Maka pengetahuan tentang hal itu sedapat mungkin dijaga dengan rapat. Selain karena ini
menyangkut pola komunikasi paling personal antara sesama manusia, seks juga dipandang
sebagai bagian dari kehormatan manusia.
Adalah Muhlis Hadrawi yang menjadi salah satu dari sekian ahli naskah kuno Universitas
Hasanuddin yang mengungkap bahwa di masyarakat Bugis, pengetahuan tentang seks
sebenarnya juga terangkum dan terdokumentasi dengan baik.
Berbekal ketekunan menghimpun naskah kuno Bugis dalam bentuk lontara, lahirlah buku
Assikalabineng Kitab Persetubuhan Bugis yang diterbitkan Penerbit Ininnawa akhir tahun
lalu. Buku ini sekaligus menjadi penjelas dari sekian tabir yang hanya bisa dilewati orang
tertentu sejak dulu kala. Dan uniknya, semua pengetahuan itu masih bisa dipraktikkan
dengan baik di zaman modern ini.
Berbeda dengan Kama Sutra yang lebih mengedepankan pada teknik belaka, Assikalabineng
lebih dari hal itu. Pengetahuan tentang organ genital dan alat reproduksi, filosofi seks,
teknik penetrasi, sentuhan bagian sensitif, penentuan jenis kelamin, pengendalian
kehamilan, serta waktu baik untuk berhubungan intim, juga terangkum di dalamnya.
Tak hanya itu, juga terdapat pengetahuan cara membuat tubuh istri tetap seksi dan
berwajah cerah dengan menggunakan medium seks. Pengobatan alat kelamin pun dibahas
dengan indah.
Mari kita simak Assikalabineng memandang seks dari sudut agama pada halaman 113.
"dan perbaikilah perasaanmu kepada Allah. Apabila kamu telah terbaring, niatkanlah
menempatkan neraka di kiri dan durga di kanan...".
Atau pada teknik pendahuluan (foreplay) di halaman 92 yang bercerita mengenai tindakan
apa saja yang bisa membangkitkan gairah. "Lalu ciumlah pipi kirinya tiga kali kemudian
bacalah ini. Cium lagi pangkal lehernya dan bacalah ini..."
Soal bagaimana mendapatkan anak berkulit putih pun dijelaskan, seperti di halaman 93.
"Adapun untuk mendapat anak berkulit putih kita melakukannya waktu isya. Anak yang
berkulit hitam, kita melakukannya tengah malam. Anak berkulit kemerah-merahan pada
antara dua waktu itu melakukannya.
Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab ini yakni betapa orang Bugis, terutama yang
menguasai kitab ini, memahami dengan benar jenis-jenis organ genital wanita. Cara
mengungkapkannya pun sangat simbolik dengan mengasosiasikannya dengan bunga yang
cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada yang disebut dengan bunga melati atau bunga
sibollo.
Pada akhirnya, sebagai karya yang diadaptasi dari disertasi yang dipertahankan di
Universitas Indonesia, apa yang dibuat oleh Muhlis Hadrawi menjadikan khasanah
pengetahuan kita tentang seks, lebih meluas lagi.
...............................................................................................................
............
Hanya sehari setelah ulasan singkat mengenai buku ini tersebar di dunia maya, baragam
tanggapan bermunculan. Ada yang bercanda, ada pula yang serius. "Kenapa baru terbitkan
sekarang setelah lahir lima anak, hehehe," tulis seorang kandidat doktor di Jepang.
Lain lagi tanggapan dari A Lagaligo Mappangara, ahli pertambangan perusahaan Chevron
yang sedang berdinas di Doha, Qatar.
Ia keponakan Bupati Luwu Timur A Hatta Marakarma.
"Hhhmmmmm... pantas kulitnya anakku putih2 semua :)".
Yang serius menulis seperti ini: "dmana bisa dapat bukunya itu????mau buat hadiah he he".
Mau buat hadiah atau untuk diri sendiri?
Namun inti dari semua tanggapan itu tampaknya lebih mengacu pada pandangan bahwa sisi
fungsional dari Assikalabineng masih cocok diterapkan saat ini karena sifat seks yang sangat
universal.
"Apabila zakarmu telah masuk, tahanlah nafasmu. Janganlah lupa diri dan jangan terlalu
bernafsu. Ingatlah kata syariat dalam persetubuhan. Jika mani telah keluar, maka lepaslah
nafas sedikit demi sedikit. Jangan melepasnya sekaligus. Lepaskan sebanyak empat tahap
lalu merasakan kenikmatannya."
RELASI dalam hubungan suami istri, menurut lontara Assikalabineng, merupakan relasi dua
pihak yang sepadan dan saling membutuhkan.
Tidak boleh ada sedikit pun pemaksaan satu sama lain dalam hubungan seksual. Praktik
melampiaskan hasrat di saat istri sedang tertidur lelap, malah dianggap sebagai bentuk
penghinaan. Ini digambarkan seolah-olah istri diperlakukan sebagai budak dan bukan mahluk
yang patut dijaga dan disayangi.
Penekanan pada pemaksaan beberapa kali disebutkan dalam lontara Assikalabineng, meski
secara mutlak disebutkan pula bahwa suami merupakan "pengatur irama" dan "pemegang
kendali" dari seluruh proses hubungan intim itu.
Karena itu, suami sebagai subyek dan istri sebagai obyek, sedapat mungkin mengarahkan
hubungan itu pada kenikmatan bersama. Kegagalan memberi kenikmatan bersama di tempat
tidur bisa membuat suami digelari orowane bonggo atau lelaki yang dungu. Sebaliknya, laki-
laki yang mampu membuat istrinya puas, disebut sebagai orowane mapata, suami yang
cerdas.
"Demikianlah yang disebut laki-laki yang berpenetahuan terhadap istrinya. Jika tidak
demikian halnya, maka itulah yang dinamakan perilaku laki-laki dungu yang membosankan."
(halaman 120-121).
Masalahnya kemudian adalah, pada umumnya suami hanya bisa menjalani hubungan seksual
rata-rata tidak lebih dalam lima menit. Sedangkan pada rentang waktu itu, si istri malah
belum bisa merasakan puncak kepuasaan. Atas kendala itulah, terletak fungsi pengetahuan
yang terdapat dalam lontara Assikalabineng.
Selanjutnya ada tahap yang harus dilakukan (halaman 104). "Peganglah pusarnya.
Jengkalkan tanganmu, ibu jarimu dipusarnya dan kelingkingmu di farjinya. Bila tampak
bagimu nafsunya telah bangkit maka berilah penciuman dua belas. Pertama-tama, ciumlah
ubun-ubunnya..."
Hingga kemudian terjadilah orgasme. "Jika dia mencapai orgasme, janganlah melepasnya
sebab dia sedang mencapai puncak kenikmatan.. ( nalolongennitu rennue makkunraiyye
enrengnge nyamengnge. Alliangngani aja'na mulappessangngi)." (halaman 73).
Assikalabineng pun menjelaskan cara merangsang pada titik peka di tubuh istri. Cara yang
dimaksud antara lain memegang perut, mencium ubun-ubun, mencium pipi, mencium
pangkal leher, dan mencium farji.
Ada 12 titik rangsangan pada tubuh si perempuan yakni ubun-ubun (buwung), telinga
(docciling), perantara kening (lawa enning), mata (mata), pipi (pili), hidung (inge'), dagu
(sadang), pangkal leher (edda'), tengkuk (cekkong), telapak tangan (pale' lima), buah dada
(pangolo), dan pusar (posi).
Sedangkan pada laki-laki ada tiga titik rangsangan yakni mulut (timu), tangan (jari), dan
zakar (kalamung). Tiga titik rangsangan ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk
merangsang perempuan. Bila ketiga alat itu dikombinasikan pergerakannya pada titik
rangsangan perempuan maka akan membangkitkan sensasi yang luar biasa.
Yang tak kalah menarik dari Assikalabineng yakni mengandung informasi bahwa pola seksual
akan berpengaruh pada kualitas fisik anak yang dilahirkan. Suara yang merdu, sikap yang
jantan, mata yang memikat, bisa dipersiapkan sejak dini di tempat tidur.
...............................................................................................................
....
Di bagian awal buku yang didedikasikan sebagai tesis untuk meraih gelar master di
Universitas Indonesia (UI) ini, penulis menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang dipakai
sebagai rujukan utama.
Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16 sisanya manuskrip lontara Makassar. "Aksaranya
macam-macam, ada sulapa eppa, serang, dan jangang-jangang." (hal.10)
Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus mantra yang disajikan pun bervariasi, namun pada
intinya sama, dan menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir atau Makassar pedalaman.
Seperti proses seleksi hadis, penulis memaparkannya utuh dan menganalisanya.
Dalam naskah Bunga Rampai Budaya, yang berisi, "tata cara mandi junub, sebelum
melakuklan hubungan seks untuk membangkitkan gairah wanita serta doa-doanya, dan tata
cara agar awet muda setelah berhubungan seks," misalnya, diperoleh dari manuskrip tua 52
halaman yang disalin dari pemilik aslinya, Amiruddin, warga Paccerakkang.
Secara teratur buku ini mengklasifikasi titik-titik rangsangan perempuan, manfaat mandi
sebagai foreplay atau siklus perubahan titik rangsangan wanita yang berubah sesuai siklus
haid, dan hari di masa subur istri, dan siklus mani perempuan yang berpindah-pindah.
Di mana titik mani berada, maka di situlah pusat rangsangan tertinggi, dan akan membuat
pasangan suami istri menggelinjang, laiknya gerakan pangkal ekor ikan mujair di lumpur
berair.
"Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika hendak berhubungan dengan Fatimah/Malam
jumat dia mencium ubun-ubun sebab di situlah maninya berada/ Sabtu dia mencium
kepalanya, sebab di situlah maninya berada/ malam Ahad, Ali mencium mata Fatimah sebab
di situlah maninya berada/malam Senin diciuminya perantara keningnya....//
Di manuskrip lain, disebutkan tujuh titik rangsangan yang menjadi daerah sensasi selama
peredaran malam;
1. pertama, Ubun-ubun (buwung) di malam Jumat;
2. Dua, kepala (ulu) di malam Sabtu;
3. ketiga, mata (mata) di malam Ahad;
4. keempat, perantara alis (lewa enning) di malam Senin;
5. kelima, hidung (inge') di malam Selasa;
6. keenam, buah dada (pangolo) di malam Rabu; dan
7. ketujuh, ulu hati (ulu ati) di malam Kamis.
Ketujuh pusat rangsangan itu adalah bagian dari dua belas sensasi seksual perempuan.
"Efek rangsangan terbaik bila dilakukan pada rangkaian titik peka itu, diraba, lalu selalu
diiringi ciuman, sebelum masuk ke tahap penetrasi, yang diikuti beberapa mantra dalam
bahasa Arab adan Lontara.
...............................................................................................................
............
India mengenal Kama Sutra yang merupakan saripati pengetahuan persetubuhan dari kitab
Vatsyayana. Meski belakangan kama sutra lebih menonjolkan lelaku atau gaya seksual, tapi
sebenarnya ini adalah "gaya hidup" raja-raja untuk mencapai moksa.
Kebudayaan Jawa juga mengenal Serat Centhini dan Serat Nitimani karena terpengaruh
kebudayaan Islam, lelaku ini untuk mencapai makrifat.
Sebagai salah satu dari beberapa suku bangsa yang memiliki aksara sebagai medium, Lontara
Assikalaibineng, bisa disejajarkan dengan kitab-kitab dari bangsa berbudaya tinggi lainnya.
Kita Assikalabineng menempatkan laki-laki sebagai inisiator. Ajaran, tata cara, syarat, atau
mantra dalam bahasa Arab atau Lontara, menempatkan pria sebagai tokoh sentral.
Tak mengherankan, ajaran ini hanya diajarkan kepada lelaki yang akan menikah atau sudah
menikah. Ajaran ini tidak sama sekali diperuntukkan bagi lelaki yang belum dewasa.
Masyarakat Bugis amat meyakini bahwa seorang suami yang akan menikah di masa "pingitan"
sudah membekali diri dengan pengetahuan dan kebijaksanaan Assikalaibineng.
Pengetahuan inilah yang mengkonfirmasikan, betapa berharganya malam pertama bagi laki-
laki. Dengan ilmu dan lelaku ini, mempelai pria bisa mengetahui, apakah istrinya masih
virgin atau jusrtu akan membuatnya malu.
Ritual Agama
Kitab ini menempatkan hubungan seks di malam pertama dan malam-malam selanjutnya
sebagai ritual keagamaan, bukan wadah pelampiasan nafsu, atau menghabiskan masa
honeymoon.
Buku ini, seperti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana menahan dan mengatur hawa nafsu
dengan prosedur teratur dan zikir.
Di halaman 140, misalnya, diajarkan tata cara awal sebelum melakukan hubungan seks.
Pasangan mandi secara terpisah, lalu berwudu dan melakukan tafakkur dalam salat sunnah.
Buku ini faham betul, bahwa hasrat pria selalu lebih besar, namun paling cepat
"terlampiaskan". Proses ini, diebut dengan "nikah batin". Istilah ini merujuk kepada
pengelaman anak mertua nabi Muhammad, Ali dengan Fatimah.
"..bila kamu dan istrimu pertama kali berhubungan, maka tafakurlah lebih dulu. Pusatkan
mata hatimu, lihatlah dirimua sebagai Alif , dan istrimu sebagai huruf Ba."
Lalu peganglah lengannya lalu ucapkan salam berbunyi, Assaalamu alaikum, Ali memegang,
Fatimah dipegang. Apabila kamu memegang tangannya maka ucapkan syahadat. Ucapkan
dalam hati atau Jubril menikahkan saya, Muhammad Wali saya, wali saksi saya, atas
kehendak Allah taala, kunfayakun. Lalu mulailah dengan ciuman, dan ...... "
Nikah Batin
Konsep nikah bathin ini adalah amalan dan ajaran tasawwuf dalam peristiwa
Assikalaibineng. Proses ini adalah penyatuan unsur lahiriah dan bathiniah antara lelaki dan
perempuan. Dalam kitab ini, disebut penyatuan eppa sulapa. Penyatuan tubuh dengan
tubuh, hati dengan hati, nyawa dengan nyawa, dan rahasia dengan rahasia.
Dengan, konsep nikah batin inilah yang merupakan klimaks dalam konteks spiritualitas
manusia dalam hubungan seks, atau "tassawuf seks".
Dan inilah, yang menyebabkan kenapa para bangsawan dan orang berilmu Bugis-Makassar
dalam pesta perkawinannya biasanya memakan waktu persiapan yang lama.
Kitab Assikalaibaineng adalah ilmu yang ditunggu-tunggu atau hadiah perkawinan berharga
bagi pria dewasa yang segera ke pelaminan dan akan mempraktikkannya di malam
pertamanya.
...............................................................................................................
........
Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga
dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam.
Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap
dan menanam.
Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender,
makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab
ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang
menjadi inisiator.
Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-
Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari
sebelum akad nikah.
Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut
nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa
pascaberhubungan.
Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar
sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau
kelambu.
Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis
(Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami
istri.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap
foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra
(paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau
mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda' (pangkal leher),
dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-
karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al'jima atau ajaran
berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu
direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.
Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa Bugis
itu dilafalkan dalam hati.
Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak terjadi
karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks.
Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti buku-buku
lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan nafsu belaka.
Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah yang
lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas.
Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar, kepada
sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada apa-apanya.
Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu.
Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi setelah
nafsu ammarah (emosi kejiwaan).
Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik menahan
nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui apakah
seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria untuk
mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung.
Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda
kejantanan yang bangkit.
Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih
dulu (hal 141).
".. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung
dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria...".
...............................................................................................................
...
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan
mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat
biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.
Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka
mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh
manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.
Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai
ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.
Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri
Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.
Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar
bagaimana tata cara menggauli Fatimah.
"Kala itu," tulis Muhlis, "Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, "Apakah kamu
mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?"
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. "Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan
apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah
memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya."
"Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah.
Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari
bapak mertua kepada anak menantu."
Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar,
khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.
Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat
untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah,
namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk
mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam
lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ)
soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.
Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini
menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.
"lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar."
Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.
Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat
kalamung (zakar) bergerak masuk urapa'na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati)
Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.
Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa'na (pintu vagina) perempuan ada empat
bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala
kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya
untuk menyentuh "timungeng bunga sibollo" (klitoris bagian kiri).
Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu,
namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan
membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)
Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang
Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan
yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan
ungkapan kalamummu (untuk zakar).
...............................................................................................................
..............
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang
mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan
dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan
Nasional RI di Jakarta.
Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi,
penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Penerbit Ininnawa,
Makassar (2008).
Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari
transliterasi asli "kitab assikalaibineng" lontara ke dalam abjad melayu berikut
terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan
peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam.
Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu
tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip
asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan
latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.
Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan
ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur
penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis
terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua,
yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita.
Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional,
tulis Muhlis, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia
pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar.
Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan
sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak
suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu
tempat
Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-
repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa
center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon.
Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak
diketahui oleh orang banyak.
Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan "air mani" sisa yang biasanya meleler di bagian
luar babang urapa' (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra
bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami
kepada istri pasca-berhubungan,
Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan
kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita
terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta'na narekko le'ba mpusoni
(adab setelah persetubuhan).
Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali.
Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika
engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya.
(h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan, dan ambilah
minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jagan sampai kalu
lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya,
demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,"
Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang
sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani
dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami, sebelum mengusap air
mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, "waddu
waddi, mani-manikang". Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki..." (hal.158)
Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli
berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking,
untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking..
...............................................................................................................
..............
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat
tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.
Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat
menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan
memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan
badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang
cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat
generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama.
(h.151) Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak
kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya
delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri.
Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian
kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. "Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini
terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku
seks yang mengedepankan kualitas."
Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur,
dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari "...Hampir 99 persen lemah
syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde
Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki
yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab
jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,"
Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan
dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam
satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan.
Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga
secara rinci diatur dalam kitab ini. "Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat
untuk bersetubuh." (hal.166)
Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna
kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya.
Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat
tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah
malam.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan
kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan.
Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis,
terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan
ajakan suami bersetubuh.
Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, "bila suami mengajak istri berhubungan saat
menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai)
dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami
membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak
seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma'.
Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara
efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung
tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil
air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan
pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu
bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya.