Batuk > 2 bulan, BB menurun, auskultasi toraks didapatkan ronki (+) pada apex kanan,

hasil foto toraks (pulmo) gambaran proses KP paru aktif disertai efusi pleura kiri

Initial Plan Diagnosis (IPDx)

 X-foto thorax

 BTA Sputum

Initial Plan Therapy (IPTx)

 Rifampicine 300 mg 1x1

 Isoniazid 300 mg 1x1

 Pirazinamid 500 mg 1x2

 Ethambutol 500 1x2

Initial Plan Monitoring (IPMx)

 Monitor TTV
 Monitor saturasi O2
 Monitor pasien minum obat rutin
 Pemeriksaan BTA akhir bulan ke 2,4,6 pengobatan
 X-foto toraks 3 bulan sekali

Initial Plan edukasi (IPEDx)

 Jelaskan pada pasien mengenai penyakit & sumber penularan


 Jelaskan pada pasien mengenai pengobatannya

13
2. Diare akut

Dasar: BAB cair 4 kali

Initial Plan Diagnosis (IPDx)

 Elektrolit

 Pemeriksaan tinja lengkap

 Kultur tinja

Initial Plan Therapy (IPTx)

 Rehidrasi: RL 20 tpm

 Loperamid, terapi inisial 4 mg, kemudian 2 mg setelah BAB

Initial Plan Monitoring (IPMx)

 TTV

 Elektrolit

Initial Pan Edukasi (IPEx)

 Hindari minuman (kafein dan alkohol)

 Pilih makanan yang mudah dicerna

3. kandidosis oral
Dasar: plak putih tebal pada mukosa oral dan lidah

Initial Plan Diagnosis (IPDx)

 Pemeriksaan langsung: usapan mukokutan dengan larutan KOH 20% atau dengan pewarnaan gram,

terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu

 Pemeriksaan biakan

Initial Plan Therapy (IPTx)

 Itrakonaol tab 2x100mg

14
Initial Plan Monitoring (IPMx)

 Keluhan pasien

 Pemeriksaan langsung; usapan mukokutan

Initial Plan Edukasi (IPEx)

 Menjaga kebersihan mulut

 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

4. Faringitis
Dasar: faring tampak hiperemis (+)

Initial Plan Diagnosis (IPDx)

Mencari faktor penyebab :

 apabila curiga penyebab jamur dapat dilakukan pembiakan jamur dalam agar sabouroud dextrosa

 apabila curiga karena penyakit TB paru dapat dilakukan pemeriksaan sputum basil tahan asam,

biopsi jaringan yang terinfeksi

Initial Plan Therapy (IPTx)

 Kumur air hangat

 Paracetamol 3x500mg

Initial Plan Monitoring (IPMx)

Keadaan umum pasien

Initial Plan Edukasi (IPEx)

Istirahat dan minum yang cukup

5. anemia et causa penyakit kronik


Dasar: Sering merasa lemas, konjungtiva pucat (+/+), Hb 7 mg/dl

Initial Plan Diagnostik (IPDx)

Lab : feritin, TIBC, hitung jenis retikulosit

15
Initial Plan Therapy (IPTx)

Infus Packed Red Cell

Initial Plan Monitoring (IPMx)

 Monitoring TTV

 Monitor Hb

Intial Plan Education (IPEx)

Tirah baring

VII. PROGNOSIS

 Ad vitam : dubia ad bonam


 Ad fungsionam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad malam

Follow Up (13 November 2016)

S: batuk (+), dahak masih berwarna kuning kental (+), nyeri menelan (+), sudah tidak BAB cair, badan

masih lemas.

O: keadaan umum = OS tampak lemas

Tanda vital = TD 110/70 mmHg, HR 80x/menit, S: 37,40C, RR: 20x/menit

Mata : Conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)

Mulut : tukak aftosa (+), selaput putih tebal (+), faring hiperemis (+)

Leher : retraksi suprasternal (-), trakea deviasi (-), KGB dan tiroid tidak

membesar

toraks : pulmo : I = simetris, dalam keadaan statis dan dinamis

P = nyeri tekan (-), fremitus simetris

P = sonor pada kedua lapang paru

A= ronki (+) pada apeks dekstra

Cor : BJ I/II reguler, murmur -/-, gallop -/-

16
Abdomen : supel, NT (-), bising usus (+) normoperistaltik

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

A : TB paru

Anemia

Kandidosis oral

Faringitis

P : terapi lanjutan

Follow up (14 November 2016)

S: batuk (+), dahak masih berwarna kuning(+), nyeri menelan (+), badan lemas (-), BAB dan BAK

normal.

O: keadaan umum = OS tampak lemas

Tanda vital = TD 110/70 mmHg, HR 96x/menit, S: 36,80C, RR: 20x/menit

Mata : Conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)

Mulut : tukak aftosa (+), selaput putih tebal (+), faring hiperemis (+)

Leher : retraksi suprasternal (-), trakea deviasi (-), KGB dan tiroid tidak

membesar

toraks : pulmo : I = simetris, dalam keadaan statis dan dinamis

P = nyeri tekan (-), fremitus simetris

P = sonor pada kedua lapang paru

A= ronki (+) pada apeks dekstra

Cor : BJ I/II reguler, murmur -/-, gallop -/-

Abdomen : supel, NT (-), bising usus (+) normoperistaltik

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

Hasil pemeriksaan Hb : 9,8 gr/dL

Hasil pemeriksaan sputum:

Bahan : sputum (pewarnaan ziehl nielson)

Hasil : positif 1

Leukosit >10/LPB

17
Epitel 3-5/LPB

Ditemukan kuman bentuk batang

A : TB paru

Anemia

Kandidosis oral

Faringitis

P : terapi lanjutan

Follow up (15 November 2016)

S: batuk berkurang, dahak masih berwarna kuning (+), nyeri menelan (+), sudah tidak BAB cair.

O: keadaan umum = OS tampak lemas

Tanda vital = TD 110/70 mmHg, HR 80x/menit, S: 37,40C, RR: 20x/menit

Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)

Mulut : tukak aftosa (+), selaput putih tebal (+), faring hiperemis (-)

Leher : retraksi suprasternal (-), trakea deviasi (-), KGB dan tiroid tidak

membesar

toraks : pulmo : I = simetris, dalam keadaan statis dan dinamis

P = nyeri tekan (-), fremitus simetris

P = sonor pada kedua lapang paru

A= ronki (+) pada apeks dekstra

Cor : BJ I/II reguler, murmur -/-, gallop -/-

Abdomen : supel, NT (-), bising usus (+) normoperistaltik

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

A : TB paru

Kandidosis oral

P : terapi TB paru

 Rifampicine 300 mg 1x1

 Isoniazid 300 mg 1x1

 Pirazinamid 500 mg 1x2

18
 Ethambutol 500 1x2

Terapi kandisosi oral : Itrakonazol tab 2x100mg

19
BAB III
Tinjauan Pustaka

Ulkus pedis

Salah satu komplikasi penyakit diabetes melitus yang sering


dijumpai adalah kaki diabetik, yang dapat bermanifestasikan sebagai
ulkus, infeksi dan gangren dan artropati Charcot. Sekitar 15%
penderita diabetes melitus (DM) dalam perjalanan penyakitnya akan
mengalami komplikasi ulkus diabetika terutama ulkus di kaki. Sekitar
14-24% di antara penderita kaki diabetika tersebut memerlukan
tindakan amputasi.
1. Muha J melaporkan satu di antara 5 penderita ulkus DM
memerlukan tindakan amputasi.
2. Berdasarkan studi deskriptif dilaporkan bahwa 6–30% pasien
yang pernah mengalami amputasi dikemudian hari akan
mengalami risiko re-amputasi dalam waktu 1-3 tahun kemudian
setelah amputasi pertama. Ebskov B. melaporkan, sebanyak
23% pasien memerlukan re-amputasi ekstremitas ipsilateral
dalam waktu 48 bulan setelah amputasi yang pertama.
3. Risiko amputasi terjadi bila ada faktor; neuropati perifer,
deformitas tulang, insufisiensi vaskular, riwayat ulkus/amputasi
dan gangguan patologi kuku berat.
4. Neuropati perifer mempunyai peranan yang sangat besar dalam
terjadinya kaki diabetika akibat hilangnya proteksi sensasi nyeri
terutama di kaki. Lebih dari 80% kaki DM dilator belakangi
oleh neuropati.
5. Perawatan ulkus baik konservatif maupun amputasi
membutuhkan biaya yang sangat mahal.

20
6. Rata-rata biaya untuk perawatan kaki diabetika dibutuhkan
$2687/pasien/tahun atau $4595/ulkus/episode, 80% dari biaya
tersebut digunakan untuk membiayai rawat inap.
7. Manajemen kaki diabetika terutama difokuskan untuk
mencegah dan menghindari amputasi ekstremitas bawah.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara:
- Melakukan identifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi
amputasi,
- Memberikan pengobatan segera dan efektif pada keadaan di
mana terjadi gangguan luka akut.

- Sebelum melakukan perawatan pada pasien dengan Ulkus


diabetikum sebaiknya dapat melakukan penilaian kaki
diabetik secara menyeluruh, menilai ada tidaknya infeksi,
melakukan identifikasi penyebab terjadinya ulkus dan faktor
penyulit penyembuhan luka. Lebih dari 90% ulkus akan
sembuh apabila diterapi secara komprehensif dan
multidisipliner.

Penatalaksanaan ulkus diabetik perlu dilakukan secara multidisipliner


dan komprehensif melalui upaya; mengatasi penyakit komorbid,
menghilangkan/mengurangi tekanan beban (off loading), perawatan
luka dan menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi,
debridemen, revaskularisasi dan
tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi.

Patogenesis Ulkus Diabetik

Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler


menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer dan
21
penurunan sistem imunitas yang berakibat terganggunya proses
penyembuhan luka. Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada
neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati
motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun
kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer
pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut
motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat
menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes,
claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon
Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan
terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang terjadi akibat
rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri
sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut
autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit
kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki.
Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan
terjadinya artropati Charcot.

Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)


maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi
penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit proses
penyembuhan ulkus kaki.(lihat bagan) .
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3
katagori, yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia.
Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%)
sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia.
22
Penilaian Ulkus Kaki Diabetik

Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat


penting karena berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Penilaian
ulkus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis aktivitas harian, sepatu yang
digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki, keluhan neuropati,
nyeri tungkai saat beraktivitas, durasi menderita DM, penyakit
komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat yang sedang
dikonsumsi, riwayat menderita ulkus/amputasi
sebelumnya. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan
deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi,
menentukan hal yang melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati,
obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi ulkus
dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/
tidaknya deformitas.

Deskripsi Ulkus

Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran,


kedalaman, bau, bentuk dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk
menilai kemajuan terapi. Pada ulkus yang
dilatarbelakngi neuropati ulkus biasanya bersifat kering,fisura, kulit
hangat, kalus, warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar, lesi
sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat
sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari.
Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus,
eksudat, edema, kalus, kedalaman ulkus perlu dinilai dengan bantuan
probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya sinus,
mengetahui ulkus melibatkan

23
tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber, lokasi ulkus
tersering adalah dipermukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah
plantar (metatarsal dan tumit: 37%)
dan daerah dorsum (11%).

Ulkus Akibat Neuropati

Apabila ulkus telah terjadi beberapa bulan dan bersifat


asimptomatik maka perlu dicurigai bahwa ulkus dilatarbelakangi oleh
faktor neuropati. Pada ulkus neuropati karakter ulkus berupa lesi
punched out di area hiperkeratotik, lokasi kebanyakkan di
plantar pedis, kulit kering, hangat dan warna kulit normal, adanya
kalus (kapal). Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai
penyebab terjadinya ulkus dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi
kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan dengan garpu tala, atau
dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan pemeriksaan
yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien
yang memiliki
risiko terkena ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati
sensoris perifer. Hasil tes dikatakan tidak normal apabila pasien tidak
dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang dilakukan
pemeriksaan monofilamen adalah di sisi plantar (area metatarsal, tumit
dan dan di antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.

Evaluasi Status Vaskular

Penyakit arteri perifer pada pasien DM kejadiannya 4 kali lebih


sering dibandingkan pasien non DM. Faktor risiko lain selain DM
yang memudahkan terjadinya penyakit arteri perifer oklusif adalah
merokok, hipertensi dan hiperlipidemia. Arteri perifer yang sering
terganggu adalah arteri tibialis dan arteri peroneal terutama daerah
antara lutut dan sendi kaki. Adanya obstruksi arteri tungkai bawah
24
ditandai dengan keluhan nyeri saat berjalan dan berkurang saat
istirahat (claudication), kulit membiru, dingin, ulkus dan gangren.
Iskemi menyebabkan terganggunya distribusi oksigen dan nutrisi
sehingga ulkus sulit sembuh. Secara klinis adanya oklusi dapat dinilai
melalui perabaan nadi arteri poplitea, tibialis dan dorsalis pedis.Untuk
menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan
non invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI), transcutaneous
oxygen tension (TcP02), USG color Doppler atau menggunakan
pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography (DSA),
magnetic resonance angiografi (MRA) atau computed tomography
angigraphy (CTA).
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasive.

Pemeriksaan Neuropati Vaskular


- Kulit Teraba normal
- Refleks ankle Refleks menurun / tak ada Normal
- Sensitivitas lokal Menurun Normal
- Deformitas kaki Clawed toe Biasanya tidak ada
- Otot kaki atrofi
Calus
- Lokalisasi ulkus Sisi plantar kaki Jari kaki
- Karakter ulkus Nyeri, dengan area nekrotik
- Ankle branchial index (ABI) Normal (>1) <0,7 – 0,9 (iskemia
ringan) <0,4 (iskemia berat)
- Normal (>40 mmHg) <40 mmHg
- Kulit hangat, kering, warna kulit normal
- Kulit dingin, sianotik, hitam (gangren)
- Pulsus di tungkai (arteri dorsalis pedis, tibialis posterior)
Tidak teraba atau teraba lemah
- Luka punched out di area yang mengalami hiperkeratotik
Transcutaneous oxygen tension (TcP02)
25
Tindakan invasif untuk mengetahui adanya obstruksi di vaskuler
perifer bawah.
Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah dilakukan dan mempunyai
sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi
arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan
darah menggunakan manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan
yang berasal dari arteri akan dideteksi oleh probe Doppler (pengganti
stetoskop). Dalam keadaan normal tekanan sistolik di tungkai bawah
(ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah
sistolik lengan atas (brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis
arteri di tungkai bawah maka akan terjadi penurunan
tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi
tekanan sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga normal dari
ABI adalah >0,9, ABI 0,71–0,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–
0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,00–0,40 telah
terjadi obstruksi vaskuler berat. Apabila diagnosis adanya penyakit
obstruksi vascular perifer masih diragukan, atau apabila direncanakan
akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital
subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold
standar untuk diagnosis dan evaluasi obstruksi vaskular
perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila intervensi
endovascular menjadi pilihan terapi.

Klasifikasi Ulkus DM

Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, lesi pada


kaki harus dinilai berdasarkan sistem klasifikasi yang dapat membantu
dalam keputusan terapi dan menentukan prognosis penyembuhan atau
risiko amputasi. Ada beberapa sistem klasifikasi untuk menilai gradasi
lesi, salah satunya yang banyak dianut adalah klasifikasi ulkus DM
26
berdasarkan University of Texas Classification System. Sistem
klasifikasi ini menilai lesi bukan hanya faktor dalamnya lesi, tetapi
juga menilai ada tidaknya faktor infeksi dan iskemia. Lesi semakin
berat dan semakin besar risiko dilakukan amputasi bila sifat lesi
semakin ke bawah dan ke arah kanan (tabel 3).

Status Infeksi

Infeksi merupakan ancaman utama amputasi pada penderita kaki


diabetik. Infeksi superfisial di kulit apabila tidak segera di atas dapat
berkembang menembus jaringan di bawah kulit, seperti otot, tendon,
sendi dan tulang, atau bahkan menjadi infeksi sistemik. Tidak semua
ulkus mengalami infeksi. Adanya infeksi perlu dicurigai apabila
dijumpai peradangan lokal, cairan purulen, sinus atau krepitasi.
Menegakkan adanya infeksi pada penderita DM tidaklah mudah.
Respons inflamasi pada penderita DM menurun karena adanya
penurunan fungsi lekosit, gangguan neuropati dan vaskular. Demam,
menggigil dan lekositosis tidak dijumpai pada 2/3 pasien dengan
infeksi yang mengancam tungkai.Menentukan ada/tidak infeksi dan
derajat infeksi merupakan hal penting dalam perawatan ulkus DM.
Elemen kunci dalam klasifikasi klinis infeksi ulkus DM disingkat
menjami PEDIS (perfusion, extent/size, depth/tissue loss, infection,
and sensation). Infeksi dikatagorikan sebagai derajat 1 (tanpa infeksi),
derajat 2 (infeksi ringan: melibatkan jaringan kulit dan subkutis),
derajat 3 (infeksi sedang: terjadi selulitis luas atau infeksi lebih dalam)
dan derajat 4 (infeksi berat: dijumpai adanya sepsis). Secara praktis
derajat infeksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu infeksi yang tidak
mengancam kaki/non–limb-threatening infections (derajat 1 dan 2),
dan infeksi yang
mengancam kaki/limb-threatening infections (derajat 3 dan 4).

27
Pada ulkus kaki terinfeksi dan kaki diabetik terinfeksi (tanpa ulkus)
harus dilakukan kultur dan sensitifitas kuman. Metode yang dipilih
dalam melakukan kultur adalah aspirasi pus/cairan.
Namun standar kultur adalah dari debridemen jaringan nekrotik.
Kuman pada infeksi kaki diabetik bersifat polimikrobial.
Staphylococcus dan Streptococcus merupakan patogen dominan.
Hampir 2/3 pasien dengan ulkus kaki diabetik memberikan komplikasi
osteomielitis. Osteomielitis yang tidak terdeteksi akan mempersulit
penyembuhan ulkus. Oleh sebab itu setiap terjadi ulkus perlu
dipikirkan kemungkinan adanya osteomielitis.
Diagnosis osteomielitis tidak mudah ditegakkan. Secara klinis bila
ulkus sudah berlangsung >2 minggu, ulkus luas dan dalam serta lokasi
ulkus pada tulang yang menonjol harus dicurigai adanya osteomielitis.
Spesifisitas dan sensitivitas pemeriksaan
rontgen tulang hanya 66% dan 60%, terlebih bila pemeriksaan
dilakukan sebelum 10–21 hari gambaran kelainan tulang belum jelas.
Seandainya terjadi gangguan tulang hal ini masih sering sulit
dibedakan antara gambaran osteomielitis atau artropati neuropati.
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan karena di samping dapat
mendeteksi adanya osteomielitis juga dapat memberikan informasi
adanya osteolisis, fraktur dan dislokasi,
gas gangren, deformitas kaki. Uji probe to bone menggunakan probe
logam steril dapat membantu menegakkan osteomielitis karena
memiliki nilai prediksi positif sebesar 89%. Untuk lebih memastikan
osteomielitis pemeriksaan MRI sangat membantu
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Namun diagnosis pasti osteomielitis tetap didasarkan pada
pemeriksaan kultur tulang.
Penatalaksanaan Keperawatan Ulkus Kaki Diabetik

28
Penatalaksanaan ulkus diabetik dilakukan secara
komprehensif melalui upaya; mengatasi penyakit komorbid,
menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka
agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen,
revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau
emergensi.
Penyakit DM melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi
penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia,hiperkolesterolemia,
gangguan kardiovaskular (stroke,
penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya
harus dikendalikan.

Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada
kasus ulkus diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya
pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka
tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik, debris,
calus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang.
Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan larutan
garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing
(kompres).
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu
- debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik,
debridement bedah.
- Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka
cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam
rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik.
- Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan pemberian
enzim eksogen secara topikal pada permukaan lesi. Enzim
tersebut akan menghancurkan residu residu protein.
Contohnya, kolagenasi
29
akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis debridement yang
sering dipakai adalah papin, DNAse dan fibrinolisin.
Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena
luka. Proses ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen
yang secara alami akan melisiskan jaringan nekrotik. Secara sintetis
preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi
lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai
agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses
granulasi. Belatung (Lucilla serricata) yang disterilkan sering
digunakan untuk debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim
yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik.
Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat
dan efisien. Tujuan debridemen bedah adalah untuk :
1. mengevakuasi bakteri kontaminasi,
2. mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat
penyembuhan,
3. Menghilangkan jaringan kalus,
4. mengurangi risiko infeksi lokal.

Mengurangi beban tekanan (off loading)

Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang


besar. Pada penderita DM yang mengalami neuropati permukaan
plantar kaki mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh
akibat tekanan beban tubuh maupun iritasi kronis sepatu yang
digunakan.
Salah satu hal yang sangat penting namun sampai kini tidak
mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik adalah
mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off loading).
Upaya off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat mempercepat
kesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan adalah:
30
mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi
roda, alas kaki, removable cast walker, total contact cast, walker,
sepatu boot ambulatory.Total contact cast merupakan metode off
loading yang paling efektif dibandingkan metode yang lain.
Berdasarkan penelitian
Amstrong TCC dapat mengurangi tekanan pada luka secara signifikan
dan memberikian kesembuhan antara 73%-100%.
TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai, dan dirancang
agar tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki
bagian tengah diganjal dengan karet
sehingga memberikan permukaan rata dengan telapak kaki sisi depan
dan belakang (tumit).

Tehnik Dressing pada luka Diabetikum

Tehnik dressing pada luka diabetes yang terkini menekankan metode


moist wound healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab.
Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat dapat dikontrol,
menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket dengan
bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap gas.
Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting
dalam mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah
bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan lembab sehingga
dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi. Ada beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan dalam memilih dressing yang akan
digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada
tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis
dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:

31
hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti
mikroba,
dan sebagainya.
Ovington memberikan pedoman dalam memilih dressing yang tepat
dalam menjaga keseimbangan kelembaban luka:
- Kompres harus mampu memberikan lingkungan luka yang lembab
- Gunakan penilaian klinis dalam memilih kompres untuk luka luka
tertentu yang akan diobati
- Kompres yang digunakan mampu untuk menjaga tepi luka tetap
kering selama sambil tetap mempertahankan luka bersifat lembab
- Kompres yang dipilih dapat mengendalikan eksudat dan tidak
menyebabkan maserasi pada luka
- Kompres yang dipilih bersifat mudah digunakan dan yang bersifat
tidak sering diganti
- Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga
luka sehingga dapat meminimalisasi invasi bakteri.
- Semua kompres yang digunakan harus dipantau secara tepat.

Pengendalian Infeksi

Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman.


Namun sebelum hasil kultur dan sensitifitas kuman tersedia
antibiotika harus segera diberikan secara empiris pada kaki diabetik
yang terinfeksi. Antibiotika yang disarankan pada kaki diabetik
terinfeksi. Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang
diberikan di fokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi
yang berat (limb or life threatening infection) kuman lebih bersifat
polimikrobial (mencakup bakteri gram positif berbentuk coccus, gram
negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus
bersifat broadspectrum, diberikan secara

32
injeksi. Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection
dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti:
ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate, piperacillin/
tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin,
fluoroquinolone + clindamycin. Sementara pada infeksi berat yang
bersifat life threatening infection dapat diberikan beberapa alternatif
antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam +aztreonam,
piperacillin/tazobactam + vancomycin, vancomycin +
metronbidazole+ceftazidime, imipenem/cilastatin atau
fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole. Pada infeksi berat
pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih.
Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama
dan sering kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping
pemberian antibiotika juga harus dilakukan reseksi bedah. Antibiotika
diberikan secara empiris, melalui parenteral
selama 6 minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto
radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai
bersih pemberian antibiotika dapat dipersingkat,
biasanya memerlukan waktu 2 minggu.

Jenis-jenis diabetes melitus

Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit

populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan

populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan

sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun.

33
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa

tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-

sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi

hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara

selektif menghancurkan sel-sel β.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar

pankreas langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin.

Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme

yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi insulin, fungsi sel-sel α

kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak

normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang

berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal,

hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak

terjadi pada penderita DM

34
tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan

hiperglikemia, hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu

manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1

mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi

insulin.

Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih

umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1,

terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi

pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin

gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini

disebut resietensi insulin.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat

juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa

hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan

sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM

tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM

tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.

Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada

kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes

tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh
35
gemuk. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang

telah terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2

terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan

terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap glukosa

dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua

kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver

teurapetik yang mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2005).

36
Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang

timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya

sementara. Keadaan ini terjadi karena pembentukan hormon pada ibu

hamil yang menyebabkan resistensi insulin (Tandra, 2008).

Diagnosis diabetes mellitus

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria,

polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya. Diagonosis DM dapat dipastikan apabila

hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah puasa≥ 126 mg/dl. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus

Glukosa plasma Glukosa Plasma 2 jam


puasa setelah makan

Normal <100 mg/dl <140 mg/dl

Diabetes ≥126 mg/dl ≥200 mg/dl

37
Penatalaksanaan diabetes mellitus

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang

harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan

diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan

penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah

farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral,

atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

38
Terapi non farmakologi
Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan

diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan

pengobatan diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah

mendekati kadar normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang


optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes

mellitus, yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian

hasil metabolis yang optimal dan pencegahan serta perawatan

komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada

regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai

dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah

dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki

respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa.

Olah raga
39
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar

gula darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah

raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus

pengaruhnya bagi kesehatan.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan

atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga

akan memperbanyak jumlah

40
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan

Alkes, 2005).

Terapi farmakologi

Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas

dalam merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri

dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21

asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin

mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian

metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa

dari darah ke dalam sel.

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya

baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid,

Velosulin, Humulin Regular. 2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya

larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat

injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah


41
mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah

bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan

dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja

berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).

42
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2

kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar

glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan

kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan

sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah

insulin (Waspadji, 2010).

Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu

penanganan pasien diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi

antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat

atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2005).

Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin

dikelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β

Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan kadar

glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa

sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh

kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk

diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta

43
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2005).

Sulfonilurea generasi pertama

Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme

dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh

eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat

protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi

karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan

Suharto, 1995).

44
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami

biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh

obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat

efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-

hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih

panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).

Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme

di dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam

darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya

masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko

dan Suharto, 1995).

Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea

lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam

beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam

(Katzung, 2002).

Sulfonilurea generasi kedua

Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira

100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana

obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar

dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang

45
lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi

insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan

Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit

diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal

(Handoko dan Suharto, 1995).

Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid

dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10%

diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002).

46
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan

dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal

besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan

adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan

dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak

aktif (Katzung, 2002).

Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin

menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja

insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi gula hati.

Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak

meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight

(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang

luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan

meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan

hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak

dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat

bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa

47
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel

β pankreas.

Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.

Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim

glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan

hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak

menyebabkan

48
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh:

Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).

Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami

kenaikan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg

lama). Menurut WHO, tidak bergantung pada usia, pada keadaan

istirahat batas normal teratas untuk tekanan sistolik 140 mmHg,

sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah batas yang harus diamati

bila sistolik 140-149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg (Anonim,

2008).

Jenis-jenis hipertensi

Hipertensi primer (essensial)

Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh

pasien hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi

sekunder. Oleh karena itu, upaya penanganan hipertensi primer lebih

mendapatkan prioritas. Peninggian tekanan darah tidak jarang

merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer. Bergantung

pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda,

kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala, dan baru

49
timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti

ginjal, mata, otak, dan jantung.

Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari


penyakit

komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan

darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal

kronis atau renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling

sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung atupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat

50
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan

Alkes, 2006).

Klasifikasi tekanan darah

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee

on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi

menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan

hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC

KlsifikasiTekana
n TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Darah
Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Keterangan : TDS = Tekanan Darah Sistolik


TDD = Tekanan Darah Diastolik

51
Pengelolaan hipetensi

Terapi non farmakologi

Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup


seseorang.

Semua pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu

dinasehati mengenai gaya hidup, seperti menurunkan kegemukan,

asupan garam (total, < 5 g/hari), asupan lemak jenuh dan alkohol (pria

< 21 unit dan perempuan < 14 unit per minggu), banyak makan buah

dan sayuran, tidak merokok dan berolah raga

52
yang teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah

dapat menurunkan penggunaan obat-obat (Ditjen Bina Farmasi dan

Alkes, 2006).

Terapi farmakologi

Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi

adalah obat. Keputusan untuk memulai memberikan obat

antihipertensi berdasarkan beberapa faktor seperti derajat peninggian

tekanan darah, terdapatnya kerusakan organ target, dan terdapatnya

manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau faktor risiko lain.

Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics,

Angiostensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor),

Angiostensin Reseptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BBs), Calcium

Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi

Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih

banyak pada populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi

diketahui mempercepat dan memperberat penyulit-penyulit akibat

diabetes seperti penyakit jantung koroner, stroke, nefropati diabetik,

retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat diabetes, yang

53
meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi merupakan

faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes

dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita

diabetes khususnya.

Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah

resistensi insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan

resistensi insulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama

pada pasien gemuk. Insulin

54
merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan

reabsorpsi natrium (Saseen dan Carter, 2005).

Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks

dan tidak berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2,

hipertensi seringkali bagian dari sindrom metabolik dari resistensi

insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa tahun pada

pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia

memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi

sodium pada ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada

sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan resistensi sekeliling

vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari

hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi perkembangan komplikasi

makrovaskular dan mikrovaskular (Saseen dan Carter, 2005).

Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan


komplikasi hipertensi

Terapi non farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk


mengurangi

morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat

hipertensinya. Dalam penanganan diabetes dengan komplikasi

55
hipertensi, diperlukan perhatian khusus seperti nefropati, retinopati,

gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia,

hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati autonom,

dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan

asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan

berolah raga (Saseen dan Carter, 2005).

56
Terapi farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual


dengan

memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang

diabetes mellitus mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus

diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes

mellitus sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Efektif menurunkan tekanan darah.

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons

terhadap hipo-hiperglikemia.

3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran

darah tungkai, tidak meningkatkan risiko impotensi.

5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter,

2005). Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi

dengan diabetes

mellitus adalah senagai berikut:

Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

57
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat

perubahan angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin

II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi

aldosteron (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan

diabetes. Obat ini merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi

dengan kondisi diabetes. Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang

menunjukan penurunan hipertensi yang berhubungan dengan

komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan

58
penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan

bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen

dan Carter, 2005).

ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana

dilatasi arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi

ginjal dan dapat mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki

sensivitas insulin dan tanpa efek pada lipid atau asam urat dalam

serum (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril,

Ramipril, Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara

langsung reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia:

vasokonstrisi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan

hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari glomelurus (

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu

merupakan obat pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan

diabetes. ARB lebih disukai sebagai bahan pertama untuk mengontrol

hipertensi dengan diabetes. Secara farmakologis, ARB akan


59
memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent arteriol dari

ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin (Gray,

dkk., 2006).

ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik

nefropati, diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian

penyakit ginjal. ARB

60
merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan

kerusakan ginjal pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati

(Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan,

Irbesartan, Telmisartan, Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

Diuretics

Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan

duktus kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat

reabsorbsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme

kompetitif. Contoh diuretik hemat kalium adalah spironolakton.

Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa menyebabkan kehilangan

kalium dalam urin (Anonim, 2009).

Beta Bocker (β-blocker)

Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien

diabetes, dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker

telah ditunjukan paling tidak pada satu studi menjadi sama efektif

dengan ACE Inhibitor dalam hal perlindungan terhadap morbiditas

dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan Carter, 2005).

61
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat

beta yang kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang

nonselektif pada penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena

alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah

fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih tinggi,

penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas relatifnya

untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif

memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

62
CCB (Calcium Chanel Blocker)

CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat

hipertensi pada pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas

insulin atau metabolisme glukosa dan nampak menjadi obat

antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes dan hipertensi.

Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular dengan

CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana

antihipertensif yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan

ARB) (Sassen dan Carter, 2005).

CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun

demikian, CCB dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker,

ACE inhibitor, dan ARB. Target tekanan darah pada pasien diabetes

adalah < 130/80 mmHg karena kebanyakan pasien diabetes

membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk mencapai tujuan

ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,

khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter,

2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin,

Nifedipin, Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)


63
Pelayanan kefarmasian adalah praktek berorientasi pada pasien

dimana dalam pelaksanaanya bertanggung jawab pada kebutuhan

pasien terkait obat. Pelaksanaan pelayanan kefarmasian bertanggung

jawab dalam terapi obat pasien untuk mencapai hasil (outcomes) yang

lebih baik dan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien (Cipolle,

dkk., 2004).

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang

beorientasi kepada pelayanan

64
pasien, penyediaan obat yang bermutu termasuk pelayanan farmasi

klinik. Pelayanan kefarmasian terus berkembang tidak terbatas hanya

penyiapan obat dan penyerahan obat pada pasien tapi juga

memerlukan interaksi dengan pasien dan professional kesehatan

lainnya.

Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi

yang paripurna sehingga dapat: tepat pasien, tepat dosis, tepat cara

pemakaian, tepat kombinasi, tepat waktu dan harga. Selain itu pasien

diharapkan juga mendapatkan pelayanan penyuluhan yang dianggap

perlu oleh farmasi sehingga pasien mendapatkan pengobatan yang

efektif, efisien, aman, rasional bermutu, dan terjangkau (Anomim,

2011).

Drug Related Problems (DRPs)

DRPs adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami

oleh pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat

dan cenderung mengganggu kesembuhan yang pasien inginkan. Drug

Related Problems mempunyai dua komponen utama:

1. Peristiwa yang tidak diharapkan atau resiko dari peristiwa yang

dialami oleh pasien. Kejadian ini dapat memberikan bentuk dari

keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, ketidakmampuan, atau

65
sindrom. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh kondisi

psikologi, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.

2. Adanya gejala antara kejadian yang tidak diharapkan pasien dan

terapi obat. Keterkaitan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi

obat, saran yang berkaitan dengan sebab dan efek atau kejadian

yang memerlukan terapi obat untuk resolusi dan pencegahannya

(Cipolle, dkk., 2004).

66
Jenis-jenis Drug Related Problems (DRPs) dan penyebabnya
menurut

Cipolle, dkk., (2004) disajikan sebagai berikut:

1. Membutuhkan terapi tambahan obat

a. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi

awal pada obat.

b. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi

obat berkesinambungan.

c. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan

parmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau

potesiasi.

d. Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan

baru yang dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah

penyakit pada terapi obat dan / atau tindakan pramedis.

2. Terapi obat yang tidak perlu

a. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat

indikasi pada waktu itu.

b. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah

racun dari obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit

pada waktu itu.

c. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.

67
d. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa
obat.

e. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang

mana hanya satu terapi obat yang terindikasi.

f. Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang

tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan

dengan pengobatan lainnya.

68
3. Terapi obat salah

a. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi


pengobatan.

b. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang


digunakan.

c. Bentuk sediaan obat tidak tepat.

4. Dosis terlalu rendah

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon

kepada pasien.

b. Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik

yang diharapkan.

c. Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk

menghasilkan respon yang diinginkan.

5. Reaksi obat yang merugikan

a. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

b. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain

atau makanan pasien.

c. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak

dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis.

d. Penggunaan obat yang kontraindikasi.

6. Dosis terlalu tinggi

69
a. Dosis terlalu tinggi untuk pasien.

b. Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas

teurapetik obat yang diharapkan.

c. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk


pasien.

d. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

70
7. Kepatuhan

a. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan,

pengobatan, pemberian, pemakaian).

b. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.

c. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

d. Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena kurang

mengerti.

e. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah

merasa sehat.

Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).13 Tetapi
yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.
Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti dehidrasi,
perdarahan akut dan kehamilan. parameter yang paling umum dipakai untuk
menunjukkan penurunan masasa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh
hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga prameter tersebut saling
bersesuaian. Di negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki
adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. WHO

71
menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti
terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Kriteria Anemia Menurut WHO
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
keperluan klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit
dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara
ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di
rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh
karena itu, beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan
memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up
anemia.

Patofisiologi dan Gejala Anemia


Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala
yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar
hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul
karena : 1.) anoksia organ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia
simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada : a.) derajat penurunan
hemoglobin : b). kecepatan penurunan hemoglobin; c). usia; d). adanya kelainan
jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu :
 Gejala umum anemia.
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
72
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia
setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7g/dl) sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada kongjungtiva,
mukosa mulut telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia
bersifat tidak spesifik karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang
berat (Hb <7g/dl).
 Gejala khas masing-masing anemia., gejala ini spesifik untuk masing-
masing jenis anemia. Sebagai contoh :
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
 Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyabab anemia tersebut. Meskipun tidak
spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia
untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diganosis
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia disesuaikan dengan etiologi dari anemia, sebagai
contoh penggunaan kortikosteroid berguna pada penatalaksanaan dengan
anemia autoimun hemolitik. Penatalaksaan yang baik untuk anemia disebabkan
oleh kehilangan darah adalah mengkoreksi penyebab utama dan pemberian oral
Ferrous sulfate hingga anemia teratasi dan untuk selama beberapa bulan
73
selanjutnya. Meskipun dosis umumnya ferrous sulfate adalah 325 mg oral 3x
sehari, pemberian dosis rendah dapat memberikan hasil yang sama efektif dan
menyebabkan efek samping yang lebih sedikit. Transfusi sel darah merah dalam
bentuk PRC harus diberikan kepada pasien yang memiliki perdarahan secara
aktif dan untuk pasien dengan anemia berat dan gejala. Transufi paliatif tidak
boleh digunakan sebagai pengganti terapi khusus. Pada penyakit kronis yang
berhubungan dengan anemia gangguan kronis, erythropoietin mungkin dapat
membantu dalam mencegah atau mengurangi tranfsui sel darah merah. Risiko
tranfusi darah adalah reaksi hemolitik dan risiko penularan penyakit menular.
Pasien dengan autoimun antibodi terhadap sel darah merah berada pada risiko
yang lebih besar dari reaksi transfusi hemolitik karena kesulitan dalam lintas
pencocokan darah.

74
75
Daftar Pustaka
1. Scheffler NM, 2004 Nov-Dec, Innovative treatment of a diabetic ulcer: a case study.
): 111-2 (journal article - case )

2. Stolle LB;at all, 2004 Feb; The metabolism of the diabetic foot. (journal article) ISSN:
0001-6470 PMID: 15022818 CINAHL AN: 2009394327

3. Bennett,P.EpidemiologyofType2DiabetesMillitus.InLeRoithet.al,
DiabetesMillitusaFundamentalandClinical
Text.Philadelphia:LippincottWilliam&Wilkin s.2008;43(1): 544-7.

4 .Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas


Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb 17]. Available
from :http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID= 61&src=a&id=186192

5.Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus. 2005.

6. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes. A,erican
Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.

7. Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Melitus

Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation]. Universitas Diponegoro


(Semarang). 2008.

8. Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.
9. Sujaya, I Nyoman. “Pola Konsumsi Makanan

Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.” Jurnal
Skala Husada”. 2009;6(1);75-81.

76

Anda mungkin juga menyukai

  • Raw 1
    Raw 1
    Dokumen17 halaman
    Raw 1
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • FCGVJ
    FCGVJ
    Dokumen36 halaman
    FCGVJ
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen85 halaman
    Bab I
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • JHFGKJWHDLW
    JHFGKJWHDLW
    Dokumen20 halaman
    JHFGKJWHDLW
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Skin
    Skin
    Dokumen16 halaman
    Skin
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • MHFWKLQW
    MHFWKLQW
    Dokumen6 halaman
    MHFWKLQW
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Figulhj
    Figulhj
    Dokumen20 halaman
    Figulhj
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • FHGVH
    FHGVH
    Dokumen4 halaman
    FHGVH
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Batu Ginjal (Nefrolitiasis) : SMF Bedah Rsud Ciawi
    Batu Ginjal (Nefrolitiasis) : SMF Bedah Rsud Ciawi
    Dokumen13 halaman
    Batu Ginjal (Nefrolitiasis) : SMF Bedah Rsud Ciawi
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Hiv Dalam Kehamilan: Yogie Rinaldi 112016031
    Hiv Dalam Kehamilan: Yogie Rinaldi 112016031
    Dokumen25 halaman
    Hiv Dalam Kehamilan: Yogie Rinaldi 112016031
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • 1 Hbkjnlks
    1 Hbkjnlks
    Dokumen46 halaman
    1 Hbkjnlks
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Morbus Hansen Referat
    Morbus Hansen Referat
    Dokumen34 halaman
    Morbus Hansen Referat
    Sitti Monica A. Ambon
    100% (1)
  • Pengcfhgc
    Pengcfhgc
    Dokumen13 halaman
    Pengcfhgc
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Referat Kulit Joses
    Referat Kulit Joses
    Dokumen8 halaman
    Referat Kulit Joses
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Susunan Acara Penyuluhan
    Susunan Acara Penyuluhan
    Dokumen4 halaman
    Susunan Acara Penyuluhan
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • GFHCGJVKWBLMX
    GFHCGJVKWBLMX
    Dokumen16 halaman
    GFHCGJVKWBLMX
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Nih Referat
    Nih Referat
    Dokumen4 halaman
    Nih Referat
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen25 halaman
    Referat
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Referat Kulit Joses
    Referat Kulit Joses
    Dokumen8 halaman
    Referat Kulit Joses
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • LHGKHL
    LHGKHL
    Dokumen7 halaman
    LHGKHL
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • LAP Yogie
    LAP Yogie
    Dokumen9 halaman
    LAP Yogie
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • GDSFDHCVJKBNL
    GDSFDHCVJKBNL
    Dokumen3 halaman
    GDSFDHCVJKBNL
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Lknms
    Lknms
    Dokumen25 halaman
    Lknms
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • JGHBK
    JGHBK
    Dokumen15 halaman
    JGHBK
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Laporan Acara Penyuluhan Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi TAHUN 2017
    Laporan Acara Penyuluhan Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi TAHUN 2017
    Dokumen9 halaman
    Laporan Acara Penyuluhan Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi TAHUN 2017
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Ahbjnl
    Ahbjnl
    Dokumen15 halaman
    Ahbjnl
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Case Peb Cece
    Case Peb Cece
    Dokumen6 halaman
    Case Peb Cece
    cecilliacynthia
    Belum ada peringkat
  • Case Besar DR
    Case Besar DR
    Dokumen66 halaman
    Case Besar DR
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus "Seorang Laki Laki Usia 70 Tahun Dengan Demam Hari Ke-7, Stroke Non Hemorage, DM, Nefropati DM"
    Laporan Kasus "Seorang Laki Laki Usia 70 Tahun Dengan Demam Hari Ke-7, Stroke Non Hemorage, DM, Nefropati DM"
    Dokumen41 halaman
    Laporan Kasus "Seorang Laki Laki Usia 70 Tahun Dengan Demam Hari Ke-7, Stroke Non Hemorage, DM, Nefropati DM"
    Yogie Rinaldi Hutasoit
    Belum ada peringkat