Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi kronis yang disebabkan


olehsuatu reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik pada pasien atopik yang sudahtersensitisasi
dengan alergen yang sama sebelumnya.1

Dengan kata lain, alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas. Penyakit alergi
merupakan kerusakan jaringan tipe 1, hipersensitifitas tipe 1 disebut juga sebagai
hipersensitivitas tipe segera. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal.Waktu reaksi berkisar antara
15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe 1 diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah sel
mast atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh trombosit, neutrofil,
dan eosinofil.Sehingga memerlukan adanya antibodi (immunoglobulin) E untuk
terjadinya reaksi. Untuk menimbulkan reaksialergi harus dipenuhi 2 faktor, yaitu
adanya sensitivitas terhadap suatu allergen (atopi), yang biasanya bersifat herediter
dan adanya kontak ulang dari alergen tersebut.1

Seperti yang telah diketahui sebelumnya dikenal bahwa reaksi tipe 1 menurut
klasifikasi Gell dan Coomb pada tahun 1963 mula-mula dianggap sebagai reaksi
cepat (terjadi beberapa saat setelah paparan) dan langsung menimbulkan gejala.
Tetapi setelah dipelajari lebih dalam, ternyata rinitis alergi merupakan suatu penyakit
inflamasi yang terdiri dari reaksi fase cepat, fase lambat dan fase hiperresponsif.1

Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8 -11 tahun, dan 80% kasus rinitis
alergi berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul di usia muda.

1
Riwayat atopi memegang peranan penting dalam timbulnya rinits alergi. Jika kedua
orang tua memiliki riwayat atopi maka risiko anaknya untuk menderita atopi menjadi
dua kali lebih besar.2

Studi epidemiologi telah menunjukkan hubungan yang kuat antara rhinitis


alergi dan asma. Pada sebuah studi, asma telah dibuktikan dalam 40% dari orang
dewasa memiliki rhinitis.3,4

Selain asma, ada bukti hubungan antara rhinitis alergi dan rhinosinusitis.
Bukti ini menunjuk ke peningkatan prevalensi sensitisasi alergi, peningkatan kejadian
tes kulit positif dalam menanggapi aeroallergen, dan peningkatan kadar IgE pada
pasien dengan sinusitis.5 Ada juga bukti kuat bahwa pengobatan rinitis alergi
mengurangi keparahan sinusitis, hasil perkembangan setelah operasi sinus, dan dapat
meningkatkan hasil dari manajemen medis kronis rhinosinusitis. Rhinitis alergi juga
diusulkan untuk mengarah pada pengembangan rinosinusitis sebagai akibat dari
obstruksi mekanik dan lendir yang statis.6

Prinsip penatalaksanaan rinitis alergi terutama adalah menghindari faktor


pencetus utama, yaitu agen penyebab alergi yang bersifat spesifik pada masing-
masing individu. Kemudian untuk mempercepat resolusi dari gejala dapatdidukung
dengan terapi farmakologi, baik dengan obat-obatan, pembedahan, maupun
imunoterapi.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung
1. Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur
hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang
tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares
anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus
nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum.7

Gambar 1.Anatomi Hidung Luar

3
2. Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding
lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas
konka media disebut meatus superior.7

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam

a. Cavum Nasi

Rongga hidung dibagi dua bagian, kanan dan kiri di garis median
oleh septum nasi yang sekaligus menjadi dinding medial dari cavum nasi
dan dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis, kartilago
septi nasi (kartilago quadrangularis) dan vomer.7
Sehingga dengan demikian septum nasi dapat di bagi menjadi pars
kartilagines dan para osseus di bagian anterior dari pars kartilagines
terdapat daerah dimana terdapat pleksus Kiesselbach.Kavum nasi terdiri
dari :

4
 Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.7
 Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.7
 Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.7
 Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ;
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum.7
b. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior

5
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus
sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.7
c. Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di
balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus
frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.8
d. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.8
e. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri
septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina
horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh

6
prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di
bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya
menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus
paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara
yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk
oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.8
f. Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid
anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan
koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga
di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting
yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.8
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum
karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke
celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan
pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal
yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal
drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke
dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.8

7
B. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke
atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran
udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.8
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :
 Mengatur kelembaban udara.
Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
 Mengatur suhu.
Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.8
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

8
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.8
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.8
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau.8
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka,
palatum molle turun untuk aliran udara.8
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi
mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang
bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8

9
Rhinitis Alergika

A. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik.9
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.9

Gambar 3. Rhinitis Alergi

B. Patofisiologi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan
dari "non-self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem
kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang
disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh

10
untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell
dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung,
sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan
dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas
dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan
Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja
di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki
pemahaman umum tentang hal tersebut.10
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. 11

Gambar 4. Alergi Masuk

11
Gambar 5. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung.11
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.11
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)

12
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).11
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1(ICAM 1).11
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

13
Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.11

C. ETIOLOGI
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari
pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan.
Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi
dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi,
maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran
lingkungan dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah
memiliki kecenderungan alergi.11

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang


masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran
serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.11

D. Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua
penyakit atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Rhinitis alergi telah
menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari
40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10
alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa
menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati
diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak
terhitung pada survey resmi.8

14
E. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak
ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-
menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang
dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan
di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain,
seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.11
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi
dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.11

15
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi :

1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.11

F. Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan
gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin.11
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai
oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh

16
pasien.1 Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’,
berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.11
 Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner.11

Gambar 6. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,


karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai
allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut sebagai allergic crease.11

Gambar 7. Allergic Crease (kiri) dan Allergic Sallute (kanan)

17
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).11

Gambar 8. Facies Adenoid (kiri) dan Geographic Tongue (kanan)

 Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).11
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan

18
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.11
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui.11
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (Challenge Test).11
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu
lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.11

G. Diagnosis Banding

a. Rhinitis akut
 Definisi: Radang akut mukosa hidung.12
 Etiologi: Virus, bakteri seperti Streptococcus, Pneumococcus,Haemophilus
influenza.12
 Cara penularan: Melalui percikan ludah atau kontak langsung.
Dipengaruhi oleh:

19
1. Virulensi
2. Faktor predisposisi :
a. Faktor luar
1. Atmosfer
2. Ventilasi ruangan
3. Debu, gas dll
b. Faktor dalam
1. Kelelahan, kurang gizi, vitamin
2. Penyakit kronis
3. Penyakit dengan exanhema: morbili, variola, varicella
4. Lokal: alergi, obstrukni nasi kronis12
 Gejala klinis: Gejala pokok berupa pilek, bersin-bersin, hidung buntu. Dapat
didahului oleh nasofaringitis, faringitis, atau laringitis.12
Ada 3 stadium yaitu :
1. Stadium prodormal (hari ke 1)
Keluhan: Hidung panas, kering, bersin-bersin, pilek encer,
hidung buntu.
Rinoskopi anterior: Cavum nasi sempit, udem, hiperemi,
sekret encer.12
2. Stadium akut (hari ke 2-4)
Keluhan: Malaise, pening, subfebril, bersin-bersinnya
turun, buntunya bertambah
Rinoskopi anterior: Cavum nasi lebih sempit, udem,
hiperemi, sekret mukopurulen.12
3. Stadium resolusi
Keluhan: berkurang
Rinoskopi anterior: berkurang.12

20
 Terapi: Umum:
a. Hindari kedinginan (pakaian, makanan, mandi)
b. Simtomatik
Lokal:
Tetes hidung dengan solutionHCL epherin 1% (dalam glukosa
5%)12
 Pencegahan: - Hindari kontak
- Meningkatkan daya tahan tubuh: hindari lelah, diet bergizi.12

b. Rhinitis vasomotor
 Definisi: Buntu hidung karena gangguan fungsi vasomotor atau
bertambahnya aktifitas parasimpatis.12
 Etiologi: Belum diketahui, diduga terkait sistem saraf otonom. Biasanya
berhubungan dengan kelembaban udara tinggi dan dingin.12

Nervus vidianus yang mengandung saraf simpatif dan parasimpatis, bila


dirangsang pada:

1. Parasimpatis : Maka vasodilatasi pembuluh darah dalam konka,


meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar.
2. Simpatis : Terjadi efek sebaliknya.12
 Faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
- Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis.
Misalnya: Ergotami, antihipertensi, vasokontriktor topikal
- Faktor fisik, seperti iritasi oleh :
Misalnya: Asap rokok, bau merangsang, kelembaban udara,
perubahan suhu luar, kelembaban tinggi : hujan, lembab
- Faktor endokrin
Misalnya: Kehamilan, pil KB, pubertas, hipotiroidisme
- Faktor psikis

21
Misalnya: Kecemasan dan ketegangan.12
 Gejala klinik:Hidung tersumbat secara bergantian, rhinore, bersin-bersinnya
jarang dan tidak ada rasa gatal dimata, biasanya pagi hari
memburuk karena lembab dan mendung.13
 Diagnosis
1. Anamnesis : Singkirkan tentang rhinitis alergika
2. Pemeriksaan fisik, Rhinoskopi anterior: Odema mukosa hidung, konka
merah gelap/merahtua tapi kadang dapat pucat, sekret
mukoid tapi hanya sedikit.
3. Laboratorium : Tidak ada eosinofil.12
 Terapi :
1. Hindari peyebab : mandi hangat, olahraga.
2. Simptomatis : dekongestal oral, kortikosteroid topical
3. Kalau perlu operasi konkotomi.12

c. Rhinitis medikamentosa
 Definisi : Rhinitis medikamentosa adalah rhinitis yang disebabkan respon
vasomotor terganggu, akibat pemakaian vasokonstriktor topikal
(obat tetes hidung atau obat semprot hidung) yang lama atau
berlebihan.12
 Gejala klinis : Hidung buntu terus dan berair.12
 Pemeriksaan fisik : Pada rhinoskopi anterior : konka udem dan sekret
hidung berlebihan dan apabila diuji dengan adrenalin,
udem konka tidak akan berkurang.12
 Terapi :

1. Hindari pemakaian obat tetes hidung


2. Kortikosteroid
3. Dekongestan oral12

22
H. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.11
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target,
dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.11
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek
pada SSP minimal (non-sedatif).11
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah

23
ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.11
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa.11

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

24
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun
sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat
sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila
digunakan dalam jangka waktu lama.11
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg
untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk
dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini
yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas.11
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.11
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi
jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja
menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,

25
eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan
sebagai profilaksis.11
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.11
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006,
membuktikan bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek
yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup
pasien.14
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty
perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.9
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.9

I. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah:

1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.

26
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.11

27
BAB III
KESIMPULAN

Rhinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung


dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dan atopi
secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik
memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis
alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi
terjadinya penyakit ini

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner,
allergic salute dan allergic crease.

Untuk alasan ini sejumlah besar penelitian dan banyak studi klinis dilakukan
untuk memecahkan masalah alergi. Banyak klasifikasi dan modalitas pengobatan
telah dijelaskan. Farmakoterapi adalah yang paling sering digunakan sebagai
modalitas terapi di rhinitis alergi.

28
Daftar Pustaka

1. Kasakeyan E, Rusmono N. 2001. Alergi Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Plaut M, Valentine M. 2009. Allergi Rhinitis. New England Journal of
Medicine.Massacusset Medical Society.
3. Bousquet, J .; Vignola, A.M .; Demoly, P. 2003. Links between rhinitis and
asthma. Allergy.
4. Leynaert, B .; Neukirch, C .; Liard, R .; Bousquet, J .; Neukirch, F.2000.
Quality of life in allergic rhinitis and asthma. A population-based study of
young adults. Am. J. Respir. Crit. Care Med.
5. Krouse, J.H. 2005.Allergy and chronic rhinosinusitis.Otolaryngol. Clin. North
Am.
6. Hellings, P.W .; Fokkens, W.J. 2006.Allergic rhinitis and its impact on
otorhinolaryngology.Allergy.
7. Soetjipto D., Wardani RS. 2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI.
8. Dhingra PL. 2011. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Edition. New Delhi,
India : Elsevier.
9. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. 2007. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA,
Iskandae N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th
ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
10. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. 1998. Otolaryngolohy Head
and Neck Surgery: Third Edition. St Louis: Mosby.
11. Soepardi E., Iskandar N. 2004.Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi ke Enam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
12. Buku Diktat kuliah Telinga Hidung dan Tenggorok. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2005.
13. Soemantri RD, Mulyarjo, Dwi RP. 2005.Rinitis Alergi. Pedoman Diagnosis
dan Terapi. Bag/ SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. Edisi
ke-3 RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
14. Mucha SM, et al. 2006. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in
the Treatneme.nt of Allergic Rhinitis. Amerika :Arch Otolaryngol Head Neck
Surg.Vol 132.

29

Anda mungkin juga menyukai