Anda di halaman 1dari 11

Kanker ovarium merupakan tumor ganas pada ovarium yang memiliki histogenisitas yang beraneka

ragam, di mana dapat berasal dari ketiga dermoblast baik ekoderm, mesoderm dan endoderm.
Kanker ini berdasarkan atas sel-sel penyusun ovarium dapat dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu:
kanker ovarium tipe epitelial, germinal dan stromal (Busman, 2008). Sampai saat ini penyebab pasti
dari kanker ovarium masih diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko yang dianggap dapat
menjadi penyebab timbulnya kanker ovarium, antara lain: adanya riwayat keluarga penderita
kanker ovarium, mamae, dan kolon, mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2, umur di atas 50 tahun,
wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara, dan wanita yang memiliki anak pada umur lebih dari
35 tahun (Ari, 2008).

Epidemiologi kanker ovarium


Kanker ovarium merupakan keganasan ketiga terbanyak pada saluran genitalia wanita. Kanker
ovarium sangat sulit ditemukan pada stadium awal, sehingga sebagian besar kasus baru ditemukan
pada stadium yang telah lanjut (Ari, 2008). Adanya keterlambatan dan kesulitan dalam melakukan
diagnosis pada kanker ovarium ini sangat berhubungan dengan sifat totipoten dari ovarium, lokasi
ovarium yang tersembunyi di dalam kavum pelvis, mudah terjadinya metastasis, gejala yang tidak
spesifik, sosial budaya, dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah. Terlebih lagi, deteksi dini
dari kanker ovarium, sampai saat ini masih belum dapat dilakukan (Berek dan Natarajan, 2007).

Kanker ovarium sebagian besar terjadi pada wanita umur 40 sampai 65 tahun dan sangat jarang
terjadi pada umur di bawah 40 tahun. Angka kejadian kanker ovarium mengalami peningkatan
seiring dengan pertambahan umur wanita, di mana kurang lebih sebesar 16 kasus per 100.000
wanita umur 40 sampai 44 tahun meningkat menjadi 57 kasus per 100.000 wanita umur 70 sampai
74 tahun. World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 melaporkan bahwa kanker ovarium
di Indonesia menempati urutan ke empat terbanyak dengan angka insiden mencapai 15 kasus per
100.000 wanita setelah kanker payudara, korpus uteri, dan kolorektal (Fauzan, 2009). Di Amerika
serikat, jumlah kasus baru dan angka mortalitas kanker ovarium meningkat setiap tahunnya, di
mana pada tahun 2002 diperoleh sebanyak 23.300 kasus, dengan angka kematian sebesar 56,29%
dari kasus tersebut. Pada tahun 2003 meningkat menjadi 25.400 kasus dengan angka kematian
sebesar 59,66% dari kasus dan tahun 2007 menjadi 22.430 kasus baru dengan angka kematian
meningkat mencapai 68,12%. Bahkan pada tahun 2010 diperkirakan sebanyak 21.880 kasus baru
akan terdiagnosis dengan angka kematian yang masih tinggi yaitu sebesar 63,30% (American Cancer
Society, 2010).

Angka kejadian kanker ovarium di Indonesia berdasarkan data Badan Registrasi Kanker pada tahun
2006 mencapai 11,9% (Badan Registrasi Kanker, 2006). Angka kejadian kanker ovarium di Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tahun 2005 diperoleh sebesar 35% dari seluruh kanker
ginekologi dengan survival rate selama lima tahunnya hanya sebesar 15% (Karyana, 2005).

Patogenesis kanker ovarium


Berbagai penelitian dalam rangka mengungkap patogenesis berbagai karsinogen sebagai penyebab
terjadinya kanker ovarium masih belum menujukkan hasil. Walaupun penyebab pasti kanker ovarium
masih belum ditemukan, beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli dalam rangka mengungkap
patogenesis terjadinya kanker ovarium, antara lain: teori incessant ovulation, inflamasi dan
gonadotropin.
2.2.3.1 Teori incessant ovulation
Teori Incessant ovulation ini beranggapan bahwa adanya trauma berulang pada ovarium selama
proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor
risiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau abnormalitas genetik. Semakin dini
usia wanita mengalami menstruasi, semakin terlambat mencapai menopause, tidak pernah hamil atau
memiliki keturunan merupakan berbagai kondisi yang dapat meningkatkan frekuensi ovulasi.
Berbagai kondisi yang menekan frekuensi ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui justru
menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium (Choi, 2007).
Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita meyebabkan terperangkapnya
fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft atau invaginasi pada permukaan dan badan inklusi
pada kortek ovarium. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
frekuensi metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalamai invaginasi dan
terbentuknya badan inklusi (Choi, 2007).
2.2.3.2 Teori inflamasi
Teori ini diangkat berdasarkan pada penelitian yang memperoleh hasil bahwa angka insiden kanker
ovarium meningkat pada wanita yang mengalami infeksi atau radang pada panggul. Menurut teori
ini, berbagai karsinogen dapat mencapai ovarium melalui saluran genitalia. Walaupun adanya
proteksi terhadap risiko kanker ovarium melalui ligasi tuba dan histerektomi mendukung teori ini,
namun peranan signifikan faktor reproduksi lainnya tidak dapat dijelaskan dengan teori ini (Choi,
2007).
2.2.3.3 Teori gonadotropin
Teori ini dapat dijadikan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium. Adanya kadar gonadotropin yang
tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama proses ovulasi dan hilangnya gonadal negative
feedbeck pada menopause dan kegagalan ovarium prematur memegang peranan penting dalam
perkembangan dan progresivitas kanker ovarium (Choi, 2007).
Perkembangan kanker ovarium dipengaruhi oleh hormon-hormon hipofisis pada berbagai macam
tikus. Pada hewan tersebut, adanya penurunan estrogen dan peningkatan sekresi gonadotropin
hipofisis dapat mengakibatkan perkembangan kanker ovarium. Ovarium yang terpapar bahan
karsinogen, seperti Dimethylbenzanthrene (DMBA) akan berkembang menjadi kanker setelah
ditransplantasikan pada tikus yang telah menjalani ooforektomi, namun hal tersebut tidak ditemukan
pada tikus yang sebelumnya dilakukan pengangkatan kelenjar pituitari (Choi, 2007).
Penelitian yang dilakukan Cramer dan Welch bertujuan untuk menilai hubungan antara kadar
gonadotropin dengan estrogen. Adanya sekresi gonadotropin dalam jumlah yang tinggi ternyata
mengakibatkan peningkatan stimulasi estrogen pada epitel permukaan ovarium. Hal tersebut
diduga berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Choi, 2007).

Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya Ca ovarium ditemukan pada


1. Faktor genetik
Mutasi gen p53, BRCA 1 dan BRCA2 meningkatkan resiko terjadinya ca ovarium.
2. Umur
Kejadian ca ovarium meningkat seiring dengan peningkatan umur dan paling banyak
ditemukan pada kelompok wanita umur 60 sampai 64 tahun
3. Menopause
Resiko keganasan tumor ovarium didapatkan sebesar 13% pada wanita premenopause dan
45% postmenopause
4. Kehamilan
Wanita yang sudah pernah hamil memiliki risiko untuk mengalami kanker ovarium sekitar
50% lebih rendah daripada wanita yang belum pernah hamil atau nullipara. Bahkan, wanita
yang telah beberapa kali hamil risiko terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang
5. Paritas
Semakin tinggi jumlah paritas maka semakin rendah kemungkinan risiko terjadinya kanker
ovarium. Pada wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat
lebih besar untuk terjadinya kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih
6. Penggunaan kontrasepsi oral
Penggunaan obat kontrasepsi oral dapat menurunkan risiko kejadian kanker ovarium kurang
lebih sebesar 40% pada wanita yang berumur 20 sampai 54 tahun. Hormon yang berperan
dalam menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron.
Penggunaan obat yang menggandung hormon estrogen saja khususnya pada wanita
pascamenopause justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium namun penggunaan
kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium
7. Penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kesuburan.
8. Wanita dengan obesitas memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker ovarium
9. Riwayat keluarga menderita kanker ovarium, kanker payudara dan kanker kolon
meningkatkan resiko kanker ovarium.

Klasifikasi

Tumor ovarium terbagi atas tiga kelompok berdasarkan struktur anatomi dari mana tumor
itu berasal yaitu tumor epitel ovarium, tumor germ sel, tumor sex cord – stromal.1 Kanker
ovarium ganas terdiri dari 90 – 95 % kanker epitel ovarium, dan selebihnya 5 – 10 % terdiri
dari tumor germ sel dan tumor sex cord-stroma.
Gambar Klasifikasi ca ovarium berdasarkan asal sel.
90 – 95 % dari kanker ovarium ganas merupakan kanker epitel ovarium, dan selebihnya 5 – 10 %
terdiri dari tumor germ sel dan tumor sex cord-stroma.

Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, Mc Graw Hill, 2008,p 716.

Manifestasi

gejala-gejala terhadap penyakit kanker ovarium,


antara lain :
1) Stadium Awal
Gangguan haid
Konstipasi (pembesaran tumor ovarium menekan rectum)
Sering berkemih (tumor menekan vesika urinaria)
Nyeri spontan panggul (pembesaran ovarium)
Nyeri saat bersenggama (penekanan / peradangan daerah panggul)
Melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan pada
lapisan rahim, pembesaran payudara atau peningkatan pertumbuhan
rambut)
2) Stadium Lanjut
Asites
Penyebaran ke omentum (lemak perut)
Perut membuncit
Kembung dan mual
Gangguan nafsu makan
Gangguan BAB dan BAK
Sesak nafas
Dyspepsia
Sebagian besar kanker ovarium bermula dari suatu kista. Oleh karena itu,
apabila pada seorang wanita ditemukan suatu kista ovarium harus dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah kista tersebut bersifat
jinak atau ganas (kanker ovarium). Ciri-ciri kista yang bersifat ganas yaitu
pada keadaan :
Kista cepat membesar
Kista pada usia remaja atau pascamenopause
Kista dengan dinding yang tebal dan tidak berurutan
Kista dengan bagian padat
Tumor pada ovarium
Pemeriksaan
Terapi Kanker Ovarium
Terapi kanker ovarium terdiri dari tindakan pembedahan dan non pembedahan. Tindakan
pembedahan memiliki dua tujuan yakni pengobatan dan penentuan stadium surgikal. Terapi
pembedahan diantaranya adalah histerektomi, salfingo-ooforektomi, omentektomi, pemeriksaan
ascites/bilasan peritoneum, dan limfadenektomi. Selanjutnya dilakukan observasi dan pengamatan
lanjut dengan pemeriksaan kadar serum tumor marker.10
Penatalaksanaan kanker ovarium dilakukan sesuai dengan stadium klinis. Pengobatan
primer pada pasien stadium awal, yakni stadium I dan II adalah dengan tindakan operatif.
Histerektomi dan bilateral salfingooforektomi merupakan tindakan pilihan. Namun, pada pasien
dengan stadium I risiko rendah yang menginginkan untuk mempertahankan fertilitas, dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan unilateral salfingooforektomi. Sementara pada stadium I risiko
tinggi, diperlukan terapi tambahan seperti kemoterapi setelah dilakukan tindakan pembedahan.10
Gynecologic Oncology Group (GOG) lebih lanjut menjelaskan bahwa yang kelompok yang
memerlukan kemoterapi tambahan adalah pasien dengan stadium IA dan IB dengan histologi
berdiferensiasi buruk, dan pasien dengan stadium IC dan II.15
Pada stadium lanjut, tindakan pembedahan juga merupakan pilihan utama. Pada pasien
dengan kondisi yang stabil, tindakan pembedahan dilakukan untuk mengangkat massa tumor dan
metastasis sebanyak-banyaknya. Jika sitoreduksi diperkirakan tidak dapat dilakukan secara
maksimal, pasien dapat diberikan kemoterapi neoadjuvan dengan tujuan untuk mengurangi massa
tumor ke ukuran yang dapat direseksi. Setelah itu, terapi dilanjutkan dengan kemoterapi seperti
alur di bawah ini. Kemoterapi disesuaikan pada setiap individu dengan tujuan untuk
memaksimalkan efek terapi dan meminimalkan efek toksisitas bagi tubuh.10,15
Gambar 2.2 Alur Penatalaksanaan Kanker Ovarium Stadium Lanjut10
Klasifikasi Histologi Kanker Ovarium
Kanker ovarium merupakan suatu penyakit yang heterogen, hal ini disebabkan karena kanker
ovarium bukanlah mengacu hanya kepada suatu penyakit tunggal, melainkan kumpulan
keganasan yang timbul pada ovarium. Secara histologis tumor ovarium dibagi berdasarkan
jaringan asalnya. Menurut teori, tumor ovarium berasal dari 3 komponen ovarium, yakni : (1)
Derivat epitel permukaan yang berasal dari coelomik epitelium, (2) Germ sel, yang bermigrasi ke
ovarium dari yolk sac dan bersifat pluripoten dan (3) Stromal ovarium, termasuk sex cord yang
merupakan petanda dari endokrin apparatus ovarium post natal. Terdapat juga kelompok tumor di
luar pembagian di atas yang merupakan metastasis tumor ke ovarium.13
Secara sederhana, kanker ovarium dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu tipe epitelial dan
tipe nonepitelial, dimana yang termasuk tipe epitelial adalah kanker ovarium yang berasal dari
epitel permukaan, sedangkan yang termasuk tipe nonepitelial adalah kanker ovarium yang berasal
dari germ sel dan sex cord stromal.14

Gambar 2.1 Pembagian tumor ovarium menurut sel asalnya


Gejala Klinis Kanker Ovarium
Kanker ovarium sering disebut dengan “silent killer” dimana gejala klinis yang terjadi
biasanya tidak terlihat jelas sampai berada pada tahap lanjut7. Gejala yang ditimbulkan tidak
spesifik, seperti : pembesaran abdomen/bloating, nyeri abdomen atau pelvis, peningkatan
frekuensi berkemih atau urgensi berkemih, menurunnya nafsu makan, atau rasa penuh di
lambung.4,14
Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien dengan kanker ovarium teraba massa di
daerah abdomen atau pelvis. Secara umum, tumor yang ganas memiliki karakteristik solid, nodular
dan terfiksir. Namun ukuran tumor tidak sesuai dengan derajat keganasan, sebaliknya massa yang
besar lebih sering merupakan massa yang jinak. Ascites juga sering ditemukan pada pemeriksaan
abdomen.6
D

Diagnosis didasarkan atas 3 tanda dan gejala yang biasanya muncul dalam perjalanan
penyakitnya yang sudah agak lanjut.
1. Gejala desakan yang dihubungkan dengan pertumbuhan primer dan infiltrasi ke jaringan
sekitar.
2. Gejala diseminasi/penyebaran yang diakibatkan oleh implantasi peritoneal dan bermanifestasi
adanya ascites.
3. Gejala hormonal yang bermanifestasi sebagai defeminisasi, maskulinisasi atau
hiperesterogenisme; intensitas gejala ini sangat bervariasi dengan tipe histologik tumor dan
usia penderita.

Pemeriksaan ginekologik dan palpasi abdominal akan mendapatkan tumor atau massa, di
dalam panggul dengan bermacam-macam konsistensi mulai dari yang kistik sampai yang solid
(padat). Kondisi yang sebenarnya dari tumor jarang dapat ditegakkan hanya dengan pemeriksaan
klinik. Pemakaian USG dan CT-scan dapat memberi informasi yang berharga mengenai ukuran
tumor dan perluasannya sebelum pembedahan. Laparatomi eksploratif disertai biopsi potong beku
(frozen section) masih tetap merupakan prosedur diagnostik paling berguna untuk mendapat
gambaran sebenarnya mengenai tumor dan perluasannya serta menentukan strategi penanganan
selanjutnya. Diagnosis tergantung penilaian klinis, laboratorium dan pembedahan yang tepat.
Laboratorium
Evaluasi perioperatif untuk kecurigaan kanker ovarium meliputi pemeriksaan darah
lengkap dan hitung jenis, kimia darah, urinalisis, sitologi serviks dan vagina, pemeriksaan
radiologi dada dan perut, pielografi intravena, barium enema dan mungkin uji fungsi hati, profil
koagulasi, pemeriksaan gastrointestinal serial. Akhirnya, antigen tumor berupa Ca125 atau CEA
dapat membantu dalam mengevaluasi keganasan.

Pemeriksaan Penunjang
1. USG dengan Doppler untuk menentukan arus darah, dengan USG dapat memastikan
letak benjolan pelvis, ukuran, dan sifat, kistik atau substansial. Pemeriksaan USG dengan
cara pemeriksaan transvaginal ultrasound, yaitu memasukkan alat ultrasound ke dalam
vagina. Pemeriksaan juga dapat dilakukan melalui pemeriksaan ultrasound eksternal di
mana alat ultrasound diletakkan di atas perut. Gambar yang dihasilkan kemudian akan
menunjukkan ukuran serta tekstur dari ovarium Anda, sekaligus kista yang mungkin ada.
2. Jika diperlukan, pemeriksaan CT-Scan/MRI, yaitu dengan pemindaian visual pada bagian
perut, dada dan pelvik ini dapat membantu untuk mendeteksi tanda-tanda terjadinya
kanker pada bagian tubuh yang lain.
3. Pemeriksaan X-Ray, dapat mengetahui letak dan sifat benjolan pelvis, menentukan
stadium tumor, membantu pemeriksaan kekambuhan pasca operasi.
4. Biopsi, dengan laparoskopi mengambil jaringan ovarium untuk pemeriksaan
histopatologi
5. Tumor marker
Serum CA 125 saat ini merupakan petanda tumor yang paling sering digunakan dalam
penapisan kanker ovarium jenis epitel, walaupun sering disertai keterbatasan. Perhatian telah
pula diarahkan pada adanya petanda tumor untuk jenis sel germinal, antara lain Alpha-
fetoprotein (AFP), Lactic acid dehidrogenase (LDH), human placental lactogen (hPL),
plasental-like alkaline phosphatase (PLAP) dan human chorionic gonadotrophin (hCG).
Hacker FN. 2010. Epithelial Ovarian, Fallopian Tube, and Peritoneal Cancer. Berek and Hacker's
Gynecologic Oncology, Lippincott Williams & Wilkins. 5th Edition. Chapter : 576-8.

Winata, I.G.S., 2013. Ekspresi Protein 53 (P53) Tidak Berhubungan Dengan Stadium Kanker
Ovarium. Universitas Udayana : Denpasar.

Busman, B. 2008. Kanker Ovarium, dalam: Aziz, M.F., Andriono, Siafuddin, A.B, editors. Buku
Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Choi, J.H., Wong, A.S.T., Huang, H.F., Leung, P.C. 2007. Gonadotropins and ovarian cancer.
Endocrine Reviews. 28 (4): 440-461.

Berek, J.S. & Natarajan, S. 2007. Ovarian and Fallopian Tube Cancer. In: Berek, J.S., editor.
Berek & Novak’s Gynecology. 14th. Ed. Philadhelpia: Lippincott William & Wilkins. p. 1457-
1548.

Badan Registrasi Kanker. 2006. Kanker di Indonesia Tahun 2006 Data Histopatologik. Jakarta:
Yayasan Kanker Indonesia.

Clarke-Pearson, D.L. 2009. Screening for Ovarian Cancer. N Engl J Med : 361;2.

Schorge, J.O. et al. 2008. Williams Gynecology. Mc Graw Hill : p716.

Berek, J. 2005. Epithelial ovarian cancer: Piver editor. Handbook of gynecologic oncology. 2nd
edition. Lipponcott Williams&wilkins: p586.

Jelovac, D., and Amstrong, D. 2011. Recent progress in the diagnosis and treatment of ovarian
cancer. Ca Cancer J Clin; 61:183-203.

Anda mungkin juga menyukai