Anda di halaman 1dari 26

PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari seorang ahli
medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Hasil pemeriksaan
akan dicatat dalam rekam medis. Rekam medis dan pemeriksaan fisik akan membantu dalam
penegakkan diagnosis dan perencanaan perawatan pasien.
Biasanya, pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai dari bagian kepala dan
berakhir pada anggota gerak. Setelah pemeriksaan organ utama diperiksa dengan inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi, beberapa tes khusus mungkin diperlukan seperti
test neurologi.
Dengan petunjuk yang didapat selama pemeriksaan riwayat dan fisik, ahli medis dapat
menyususn sebuah diagnosis diferensial,yakni sebuah daftar penyebab yang mungkin
menyebabkan gejala tersebut. Beberapa tes akan dilakukan untuk meyakinkan penyebab
tersebut.
Sebuah pemeriksaan yang lengkap akan terdiri diri penilaian kondisi pasien secara umum dan
sistem organ yang spesifik. Dalam prakteknya, tanda vital atau pemeriksaan
suhu, denyut dan tekanan darah selalu dilakukan pertama kali.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Teori


Pemeriksaan fisik merupakan peninjauan dari ujung rambut sampai ujung kaki pada
setiap system tubuh yang memberikan informasi objektif tentang klien dan memungkinkan
perawat untuk mebuat penilaian klinis. Keakuratan pemeriksaan fisik mempengaruhi
pemilihan terapi yang diterima klien dan penetuan respon terhadap terapi tersebut.(Potter dan
Perry, 2005)
Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau hanya bagian
tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang sistematif dan komprehensif,
memastikan/membuktikan hasil anamnesa, menentukan masalah dan merencanakan tindakan
keperawatan yang tepat bagi klien. ( Dewi Sartika, 2010)
Adapun teknik-teknik pemeriksaan fisik yang digunakan adalah:
1. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran
dan penciuman. Inspeksi umum dilakukan saat pertama kali bertemu pasien. Suatu gambaran
atau kesan umum mengenai keadaan kesehatan yang di bentuk. Pemeriksaan kemudian maju
ke suatu inspeksi local yang berfokus pada suatu system tunggal atau bagian dan biasanya
mengguankan alat khusus seperto optalomoskop, otoskop, speculum dan lain-lain. (Laura
A.Talbot dan Mary Meyers, 1997) Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
melihat bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan (mata atau kaca pembesar). (Dewi
Sartika, 2010)
Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk,
posisi, kesimetrisan, lesi, dan penonjolan/pembengkakan.setelah inspeksi perlu dibandingkan
hasil normal dan abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya.
2. Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indera peraba dengan meletakkan
tangan pada bagian tubuh yang dapat di jangkau tangan. Laura A.Talbot dan Mary Meyers,
1997)
Palpasi adalah teknik pemeriksaan yang menggunakan indera peraba ; tangan dan jari-jari,
untuk mendeterminasi ciri2 jaringan atau organ seperti: temperatur, keelastisan, bentuk,
ukuran, kelembaban dan penonjolan.(Dewi Sartika,2010)
Hal yang di deteksi adalah suhu, kelembaban, tekstur, gerakan, vibrasi, pertumbuhan atau
massa, edema, krepitasi dan sensasi.

3. Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan yang meliputi pengetukan permukaan tubuh unutk
menghasilkan bunyi yang akan membantu dalam membantu penentuan densitas, lokasi, dan
posisi struktur di bawahnya.(Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)
Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu untuk
membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri/kanan) dengan menghasilkan suara, yang
bertujuan untuk mengidentifikasi batas/ lokasi dan konsistensi jaringan. Dewi Sartika, 2010)

4. Auskultasi
Auskultasi adalah tindakan mendengarkan bunyi yang ditimbulkan oleh bermacam-
macam organ dan jaringan tubuh.(Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)
Auskultasi Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang
dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal
yang didengarkan adalah : bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.(Dewi Sartika, 2010)
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, ada prinsip-prinsip yang harus di perhatikan, yaitu
sebagai berikut:
a. Kontrol infeksi
Meliputi mencuci tangan, memasang sarung tangan steril, memasang masker, dan membantu
klien mengenakan baju periksa jika ada.
b. Kontrol lingkungan
Yaitu memastikan ruangan dalam keadaan nyaman, hangat, dan cukup penerangan untuk
melakukan pemeriksaan fisik baik bagi klien maupun bagi pemeriksa itu sendiri. Misalnya
menutup pintu/jendala atau skerem untuk menjaga privacy klien
1. Komunikasi (penjelasan prosedur)
2. Privacy dan kenyamanan klien
3. Sistematis dan konsisten ( head to toe, dr eksternal ke internal, dr normal ke abN)
4. Berada di sisi kanan klien
5. Efisiensi
6. Dokumentasi

2.2. Tujuan Pemeriksaan Fisik


Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan:

1. Untuk mengumpulkan data dasar tentang kesehatan klien.


2. Untuk menambah, mengkonfirmasi, atau menyangkal data yang diperoleh dalam
riwayat keperawatan.
3. Untuk mengkonfirmasi dan mengidentifikasi diagnosa keperawatan.
4. Untuk membuat penilaian klinis tentang perubahan status kesehatan klien dan
penatalaksanaan.
5. Untuk mengevaluasi hasil fisiologis dari asuhan.
Namun demikian, masing-masing pemeriksaan juga memiliki tujuan tertentu yang akan di
jelaskan nanti di setiap bagian tibug yang akan di lakukan pemeriksaan fisik.

2.3. Manfaat Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik memiliki banyak manfaat, baik bagi perawat sendiri, maupun bagi
profesi kesehatan lain, diantaranya:

1. Sebagai data untuk membantu perawat dalam menegakkan diagnose keperawatan.


2. Mengetahui masalah kesehatan yang di alami klien.
3. Sebagai dasar untuk memilih intervensi keperawatan yang tepat
4. Sebagai data untuk mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan

2.4. Indikasi
Mutlak dilakukan pada setiap klien, tertama pada:

1. klien yang baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan untuk di rawat.


2. Secara rutin pada klien yang sedang di rawat.
3. Sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien

2.5. Prosedur pemeriksaan fisik


Persiapan
a. Alat
Meteran, Timbangan BB, Penlight, Steteskop, Tensimeter/spighnomanometer,
Thermometer, Arloji/stopwatch, Refleks Hammer, Otoskop, Handschoon bersih ( jika perlu),
tissue, buku catatan perawat.
Alat diletakkan di dekat tempat tidur klien yang akan di periksa.
b. Lingkungan
Pastikan ruangan dalam keadaan nyaman, hangat, dan cukup penerangan. Misalnya
menutup pintu/jendala atau skerem untuk menjaga privacy klien
c. Klien (fisik dan fisiologis)
Bantu klien mengenakan baju periksa jika ada dan anjurkan klien untuk rileks.

A) Prosedur Pemeriksaan

1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur
3. Lakukan pemeriksaan dengan berdiri di sebelah kanan klien dan pasang
handschoen bila di perlukan
4. Pemeriksaan umum meliputi : penampilan umum, status mental dan nutrisi.

Posisi klien : duduk/berbaring


Cara : inspeksi

1. Kesadaran, tingkah laku, ekspresi wajah, mood. (Normal : Kesadaran penuh, Ekspresi
sesuai, tidak ada menahan nyeri/ sulit bernafas)
2. Tanda-tanda stress/ kecemasan (Normal :)Relaks, tidak ada tanda-tanda cemas/takut)
3. Jenis kelamin
4. Usia dan Gender
5. Tahapan perkembangan
6. TB, BB ( Normal : BMI dalam batas normal)
7. Kebersihan Personal (Normal : Bersih dan tidak bau)
8. Cara berpakaian (Normal : Benar/ tidak terbalik)
9. Postur dan cara berjalan
10. Bentuk dan ukuran tubuh
11. Cara bicara. (Relaks, lancer, tidak gugup)
12. Evaluasi dengan membandingkan dengan keadaan normal.
13. Dokumentasikan hasil pemeriksaan

B) Pengukuran tanda vital (Dibahas kelompok 2 lebih dalam)


Posisi klien : duduk/ berbaring

1. Suhu tubuh (Normal : 36,5-37,50c)


2. Tekanan darah (Normal : 120/80 mmHg)
3. Nadi

a) Frekuensi = Normal : 60-100x/menit ; Takikardia: >100 ; Bradikardia: <6 span="">


b) Keteraturan= Normal : teratur
c) Kekuatan= 0: Tidak ada denyutan; 1+:denyutan kurang teraba; 2+: Denyutan
mudah teraba, tak mudah lenyap; 3+: denyutan kuat dan mudah teraba
4. Pernafasan
a) Frekuensi: Normal= 15-20x /menit; >20: Takipnea; <15 bradipnea="" span="">
b) Keteraturan= Normal : teratur
c) Kedalaman: dalam/dangkal
d) Penggunaan otot bantu pernafasan: Normal : tidak ada
setelah diadakan pemeriksaan tanda-tanda vital evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang
didapat.
C) Pemeriksaan kulit dan kuku
Tujuan
1) Mengetahui kondisi kulit dan kuku
2) Mengetahui perubahan oksigenasi, sirkulasi, kerusakan jaringan setempat, dan
hidrasi.
Persiapan
1) Posisi klien: duduk/ berbaring
2) Pencahayaan yang cukup/lampu
3) Sarung tangan (utuk lesi basah dan berair)

Prosedur Pelaksanaan
a. Pemeriksaan kulit\
 Inspeksi : kebersihan, warna, pigmentasi,lesi/perlukaan, pucat, sianosis, dan ikterik.
Normal: kulit tidak ada ikterik/pucat/sianosis.
 Palpasi : kelembapan, suhu permukaan kulit, tekstur, ketebalan, turgor kulit, dan edema.
Normal: lembab, turgor baik/elastic, tidak ada edema.
setelah diadakan pemeriksaan kulit dan kuku evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.
b. Pemeriksaan kuku
 Inspeksi : kebersihan, bentuk, dan warna kuku
Normal: bersih, bentuk normaltidak ada tanda-tanda jari tabuh (clubbing finger), tidak
ikterik/sianosis.
 Palpasi : ketebalan kuku dan capillary refile ( pengisian kapiler ).
Normal: aliran darah kuku akan kembali < 3 detik.
setelah diadakan pemeriksaan kuku evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
c. Pemeriksaan kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan leher
Posisi klien : duduk , untuk pemeriksaan wajah sampai dengan leher perawat
berhadapan dengan klien

D) Pemeriksaan kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan leher


1. Pemeriksaan kepala
Tujuan
a) Mengetahui bentuk dan fungsi kepala
b) Mengetahui kelainan yang terdapat di kepala
Persiapan alat
a) Lampu
b) Sarung tangan (jika di duga terdapat lesi atau luka)

Prosedur Pelaksanaan
 Inspeksi : ukuran lingkar kepala, bentuk, kesimetrisan, adanya lesi atau tidak, kebersihan
rambut dan kulit kepala, warna, rambut, jumlah dan distribusi rambut.
Normal: simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan
gizi(rambut jagung dan kering)
 Palpasi : adanya pembengkakan/penonjolan, dan tekstur rambut.
 Normal: tidak ada penonjolan /pembengkakan, rambut lebat dan kuat/tidak rapuh.
setelah diadakan pemeriksaan kepala evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat.

2. Pemeriksaan wajah
 Inspeksi : warna kulit, pigmentasi, bentuk, dan kesimetrisan.
Normal: warna sama dengan bagian tubuh lain, tidak pucat/ikterik, simetris.
 Palpasi : nyeri tekan dahi, dan edema, pipi, dan rahang
 Normal: tidak ada nyeri tekan dan edema.
setelah diadakan pemeriksaan wajah evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.

3. Pemeriksaan mata
Tujuan
a) Mengetahui bentuk dan fungsi mata
b) Mengetahui adanya kelainan pada mata.

Persiapan alat
a) Senter Kecil
b) Surat kabar atau majalah
c) Kartu Snellen
d) Penutup Mata
e) Sarung tangan
Prosedur Pelaksanaan
 Inspeksi: bentuk, kesimestrisan, alis mata, bulu mata, kelopak mata, kesimestrisan, bola
mata, warna konjunctiva dan sclera (anemis/ikterik), penggunaan kacamata / lensa kontak,
dan respon terhadap cahaya.
Normal: simetris mata kika, simetris bola mata kika, warna konjungtiva pink, dan sclera
berwarna putih.
Tes Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan seseorang mungkin berbeda dengan orang lain. Tajam
penglihatan tersebut merupakan derajad persepsi deteil dan kontour beda. Visus tersebut
dibagi dua yaitu:
1). Visus sentralis.
Visus sentralis ini dibagi dua yaitu visus sentralis jauh dan visus sentralis dekat.
a. visus centralis jauh merupakan ketajaman penglihatan untuk melihat benda benda yang
letaknya jauh. Pada keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi. (EM. Sutrisna, dkk, hal
21).
b. virus centralis dekat yang merupakan ketajaman penglihatan untuk melihat benda benda
dekat misalnya membaca, menulis dan lain lain. Pada keadaan ini mata harus akomodasi
supaya bayangan benda tepat jatuh di retina. (EM. Sutrisna, dkk, hal 21).
2). Visus perifer
Pada visus ini menggambarkan luasnya medan penglihatan dan diperiksa dengan
perimeter. Fungsi dari visus perifer adalah untuk mengenal tempat suatu benda terhadap
sekitarnya dan pertahanan tubuh dengan reaksi menghindar jika ada bahaya dari samping.
Dalam klinis visus sentralis jauh tersebut diukur dengan menggunakan grafik huruf Snellen
yang dilihat pada jarak 20 feet atau sekitar 6 meter. Jika hasil pemeriksaan tersebut visusnya
e”20/20 maka tajam penglihatannya dikatakan normal dan jika Visus <20 adalah=""
anomaly="" bermacam="" dikatakan="" kelainan="" kurang="" macam="" maka=""
peglihatan="" pembiasan.="" penglihatanya="" penurunan="" penyebab="" refraksi=""
salah="" satunya="" seseorang="" span="" tajam="">
prosedur pemeriksaan visus dengan menggunakan peta snellen yaitu:

 Memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud tujuan pemeriksaan.


 Meminta pasien duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter.
 Memberikan penjelasan apa yang harus dilakukan (pasien diminta mengucapkan apa
yang akan ditunjuk di kartu Snellen) dengan menutup salah satu mata dengan
tangannya tanpa ditekan (mata kiri ditutup dulu).
 Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien menyebutkan simbol di kartu Snellen
dari kiri ke kanan, atas ke bawah.
 Jika pasien tidak bisa melihat satu simbol maka diulangi lagi dari barisan atas. Jika
tetap maka nilai visus oculi dextra = barisan atas/6.
 Jika pasien dari awal tidak dapat membaca simbol di Snellen chart maka pasien
diminta untuk membaca hitungan jari dimulai jarak 1 meter kemudian mundur. Nilai
visus oculi dextra = jarak pasien masih bisa membaca hitungan/60.
 Jika pasien juga tidak bisa membaca hitungan jari maka pasien diminta untuk melihat
adanya gerakan tangan pemeriksa pada jarak 1 meter (Nilai visus oculi dextranya
1/300).
 Jika pasien juga tetap tidak bisa melihat adanya gerakan tangan, maka pasien diminta
untuk menunjukkan ada atau tidaknya sinar dan arah sinar (Nilai visus oculi dextra
1/tidak hingga). Pada keadaan tidak mengetahui cahaya nilai visus oculi dextranya
nol.
 Pemeriksaan dilanjutkan dengan menilai visus oculi sinistra dengan cara yang sama.
 Melaporkan hasil visus oculi sinistra dan dextra. (Pada pasien vos/vodnya “x/y”
artinya mata kanan pasien dapat melihat sejauh x meter, sedangkan orang normal
dapat melihat sejauh y meter.

Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata


Pemeriksaan pergeraka bola mata dilakukan dengan cara Cover-Uncover Test / Tes
Tutup-Buka Mata
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya Heterophoria.
Heterophoria berhubungan dengan kelainan posisi bola mata, dimana terdapat penyimpangan
posisi bolamata yang disebabkan adanya gangguan keseimbangan otot-otot bolamata yang
sifatnya tersembunyi atau latent. Ini berarti mata itu cenderung untuk menyimpang atau
juling, namun tidak nyata terlihat.
Pada phoria, otot-otot ekstrinsik atau otot luar bola mata berusaha lebih tegang atau kuat
untuk menjaga posisi kedua mata tetap sejajar. Sehingga rangsangan untuk berfusi atau
menyatu inilah menjadi faktor utama yang membuat otot -otot tersebut berusaha extra atau
lebih, yang pada akhirnya menjadi beban bagi otot-otot tersebut, wal hasil akan timbul rasa
kurang nyaman atau Asthenopia.
Dasar pemeriksaan Cover-Uncover Test / Tes Tutup-Buka Mata :

 Pada orang yang Heterophoria maka apabila fusi kedua mata diganggu (menutup
salah satu matanya dengan penutup/occluder, atau dipasangkan suatu filter), maka
deviasi atau peyimpangan laten atau tersembunyi akan terlihat.
 Pemeriksa memberi perhatian kepada mata yang berada dibelakang penutup.
 Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar (temporal) kearah dalam
(nasal) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat kelainan EXOPHORIA.
 Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam (nasal)
luar kearah (temporal)pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan ESOPHORIA.
 Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas (superior) kearah bawah
(inferior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan HYPERPHORIA.
 Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah (inferior) kearah atas
(superior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan HYPORPHORIA.

Alat/sarana yang dipakai:

 Titik/lampu untuk fiksasi


 Jarak pemeriksaan :
o Jauh : 20 feet (6 Meter)
o Dekat : 14 Inch (35 Cm)
 Penutup/Occluder

Prosedur Pemeriksaan :

1. Minta pasien untuk selalu melihat dan memperhatikan titik fiksasi, jika objek jauh
kurang jelas, maka gunakan kacamata koreksinya.
2. Pemeriksa menempatkan dirinya di depan pasien sedemikian rupa, sehingga apabila
terjadi gerakan dari mata yang barusa saja ditutup dapat di lihat dengan jelas atau di
deteksi dengan jelas.
3. Perhatian dan konsentrasi pemeriksa selalu pada mata yang ditutup.
4. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar (temporal) kearah dalam
(nasal) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan EXOPHORIA. Exophoria dinyatakan dengan inisial = X (gambar D)
5. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam (nasal)
luar kearah (temporal)pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan ESOPHORIA. Esophoria dinyatakan dengan inisial = E (gambar C)
6. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas (superior) kearah bawah
(inferior)) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan HYPERPHORIA. Hyperphoria dinyatakan dengan inisial = X (gambar E)
7. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah (inferior) kearah atas
(superior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan HYPOPHORIA. Hypophoria dinyatakan dengan inisial = X (gambar F)
8. Untuk mendeteksi Heterophoria yang kecil, seringkali kita tidak dapat mengenali
adanya suatu gerakan, seolah kondisi mata tetap di tempat. Untuk itu metode ini
sering kita ikuti dengan metode tutup mata bergantian (Alternating Cover Test).

Setelah diadakan pemeriksaan mata evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
4. Pemeriksaan telinga
Tujuan
Mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga, gendang telinga, dan fungsi pendengaran.
Persiapan Alat
a) Arloji berjarum detik
b) Garpu tala
c) Speculum telinga
d) Lampu kepala
Prosedur Pelaksanaan
 Inspeksi : bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan, integritas, posisi telinga, warna, liang
telinga (cerumen/tanda-tanda infeksi), alat bantu dengar..
Normal: bentuk dan posisi simetris kika, integritas kulit bagus, warna sama dengan kulit
lain, tidak ada tanda-tanda infeksi, dan alat bantu dengar.
 Palpasi : nyeri tekan aurikuler, mastoid, dan tragus
Normal: tidak ada nyeri tekan.
setelah diadakan pemeriksaan telinga evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
Pemeriksaaan Telinga Dengan Menggunakan Garpu Tala
a. Pemeriksaan Rinne
1. Pegang agrpu tala pada tangkainya dan pukulkan ke telapak atau buku jari tangan yang
berlawanan.
2. Letakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus klien.
3. Anjurkan klien untuk memberi tahu pemeriksa jika ia tidak merasakan getaran lagi.
4. Angkat garpu tala dan dengan cepat tempatkan di depan lubang telinga klien 1-2 cm dengan
posisi garpu tala parallel terhadap lubang telinga luar klien.
5. Instruksikan klien untuk member tahu apakah ia masih mendengarkan suara atau tidak.
6. Catat hasil pemeriksaan pendengaran tersebut.
b. Pemeriksaan Webber
1. Pegang garpu tala pada tangkainya dan pukulkan ke telapak atau buku jari yang berlawanan.
2. Letakkan tangkai garpu tala di tengah puncak kepala klien .
3. Tanyakan pada klien apakah bunyi terdengar sama jelas pada kedua telinga atau lebih jelas
pada salah satu telinga.
4. Catat hasil pemeriksaan dengan pendengaran tersebut

5 Pemeriksan hidung dan sinus


Tujuan
a) Mengetahui bentuk dan fungsi hidung
b) Menentukan kesimetrisan struktur dan adanya inflamasi atau infeksi
Persiapan Alat
a) Spekulum hidung
b) Senter kecil
c) Lampu penerang
d) Sarung tangan (jika perlu)
Prosedur Pelaksanaan
 Inspeksi : hidung eksternal (bentuk, ukuran, warna, kesimetrisan), rongga, hidung ( lesi,
sekret, sumbatan, pendarahan), hidung internal (kemerahan, lesi, tanda2 infeksi)
Normal: simetris kika, warna sama dengan warna kulit lain, tidak ada lesi, tidak ada
sumbatan, perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
 Palpasi dan Perkusi frontalis dan, maksilaris (bengkak, nyeri, dan septum deviasi)
Normal: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.
setelah diadakan pemeriksaan hidung dan sinus evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.

6 Pemeriksaan mulut dan bibir


Tujuan
Mengetahui bentuk kelainan mulut
Persiapan Alat
a) Senter kecil
b) Sudip lidah
c) Sarung tangan bersih
d) Kasa
Prosedur Pelaksanaan
 Inspeksi dan palpasi struktur luar : warna mukosa mulut dan bibir, tekstur , lesi, dan
stomatitis.
Normal: warna mukosa mulut dan bibir pink, lembab, tidak ada lesi dan stomatitis
 Inspeksi dan palpasi strukur dalam : gigi lengkap/penggunaan gigi palsu, perdarahan/
radang gusi, kesimetrisan, warna, posisi lidah, dan keadaan langit2.
 Normal: gigi lengkap, tidak ada tanda-tanda gigi berlobang atau kerusakan gigi, tidak ada
perdarahan atau radang gusi, lidah simetris, warna pink, langit2 utuh dan tidak ada tanda
infeksi.
Gigi lengkap pada orang dewasa berjumlah 36 buah, yang terdiri dari 16 buah di rahang atas
dan 16 buah di rahang bawah. Pada anak-anak gigi sudah mulai tumbuh pada usia enam
bulan. Gigi pertama tumbuh dinamakan gigi susu di ikuti tumbuhnya gigi lain yang disebut
gigi sulung. Akhirnya pada usia enam tahun hingga empat belas tahun, gigi tersebut mulai
tanggal dan dig anti gigi tetap.
Pada usia 6 bulan gigi berjumlah 2 buah (dirahang bawah), usia 7-8 bulan berjumlah 7
buah(2 dirahang atas dan 4 dirahang bawah) , usia 9-11 bulan berjumlah 8 buah(4 dirahang
atas dan 4 dirahang bawah), usia 12-15 bulan gigi berjumlah 12 buah (6 dirahang atas dan 6
dirahang bawah), usia 16-19 bulan berjumlah 16 buah (8 dirahang atas dan 8 dirahang
bawah), dan pada usia 20-30 bulan berjumlah 20 buah (10 dirahang atas dan 10 dirahang
bawah)
setelah diadakan pemeriksaan mulut dan bibir evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.
7 Pemeriksaan leher
Tujuan
a) Menentukan struktur integritas leher
b) Mengetahui bentuk leher serta organ yang berkaitan
c) Memeriksa system limfatik
Persiapan Alat
Stetoskop
Prosedur Pelaksanaan
 Inspeksi leher: warna integritas, bentuk simetris.
Normal: warna sama dengan kulit lain, integritas kulit baik, bentuk simetris, tidak ada
pembesaran kelenjer gondok.
 Inspeksi dan auskultasi arteri karotis: lokasi pulsasi
Normal: arteri karotis terdengar.
 Inspeksi dan palpasi kelenjer tiroid (nodus/difus, pembesaran,batas, konsistensi, nyeri,
gerakan/perlengketan pada kulit), kelenjer limfe (letak, konsistensi, nyeri, pembesaran),
kelenjer parotis (letak, terlihat/ teraba)
Normal: tidak teraba pembesaran kel.gondok, tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran
kel.limfe, tidak ada nyeri.
 Auskultasi : bising pembuluh darah.
Setelah diadakan pemeriksaan leher evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.

8 Pemeriksaan dada( dada dan punggung)


Posisi klien: berdiri, duduk dan berbaring
Cara/prosedur:

A) System pernafasan
Tujuan :
a) Mengetahui bentuk, kesimetrisas, ekspansi, keadaan kulit, dan dinding dada
b) Mengetahui frekuensi, sifat, irama pernafasan,
c) Mengetahui adanya nyeri tekan, masa, peradangan, traktil premitus
Persiapan alat
a) Stetoskop
b) Penggaris centimeter
c) Pensil penada
Prosedur pelaksanaan
 Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas (frekuensi, irama, kedalaman,
dan upaya pernafasan/penggunaan otot-otot bantu pernafasan), warna kulit, lesi, edema,
pembengkakan/ penonjolan.
 Normal: simetris, bentuk dan postur normal, tidak ada tanda-tanda distress pernapasan,
warna kulit sama dengan warna kulit lain, tidak ikterik/sianosis, tidak ada
pembengkakan/penonjolan/edema
 Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile fremitus.
(perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien untuk mengucapkan angka “tujuh-
tujuh” atau “enam-enam” sambil melakukan perabaan dengan kedua telapak tangan pada
punggung pasien.)
Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan/massa/tanda-tanda peradangan, ekspansi
simetris, taktil vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.
 Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu sisi dengan satu sisi lain
pada tinggi yang sama dengan pola berjenjang sisi ke sisi)
Normal: resonan (“dug dug dug”), jika bagian padat lebih daripada bagian udara=pekak
(“bleg bleg bleg”), jika bagian udara lebih besar dari bagian padat=hiperesonan (“deng
deng deng”), batas jantung=bunyi rensonan----hilang>>redup.
 Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan dengan menggunakan
stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2, di atas manubrium dan di atas trachea)
Normal: bunyi napas vesikuler, bronchovesikuler, brochial, tracheal.
Setelah diadakan pemeriksaan dada evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.

B) System kardiovaskuler
Tujuan
a) Mengetahui ketifdak normalan denyut jantung
b) Mengetahui ukuran dan bentuk jantug secara kasar
c) Mengetahui bunyi jantung normal dan abnormal
d) Mendeteksi gangguan kardiovaskuler
Persiapan alat
a) Stetoskop
b) Senter kecil
Prosedur pelaksanaan
 Inspeksi : Muka bibir, konjungtiva, vena jugularis, arteri karotis
 Palpasi: denyutan
Normal untuk inspeksi dan palpasi: denyutan aorta teraba.
 Perkusi: ukuran, bentuk, dan batas jantung (lakukan dari arah samping ke tengah dada, dan
dari atas ke bawah sampai bunyi redup)
Normal: batas jantung: tidak lebih dari 4,7,10 cm ke arah kiri dari garis mid sterna, pada
RIC 4,5,dan 8.
 Auskultasi: bunyi jantung, arteri karotis. (gunakan bagian diafragma dan bell dari stetoskop
untuk mendengarkan bunyi jantung.
 Normal: terdengar bunyi jantung I/S1 (lub) dan bunyi jantung II/S2 (dub), tidak ada bunyi
jantung tambahan (S3 atau S4).
Setelah diadakan pemeriksaan system kardiovaskuler evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.

9 Dada dan aksila


Tujuan
a) Mengetahui adanya masa atau ketidak teraturan dalam jaringan payudara
b) Mendeteksi awal adanya kanker payudara
Persiapan alat
a) Sarung tangan sekali pakai (jika diperlukan)
Prosedur pelaksanaan

 Inspeksi payudara: Integritas kulit


 Palpasi payudara: Bentuk, simetris, ukuran, aerola, putting, dan penyebaran vena
 Inspeksi dan palpasi aksila: nyeri, perbesaran nodus limfe, konsistensi.

Setelah diadakan pemeriksaan dadadan aksila evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.
10 Pemeriksaan Abdomen (Perut)
Posisi klien: Berbaring
Tujuan
a) Mengetahui betuk dan gerakan-gerakan perut
b) Mendengarkan suara peristaltic usus
c) Meneliti tempat nyeri tekan, organ-organ dalam rongga perut benjolan dalam perut.
Persiapan
a) Posisi klien: Berbaring
b) Stetoskop
c) Penggaris kecil
d) Pensil gambar
e) Bntal kecil
f) Pita pengukur
Prosedur pelaksanaan

 Inspeksi : kuadran dan simetris, contour, warna kulit, lesi, scar, ostomy, distensi,
tonjolan, pelebaran vena, kelainan umbilicus, dan gerakan dinding perut.

Normal: simetris kika, warna dengan warna kulit lain, tidak ikterik tidak terdapat ostomy,
distensi, tonjolan, pelebaran vena, kelainan umbilicus.

 Auskultasi : suara peristaltik (bising usus) di semua kuadran (bagian diafragma dari
stetoskop) dan suara pembuluh darah dan friction rub :aorta, a.renalis, a. illiaka
(bagian bell).

Normal: suara peristaltic terdengar setiap 5-20x/dtk, terdengar denyutan arteri renalis,
arteri iliaka dan aorta.

 Perkusi semua kuadran : mulai dari kuadran kanan atas bergerak searah jarum jam,
perhatikan jika klien merasa nyeri dan bagaiman kualitas bunyinya.
 Perkusi hepar: Batas
 Perkusi Limfa: ukuran dan batas
 Perkusi ginjal: nyeri
 Normal: timpani, bila hepar dan limfa membesar=redup dan apabila banyak cairan
= hipertimpani
 Palpasi semua kuadran (hepar, limfa, ginjal kiri dan kanan): massa, karakteristik
organ, adanya asistes, nyeri irregular, lokasi, dan nyeri.dengan cara perawat
menghangatkan tangan terlebih dahulu
 Normal: tidak teraba penonjolan tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa dan
penumpukan cairan
 Setelah diadakan pemeriksaan abdomen evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang
didapat tersebut.

11 Pemeriksaan ekstermitas atas (bahu, siku, tangan)


Tujuan :

1. Memperoleh data dasar tetang otot, tulang dan persendian


2. Mengetahui adanya mobilitas, kekuatan atau adanya gangguan pada bagian-bagian
tertentu.

Alat :

1. Meteran

Posisi klien: Berdiri. duduk

 Inspeksi struktur muskuloskletal : simetris dan pergerakan, Integritas ROM,


kekuatan dan tonus otot.
 Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot penuh.
 Palapasi: denyutan a.brachialis dan a. radialis .

Normal: teraba jelas


Tes reflex :tendon trisep, bisep, dan brachioradialis.
Normal: reflek bisep dan trisep positif
Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas atas evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.

12 Pemeriksaan ekstermitas bawah (panggul, lutut, pergelangan kaki dan telapak


kaki)

 Inspeksi struktur muskuloskletal : simetris dan pergerakan, integritas kulit, posisi


dan letak, ROM, kekuatan dan tonus otot

Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot penuh

 Palpasi : a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis: denyutan

Normal: teraba jelas

 Tes reflex :tendon patella dan archilles.

Normal: reflex patella dan archiles positif

 Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas bawah evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandingkan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.
13 Pemeriksaan genitalia (alat genital, anus, rectum)
Posisi Klien : Pria berdiri dan wanita litotomy
Tujuan:

1. Melihat dan mengetahui organ-organ yang termasuk dalam genetalia.


2. Mengetahui adanya abnormalitas pada genetalia, misalnya varises, edema, tumor/
benjolan, infeksi, luka atau iritasi, pengeluaran cairan atau darah.
3. Melakukan perawatan genetalia
4. Mengetahui kemajuan proses persalinan pada ibu hamil atau persalinan.

Alat :

1. Lampu yang dapat diatur pencahayaannya


2. Sarung tangan

Pemeriksaan rectum
Tujuan :

1. Mengetahui kondisi anus dan rectum


2. Menentukan adanya masa atau bentuk tidak teratur dari dinding rektal
3. Mengetahui intregritas spingter anal eksternal
4. Memeriksa kangker rectal dll

Alat :

1. Sarung tangan sekali pakai


2. Zat pelumas
3. Penetangan untuk pemeriksaan

Prosedur Pelaksanaan

1. Wanita:

 Inspeksi genitalia eksternal: mukosa kulit, integritas kulit, contour simetris, edema,
pengeluaran.
 Normal: bersih, mukosa lembab, integritas kulit baik, semetris tidak ada edema dan tanda-
tanda infeksi (pengeluaran pus /bau)
 Inspeksi vagina dan servik : integritas kulit, massa, pengeluaran
 Palpasi vagina, uterus dan ovarium: letak ukuran, konsistensi dan, massa
 Pemeriksaan anus dan rectum: feses, nyeri, massa edema, haemoroid, fistula ani
pengeluaran dan perdarahan.
 Normal: tidak ada nyeri, tidak terdapat edema / hemoroid/ polip/ tanda-tanda infeksi dan
pendarahan.
 Setelah diadakan pemeriksaan di adakan pemeriksaan genitalia evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang
didapat tersebut.
2. Pria:
 Inspeksi dan palpasi penis: Integritas kulit, massa dan pengeluaran
 Normal: integritas kulit baik, tidak ada masa atau pembengkakan, tidak ada pengeluaran
pus atau darah
 Inspeksi dan palpassi skrotum: integritas kulit, ukuran dan bentuk, turunan testes dan
mobilitas, massa, nyeri dan tonjolan
 Pemeriksaan anus dan rectum : feses, nyeri, massa, edema, hemoroid, fistula ani,
pengeluaran dan perdarahan.
 Normal: tidak ada nyeri , tidak terdapat edema / hemoroid/ polip/ tanda-tanda infeksi dan
pendarahan.
 Setelah diadakan pemeriksaan dadadan genitalia wanita evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat
tersebut.
2.6. Evaluasi
ePerawat bertanggung jawab untuk asuhan keperawatan yang mereka berikan dengan
mengevaluasi hasil intervensi keperawatan. Keterampilan pengkajian fisik meningkatkan
evaluasi tindakan keperawatan melalui pemantauan hasil asuhan fisiologis dan perilaku.
Keterampilan pengkajian fisik yang sama di gunakan untuk mengkaji kondisi dapat di
gunakan sebagai tindakan evaluasi setelah asuhan diberikan.
Perawat membuat pengukuran yang akurat, terperinci, dan objektif melalui
pengkajian fisik. Pengukuran tersebut menentukan tercapainya atau tidak hasil asuhan yang
di harapkan. Perawat tidak bergantung sepenuhnya pada intuisi ketika pengkajian fisik dapat
digunakan untuk mengevaluasi keefektifan asuhan.

2.7. Dokumentasi
Perawat dapat memilih untuk mencatat hasil dari pengkajian fisik pada pemeriksaan atau
pada akhir pemeriksaan. Sebagian besar institusi memiliki format khusus yang
mempermudah pencatatan data pemeriksaan. Perawat meninjau semua hasil sebelum
membantu klien berpakaian, untuk berjaga-jaga seandainya perlu memeriksa kembali
informasi atau mendapatkan data tambahan. Temuan dari pengkajian fisik dimasukkan ke
dalam rencana asuhan.
Data di dokumentasikan berdasarkan format SOAPIE, yang hamper sama dengan langkah-
langkah proses keperawatan.
Format SOAPIE, terdiri dari:

1. Data (riwayat) Subjektif, yaitu apa yang dilaporkan klien


2. Data (fisik) Objektif, yaitu apa yang di observasi, inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi oleh perawat.
3. Assessment (pengkajian) , yaitu diagnose keperawatan dan pernyataan tentang
kemajuan atau kemunduran klien
4. Plan (Perencanaan), yaitu rencana perawatan klien
5. Implementation (pelaksanaan), yaitu intervensi keperawatan dilakukan berdasarkan
rencana
6. Evaluation (evaluasi), yaitu tinjauan hasil rencana yang sudah di implementasikan.

Read more: PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE http://nandarnurse.blogspot.com/2013/05/pemeriksaan-fisik-


head-to-toe.html#ixzz4RZA3ogh9
Under Creative Commons License: Attribution
Follow us: nHandar on Facebook
Posisi Fowler

Fowler

Pengertian

Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian kepala tempat

tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan

kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.


Tujuan

1. Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi.


2. Meningkatkan rasa nyaman
3. Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatnya ekspansi dada dan
ventilasi paru
4. Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang menetap

Indikasi

1. Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan


2. Pada pasien yang mengalami imobilisasi

Posisi Sim’s
Pengertian

posisi sims
Posisi sim adalah posisi miring kekanan atau miring kekiri. Posisi ini dilakukan untuk
memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria). Berat badan terletak pada
tulang illium, humerus dan klavikula.
Tujuan

1. Meningkatkan drainage dari mulut pasien dan mencegah aspirasi


2. Mengurangi penekanan pada tulang secrum dan trochanter mayor otot pinggang
3. Memasukkan obat supositoria
4. Mencegah dekubitus

Indikasi
1. Pasien dengan pemeriksaan dan pengobatan daerah perineal
2. Pasien yang tidak sadarkan diri
3. Pasien paralisis
4. Pasien yang akan dienema
5. Untuk tidur pada wanita hamil.

Posisi Trendelenberg
Pengertian

posisi trendeleberg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada
bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak.
Tujuan

1. Pasien dengan pembedahan pada daerah perut.


2. Pasien shock.
3. pasien hipotensi.

Indikasi

1. Pasien dengan pembedahan pada daerah perut


2. Pasien shock
3. Pasien hipotensi

Posisi Dorsal Recumben


Pengertian

dorsal recumben
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan memeriksa serta
pada proses persalinan.
Tujuan
Meningkatkan kenyamanan pasien, terutama dengan ketegangan punggung belakang.
Indikasi

1. Pasien dengan pemeriksaan pada bagian pelvic, vagina dan anus


2. Pasien dengan ketegangan punggung belakang.
Posisi Lithotomi
Pengertian

Lithotomi
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia pada
proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
Tujuan

1. Memudahkan pemeriksaan daerah rongga panggul, misal vagina,taucher, pemeriksaan


rektum, dan sistoscopy
2. Memudahkan pelaksanaan proses persalinan, operasi ambeien, pemasangan alat intra
uterine devices (IUD), dan lain-lain.

Indikasi

1. Pada pemeriksaan genekologis


2. Untuk menegakkan diagnosa atau memberikan pengobatan terhadap penyakit pada
uretra, rektum, vagina dan kandung kemih.

Posisi Genu pectrocal


Pengertian

genu pectoral
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki di tekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum dan
sigmoid.

Tujuan
Memudahkan pemeriksaan daerah rektum, sigmoid, dan vagina.

Indikasi

1. Pasien hemorrhoid
2. Pemeriksaan dan pengobatan daerah rectum, sigmoid dan vagina.

Posisi orthopeneic
Pengertian
Posisi pasien duduk dengan menyandarkan kepala pada penampang yang sejajar dada, seperti
pada meja.
Tujuan
Memudahkan ekspansi paru untuk pasien dengan kesulitan bernafas yang ekstrim dan tidak
bisa tidur terlentang atau posisi kepala hanya bisa pada elevasi sedang.
Indikasi
Pasien dengan sesak berat dan tidak bisa tidur terlentang.

Supinasi
Pengertian

Suspinasi
Posisi telentang dengan pasien menyandarkan punggungnya agar dasar tubuh sama dengan
kesejajaran berdiri yang baik.
Tujuan
Meningkatkan kenyamanan pasien dan memfasilitasi penyembuhan terutama pada pasien
pembedahan atau dalam proses anestesi tertentu.
Indikasi

1. Pasien dengan tindakan post anestesi atau penbedahan tertentu


2. Pasien dengan kondisi sangat lemah atau koma.

Posisi pronasi
Pengertian
Pasien tidur dalam posisi telungkup Berbaring dengan wajah menghadap ke bantal.

pronasi
Tujuan
1. Memberikan ekstensi maksimal pada sendi lutut dan pinggang
2. Mencegah fleksi dan kontraktur pada pinggang dan lutut.

Indikasi

1. Pasien yang menjalani bedah mulut dan kerongkongan


2. Pasien dengan pemeriksaan pada daerah bokong atau punggung.

Posisi lateral

Lateral
Pengertian
Posisi miring dimana pasien bersandar kesamping dengan sebagian besar berat tubuh berada
pada pinggul dan bahu.
Tujuan

1. Mempertahankan body aligement


2. Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi
3. Meningkankan rasa nyaman
4. Mengurangi kemungkinan tekanan yang menetap pada tubuh akibat posisi yang
menetap.

Indikasi

1. Pasien yang ingin beristirahat


2. Pasien yang ingin tidur
3. Pasien yang posisi fowler atau dorsal recumbent dalam posisi lama
4. Penderita yang mengalami kelemahan dan pasca operasi.
Pengertian Ambulasi Dini
Ambulasi adalah latihan yang paling berat dimana pasien yang dirawat di rumah sakit dapat
berpartisipasi kecuali dikontraindikasikan oleh kondisi pasien.

Hal ini seharusnya menjadi bagian dalam perencanaan latihan untuk semua pasien. Ambulasi
mendukung kekuatan, daya tahan dan fleksibilitas. Keuntungan dari latihan berangsur-angsur
dapat ditingkatkan seiring dengan pengkajian data pasien menunjukkan tanda peningkatan
toleransi aktivitas (Berger & Williams, 1992). Menurut Kozier et al. (1995 dalam Asmadi, 2008)
ambulasi adalah aktivitas berjalan. Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan
segera pada pasien paska operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari
tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Roper,
2002).

Manfaat Ambulasi Dini


Ambulasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska operasi fraktur karena jika
pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan ambulasi
pasien akan semakin sulit untuk mulai berjalan (Kozier, 1989). Menurut beberapa literatur
manfaat ambulasi adalah:

1. Menurunkan insiden komplikasi immobilisasi paska operasi meliput i: sistem


kardiovaskuler; penurunan curah jantung, peningkatan beban kerja jantung, hipotensi
ortostatik, thrombopeblitis/deep vein trombosis/DVT dan atelektasis, sistem respirasi;
penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi/perfusi setempat, mekanisme batuk yang
menurun, embolisme pulmonari. Sistem perkemihan; infeksi saluran kemih. Iritasi kulit
dan luka yang disebabkan oleh penekanan, sistem muskuloskeletal; atropy otot,
hilangnya kekuatan otot, kontraktur, hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan osteoporosis.
Sistem gastrointestinal; paralitik ileus, konstipasi, stress ulcer, anoreksia dan gangguan
metabolisme
2. Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi
3. Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi abdomen
4. Mempercepat proses pemulihan pasien paska operasi
5. Mengurangi tekanan pada kulit/dekubitus
6. Penurunan intensitas nyeri
7. Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal (Asmadi, 2008; Craven & Hirnle, 2009;
Kamel et al, 1990; Lewis et al, 2000; Potter & Perry, 1999; Brunner & Suddarth, 2002).

Persiapan Ambulasi Dini


1. Latihan otot-otot kuadriseps femoris dan otot-otot gluteal:
(a)Instruksikan pasien mengkontraksikan otot-otot panjang pada paha, tahan selama 10
detik lalu dilepaskan
(b) Instruksikan pasien mengkontraksikan otot-otot pada bokong bersama, tahan selama
10 detik lalu lepaskan, ulangi latihan ini 10-15 kali semampu pasien (Hoeman, 2001).
2. Latihan untuk menguatkan otot-otot ekstremitas atas dan lingkar bahu:

o bengkokkan dan luruskan lengan pelan-pelan sambil memegang berat traksi atau
benda yang beratnya berangsur-angsur ditambah dan jumlah pengulangannya.
Ini berguna untuk menambah kekuatan otot ekstremitas atas
o menekan balon karet. Ini berguna untuk meningkatkan kekuatan genggaman
o angkat kepala dan bahu dari tempat tidur kemudian rentangkan tangan sejauh
mungkin
o duduk ditempat tidur atau kursi (Asmadi, 2008).

Baca: Pengertian Fraktur Jenis, Klasifikasi, dan Faktor-


faktor yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan

Alat yang Digunakan Untuk Ambulasi


Alat bantu yang digunakan untuk ambulasi adalah;

1. kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari logam dan kayu dan
sering digunakan permanen, misalnya Conventional, adjustable dan lofstrand. Kruk
biasanya digunakan pada pasien fraktur hip dan ekstremitas bawah, kedua lengan yang
benar-benar kuat untuk menopang tubuh, pasien dengan keseimbangan yang bagus
2. Canes (tongkat) adalah alat yang ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang terbuat
dari kayu atau logam, digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu dan
sehat, meliputi tongkat berkaki panjang lurus (single straight-legged) dan tongkat
berkaki segi empat (Quad cane)
3. walkers adalah suatu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan, setinggi
pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai empat penyangga yang kokoh.
Klien memegang pemegang tangan pada batang dibagian atas, melangkah
memindahkan walker lebih lanjut, dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien yang
mengalami kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh, usila,
pasien dengan masalah gangguan keseimbangan, pasien dengan fraktur hip dan
ekstremitas bawah (Gartland, 1987; Potter & Perry, 1999).

Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas


Bawah
Ambulasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan yang cukup untuk menopang
berat badan dan menjaga postur. Beberapa pasien memerlukan bantuan dari perawat untuk
bergerak dengan aman (Hoeman, 2001).
Berikut ini diuraikan beberapa tahapan ambulasi yang diterapkan pada pasien: preambulation
bertujuan mempersiapkan otot untuk berdiri dan berjalan yang dipersiapkan lebih awal ketika
pasien bergerak dari tempat tidur (Hoeman, 2001).

 Sitting balance yaitu membantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur dengan bantuan
yang diperlukan (Berger & Williams, 1992).
 Pasien dengan disfungsi ekstremitas bawah biasanya dimulai dari duduk ditempat tidur.
Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali selama 10 sampai dengan 15 menit,
kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur dengan bantuan perawat sesuai dengan
kebutuhan pasien (Lewis et al, 1998).
 Jangan terlalu memaksakan pasien untuk melakukan banyak pergerakan pada saat
bangun untuk menghindari kelelahan. Standing balance yaitu melat ih berdiri dan mulai
berjalan. Perhatikan waktu pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukkan gejala-
gejala pusing, sulit bernafas, dan lain-lain. Tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat
hipotensi ortostatik. Menurut (Berger & Williams, 1992)
 Memperhatikan pusing sementara adalah tindakan pencegahan yang penting saat
mempersiapkan pasien untuk ambulasi. Bahkan bedrest jangka pendek, terutama
setelah cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai dengan hipotensi ortostatik.
Hipotensi ortostatik adalah komplikasi yang sering terjadi pada bedrest jangka panjang,
meminta pasien duduk disisi tempat tidur untuk beberapa menit sebelum berdiri biasanya
sesuai untuk hipotensi ortostatik yang benar. Lakukan istirahat sebentar, ukur denyut
nadi (Asmadi, 2008).
 Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus berdiri tepat didepannya.
Pasien meletakkan tangannya dipundak perawat dan perawat meletakkan tangannya
dibawah ketiak pasien. Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa
pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan.
Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan dukungan dan dorongan fisik,
harus hati-hati untuk tidak membuat pasien merasa letih: lamanya periode ambulasi
pertama beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia
pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
 Ambulasi biasanya dimulai dari parallel bars dan untuk latihan berjalan dengan
menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan perawat harus tahu weight
bearing yang diizinkan pada disfungsi ekstremitas bawah (Lewis et al, 1998). Ada tiga
jenis weight bearing ambulation, meliputi;

1. Non weight bearing ambulation; tidak menggunakan alat Bantu jalan sama
sekali, berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung) dilakukan
selama 3 minggu setelah paska operasi.
2. Partial weight bearing ambulation; menggunakan alat Bantu jalan pada sebagian
aktivitas, berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu
sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk (3-6 minggu) setelah paska operasi
3. Full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari-hari memerlukan bantuan
alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh dilakukan setelah 3 bulan paska
operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi (Lewis et al, 1998).

Pasien paska operasi fraktur hip (pangkal femur) dengan ORIF dianjurkan untuk ambulasi dini
duduk dalam periode yang singkat pada hari pertama paska operasi, Menurut Oldmeadow et al
(2006) ambulasi dini dianjurkan segera pada 48 jam pada pasien paska operasi fraktur hip.
Berangsur-angsur lakukan ambulasi dengan kruk (tongkat) no weight bearing selama 3 s/d 5
bulan proses penyembuhan baru akan terjadi. Pasien dengan paska operasi batang femur perlu
dilakukan latihan otot kuadriseps dan gluteal untuk melatih kekuatan otot dan merangsang
pembentukan kallus, karena otot–otot ini penting untuk ambulasi, proses penyembuhan 10 s/d
16 minggu, berangsur-angsur mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian full weight
bearing dalam 12 minggu. Fraktur patella segera lakukan ambulasi weight bearing sesuai
dengan kemampuan pasien setelah paska operasi dan lakukan latihan isometris otot kuadriseps
dengan lutut berada pada posisi ekstensi. Paska operasi fraktur tibia dan fibula lakukan ambulasi
dengan partial weight bearing disesuaikan dengan tingkat cedera yang dialami pasien (Saxton et
al, 1983; Williamson, 1998).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien


Paska Operasi Ekstremitas Bawah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini pasien paska operasi ekstremitas bawah
adalah:
a. Kondisi kesehatan pasien
Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi sistem muskuloskeletal dan sistem saraf
berupa penurunan koordinasi. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit,
berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas (Kozier & Erb, 1987).

Nyeri paska bedah kemungkinan disebabkan oleh luka bekas operasi tetapi kemungkinan sebab
lain harus dipertimbangkan. Setelah pembedahan nyeri mungkin sangat berat, edema, hematom
dan spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan, beberapa pasien menyatakan
bahwa nyerinya lebih ringan dibanding sebelum pembedahan dan hanya memerlukan jumlah
anlgetik yang sedikit saja harus diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan
kestidaknyamanan. Tersedia berbagai pendekatan farmakologi berganda terhadap
penatalaksanaan nyeri. Analgesia dikontrol pasien (ADP) dan analgesia epidural dapat diberikan
untuk mengontrol nyeri, pasien dianjurkan untuk meminta pengobatan nyeri sebelum nyeri itu
menjadi berat. Obat harus diberikan segera dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri
dapat diramalkan misalnya ½ jam sebelum aktivitas terencana seperti pemindahan dan latihan
ambulasi (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Brunner & Suddarth (2002) kebanyakan pasien
merasa takut untuk bergerak setelah paska operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka bekas
operasi dan luka bekas trauma.

Efek immobilisasi pada sistem kardiovaskular adalah hipotensi ortostatik. Hipotensi orthostatik
adalah suatu kondisi ketidak mampuan berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun
ketika pasien berubah dari posisi horizontal ke vertikal (posisi berbaring ke duduk atau berdiri),
yang dikatakan hipotensi ortostatik jika tekanan darahnya < 100 mmhg (Dingle, 2003 dalam
Perry & Potter, 2006). Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan,
kehilangan energi, gangguan visual, dispnea, ketidaknyamanan kepala dan leher, dan hampir
pingsan atau pingsan (Gilden, 1993 dalam Potter & Perry 1999). Keadaan ini sering
menyebabkan pasien kurang melakukan mobilisasi dan ambulasi.

Kelelahan dan kerusakan otot dan neuromuskular, kelelahan otot mungkin karena gaya hidup,
bedrest dan penyakit, keterbatasan kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas karena otot
lelah menyebabkan pasien tidak dapat meneruskan aktivitas. Kelelahan otot dapat menurunkan
kekuatan pasien untuk bergerak, ditandai dengan pergerakan yang lambat. Kelelahan yang
berlebihan bisa menyebabkan pasien jatuh atau mengalami ketidak seimbangan pada saat
latihan (Berger & Williams, 1992). ketidakmampuan untuk berjalan berhubungan
dengan kelemahan dan kerusakan otot ekstremitas bawah, terlihat tanda-tanda penurunan
kekuatan dan massa otot kaki dan lutut yang selalu ditekuk ketika berusaha untuk berdiri (Berger
& Williams, 1992) . Ambulasi dini pada pasien paska operasi fraktur sulit dilakukan karena
pemasangan alat fiksasi eksternal, luka bekas operasi dan luka bekas taruma (Gartland, 1987)
yang mengakibatkan kerusakan pada neuromuskular atau sistem skeletal yang bisa
memperberat dan menghambat pergerakan pasien (Kozier & Erb, 1987).

Demam paska bedah dapat disebabkan oleh gangguan dan kelainan. Peninggian suhu badan
pada hari pertama atau kedua mungkin disebabkan oleh radang saluran nafas, sedangkan
infeksi luka operasi menyebabkan demam setelah kira-kira 1 minggu. Transfusi darah
juga sering menyebabkan demam, dan diperkirakan kemungkinan adanya dehidrasi
(Sjamsuhidajat & jong, 2005).

Pasien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispnea selama latihan tidak akan
tahan melakukan ambulasi seperti pada pasien yang tidak mengalaminya. Pada pasien lemah
tidak mampu meneruskan aktivitasnya karena energi besar diperlukan untuk menyelesaikan
aktivitas menyebabkan kelelahan dan kelemahan yang menyeluruh (Potter & Perry, 1999).

Hipotermia, pasien yang telah mengalami anastesi rentan terhadap menggigil. Pasien yang telah
menjalani pemajanan lama terhadap dingin dalam ruang operasi dan menerima banyak infus
intravena dipantau terhadap hipotermi. Ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman dan
selimut disediakan untuk mencegah menggigil. Resiko hipertermia lebih besar pada pasien yang
berada diruang operasi untuk waktu yang lama (Brunner & Suddarth, 2002).
Anemia adalah adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah
dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41% pada pria atau Hb
< 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita. Gejala-gejala umum anemia antara lain cepat lelah,
takikardia, palpitasi dan takipnea pada latihan fisik (Mansjoer et al, 2001).

b. Emosi
Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan perilaku yang dapat menurunkan
kemampuan ambulasi yang baik. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak
termotivasi dan harga diri yang rendah akan mudah mengalami perubahan dalam ambulasi
(Kozier & Erb, 1987).

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih
mudah lelah karena mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi
pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi (Potter & Perry, 1999). Hubungan antara
nyeri dan takut bersifat kompleks. Perasaan takut seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi
nyeri juga dapat menimbulkan perasaan takut. Menurut Paice (1991) dalam Potter & Perry
(1999) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang
diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya rasa takut. Setelah paska operasi
fraktur nyeri mungkin sangat berat khususnya selama beberapa hari pertama paska operasi.
Area insisi mungkin menjadi satu-satunya sumber nyeri, iritasi akibat selang drainase, balutan
atau gips yang ketat menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Secara signifikan nyeri dapat
memperlambat pemulihan. Pasien menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk, nafas dalam,
mengganti posisi, ambulasi atau melakukan latihan yang diperlukan. Setelah pembedahan
analgetik sebaiknya diberikan sebelum nyeri timbul dengan dosis yang memadai. Jenis obat dan
pemberian bergantung pada penyebab, letak nyeri dan keadaan pasien (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas. Pasien depresi
biasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi. Pasien khawatir atau cemas lebih mudah lelah
karena mereka mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi
mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional (Potter & Perry, 1999).

Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan ambulasi. Penampilan


luka, balutan yang tebal drain serta selang yang menonjol keluar akan mengancam konsep diri
pasien. Efek pembedahan, seperti jaringan parut yang tidak beraturan dapat menimbulkan
perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perasaan klien kurang sempurna,
sehingga klien merasa cemas dengan keadaannya dan tidak termotivasi untuk melakukan
aktivitas. Pasien dapat menunjukkan rasa tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan
dengan cara menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak bangun
dari tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu (Perry & Potter, 1999).

c. Gaya hidup
Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya mempengaruhi gaya hidup.
Gaya hidup mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari gaya
hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan aktivitas sebagai suatu yang
mencakup kerja, permainan yang berarti, dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur,
latihan yang teratur, istirahat yang cukup dan penanganan stres Pender (1990 dalam berger &
Williams, 1992). Menurut Oldmeadow et al (2006) tahapan pegerakan dan aktivitas pasien
sebelum operasi di masyarakat atau dirumah dapat mempengaruhi pelaksanaan ambulasi.

d. Dukungan Sosial
Gottlieb (1983) mendefenisikan dukungan sosial sebagai info verbal atau non verbal, saran,
bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dalam subjek
didalam lingkungan soisialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Menurut
Sjamsuhidajat & Jong (2005) Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan keperawatan
pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan, membantu
pelaksanaan latihan ambulasi atau memberi obat-obatan. Menurut penelitian yang dilakukan
Oldmeadow et al (2006) dukungan sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan perawat sangat
mempengaruhi untuk membantu pasien melaksanakan latihan ambulasi. Menurut Olson (1996
dalam Hoeman, 2001) ambulasi dapat terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga
untuk belajar dan berpatisipasi dalam latihan (Olson, 1996 dalam Hoeman, 2001).

e. Pengetahuan
Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal akan mengalami peningkatan
alternatif penanganan. Informasi mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan
setelah penanganan dapat memberanikan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam
pengembangan dan penerapan penanganan. Informasi khusus mengenai antisipasi peralatan
misalnya pemasangan alat fiksasi eksternal, alat bantu ambulasi (trapeze, walker, tongkat),
latihan, dan medikasi harus didiskusikan dengan pasien (Brunner & Suddarth, 2002). Informasi
yang diberikan tentang prosedur perawatan dapat mengurangi ketakutan pasien.

Anda mungkin juga menyukai