DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis beerupa paper di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Haji Medan yang berjudul “Disentri,
Dehidrasi, dan Diabetes Melitus” dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada
waktunya.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr.Ira Ramadhani, Sp.PD selaku pembimbing
saya.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak erdapat kekurangan di dalam penulisannya, baik dalam penyusunan kalimat
maupun di dalam teorinya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
ii
2.3.5. Penatalaksanaan ............................................................................. 29
2.3.6. . Komplikasi .................................................................................... 39
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Disentri
2.1.1. Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan
gejala buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume
sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat
buang air besar (tenesmus).
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang
bercampur lendir dan darah.
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang
menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang
disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai
dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan lendir. 2
2.1.2. Etiologi
3
kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan
yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis
mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja,
perut terasa sakit dan tenesmus.
2. Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi
mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni
di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak
dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran <
10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal
dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien
mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara
trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus
(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan
gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai
50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan
trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite).
Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit
namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.
Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk
kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap
terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia
serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam sistem
air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar
menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.1,2
4
2.1.3. Patofisiologi Disentri
1. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan
darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah,
maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui
air, makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati
lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan
berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal
ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah
folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus
yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk
ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara
lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik,
sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor
virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon
dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau
yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya
sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus
mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.
2. Disentri Amuba
5
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar
dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini
sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan
tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya
mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan
lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding
usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk
kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung).
Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya
terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak
normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan
frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum,
sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.3
1. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai
yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk
yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae.
Gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak
seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal,
6
cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit
berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas
dingin dan viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang
gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan
makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan
darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat
membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang
lama.
Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya
lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan
pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda
dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara
menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.1
2. Disentri Amuba
Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak
mengadakan invasi ke dinding usus.
Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita
biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat
kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau
busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit
7
nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan
tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya
baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai
hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan,
tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya
disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah
badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan.
Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare
disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-
40,50C) disertai mual dan anemia.
Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan
diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat
berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya
menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya
dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna.1,2
1. Disentri amoeba
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang
8
diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan
sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu
dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan.
Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau
seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang
berbentuk batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak.
Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi
dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila
jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode
konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan
seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan
eterformalin kista akan mengendap.
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu
diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari
bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung
dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan
menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan
tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak
jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.
Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi
Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan
gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan
amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada
pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol,
tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak
normal.
Foto rontgen kolon
9
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali
ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen
kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada
ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.
Pemeriksaan uji serologi
Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus
jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses
hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis
positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti
bukan amebiasis.
2. Disentri basiler
Pemeriksaan tinja. Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman
penyebab serta biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan
carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti
karena basil shigela mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini spesifik dan
sensitif, tetapi belum dipakai secara luas.
Enzim immunoassay. Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada
sebagian besar penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin
yang dihasilkan E.coli.
Sigmoidoskopi. Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan
pengerokan daerah sigmoid. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada
stadium lanjut.
Aglutinasi. Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua,
maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan
positif pada pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi
10
sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang
dipakai.
Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang
terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat.
Sebagian besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif
berkurang di segmen proksimal usus besar.1,3
2.1.6. Diagnosa
1. Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan
nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase
akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa.
Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang
bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.
2. Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak
banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis
pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi
ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit
lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh
karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan
spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain,
misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.
11
Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan
neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan
neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya
dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi
abses.1
2.1.7. Penatalaksanaan
1. Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah
atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi
oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan
berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui
infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak
muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu
atau oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat
diberikan.
Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5
kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien
diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan,
antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan
tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten
terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman
terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x
12
500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprim-sulfametoksazol,
dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak
dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti
siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500
mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal
dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian siprofloksasin merupakan
kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae
tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang
dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler.
2. Disentri amuba
Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga
kali perhari selama 20 hari.
Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari.
Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750
mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg
tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari
selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.1,2,3
13
2.1.8. Komplikasi
1. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun
ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi :
Komplikasi intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke
dinding usus besar dan merusak pembuluh darah.
Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan
muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang
mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya
abses hati amoeba.
Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang
mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya
terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus
obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang
memerlukan tindakan operasi segera.
Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat
terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.
Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang
paling sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan
atau tahun sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi
akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang
lewat pembuluh getah bening.
14
Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses
hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan
bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai
dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak
terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang steril, tidak
berbau, berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan
sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna
kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.2
Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi
langsung abses hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat
mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga dapat terjadi akibat
embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi
hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batuk-batuk dengan
sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat
embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses
hati walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding
usus besar dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah
perianal atau dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal
akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
2. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada
pasien yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya
kejadian ini dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan
S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat
infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS).
SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh
Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri
15
basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda-tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam)
dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat
dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih
dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter),
hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat
seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya
muncul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar
terutama lutut. Hal ini dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan
sinovial sendi mengandung leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan
dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama
berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau
iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus
menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini
jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae
yang toksik namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan
perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi
jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah
serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula
terjadi pada beberapa tempat yang mempunyai angka kematian tinggi.
