Anda di halaman 1dari 27

JOURNAL READING

PATIENTS’ PERCEIVED PURPOSE OF CLINICAL INFORMED


CONSENT: MILL’S INDIVIDUAL AUTONOMY MODEL IS
PREFERRED

HALAMAN JUDUL
Oleh :

Ni Made Ari Suarantari (1302006019)

Pembimbing :
dr. Henky, Sp.F., M.BEth., FACLM

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka Journal Reading yang berjudul “Patients’ perceived purpose
of clinical informed consent: Mill’s individual autonomy model is preferred”
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Ida Bagus Putu Alit, Sp.F., DFM. selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah Denpasar.
2. dr. Henky, Sp.F., M.BEth., FACLM. selaku koordinator pendidikan KKM
Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana /RSUP Sanglah Denpasar dan selaku dokter pembimbing dalam
penyusunan journal reading ini.
3. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan journal reading ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyusunan
tulisan selanjutnya dan semoga bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 1 April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ i

Kata Pengantar ............................................................................................... ii

Daftar Isi ....................................................................................................... iii

Terjemahan Jurnal .......................................................................................... 1

Jurnal .............................................................................................................. 28
PEMAHAMAN PASIEN MENGENAI TUJUAN PERSETUJUAN
TINDAKAN MEDIS: MODEL OTONOMI INDIVIDU MILL LEBIH
DISUKAI

PATIENTS’ PERCIVED PURPOSE OF CLINICAL INFORMED CONSENT:


MILL’S INDIVIDUAL AUTONOMY MODEL IS PREFERRED

Oleh: Hammami M.M., Al-Gaal E.A., Al-Jawarneh Y., Amer H., Hammami
M.B., Eissa A., Al-Qadire M.

Abstrak

Latar Belakang: Meskipun informed consent merupakan bagian integral dari


praktek klinis, doktrin saat ini masih sebagian besar mengenai masalah hukum dan
etika dibandingkan penelitian empiris. Ada data empiris tentang pemahaman pasien
mengenai tujuan informed consent yaitu sebagai administrasi rutin/formalitas, izin
sederhana, pernyataan izin, pengambilan keputusan bersama antara dokter-pasien,
dan membolehkan pasien mengambil keputusan sendiri. Tujuan yang berbeda
membutuhkan proses yang berbeda.
Metode: Kami mensurvei 488 orang dewasa yang berencana untuk menjalani atau
baru saja menjalani informed consent tertulis terkait prosedur yang dibutuhkan
pasien. Persepsi tujuan informed consent (dari norma dan persepsi praktek terkini)
dieksplorasi dengan meminta responden untuk memberi peringkat (1 = paling
reflektif) dari 10 pernyataan acak yang disajikan yaitu: “rutinitas”, “formalitas”,
“perlindungan litigasi”, “mengambil hak kompensasi”,“menginformasikan pasien”,
“memastikan pasien mengerti”, “mendokumentasi keputusan pasien”, “mengetahui
pilihan pasien”, “memiliki keputusan bersama”, dan “membantu pasien
memutuskan”.
Hasil: Rata-rata usia responden (SD) adalah 38,3 (12,5); 50,4% adalah laki-laki,
56,8% memiliki pendidikan lebih dari perguruan tinggi, dan 37,3% telah menjalani
prosedur. Dari perspektif norma, pernyataan kurang reflektif adalah “rutinitas”
(diberi peringkat 1-3 oleh 2,6% responden) dan pernyataan yang paling reflektif
adalah “membantu pasien memutuskan”, “memastikan pasien mengerti”, dan
“menginformasikan pasien” (diberi peringkat 1-3 oleh 65%, 60%, dan 48%
responden dengan median [25%, 75%] dan skor peringkat dari masing-masing
adalah 2 [1,5], 3 [2,4], dan 4 [2,5]). Laki-laki dan responden pra-prosedur memberi
peringkat “membantu pasien memutuskan” yang lebih baik, sedangkan perempuan
dan responden pasca-prosedur, memberi peringkat “menginformasikan pasien”
yang lebih baik (p = 0,007 sampai p <0,001). Umur dikaitkan dengan peringkat
yang lebih baik dari pernyataan “membantu pasien memutuskan” dan “memastikan
pasien mengerti” (masing-masing p <0,001 dan p = 0,002), yang diberi peringkat
1-3 oleh hanya 46% dan 42% responden dari perspektif praktek terkini (median
skor peringkat 4 [2,6], p <0,001 vs perspektif norma untuk keduanya).
Kesimpulan: 1) proses informed consent penting untuk pasien, namun pandangan
mereka tentang tujuannya bervariasi, dengan pandangan dominan memungkinkan
pasien dalam pengambilan keputusan sendiri, 2) laki-laki, pra-prosedur, dan pasien
yang lebih tua lebih mendukung tujuan dari informed consent adalah untuk
mengambil keputusan diri sendiri, sedangkan perempuan dan pasien pasca-
prosedur lebih mendukung tujuan dari informed consent adalah untuk sebuah
pengungkapan informasi, dan 3) pengambilan keputusan sendiri dan pengungkapan
informasi lebih efektif di kemudian waktu daripada praktek terkini adalah hal yang
diinginkan. Sebuah proses informed consent konsisten dengan Model otonomi
individu Mill yang mungkin cocok untuk kebanyakan pasien.
Kata kunci: Informed consent, Timur Tengah, Persepsi norma, Praktek terkini,
Perbedaan gender, Otonomi

Latar Belakang
Meskipun proses informed consent telah lama menjadi bagian integral dari
praktek klinis, tujuan etika yang tepat masih kontroversial. Selain menjadi sarana
untuk menyediakan perawatan kesehatan dan membangun kepercayaan yang
efisien, proses informed consent telah dikonseptualisasikan memiliki tujuan moral
untuk memperoleh izin, mendukung pengambilan keputusan bersama, dan
memungkinkan pengambilan keputusan secara otonom (mandiri). Pada 1970-an
informed consent dianut sebagai koreksi untuk paternalisme, namun pada 1980-an
dan 1990-an, pengambilan keputusan bersama dipandang sebagai koreksi yang
diperlukan dari “individualisme berlebihan”.
Doktrin informed consent telah dikenakan pada obat-obatan melalui otoritas
non-medis dan terus digunakan utamanya menjadi konsep hukum dan etika
dibandingkan data berbasis bukti (evidence-based). Selain itu, pengembangan
informed consent untuk tujuan perawatan klinis (informed consent klinis) telah
dipengaruhi oleh kekejaman penelitian klinis dan peraturan yang dihasilkan,
meskipun ada perbedaan penting antara perawatan klinis dan penelitian klinis.
Dalam perawatan klinis, pasien mencari perawatan (diinformasikan permintaan
daripada informed consent), manfaat dan risiko yang lebih baik dijelaskan, tujuan
interaksi ini adalah untuk mendapatkan keuntungan pasien secara individu daripada
pasien pada umumnya, dan praktisi perawatan klinis lebih terlatih dan berlisensi .
Di negara barat, informed consent untuk operasi muncul di awal abad 20 untuk
melindungi pasien dari kekerasan fisik dan kelalaian; preseden hukum modern
untuk persetujuan “sederhana” ditulis pada tahun 1914, sedangkan “informasi”
persetujuan pertama kali diungkapkan pada tahun 1957. Menariknya, pelopor dari
informed consent didokumentasikan di wilayah Mediterania Timur setidaknya
sejak pertengahan abad ke-17 di Pengadilan Registerasi Islam Candia (Heraklion)
di Kreta dan Tripoli-Suriah. Arus hukum praktek medis di Arab Saudi tidak berbeda
dengan hukum-hukum Barat. Aturan Kesehatan Pelaksanaan Peraturan Praktek
Kedokteran dan Kedokteran Gigi Kementerian Arab Saudi (1988) menyatakan
bahwa “sebelum memberikan perawatan medis atau melaksanakan prosedur
operatif, persetujuan pasien yang kompeten secara hukum, laki-laki atau
perempuan, harus diperoleh, dan dokter harus memberikan penjelasan yang
memadai kepada pasien atau walinya mengenai perawatan medis atau prosedur
operatif yang ia maksud untuk diterapkan”. Namun, aturan tidak menjelaskan apa
yang dimaksud ‘penjelasan yang memadai’ atau juga mengatasi masalah
pengambilan keputusan.
Secara filosofis, informed consent didasarkan pada prinsip “Menghormati
Orang”, yang meliputi tidak hanya berkenaan dengan otonomi/kemandirian tetapi
juga untuk kebebasan dan kesejahteraan. Ada laporan yang berbeda untuk otonomi,
termasuk Kantian, prosedural, dan catatan Millian (juga disebut perfeksionis atau
otonomi individu substantif). Berkonsentrasi pada satu aspek prinsip
“Menghormati Orang” atau pada salah satu penafsiran otonomi sebagai barang
peninggalan budaya. Tujuan dari proses informed consent dapat dibayangkan
sebagai gambaran berikut, seperti mulai dari kertas kerja rutin/formalitas, untuk
memperoleh izin yang sebenarnya (consent sederhana), untuk memperoleh izin
permakluman (informed consent), untuk mencapai pengambilan keputusan
bersama pasien-dokter, untuk memungkinkan pengambilan keputusan pasien
secara mandiri. Beberapa pasien dan dokter melihat proses informed consent
sebagai ritual kepatuhan birokrasi dengan persyaratan sosial yang hanya
menggantikan otoritas birokrasi untuk otoritas profesional. Menurut catatan
otonomi Kantian, informed consent berarti memperoleh izin sebenar-benarnya
dengan menghindari penipuan dan pemaksaan, tanpa harus mendorong
musyawarah pribadi dan pengambilan keputusan. Para pendukung
mempertahankan bahwa pelaksanaan diskusi untuk permakluman pribadi bukan
merupakan hak mutlak dan tidak memiliki nilai intrinsik yang cukup untuk
membenarkan kebijakan publik atau memiliki prioritas di atas pertimbangan etis
lain seperti kebaikan, keadilan, kebaikan bersama, dan kepercayaan. Menurut
catatan otonomi prosedural, memungkinkan bagi seorang agen otonom untuk
memiliki pertimbangan sendiri tanpa syarat kepatuhan dan dengan demikian tujuan
dari proses informed consent adalah untuk mendapatkan izin permakluman tetapi
tidak harus untuk mendorong partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan.
Tujuannya adalah untuk memberi pasien kesempatan untuk menjadi otonom
(mandiri) daripada memaksa mereka mengambil keputusan. Dalam hal ini, telah
dikemukakan bahwa ada dua jenis informasi, informasi yang penting untuk
memberikan izin permakluman yang telah dipahami dan kedua memberi informasi
yang penting untuk membuat pilihan pernyataan yang harus disediakan dalam cara
yang mudah dimengerti (tapi tidak selalu harus dipahami). Hanya jenis informasi
pertama yang akan perlu diungkapkan sesuai dengan catatan otonomi Kantian,
sedangkan kedua jenis informasi perlu diungkapkan pada catatan otonomi
prosedural. Terdapat celah antara catatan prosedural dan otonomi substantif
(Kantian) yaitu proses informed consent dapat dilihat sebagai cara untuk mencapai
pengambilan keputusan bersama pasien-dokter. Pandangan ini lebih menekankan
pada tanggung jawab dokter untuk mendorong kesejahteraan dan kemandirian
pasien. Telah dicatat bahwa kata “persetujuan” berasal dari bahasa Latin “Con
Sentire” yang berarti untuk berpikir atau merasa bersama-sama. Pengambilan
keputusan bersama dapat mengambil beberapa bentuk. Dokter dan pasien dapat
berkontribusi dalam memberikan informasi dengan seperangkat nilai-nilai unik dan
preferensinya masing-masing, kemudian bersama-sama menyepakati sebuah
pengobatan. Atau sepakat pada sebuah tujuan terlebih dahulu dengan pasien yang
kemudian dokter bisa bebas untuk membuat keputusan tentang cara teknis yang
terbaik untuk mencapainya. Dukungan untuk paradigma pengambilan keputusan
bersama baru-baru ini disuarakan oleh panel konsensus internasional di
“Pernyataan Salzburg pada pengambilan keputusan bersama”. Menurut catatan
otonomi Millian, penting untuk mendorong refleksi diri pasien dan memungkinkan
pasien untuk memutuskan mengenai diri mereka sendiri. Berbeda dengan catatan
proseduralis yang menghubungkan otonomi dengan keaslian internal, Millian
menghubungkan otonomi untuk kontrol dan otonomi jelas dibedakan dari
kebebasan sehingga diperlukan tanggung jawab. Pasien tidak bisa hanya
mempercayai dokter untuk merawat mereka, mereka tidak bisa leluasa memutuskan
untuk hidup dengan cara selalu nurut-nurut saja, mengabaikan informasi, atau
membiarkan orang lain memutuskan. Mereka harus mengontrol pengobatan mereka
sesuai dengan sudut pandang mereka, hasil yang kompleks dan dinamis, tidak
hanya memberi penilaian tetapi juga melibatkan emosi, keyakinan, keinginan, dan
kebiasaan dalam pertimbangan keputusan. Meskipun telah menyarankan bahwa
otonomi sebagai penentuan nasib sendiri harus menjadi prinsip yang mengatur
hubungan dokter-pasien, otonomi individu Millian mungkin bermasalah sebagai
dasar pembenaran untuk kebijakan publik dalam demokrasi liberal karena
melanggar prinsip netralitas dan tidak menghormati orang yang memilih untuk
tidak memutuskan sendiri atau yang tidak memiliki sumber daya untuk mandiri
dalam mengambil tiap keputusan. Selanjutnya, telah dikemukakan bahwa otonomi
hanya salah satu ciri orang yang membutuhkan penghargaan dan bahwa tujuan
moral informed consent terutama untuk menghormati seseorang, bukan mendorong
otonominya (kemandirian pasien dalam mengambil keputusan).
Karakteristik pasien dapat mempengaruhi persepsi mereka mengenai tujuan
dari proses informed consent. Individu memiliki gaya koping yang berbeda,
orientasi locus-of-control (penguasaan diri), dan tingkat self-efficacy terhadap
kesehatan (tingkat kepercayaan diri tentang seberapa efektif dirinya dalam
memahami informasi, penanganan tugas, dan keberhasilan) yang mungkin
tergantung pada sebagian budaya. Untuk pasien yang mengatasi dengan cara
menghindar (bukan memantau), informasi dapat membahayakan; sedangkan pasien
dengan orientasi locus-of-control (penguasaan diri) secara internal yang kuat akan
menerima dengan sangat baik otonomi Millian, pasien dengan orientasi penguasaan
diri yang kuat secara eksternal (mereka yang percaya ada campur tangan kekuatan
eksternal (luar diri) tentang apa yang terjadi kepada mereka adalah di bawah kendali
nasib, kesempatan, atau orang lain yang kuat), maka akan takut jika beban
pengambilan keputusan berada di tangan mereka sendiri; dan untuk pasien dengan
tingkat self-efficacy terhadap kesehatan yang rendah, maka pengambilan keputusan
secara mandiri bisa menakutkan bagi mereka. Namun, hal lain dianggap sama,
dokter harus bertujuan untuk melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan
sebanyak mungkin karena pengambilan keputusan bersama telah terbukti
meningkatkan perawatan dan mengurangi biaya.
Sejak doktrin informed consent merupakan bagian integral dari praktek
klinis yang berusaha untuk menjadi evidence-based, maka harus dikaji kembali
melalui studi empiris tentang persepsi pasien. Ada kekurangan dari beberapa studi
dalam memandu dokter dan pembuat kebijakan (pemerintah) terhadap apa yang
sebenarnya pasien ingin lihat dalam proses informed consent, terutama dalam
budaya Islam/Arab. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelajahi bagaimana
tujuan dari proses informed consent yang dikonsep (dibuat) oleh pasien yang
berencana untuk menjalani atau yang baru saja mengalami informed consent tertulis
mengenai suatu prosedur tindakan medis di sebuah pusat perawatan tersier di Arab
Saudi.

Metode
Penelitian ini menggunakan model hibrida (teoritis dan empiris) yang
mendefinisikan persepsi/pemahaman pasien terhadap tujuan proses informed
consent klinis. Potensi tujuan informed consent diidentifikasi melalui tinjauan
literatur. Fase empiris, yaitu survey cross sectional dengan teknik convenience
sampel, dimana sampel diambil dari pasien di rumah sakit perawatan tersier
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang terkandung dalam Deklarasi
Helsinki dan telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian (REC) dari
Rumah Sakit King Faisal Specialist dan Pusat penelitian (KFSH & RC). Permintaan
surat pernyataan bebas dari tuntutan untuk informed consent tertulis disetujui oleh
REC dan semua responden memberikan persetujuan verbal.
Pasien dewasa yang telah menjalani prosedur medis atau bedah yang
memerlukan persetujuan tertulis khusus dalam 6 bulan terakhir atau berencana
untuk menjalani satu prosedur dalam 3 bulan ke depan, yang mampu memahami
tujuan dan prosedur penelitian, dan yang memberikan informed consent lisan yang
memenuhi syarat untuk berpartisipasi. Penelitian ini adalah eksplorasi; metode
sampling dan ukuran sampel yaitu dengan convenience-based dengan tujuan untuk
mendapatkan sekitar 500 tanggapan yang dievaluasi. Peserta direkrut oleh
koordinator penelitian di ruang tunggu klinik pasien rawat jalan. Koordinator
penelitian melakukan penyamaran identitas mereka sedemikian rupa untuk
memastikan bahwa responden tidak akan memberikan jawaban yang mereka pikir
mungkin diharapkan oleh profesional kesehatan.
Kuesioner dikelola sendiri dalam bahasa Arab dengan dukungan
koordinator penelitian seperti yang diminta oleh responden. Seorang koordinator
penelitian yang tersedia setiap saat untuk membantu responden untuk
menyelesaikan kuesioner dan menjawab pertanyaan mengenai pemahaman
kuesioner. Data demografi dikumpulkan, usia, jenis kelamin, apakah pasien telah
menjalani atau berencana untuk menjalani prosedur, dan tingkat pendidikan (buta
huruf, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas,
perguruan tinggi, universitas). Kuesioner dikembangkan oleh penulis dalam bahasa
Arab berdasarkan tinjauan literatur. Selama tahap pengembangan, kami ingin
memastikan pernyataan bahwa kuesioner ini akan dimengerti oleh responden
seperti yang telah kita maksudkan. Hal ini secara literatif dievaluasi dengan cara
fokus menyelidik (pengujian kognitif dasar) dalam sesi wawancara mengikuti
permintaan dari pernyataan. Misalnya responden ditanya, “apa yang anda
pertimbangkan dalam keputusan bersama antara pasien dan dokter?”, “apa
pendapat anda tentang pasien membuat keputusan rasional sendiri?”, “apa yang
menurut anda berbeda antara menginformasikan seseorang tentang sesuatu dan
memastikan bahwa dia mengerti sesuatu?”. Secara umum, responden memiliki
sedikit kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan menyelidik terkait
dengan pernyataan berikut, “menginformasikan pasien”, “memastikan pasien
mengerti”, “mendokumentasi keputusan pasien”, “mengetahui preferensi pasien”,
“berbagi keputusan”, dan “membantu pasien memutuskan”. Beberapa responden
mengalami kesulitan membedakan “rutinitas” dengan “formalitas”, dan sebagian
besar responden mempertimbangkan “perlindungan litigasi” dan “mengambil hak
kompensasi” yang sama. Empat pernyataan terakhir tidak direvisi karena dalam
satu bagian, dimaksudkan untuk dicentang pada respon konsistensi internal. Total
20 responden yang berbeda diwawancarai, dimana 10 responden menghadapi
penilaian validitas dan 10 responden uji coba dari versi final (untuk penerimaan,
komperhensivitas, dan stabilitas selama 2-3 hari). Kami harus mengganti kata-kata
beberapa pernyataan selama tahap penilaian validitas tapi tidak selama fase uji
coba. Hasil dari fase uji coba tidak dimasukkan dalam laporan ini. Kuesioner akhir
terdiri dari dua bagian: satu persepsi dari norma dan satu persepsi dari praktek
terkini di KFSH & RC. Setiap bagian disajikan dengan 10 pernyataan peserta yang
menutupi keperluan potensi proses informed consent: untuk
mengaktifkan/mendorong kemandirian individu (“membantu pasien
memutuskan”), memiliki keputusan bersama pasien-dokter (“mengetahui
preferensi pasien”, “memiliki keputusan bersama”), untuk mengungkapkan
informasi (“menginformasikan pasien”, “memastikan pasien mengerti”), untuk
mendapatkan izin/administrasi (“mengambil hak kompensasi”, “perlindungan
litigasi”, “mendokumentasi keputusan pasien”), dan ritual birokrasi
(“formalitas”,”rutinitas”). Terjemahan bahasa Inggris (akurasi dikonfirmasi oleh
terjemahan kembali) dari kuesioner dan instruksi yang diberikan kepada peserta
tersedia dalam lampiran 1. Laporan di setiap bagian dari kuesioner disajikan
responden secara acak. Responden diminta untuk memberi peringkat laporan di
setiap bagian dari 1 (paling reflektif) ke 10 (kurang reflektif).
Data diverifikasi dengan double entry dan uji validitas yang dilakukan.
Jumlah (persentase) dari responden yang memberi peringkat 1-3, 4-7, atau 8-10
ditentukan untuk setiap pernyataan. Mean (SD) dan median [25%, 75%] skor
peringkat untuk setiap pernyataan dihitung dengan uji Wilcoxon Signed Ranks,
digunakan untuk membandingkan persepsi norma dan praktek terkini untuk setiap
pernyataan. Uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan laki-laki
terhadap perempuan dan responden yang telah menjalani prosedur terhadap
responden yang berencana untuk menjalani satu prosedur. Uji Kruskal-Wallis dan
uji Jonckheere-Terpstra digunakan untuk membandingkan skor peringkat di antara
3 subkelompok pendidikan (sampai dengan sekolah menengah pertama, menengah
sekolah atas/perguruan tinggi, dan universitas). Korelasi antara usia dan skor setiap
pernyataan dan antara skor pernyataan dipelajari menggunakan uji Spearman. Nilai
p 2-tailed dari <0,01 dianggap signifikan, nilai p 2-tailed dilaporkan. Analisis
dilakukan dengan menggunakan SPSS untuk Windows perangkat lunak (rilis
17.0.0, 2008. SPSS Inc., Chicago, ILL, USA).

Hasil
Kuisioner yang dievaluasi adalah kuisioner yang dikembalikan oleh 488
responden. Tiga puluh kuesioner (6,1%) memiliki beberapa data yang hilang dan 6
(1,2%) memberikan peringkat yang sama untuk lebih dari satu pernyataan. Sebesar
96,9% responden dari Arab Saudi, 2,5% bukan dari Arab Saudi, dan 0,6% dari
bangsa lain. Karakteristik responden lain diringkas dalam Tabel 1.
Pemahaman terhadap tujuan proses informed consent, perspektif norma.
Responden memberi skor pada 10 pernyataan (Tabel 2 dan lampiran 1)
terkait dengan tujuan informed consent klinis yaitu 1 (paling reflektif) ke 10
(kurang reflektif), menurut persepsi norma mereka. Seperti ditunjukkan pada Tabel
2, mean dan skor median berkisar antara 3,02 dan 2 untuk “membantu pasien
memutuskan”, 8.89 dan 9 untuk pernyataan “rutinitas”. Koefisien variasi (SD/
Mean) berkisar antara 18% untuk pernyataan “rutinitas” sampai 71% untuk
pernyataan “membantu pasien memutuskan”. Selanjutnya, lima dari 10 pernyataan
menduduki peringkat 1-3 yang dipilih oleh lebih dari 30% responden, menunjukkan
keragaman dalam persepsi norma. Tiga pernyataan dengan peringkat terbaik secara
keseluruhan, “membantu pasien memutuskan”, “memastikan pasien mengerti”, dan
“menginformasikan pasien” menduduki peringkat 1-3 masing-masing oleh 65%,
60%, dan 48% responden. Tiga pernyataan dengan peringkat terburuk secara
keseluruhan, yaitu pernyataan “rutinitas”, “mengambil hak kompensasi”, dan
“formalitas” menduduki peringkat 8-10 masing-masing oleh 90%, 67%, dan 67%
responden. Data disajikan dalam Gambar 1. Hanya 2,6% dan 8,1% responden,
memberi peringkat “rutinitas” dan “formalitas” terhadap pernyataan 1-3, dengan
peringkat median keseluruhan adalah 9 untuk setiap pernyataan (Tabel 2). Hal
tersebut menunjukkan bahwa informed consent klinis dipahami untuk melayani
tujuan penting oleh hampir semua responden.

Tabel 1 Karakteistik Responden (Jumlah = 488)

Usia-Mean (SD), tahun 38,3 (12,5)

Gender-Jumlah (%)

Laki-laki 246 (50,4)

Perempuan 242 (49,6)

Prosedur/Tindakan Bedah-Jumlah. (%)

Telah dalam 6 bulan terakhir 182 (37,3)

Akan dalam 3 bulan ini 306 (62,7)

Tingkat pendidikan-jumlah (%)

Buta huruf 16 (3,3)

SD 29 (6,0)

SMP 46 (9,5)

SMA 119 (24,5)

Perguruan Tinggi 58 (11,9)

Universitas 218 (44,9)

Ada 2 responden tidak memberikan tingkat pendidikannya


Tabel 2 Pemahaman pasien terhadap fungsi dari informed consent klinis: norma vs praktek terkini
Ringkasan Pernyataan Norma Praktek Terkini p
value
Mean (SD) Median Mean (SD) Median
[25%, 75%] [25%, 75%]
“Membantu pasien memutuskan” 3,02 (2,15) 2 [1,5] 4,02 (2,48) 4 [2,6] <0,001
“Memastikan pasien mengerti” 3,27 (1,93) 3 [2,4] 4.18 (2.38) 4 [2,6] <0,001
“Menginformasikan pasien” 3,86 (2,05) 4 [2,5] 3,93 (2,17) 4 [2,5] 0,67
“Memiliki keputusan bersama” 4,19 (2,05) 4 [3,6] 4,33 (2,24) 4 [3,6] 0,37
“Mengetahui preferensi pasien” 4,32 (1,87) 4 [3,6] 5,04 (2,12) 5 [3,6] <0,001
“Mendokumentasi keputusan pasien” 4,83 (2,18) 5 [3,6] 4,31 (2,40) 4 [2,6] <0,001
“Perlindungan litigasi” 7,08 (2,15) 7 [6,9] 6,30 (2,99) 7 [4,9] <0,001
“Formalitas” 7,81 (2,29) 9 [7,9] 7,48 (2,45) 8 [6,9] 0,006
“Mengambil hak kompensasi” 7,71 (1,89) 8 [7,9] 6,81 (2,54) 8 [6,9] <0,001
“Rutinitas” 8,89 (1,63) 9 [8,10] 8,49 (2,15) 9 [8,10] 0,003
Data merupakan skor peringkat untuk masing-masing sepuluh pernyataan yang disajikan acak mewakili
tujuan potensi informed consent klinis. Responden memberi peringkat setiap pernyataan dari 1 (paling
reflektif) ke 10 (kurang reflektif). Jumlah tanggapan untuk norma dan praktek terkini masing-masing
berkisar 466-467 dan 478-482. Nilai p untuk uji Wilcoxon Signed Ranks. Untuk keterangan lengkap
tentang laporan, lihat teks dan lampiran 1.

Perbedaan antara peringkat pernyataan “membantu pasien memutuskan” di


satu sisi dan “menginformasikan pasien” serta “memiliki keputusan bersama” di
sisi lain secara statistik signifikan berbeda (p <0,001), sedangkan perbedaan antara
peringkat “membantu pasien memutuskan” dan “memastikan pasien mengerti”
signifikansinya borderline (p=0,03). Selanjutnya, ada korelasi yang signifikan
negatif antara peringkat “membantu pasien memutuskan” dan tiga laporan bersaing,
“memaastikan pasien mengerti” (rho = -0,14, p = 0,003), “menginformasikan
pasien” (rho = -0,2, p <0,001), dan “mengetahui preferensi pasien” (rho = -0,15, p
= 0,001), tetapi tidak “memiliki keputusan bersama” (rho = -0,07, p = 0,15). Data
menunjukkan beberapa derajat polarisasi dalam persepsi norma.
Seperti ditunjukkan pada Tabel 3, ada perbedaan yang signifikan antara pria
dan wanita dalam peringkat “membantu pasien memutuskan” dan
“menginformasikan pasien”. Selanjutnya, “membantu pasien memutuskan”
menduduki peringkat 1-3 oleh 71% dari laki-laki dan 59% perempuan, sedangkan
“menginformasikan pasien” menduduki peringkat 1-3 oleh 39% dari laki-laki dan
57% perempuan, menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin untuk memahami
tujuan informed consent sebagai keterbukaan informasi dan laki-laki lebih mungkin
untuk melihatnya sebagai kemampuan diri dalam mengambil keputusan. Namun
demikian, pria dan wanita jika dianalisis secara terpisah peringkat “membantu
pasien memutuskan” menjadi yang peringkat pertama, diikuti oleh “memastikan
pasien mengerti” dan “menginformasikan pasien”.

Gambar 1. Pemahaman pasien terhadap fungsi dari informed consent klinis ( a: persepsi norma,
b: persepsi praktek terkini)
Data merupakan persentase waktu setiap pernyataan menduduki peringkat 1 sampai 3 (peringkat tertinggi, bar
hitam), 4-7 (peringkat menengah, bar terbuka), atau 8 sampai 10 (peringkat terendah, bar dengan garis horizontal).

Tabel 3 Pemahaman pasien terhadap fungsi dari informed consent klinis: perempuan vs laki-laki

Ringkasan Pernyataan Males Females p


value
Mean (SD) Median Mean (SD) Median
[25%; 75%] [25%; 75%]
Norma
“Membantu pasien memutuskan” 2,67 (2,07) 2 [1;4] 3,29 (2,21) 3 [1;5] 0,007
“Memastikan pasien mengerti” 3,17 (1,93) 3 [2;4] 3,38 (1,78) 3 [2;4] 0,05
“Menginformasikan pasien” 4,17 (2,05) 4 [3;5] 3,53 (2,06) 3 [2;5] <0,001
“Memiliki keputusan bersama” 4,24 (2,05) 4 [3;6] 4,14 (2,04) 4 [3;5] 0,66
“Mengetahui preferensi pasien” 4,47 (1,87) 4 [3;6] 4,17 (1,83) 4 [3;5] 0,06
“Mendokumentasi keputusan pasien” 4,70 (2,18) 5 [3;6] 4,96 (2,24) 5 [3;6] 0,18
“Perlindungan litigasi” 6,95 (2,15) 7 [6;9] 7,23 (2,06) 7 [6;9] 0,23
“Formalitas” 8,01 (2,29) 9 [7;9] 7,60 (2,48) 8 [7;9] 0,15
“Mengambil hak kompensasi” 7,58 (1,89) 8 [7;9] 7,85 (1,91) 8 [7;9] 0,03
“Rutinitas” 8,93 (1,63) 9 [8;10] 8,85 (1,62) 9 [8;10] 0,23

Praktek terkini
“Membantu pasien memutuskan” 4.21 (2,57) 4 [2;6] 3,82 (2,37) 4 [1,8;6] 0,13
“Memastikan pasien mengerti” 4,30 (2,57) 4 [2;6] 4,06 (2,17) 4 [2;5] 0,61
“Menginformasikan pasien” 4,29 (2,23) 4 [2,3;6] 3,55 (2,05) 3 [2;5] <0,001
“Memiliki keputusan bersama” 4,58 (2,24) 4 [3;6] 4,08 (2,21) 4 [2;6] 0,009
“Mengetahui preferensi pasien” 5,16 (2,08) 5 [4;7] 4,92 (2,15) 5 [3;6] 0,13
“Mendokumentasi keputusan pasien” 4,16 (2,39) 4 [2;6] 4,47 (2,41) 4 [2;6] 0,13
“Perlindungan litigasi” 6,07 (3,15) 7 [2;3] 6,53 (2,81) 7 [5;8] 0,32
“Formalitas” 7,44 (2,51) 8 [6;9] 7,53 (2,38) 8 [6;9] 0,15
“Mengambil hak kompensasi” 6,33 (2,70) 7 [4;8] 7,31 (2,26) 8 [7;9] <0,001
“Rutinitas” 8,36 (2,34) 9 [8;10] 8,63 (1,93) 9 [8;10] 0,77
Data peringkat skor untuk masing-masing sepuluh pernyataan yang disajikan acak mewakili potensi tujuan informed consent klinis.
Responden memberi peringkat setiap pernyataan dari 1 (paling reflektif) ke 10. Jumlah tanggapan untuk laki-laki dan perempuan
berkisar 237-244 dan 229-238. Nilai p untuk uji Mann-Whitney. Untuk keterangan lengkap, lihat teks dan lampiran 1.

Seperti terlihat pada Tabel 4, ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan
sesudah responden melakukan prosedur dalam peringkat pernyataan berikut,
“membantu pasien memutuskan”, “menginformasikan pasien”, dan “memiliki
keputusan bersama”. Lebih lanjut, “membantu pasien memutuskan” menduduki
peringkat 1-3 oleh 70% dari pra-prosedur dan 57% responden pasca-prosedur,
“menginformasikan pasien” menduduki peringkat 1-3 oleh 41% dari pra-prosedur dan
58% responden pasca-prosedur, dan “memiliki keputusan bersama” menduduki
peringkat 1-3 oleh 44% dari pra-prosedur dan 29% responden pasca-prosedur. Selain
itu, perbedaan dalam peringkat tentang pernyataan “memastikan pasien mengerti” antara
dua sub-kelompok, signifikansinya borderline (peringkat 1-3 oleh 55% dari pra-
prosedur dan 68% responden pasca-prosedur). Selain itu, meskipun responden pra-
prosedur dianalisis secara terpisah berturut-turut memberi peringkat pertama pada
pernyataan “membantu pasien memutuskan” dan “memastikan pasien mengerti” di
peringkat kedua, responden memberi peringkat untuk pernyataan “memiliki keputusan
bersama” sebelum pernyataan “menginformasikan pasien”. Di sisi lain, responden
pasca-prosedur dianalisis secara terpisah memberi peringkat ketiga untuk pernyataan
“membantu pasien memutuskan” (setelah “memastikan pasien mengerti” dan
“menginformasikan pasien”). Bersama-sama, data menunjukkan bahwa setelah
mengalami proses inform consent prosedur dapat mengubah persepsi norma tujuan
proses informed consent dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan menjadi
keterbukaan informasi.
Umur berkorelasi negatif dengan skor peringkat dari “membantu pasien
memutuskan” dan “memastikan pasien mengerti” (rho = -0,19, p <0,001; rho = -0,14, p
= 0,002) dan positif dengan peringkat skor dari pernyataan “rutinitas” (rho = 0,12, p =
0,008). Selanjutnya, ada korelasi positif antara usia dan skor peringkat dari “formalitas”
dan “menginformasikan pasien” memiliki signifikansi borderline (masing-masing, rho
= 0,12, p = 0,01; rho = 0,12, p = 0,01). Bersama-sama, data menunjukkan bahwa pasien
yang lebih tua lebih mungkin untuk mementingkan proses informed consent dan untuk
memahami tujuan sebagai kemungkinkan diri dalam pengambilan keputusan sendiri.
Karena jumlah kecil, kami menggabungkan responden berdasarkan tingkat
pendidikan menjadi tiga kelompok, hingga pendidikan sekolah menengah pertama (n =
91), sekolah menengah atas/pendidikan perguruan tinggi (n = 177), dan pendidikan
universitas (n = 218). Tingkat pendidikan berkorelasi hanya dengan peringkat skor
“perlindungan litigasi” dengan mean (SD) dan median [25%, 75%] yaitu 6,66 (2,30) dan
7 [6;8], 6,92 (2,17) dan 7 [6;8], dan 7,38 (2,03) dan 7 [6.5;9], masing-masing (p = 0,01,
dan 0,003 untuk tren), menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi cenderung untuk memahami tujuan dari proses informed consent sebagai
litigasi perlindungan.

Tabel 4 Pemahaman pasien terhadap fungsi dari informed consent klinis: pra- vs pasca-prosedur
Ringkasan Pernyataan Pre-procedure Post-procedure p
value
Mean (SD) Median Mean (SD) Median
[25%; 75%] [25%; 75%]
Norma
“Membantu pasien memutuskan” 2,77 (2,06) 2 [1;4] 3,45 (2,24) 3 [1;5] 0,001
“Memastikan pasien mengerti” 3,42 (1,95) 3 [2;5] 3,02 (1,86) 3 [2;4] 0,02
“Menginformasikan pasien” 4,14 (2,08) 4 [2;6] 3,38 (1,91) 3 [2;5] <0,001
“Memiliki keputusan bersama” 3,96 (2,00) 4 [2;5] 4,58 (2,07) 5 [3;6] 0,001
“Mengetahui preferensi pasien” 4,30 (1,84) 4 [3;5] 4,37 (1,91) 4 [3;6] 0,65
“Mendokumentasi keputusan pasien” 4,71 (2,20) 5 [3;6] 5,03 (2,12) 5 [4;6] 0,13
“Perlindungan litigasi” 7,02 (2,09) 7 [6;9] 7,19 (2,23) 7 [6;9] 0,16
“Formalitas” 7,49 (2,16) 9 [7;9] 7,58 (2,49) 9 [7;9] 0,26
“Mengambil hak kompensasi” 7,78 (1,78) 8 [7;9] 7,59 (2,06) 8 [7;9] 0,48
“Rutinitas” 8,94 (1,57) 9 [8;10] 8,81 (1,72) 9 [8;10] 0,49

Praktek terkini
“Membantu pasien memutuskan” 3,88 (2,49) 4 [2;6] 4,25 (2,45) 4 [2;6] 0,08
“Memastikan pasien mengerti” 4,13 (2,27) 4 [2;6] 4,27 (2,56) 4 [2;6] 0,87
“Menginformasikan pasien” 3,83 (2,05) 3 [2;5] 4,09 (2,36) 4 [2;6] 0,40
“Memiliki keputusan bersama” 4,19 (2,27) 4 [2;6] 4,59 (2,17) 4 [3;6] 0,03
“Mengetahui preferensi pasien” 4,81 (2,11) 5 [3;6] 5,44 (2,07) 5 [4;7] 0,001
“Mendokumentasi keputusan pasien” 4,38 (2,51) 4 [2;6] 4,20 (2,22) 4 [2;6] 0,57
“Perlindungan litigasi” 6,57 (3,74) 7 [5;9] 5,81 (2,34) 7 [2;9] 0,08
“Formalitas” 7,54 (2,38) 8 [6;9] 7,39 (2,57) 9 [6;9] 0,74
“Mengambil hak kompensasi” 6,95 (2,49) 8 [6;9] 6,58 (2,63) 7 [4;8] 0,23
“Rutinitas” 8,61 (1,98) 9 [8;10] 8,30 (2,42) 9 [8;10] 0,73
Data peringkat skor untuk masing-masing sepuluh pernyataan yang disajikan acak mewakili potensi tujuan informed consent
klinis. Responden memberi peringkat setiap pernyataan dari 1 (paling reflektif) ke 10. Jumlah tanggapan untuk prosedur sebelum
dan sesudah berkisar 291-305 dan 175-177. Nilai p untuk uji Mann-Whitney. Untuk keterangan lengkap tentang laporan, lihat teks
dan lampiran 1.

Pemahaman tujuan informed consent klinis, perspektif praktek

Responden diberi 10 pernyataan yang sama, memberikan peringkat dari 1


(paling reflektif) ke 10 (kurang reflektif) menurut persepsi mereka tentang praktek
terkini. Seperti ditunjukkan pada Tabel 2, mean dan median berkisar antara 3,93 dan 4
untuk pernyataan terkait “menginformasikan pasien”, skor 8.49 dan 9 untuk pernyataan
“rutinitas”. Tiga pernyataan yang terbaik secara keseluruhan, yaitu “menginformasikan
pasien”, “membantu pasien memutuskan”, dan “memastikan pasien mengerti”, yang
menduduki peringkat 1-3 oleh 50%, 46%, dan 42% responden. Tiga pernyataan dengan
peringkat keseluruhan terburuk, yaitu “rutinitas”, “formalitas” dan “mengambil hak
kompensasi”, yang menduduki peringkat 8-10 oleh 81%, 59%, dan 51% responden. Data
disajikan dalam Gambar 1.
Ranking dari “perlindungan litigasi” berkorelasi positif dengan peringkat
“mengambil hak kompensasi” (rho = 0,45, p <0,001), peringkat “memiliki keputusan
bersama” berkorelasi positif dengan peringkat “membantu pasien memutuskan” (rho =
0,18, p <0,001) dan “mengetahui preferensi pasien” (rho = 0,18, p <0,001), serta
peringkat “menginformasikan pasien” berkorelasi positif dengan peringkat
“memastikan pasien mengerti” (rho = 0,10, p <0,001). Hal tersebut menunjukkan
konsistensi respon internal.
Seperti ditunjukkan pada tabel 3, ada perbedaan yang signifikan antara pria dan
wanita dalam laporan peringkat berikut, “menginformasikan pasien”, “memiliki
keputusan bersama”, dan “mengambil hak kompensasi”. Selanjutnya,
“menginformasikan pasien” menduduki peringkat 1-3 oleh 44% dari laki-laki dan 55%
perempuan, “memiliki keputusan bersama” menduduki peringkat 1-3 oleh 34% dari
laki-laki dan 48% perempuan, dan “mengambil hak kompensasi” menduduki peringkat
1-3 oleh 22% dari laki-laki dan 9% dari perempuan. Selain itu, jika dianalisis secara
terpisah, laki-laki memberi peringkat terbaik untuk “mendokumentasi keputusan
pasien” dan perempuan memberikan peringkat terbaik untuk “menginformasikan
pasien” (Tabel 3). Data menunjukkan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, perempuan
lebih mungkin untuk memahami praktek konsisten dengan pendekatan yang berpusat
pada pasien (patient-centered). Seperti terlihat pada tabel 4, ada perbedaan yang
signifikan antara sebelum dan sesudah responden melakukan prosedur dalam memberi
peringkat, yaitu pernyataan tentang “mengetahui preferensi pasien”. Perbedaan dalam
peringkat “memiliki keputusan bersama” dan “perlindungan litigasi” signifikansinya
masih dalam borderline. Selanjutnya, “mengetahui preferensi pasien” berada di
peringkat 1-3 oleh 29% dari pra-prosedur dan 19% responden pasca-prosedur,
“memiliki keputusan bersama” menduduki peringkat 1-3 oleh 43% dari pra-prosedur
dan 37% responden pasca-prosedur, dan “perlindungan litigasi” menduduki peringkat
1-3 oleh 19% dari pra-prosedur dan 34% responden pasca-prosedur. Hal tersebut
menunjukkan bahwa setelah mengalami proses/prosedur informed consent memiliki
kaitan dengan pemahaman pasien terhadap praktek terkini, yang kurang konsisten
dengan pendekatan berpusat pada pasien (patient-centered).

Diskusi
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empiris
tentang persepsi norma pasien terhadap tujuan informed consent klinis di Arab
Saudi. Tujuan sekunder adalah untuk menyelidiki apakah persepsi norma dikaitkan
dengan demografi tertentu dan bagaimana perbandingan persepsi praktek saat ini.
Kekuatan penelitian ini meliputi, langsung membandingkan berbagai tujuan
potensial, ukuran sampel yang relatif besar, pemeriksaan simultan terhadap persepsi
norma dan praktek terkini, yang disurvei pasien sebenarnya bukan masyarakat
umum, dan uniknya budaya Arab/Islam. Kami menemukan bahwa: 1) proses
informed consent penting untuk pasien, namun pasien bervariasi dalam pandangan
mereka terhadap tujuan informed consent tersebut, dengan pandangan dominan
yaitu memungkinkan pasien dalam pengambilan keputusan sendiri, 2) laki-laki,
pra-prosedur, dan pasien yang lebih tua lebih mendukung jika tujuannya untuk
membuat sebuah keputusan sendiri, sedangkan perempuan dan pasien pasca-
prosedur lebih mendukung tujuannya untuk menjelaskan informasi, dan 3) lebih
banyak menginginkan kemandirian dalam pengambilan keputusan dan
pengungkapan informasi yang lebih efektif pada praktek terkini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses persetujuan berdasarkan model otonomi individu Mill
mungkin cocok untuk sebagian besar pasien, terutama pasien laki-laki dan lebih
tua.
Ada formasi yang agak kontradiktif dari informed consent, termasuk
tradisionalisme, kewajiban, dan pengambilan keputusan, dengan cara pandang
responden mulai dari beranggapan hanya sekedar dokumen administrasi bahwa
tanda-tanda pasien sedang dalam proses komunikasi dan pengambilan keputusan.
informed consent umumnya diklaim sebagai kunci untuk menghormati otonomi
pasien. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa pernyataan tersebut masih abu-
abu karena ada banyak konsepsi yang berbeda dari otonomi yang beredar.
Selanjutnya, karena proses informed consent merupakan bagian integral dari
praktek kedokteran, itu harus berdasarkan bukti. Selain itu, persetujuan klinis
penting untuk pasien. Fakta yang dikonfirmasi oleh data kami menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil responden yang mempersepsikan tujuannya sebagai
“rutinitas” atau “formalitas”.
Keanekaragaman dalam persepsi norma terhadap tujuan informed consent
Kami menemukan keragaman yang cukup besar dalam persepsi norma
terhadap tujuan informed consent ini, ditandai dengan koefisien variasi yang besar
terkait peringkat skor dari pernyataan-pernyataan pada kuisioner penelitian ini.
Fakta bahwa 5 pernyataan diberi peringkat 1-3 oleh lebih dari 30% responden, dan
fakta bahwa ada beda yang signifikan antara korelasi negatif dengan pernyataan
yang bersaing. keragaman diamati menunjukkan bahwa satu ukuran untuk semua
proses informed consent mungkin menghasilkan beberapa tingkat ketidakpuasan
publik.
Memahami harapan budaya dapat memberikan wawasan persepsi orang.
Masyarakat Arab dan Islam masih dipengaruhi oleh etika sosial Islam. Sebagai
contoh, Departemen Peraturan Kesehatan Arab Saudi terkait Pelaksanaan Peraturan
Praktek Kedokteran dan Kedokteran Gigi (1988) didasarkan pada resolusi yang
diberikan oleh Komite Ulama Senior. Keanekaragaman dalam persepsi norma bisa
disebabkan tidak adanya norma, bahwa norma tidak dikenal, atau bahwa ada
beberapa yang mungkin memiliki lebih dari satu norma. Muslim berasal dari
pemikiran cendikiawan dan tidak ada pernyataan dalam Al Quran atau Hadis Nabi
Muhammad yang secara langsung menangani masalah ini. Namun demikian,
beberapa generalisasi dapat dibuat. 1) Al Quran mendorong merawat tubuh
seseorang serta mencari pengobatan (Bab 16, ayat 68-69 dan Bab 2, ayat 195). Nabi
Muhammad mengatakan, "Tidak ada penyakit yang Allah telah ciptakan, kecuali
bahwa Dia juga telah menciptakan obat nya." (Sahih al-Bukhari 5678) [36] dan “...
tubuh Anda memiliki hak pada diri Anda ...” (Sunan Abudawud 1369). Namun,
masalah ini mungkin lebih rumit. Berdasarkan besaran dan kepastian manfaat (dan
risiko), mencari pengobatan bisa berkisar dari menjadi suatu keharusan, untuk
diperbolehkan. Selanjutnya, untuk banyak situasi kesehatan mungkin tidak ada
arahan jelas tentang tindakan mana yang lebih unggul, dan memilih tindakan
ditentukan oleh keyakinan individu (kognitif) bahwa suatu tindakan mengarah ke
hasil tertentu, dan nilai-nilai (afektif) mengenai hasil. 2) Al Quran melarang
mengikuti orang lain secara membabi buta tanpa mengetahui bukti mereka (Bab 33,
ayat 67; Bab 43, ayat 22, dan Bab 2, ayat 111). 3) Al Quran mendorong
pengambilan keputusan secara bersama. Ia mengatakan, “Dan berkonsultasi dengan
mereka dalam urusan.” (Bab 3, ayat 159), “.Siapa (perilaku) yang mengurus mereka
dengan saling konsultasi ...” (Bab 42, ayat 38), dan “Jika mereka berdua (ibu dan
ayah) memutuskan menyapih, dengan persetujuan bersama, dan setelah
berkonsultasi, maka tidak ada dosa mereka.”(Bab 2, ayat 233) [35]. 4) Akhirnya,
Al Quran melarang kecurigaan dan ketidakpercayaan yang tidak semestinya (Bab
49, ayat 12), memungkinkan delegasi pengambilan keputusan (Bab 18, ayat 19),
dan menekankan tanggung jawab pribadi (Bab 2, ayat 286). Jadi meskipun Islam
sebagai agama yang berpusat pada hukum Tuhan dan ketaatan, kepatuhan adalah
reflektif dan terbatas (kepada Allah dan Nabi). Selanjutnya, Islam tidak mendorong
semacam otonomi rasional yang dipahami sebagai kemampuan untuk secara
rasional menentukan apa yang merupakan kepentingan yang terbaik dan sebagai
motivasi untuk hidup seperti yang diajarkan. Hal ini menjadi catatan bahwa
dokumentasi penggunaan informed consent formal untuk operasi dalam budaya
Arab/Islam kembali ke masa di abad ke-17.
Persepsi pasien yang dominan terhadap tujuan informed consent adalah
kemungkinan pasien untuk membuat keputusan sendiri
Kami menemukan bahwa “membantu pasien memutuskan” merupakan
peringkat terbaik secara keseluruhan, peringkat 1-3 (dari 10) oleh 65% responden,
dan peringkat secara signifikan berbeda dari laporan pernyataan yang bersaing,
menunjukkan bahwa pandangan pasien yang dominan dari tujuan informed consent
ini adalah memungkinkan pasien dalam pengambilan keputusan sendiri. Sebuah
studi Selandia Baru dengan desain yang berbeda menunjukkan bahwa 64%
responden lebih suka untuk mengambil tanggung jawab penuh untuk menentukan
prosedur yang dijalani, 31% lebih suka dibimbing oleh dokter bedah, dan 5% lebih
suka penjelasan singkat saja. Sebaliknya, data yang lebih tua dari Amerika Utara
menunjukkan bahwa 57% pasien lebih suka mendelegasikan keputusan mereka
kepada orang lain. Membangun kepercayaan yang diperlukan untuk
memungkinkan pasien untuk membuat “lompatan kepercayaan” pada sebuah
perawatan bedah yang mungkin lebih penting untuk beberapa pasien daripada
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Menurut otonomi individu Millian,
budak tidak memperoleh otonomi karena menyetujui dirinya dirantai, dan seorang
bhikkhu tidak memiliki otonomi bahkan jika ia secara mandiri memilih untuk
mematuhi atasannya. Jika pasien diperbolehkan untuk membebaskan minat mereka
dalam pengambilan keputusan dan memutuskan untuk mempercayai dokter
mereka, kebebasan mereka memilih meningkat tetapi otonomi pribadi mereka
menurun. Meskipun pasien mungkin terkesan lama untuk memutuskan menerima
perawatan klinisi, dokter tidak harus membuat keputusan untuk pasien jika
konsekuensi dari pilihan pasien tidak dijelaskan. Lebih memilih sikap otonomi
individu Millian daripada sikap pengambilan keputusan bersama atau
pendelegasian pengambilan keputusan mungkin tergantung pada faktor-faktor yang
berhubungan dengan delegatornya, keputusan, atau delegatee (yang
mendelegasikan) tersebut. Pasien dengan orientasi penguasaan diri yang kuat dari
faktor internal, gaya pemantauan dari koping, dan rasa yang kuat pada efikasi
kesehatan diri adalah yang paling mungkin untuk membuat keputusan sendiri
secara penuh. Faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan meliputi,
keakraban, ambiguitas, signifikansi, kompleksitas, akuntabilitas, dan waktu serta
kendala uang. Dari catatan tahun 2003, Penilaian Nasional AS terhadap Keaksaraan
orang dewasa oleh Pusat Nasional untuk Statistik Pendidikan menunjukkan bahwa
36% orang dewasa memiliki pemahaman dibawah rata-rata atau masih sangat dasar
mengenai konsep kesehatan paling mendasar (sejauh mana individu memiliki
kapasitas untuk memperoleh, mengolah, dan memahami informasi kesehatan dasar
dan layanan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan kesehatan yang tepat).
Faktor yang berhubungan dengan delegate termasuk kepercayaan, yang tergantung
pada pengetahuan, kemampuan, dan motivasi. Hasil penelitian kami dapat
ditafsirkan sebagai pembuktian kuatnya orientasi otonom individu, rasa yang kuat
terhadap efikasi kesehatan diri, atau berkuangnya kepercayaan dalam sistem
kesehatan.
Persepsi terhadap tujuan informed consent ini dikaitkan dengan jenis kelamin
dan usia
Meskipun “membantu pasien memutuskan” terus ada di peringkat pertama
ketika pria dan wanita dianalisis secara terpisah, skor peringkat median yang secara
signifikan lebih menguntungkan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Sebaliknya juga berlaku untuk pernyataan “menginformasikan pasien”,
menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin untuk memahami tujuan dari proses
informed consent sebagai keterbukaan informasi dan laki-laki lebih mungkin untuk
melihatnya sebagai memungkinkan diri pengambilan keputusan. Hasil penelitian
ini dapat dijelaskan dengan teori asal biologis atau teori peran sosial. perbandingan
lintas budaya perbedaan gender akan menjadi penting untuk membedakan antara
dua teori sejak peran gender dan stereotip bervariasi di seluruh budaya. Hal ini tidak
jelas apakah hasil kami terkait dengan pengamatan bahwa pemahaman wanita
sangat baik dan keparahan akibat keluaran (outcome) pengobatan yang negatif
cukup tinggi pada wanita dan harapan yang lebih rendah pada kenikmatan, sebagian
itu memediasi kecenderungan mereka untuk memilih pilihan berisiko rendah dalam
kesehatan dan domain lainnya. Hasil tidak selalu menunjukkan bahwa responden
perempuan dalam penelitian kami kurang otonom, karena mungkin untuk sikap
otonomi seseorang muncul dalam hubungan tertentu dan pada umumnya seperti itu.
Responden perempuan kami mengetahui diri mereka kurang mengenal perihal
pengambilan keputusan kesehatan, karena lebih percaya pada sistem kesehatan,
atau bisa saja sibuk dengan keputusan yang lebih penting. Kami sebelumnya telah
menemukan perbedaan gender dalam persepsi norma pilihan untuk donasi organ.
Kami menemukan hubungan signifikan antara usia dan peringkat laporan yang
mendukung kemandirian dalam pengambilan keputusan. Pasien yang lebih tua
dapat menetapkan mana keputusan kesehatan yang relatif lebih penting, atau
mereka mungkin memiliki perasaan terhadap efikasi kesehatan diri lebih tinggi
(menjadi lebih mungkin dibandingkan responden yang lebih muda untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan perawatan kesehatan), atau keduanya.
Persepsi terhadap tujuan informed consent dikaitkan dengan waktu dalam
kaitannya dengan prosedur
Kami menemukan bahwa responden pra-prosedur memberi peringkat pada
“membantu pasien memutuskan” menjadi yang pertama, sedangkan responden
pascaprosedur memberi peringkat pada pernyataan “memastikan pasien mengerti”
di peringkat pertama. Selanjutnya, perbedaan antara dua subkelompok dalam
peringkat “membantu pasien memutuskan”, “menginformasikan pasien”, dan
“memiliki keputusan bersama” begitu signifikan, menunjukkan bahwa setelah
mengalami dan memberitahu proses/prosedur informed consent dapat mengubah
persepsi norma terhadap tujuan informed consent dari keterlibatan dalam
pengambilan keputusan terhadap keterbukaan informasi. Persepsi responden pasca-
prosedur konsisten dengan catatan otonomi Kantian dan prinsip non-eksploitasi
(bukan selalu nonpaternalism). Menurut catatan ini, tujuan dari proses informed
consent adalah untuk memberikan jaminan bahwa pasien tidak tertipu atau dipaksa.
Otonomi dalam pandangan ini identik dengan alasan praktis, di mana persetujuan
tidak hanya membutuhkan kebebasan dari pengaruh eksternal dan kebebasan dari
ketidaktahuan tetapi juga kebebasan dari dorongan batin, yang mungkin sulit bagi
pasien untuk mencapainya. Dokter menyarankan agar merawat diri sebagai pasien,
untuk bagian utama, karena berpotensi kehilangan objektivitas. Persepsi responden
pasca-prosedur ini juga konsisten dengan catatan otonomi prosedural. Otonomi
individu prosedural mungkin (periodik) refleksi mendukung perilaku penurut tanpa
syarat, yang dapat terjadi jika ada tingkat kepercayaan yang tinggi. Dalam hal ini,
telah berpendapat bahwa penggantian penilaian orang lain untuk penilaian pasien
tentang harus bertindak seperti apa, telah mencerminkan kegagalan untuk
menghormati kemandirian pasien, bahwa proses informed consent harus
reconceptualized sebagai suatu hal yang tidak begitu “individualistik” dan lebih
“relasional ”. Otonomi pasien harus dilihat sebagai salah satu di antara banyak nilai-
nilai, termasuk simpati dan kesejahteraan pasien, dan bahwa dengan perpindahan
dari konsep pengobatan berpusat pada dokter (physician-centered) menjadi
berpusat kepada pasien (patient-centered) dalam pengambilan keputusan terhadap
satu risiko. Hal tersebut menggantikan konsep konservatif bahwa ‘dokter tahu yang
terbaik’, konsep paternalisme menjadi paternalisme liberal yang baru, yang
mengarah ke hubungan penyedia-pasien yang lebih impersonal dan komersial.
Perbedaan yang ditemukan dalam persepsi terhadap tujuan informed consent dalam
kaitannya dengan saat prosedur harus diperhitungkan dalam merancang studi di
masa depan.
Pengambilan keputusan sendiri dan lebih memahami adalah yang diinginkan
dibandingkan dengan praktek terkini
Kami menemukan perbedaan yang signifikan antara persepsi norma dan
praktek terkini terhadap tujuan informed consent. Pernyataan bukan berpusat pada
pasien malah peringkatnya lebih baik, sedangkan pernyataan berpusat pada pasien
peringkatnya lebih buruk menurut persepsi praktek terkini. Mirip dengan hasil
kami, studi sebelumnya menunjukkan bahwa 67% responden menganggap
informed consent sebagai sarana memperoleh izin dan hanya 18% setuju dengan
implikasi dalam hal self-otonomi, yang 46% dan 68% dari pasien, masing-masing
percaya bahwa fungsi utama dari informed consent adalah untuk melindungi rumah
sakit dari litigasi dan untuk memungkinkan dokter untuk mengambil kendali, dan
ketaatan etika medis dalam hal memperoleh informed consent yang memadai
ternyata tidak memadai. Perbedaan yang sama antara persepsi dari norma dan
praktek terkini ditemukan pada populasi yang sama dalam kaitannya dengan orang-
orang yang menyetujui pilihan untuk donasi organ dan menyetujui untuk penelitian
retrospektif. Kami menemukan bahwa usia berkorelasi dengan peringkat dari
pernyataan yang berlawanan dari “membantu pasien memutuskan” menurut dua
perspektif, dan bahwa perbedaan antara dua perspektif lebih jelas pada laki-laki
daripada perempuan, hasil menunjukkan adanya beberapa derajat ketidakpuasan
pasien dengan proses informed consent saat ini, terutama pada laki-laki dan pasien
yang lebih tua.
Keterbatasan Studi
Pertimbangan penting dalam interpretasi temuan penelitian ini meliputi bahwa itu
didasarkan pada convenience sampling, bahwa itu dilakukan di sebuah lembaga
kesehatan tersier tunggal di kota metropolitan besar, dan bahwa kriteria pendaftaran
mengakibatkan pemilihan individu dengan pendidikan tinggi. Demikian hasil
mungkin tidak digeneralisasikan. Namun, catatan bahwa lembaga adalah pusat
rujukan pemerintah untuk seluruh negara, bahwa tingkat pendidikan secara umum
tidak terkait dengan skor peringkat pernyataan, dan bahwa kriteria pendaftaran
dipilih untuk mencapai keseimbangan antara validitas penelitian internal dan
eksternal. Pertimbangan penting lainnya adalah kemungkinan bahwa tidak semua
responden memahami pernyataan. Bias seperti itu tidak akan cukup besar untuk
mengubah kesimpulan utama dari studi dengan mempertimbangkan hasil pengujian
berbasis kognitif selama fase perkembangan dari kuesioner, kriteria pendaftaran
(pasien yang memiliki atau berencana untuk memiliki informed consent tertulis
mengenai tindakan pengobatan yang memerlukan prosedur daripada anggota
masyarakat umum, pasien yang mampu memahami tujuan dan prosedur penelitian),
metodologi penelitian (ketersediaan koordinator penelitian untuk membantu,
responden dipaksa untuk hati-hati mempertimbangkan setiap pernyataan sejak 10
laporan disajikan bersama-sama dan mereka harus memberi peringkat 1 sampai 10
menggunakan setiap nomor sekali), dan yang diamati konsistensi internal dari
respon (ditandai dengan asosiasi prediksi di peringkat pernyataan tertentu). Lebih
lanjut, penelitian ini hanya ditujukan prosedur tertulis terkait informasi dan
mungkin tidak berlaku untuk situasi kesehatan dengan risiko terendah dan/atau
yang mudah membuat keputusan sederhana. Akhirnya, perlu dicatat bahwa opini
publik mengenai proses informed consent diperkirakan akan terus berkembang,
hasilnya mungkin tidak mudah diramalkan.

Kesimpulan
Penelitian ini memberikan kontribusi ke daerah yang penting, tapi juga
daerah yang pelayanan kesehatannya terabaikan. Tujuan dari informed consent
untuk perawatan klinis berakar pada konsep-konsep yang telah terbentuk setelah
serangkaian perkembangan politik dan filosofis daripada studi empiris. Tujuan
informed consent yang berbeda akan membutuhkan proses yang berbeda. Dalam
pengaturan klinik rawat jalan di rumah sakit perawatan tersier di Arab Saudi, kami
menemukan bahwa: 1) proses informed consent penting untuk pasien, namun
pasien bervariasi dalam pandangan mereka tentang tujuannya dengan pandangan
dominan menjadi memungkinkan pasien membuat keputusan sendiri, 2) laki-laki,
pra-prosedur, dan pasien yang lebih tua lebih mendukung kemandirian dalam
pengambilan keputusan, sedangkan perempuan dan pasien pasca-prosedur yang
lebih mendukung sebuah informasi untuk pengungkapan tujuan, dan 3) lebih
banyak kemandirian dalam pengambilan keputusan dan lebih efektif
pengungakapan informasi adalah hal yang diinginkan dari praktek terkini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa model otonomi individu Mill tentang informed
consent lebih disukai dan proses informed consent konsisten dengan model ini
mungkin cocok untuk sebagian besar pasien, terutama pasien laki-laki dan pasien
yang lebih tua. Hasil mengkonfirmasi bahwa mungkin ada beberapa tingkat
ketidakpuasan pasien dengan proses informed consent dalam praktek terkini.
Akhirnya, perbedaan diamati dalam persepsi terhadap tujuan informed consent
dalam kaitannya dengan saat prosedur harus diperhitungkan dalam merancang studi
di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai