NASKAH PUBLIKASI
Diajukan oleh :
Anis Setyati
J 50011 0092
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
NASKAH PUBLIKASI
'.."***.".*...)
-cebaS.fo,
Prof. Sp A(K)
k
ABSTRAK
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Dalam rancangan penelitian ini peneliti
melakukan pengukuran secara langsung dan diobservasi sekaligus pada saat
bersamaan untuk menilai perbedaan antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi
terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita infark miokard akut.
Penelitian ini dilakukan di Unit Rekam Medik Rumah Sakit Umum
Daerah Moewardi Surakarta pada bulan November 2013-Januari 2015. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien infark miokard akut dengan
ST-elevasi yang memenuhi kriteria retriksi.
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini dengan data
sekunder, yaitu dokumen rekam medik pasien infark miokard akut rawat inap di
RSUD Moewardi. Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan uji statistik
Chi-square dengan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16,0 for
windows dengan taraf signifikansi p<0,05 (Dahlan, 2011).
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
Laki-laki 33 66
Perempuan 17 34
Jumlah 50 100
Tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien infark miokard akut di RSUD
Moewardi paling banyak pada laki-laki sebanyak 33 pasien (66%), sedangkan
perempuan sebanyak 17 pasien (34%).
Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Presentase (%)
36-45 4 8
46-55 12 24
56-65 13 26
66-75 21 42
Jumlah 50 100
Tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien infark miokard akut paling
banyak ditemui pada usia 66-75 tahun, yaitu 21 pasien (42%) dan yang paling
sedikit usia 36-45 tahun, yaitu 4 pasien (8%).
Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Perbedaan Terapi Fibrinolitik dan
Heparinisasi Terhadap Perubahan ST-Elevasi
Perubahan ST-elevasi
Total
>70% <30%
Fibrinolitik 18 (36%) 7 (14%) 25 (50%)
Terapi
Heparinisasi 9 (18%) 16 (32%) 25 (50%)
Jumlah 27 (54%) 23 (46%) 50 (100%)
Berdasar tabel yang mengalami perubahan ST-elevasi >70% sebanyak 18
pasien dengan fibrinolitik dan 9 pasien dengan heparinisasi, sedangkan perubahan
ST-elevasi <30% sebanyak 7 pasien dengan fibrinolitik dan 16 pasien dengan
heparinisasi.
Tabel 4. Analisis Uji Statistik Chi-Square
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value Df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.522a 1 .011
Continuity Correctionb 5.153 1 .023
Likelihood Ratio 6.676 1 .010
Fisher's Exact Test .022 .011
Linear-by-Linear Association 6.391 1 .011
N of Valid Casesb 50
Berdasarkan tabel hasil analisis uji Chi-square menunjukkan significancy
p=0,011 antara terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi
pada penderita infark miokard akut.
PEMBAHASAN
Distribusi data berdasar jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki lebih
banyak menderita IMA sebanyak 33 orang (66%) dibanding perempuan sebanyak
17 orang (34%). Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa
laki-laki memiliki risiko 2 kali lebih besar dari pada perempuan karena berkaitan
dengan estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan (Gray et al.,
2010).
Penelitian dengan hasil yang serupa dilakukan oleh Edahiro et al di Jepang
pada tahun 2014. Penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
menderita infark miokard akut sebanyak 75,7% dari 7755 sampel dibandingkan
pada perempuan. Penelitian lain oleh Loch et al tahun 2013 di Malaysia yang
melibatkan 169 sampel dengan menggunakan uji Mann-Whitney, didapatkan
perbandingan penderita IMA laki-laki : perempuan adalah 145 : 24 pasien pada
periode studi pertama. Pada periode studi kedua dengan total sampel 128,
perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 118 : 10 pasien. Penelitian
serupa lain yang dilakukan oleh Prasetyo tahun 2014 di RS Dr. M. Djamil Padang,
menunjukkan bahwa pasien infark miokard akut laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan. Perbandingan rasio antara laki-laki dengan perempuan adalah 2,6:1.
Berdasarkan usia menunjukkan bahwa yang paling banyak menderita
IMA pada kelompok usia 66-75 tahun sebayak 21 orang (42%). Hal ini
menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia akan berpengaruh dalam
penurunan fungsi organ dan sistem dalam tubuh. Pada fungsi kardiovaskuler,
pacemaker di SA node menurun sehingga pengisian ventrikel sinistra menurun
yang akan mengakibatkan daya pompa ke arteri koroner berkurang dan menjadi
daerah infark (Setiati et al., 2010).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Edahiro et al di Jepang pada tahun
2014. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penderita infark miokard akut
paling banyak pada usia 66 (57-74) tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Prasetyo et al tahun 2014 di Padang dengan sampel 54 pasien IMA menunjukkan
kelompok usia paling banyak adalah usia 40-60 tahun sebanyak 30 (55,56%)
pasien. Pada kelompok usia >60 tahun sebanyak 18 (33,33%) pasien. Penelian
yang sama dilakukan oleh Tabriz et al tahun 2012 di Iran. Penelitian tersebut
menunjukkan rata-rata usia yang menderita infark miokard akut adalah usia 61,2
tahun.
Sampel ditetapkan oleh peneliti sebanyak 50 sampel yang terdiri dari 25
sampel (50%) IMA yang diberi terapi fibrinolitik dan 25 sampel (50%) diberi
terapi heparinisasi. Pasien STEMI yang mengalami penurunan ST-elevasi >70%
sebanyak 18 pasien dengan terapi fibrinolitik dan 9 pasien dengan heparinisasi.
Sedangkan pasien STEMI yang mengalami penurunan ST-elevasi <30% sebanyak
7 pasien dengan terapi fibrinolitik dan 16 pasien dengan heparinisasi. Data
tersebut menunjukkan bahwa terapi fibrinolitik lebih efektif dalam menurunkan
ST-elevasi dari pada pasien yang diberi terapi heparinisasi.
Fibrinolitik memiliki kemampuan untuk melisiskan trombus pada
pembuluh darah, sehingga mengurangi nekrosis yang terjadi pada miokard,
sedangkan heparinisasi hanya mempertahankan oklusi pada dinding pembuluh
darah. Pada penelitian lain, terapi trombolitik lebih signifikan dalam menurunkan
angka kematian atau reinfark dibanding heparin (fondaparinux). Pasien diberi
fondaparinux memiliki manfaat yang signifikan pada pasien dengan trombolisis (p
= 0,003) dan tanpa pemberian trombolitik (p = 0,03) (Yusuf et al., 2006).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Firdaus tahun 2012 di Jakarta,
menunjukkan bahwa sampel yang diberi fibrinolitik saja dan dengan IKP
(Intervensi Koroner Perkutan) terdapat perbedaan yang signifikan dalam tingkat
kematian dan reinfark, yaitu nilai p=0,021 (13% vs 4,0%). Pemberian fibrinolitik
pra-Rumah Sakit akan mengurangi angka kematian dibanding pemberian di
Rumah Sakit. Keberhasilan terapi fibrinolitik ditandai dengan berkurangnya rasa
nyeri dada, penurunan ST-elevasi >50% dan enzim jantung mencapai kadar
puncak (Firdaus, 2012).
Tingkat resolusi segmen ST dalam 12 sadapan elektrokardiografi awal
setelah reperfusi pada pasien infark miokard akut dengan ST-elevasi sangat
penting untuk memprediksi jangka pendek atau panjang kematian dengan nilai
p<.001. Resolusi segmen ST-elevasi merupakan salah satu tanda untuk menilai
prognostik pada elektrokardiografi (Zeymer et al., 2005).
Analisa data yang didapatkan peneliti, menunjukkan bahwa terapi
fibrinolitik dan heparinisasi memiliki efektifitas menurunkan ST-elevasi dengan
Odds Ratio (OR) 4.571. Analisa uji Chi-Square pada penelitian ini didapatkan
nilai p = 0,011 (<0,05) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
terapi fibrinolitik dan heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita
infark miokard akut. Penelitian ini telah didukung oleh beberapa penelitian yang
sudah dijelaskan diatas.
Setelah melakukan penelitian, peneliti menemukan beberapa kelemahan
sebagai berikut :
a. Sampel kurang banyak bila dibandingkan penelitian serupa
b. Peneliti hanya menggunakan data sekunder
c. Jenis penelitian menggunakan cross sectional
d. Hasil rekaman EKG kurang jelas, sehingga menyulitkan peneliti dalam
mengambil data
e. Pengelompokan usia terlalu jauh
f. Pengambilan sampel tidak dikelompokkan setiap bulan
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan yang signifikan antara terapi fibrinolitik dan
heparinisasi terhadap perubahan ST-elevasi pada penderita infark miokard akut
dengan taraf signifikansi p <0,05.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kepada dr. Sumardjo, Sp. PD dan dr. Listiana Masyita
Dewi yang telah membimbing dan membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Idrus. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Infark Miokard Akut dengan
Elevasi ST Jilid III. 4th ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia, pp 1741-54.
Dawkins K., Busk M., et al., 2011. Association between ST segment Resolution
following Fibrinolytic therapy or Intracoronary stenting, and Reinfarction in
the same myocardial region in the DANAMI-2 study population. Journal of
BMJ. 12(2) : 75-81.
Edahiro R., Sakata Y., Nakatani D., et al., 2014. Association of lifestyle-related
factors with circadian onset patterns of acute myocardial infarction: a
prospective observational study in Japan. BMJ Open. 4:1-11.
Firdaus I., 2012. Strategi Farmako-Infasif pada STEMI Akut. Jurnal Kardiologi
Indonesia. 4(32) : 266-71.
Gray H.H., Dawkins K.D., et al., 2005. Lecture Notes : Kardiologi. Edisi IV.
Jakarta : Erlangga, pp 135-45.
Kinnaird Tim, Medic Goran, et al., 2013. Relative Efficacy of Bivalirudin Versus
Heparin Monotherapy In Patients with ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction Treated with Primary Percutaneous Coronary Intervention: A
Network Meta-Analysis. Journal of Blood Medicine. 4 : 129-40.
Li Yulong, Rukshin Iris, et al., 2014. The Impact of the 2008-2009 Economic
Recession on Acute Myocardial Infarction Occurrences in Various
Socioeconomic Areas of Raritan Bay Region, New Jersey. Journal of
Medical Sciences. 6(5) : 215-18.
Loch A., Lwin T., Zakaria I. M., et al., 2013. Failure to improve door-to-needle
time by switching to emergency physician-initiated thrombolysis for ST
elevation myocardial infarction. Postgrad Med J. 89 : 335-9.
Mycek M. J., Harvey R. A., et al., 2011. Farmakologi. Edisi II. Jakarta : Widya
Medika, pp 199-205.
Notoatmodjo S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
pp. 124-125.
Prasetyo R. D., Syafri M., Efrida. 2014. Gambaran Kadar Troponon T Creatinin
Kinase Myocardial Band pada Infark Miokard Akut. Jurnal Kesehatan
Andalas. 3(3) : 447-51.
Setiati S., Harimurti K., et al., 2009. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, pp 1335-40.
Yusuf S., Mehta S. R., et al., 2006. Effects of Fondaparinux on Mortality and
Reinfarction in Patients with Akut ST Segmen Elevation Myocardial
Infarction : The OASIS-6 Randomized Trial. JAMA. 295(13), pp 1519-30.