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.1
16
2.2. Dehidrasi
2.2.1. Definisi
Berikut adalah beberapa pengertian tentang dehidrasi:
1. Dehidrasi adalah kekurangan cairan tubuh karena jumlah cairan yang
keluar lebih banyak dari pada jumlah cairan yang masuk.
2. Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan cairan yang
disertai dengan output yang melebihi intaks sehingga jumlah air dalam
tubuh berkurang.
3. Dehidrasi adalah kehilangan cairan tubuh isotik yang disertai
kehilangan antrium dan air dalam jumlah yang relatif sama.
Dari perngertian di atas dapat disimpulkan bahwa dehidrasi adalah
gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh. Hal ini terjadi
karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan (misalnya minum).
Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan
keseimbangan zat elektrolit tubuh.
17
efektif serum (kurang dari 270 mosmol/liter).8
2.2.2. Etiologi
1. Dehidrasi
a. Perdarahan
b. Muntah
c. Diare
d. Hipersalivasi
e. Fistula
h. Luka bakar
i. Puasa
j. Terapi hipotonik
2. Dehidrasi hipotonik
a. Penyakit DM
3. Dehidrasi hipertonik
a. Hiperventilasi
18
b. Diare air
e. Disfagia
g. Gangguan kesadaran
19
f. Orang yang mengalami kesulitan minum oleh karena suatu sebab
rentan untuk jatuh ke kondisi dehidrasi.
2.2.3. Manifesti Klinis
Biasanya ketika dehidrasi akan menghampiri tubuh kita, maka kita
akan merasakan rasa haus yang sangat. Ketika anda merasakan hal demikian
hendaklah anda segera memperbanyak minum air mineral, karena ketika rasa
yang demikian ini dibiarkan begitu saja maka tubuh kita akan lemas. Berikut
ini tanda-tanda / gejala dehidrasi.
1. Sakit kepala bisa menjadi salah satu tanda dehidrasi. Jangan sampai
keluhan ini Anda biarkan begitu saja. Meski demikian minumlah air
putih secara perlahan.
2. Warna urine yang cenderung gelap. Ini adalah salah satu cara mudah
yang sepertinya kurang diperhatikan. Warna urine yang cenderung
lebih gelap diakibatkan karena Anda kurang mengonsumsi air putih.
3. Lesu dan mengantuk juga merupakan tanda kita tidak minum cukup
air. Ini cara tubuh melambat untuk menghemat air. Cobalah untuk
mengonsumsi air dingin secara perlahan. Bukan hanya
mengembalikan performa tubuh akibat kurangnya asupan air, namun
air dingin juga menyegarkan.
4. Kekurangan air juga dapat menyebabkan kulit yang kering. Jika kita
sudah menggunakan pelembab kulit, namun tetap terasa kering, itu
adalah tanda bahwa Anda kurang minum.
5. Dehidrasi juga bisa ditandai dengan detak jantung yang meningkat.
Usahakan untuk mencukupi tubuh dengan konsumsia air minimal 2
liter perhari.8
20
2.2.4. Klasifikasi Dehidrasi
Dehidrasi dapat dikategorikan berdasarkan tosinitas/ kadar cairan yang hilang
yaitu :
dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/liter) dan
2. Dehidrasi isotonik atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama.
3. Dehidrasi hipotonik hilangnya natrium yang lebih banyak dari pada air.
dari 135 mmol/liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270
mosmol/liter.
(jika penurunan cairan tubuh antara 5-10 persen dari berat badan).
3. Dehidrasi berat (> 8 %) kehilangan cairan dan elektrolit dehidrasi berat (jika
21
2.2.5. Penatalaksanaan
Rehidrasi
22
• Dehidrasi parah dengan aatau tanpa tanda-tanda syok
(berkurangnya volume darah dalam tubuh)
• Kelelahan, lemas, koma
• Muntah yang tak terkendali
• Berkurangnya atau tidak adanya air seni yang dibuang dalam waktu
yang lama
• Komplikasi apapun di mana larutan rehidrasi oral tidak dapat
diberikan.
Ada 5 kekurangan dari pemberian cairan infus
23
2.3. Diabetes Melitus
2.3.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.6,7
terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol
adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering
haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau
seumur hidup.
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
24
Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
d. Endokrinopati
f. Infeksi
g. Imunologi4,6,7
4. DM Gestasional
besar sel pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti
deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
26
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi
setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi
mengeluhkan apa yang disebut 4P: polifagi dengan penurunan berat badan,
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah
Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
27
Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal
minimal 2x.
seperti biasa.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh
28
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199
mg/dl
2.3.5. Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik,
1. Edukasi
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik
individual.
29
a. Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
3. Profil lipid :
perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status
gizi,, status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa
pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana
nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
30
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)
sendiri.
sumber karbohidrat
PROTEIN
31
Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian
LEMAK
Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
perhari.
5. Intervensi Farmakologis
a. Insulin secretagogue :
32
Sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurangm namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
b. Insulin sensitizers
efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan hepar).
Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c. Glukoneogenesis inhibitor
hipoksemia.
33
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi
hipoglikemi
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah
untuk kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama)
yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin.4,5,6
34
Indikasi terapi dengan insulin:
1. Penderita DM tipe I memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin
oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.
2. Penderita DM tipe II mungkin membutuhkan insulin bila terapi jenis lain
tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
3. Keadaan stress berat; seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miokard akut atau stroke.
4. DM gestasional dan penyandang DM yang hamil membutuhkan insulin
bila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik.
6. Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik.
7. Penyandang DM dengan nutrisi parenteral atau suplemen tinggi kalori,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan
kadar glukosa darah selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemi oral.
35
),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan
sampai dengan 24 jam.
A. Dosis
tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
1. Gula darah < 60 mg % = 0 unit
2. Gula darah < 200 mg % = 5 – 8 unit
3. Gula darah 200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
4. Gula darah 250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
5. Gula darah 300 – 350 mg% = 20 unit
6. Gula darah > 350 mg% = 20 – 24 unit
B. Waktu pemberian
1. Insulin masa kerja pendek + insulin masa kerja sedang = 2 x 1 sebelum
makan.
2. Insulin masa kerja pendek + insulin masa kerja sedang = sebelum
sarapan
3. insulin masa kerja pendek = sebelum makan malam
36
4. insulin masa kerja sedang = sebelum tidur.
5. Insulin masa kerja pendek = 3 x 1 sebelum makan
6. insulin masa kerja sedang = sebelum tidur.
7. Insulin masa kerja sedang tanpa insulin kerja pendek = 1 x 1 sebelum
sarapan atau sebelum tidur.
37
Jenis Insulin Berdasarkan Cara Kerja
38
39
2.3.6. Komplikasi
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
produksi glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh
mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas
40
akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb
kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang
Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO3 rendah,
anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa
anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari
600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350
mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe
non insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam
kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
41
ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium
kejang.6
42
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pribadi
Nama : Meswan
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Kawin : Menikah
Agama / Suku : Islam
Pekerjaan :
Alamat :
Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama : Sakit Kepala
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan
sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu, dan memberat 1 hari yang
43
walaupun tidak sedang beraktivitas. Psien juga mengakui
kuning padat
RA : -
Anamnesa Umum
- Badan kurang enak : ya - Tidur : Normal
- Merasa Lemas : ya - Berat badan :menurun (15kg)
- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak
- Menggigil : tidak - Demam : tidak
- Nafsu makan : meningkat - Pening : tidak
Anamnesa organ
1. Cor
- Dyspneu d’effort : Ya - Cyanosis : tidak
- Dyspnea d’repos : tidak - Angina pectoris : tidak
- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : Ya
- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak
2. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : tidak - Gangguan tropis : tidak
44
- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : tidak
- Rasa mati Ujung jari : tidak
3. Traktus respiratorius
- Batuk : tidak - Stidor : tidak
- Berdahak : tidak - sesak nafas : tidak
- Haemoptoe : tidak - cuping hidung : tidak
- Sakit dada saat bernafas : tidak - Suara parau : tidak
4. Traktus digestivus
a. Lambung
- Sakit di epigastrium : ya - Sendawa : tidak
- Rasa panas epigastrium : tidak - Anoreksia : tidak
- Muntah : tidak - Mual-mual : tidak
- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak
- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak
- Pyrosis : tidak
b. Usus
- Sakit di abdomen : ya - Melena. : tidak
- Borborygmi : ya - Tenesmi : tidak
- Defekasi : ya, 3-5x/hari, konsistensi padat, warna kuning
kecoklatan
- Flatulensi : ya
- Obstipasi : tidak
- Haemorrhoid : tidak
- Diare : ya,3-5x/hari, konsistensi cair, air>ampas
c. Hati dan Saluran empedu
- Sakit perut kanan : tidak - Gatal dikulit : tidak
- Kolik : tidak - Asites : tidak
- Icterus : tidak - Oedema : tidak
45
- Berak dempul : tidak
5. Ginjal dan saluran kencing
- Muka sembab : tidak - Sakit pinggang : tidak
- Kolik : tidak - Oligouria : tidak
- Miksi : ya, 3-4x/hariwarna - Anuria : tidak
Kuning jernih
- Polyuria :tidak - Polakisuria : tidak
6. Sendi
- Sakit : tidak - Sakit digerakan : tidak
- Sendi kaku : tidak - Bangkak : tidak
- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak
7. Tulang
- Sakit : tidak - Fraktur spontan : tidak
- Bengkak : tidak - Deformasi : tidak
8. Otot
- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak
- Kebas-kebas : tidak - Atrofi : tidak
9. Darah
- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : tidak
- Mata berkunang-kunang : tidak - Bengkak : tidak
- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak
- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak
10. Endokrin
- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak
- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak
- Poliuri : tidak
11. Fungsi genital
46
- Menarche :- - Ereksi : tidak di
tanyakan
- Siklus Haid :- - Libido sexual : tidak di
tanyakan
- Menopause :- - Coitus : tidak di
tanyakan
- G/P/A :-
12. Susunan syaraf
- Hipoastesia : tidak - Sakit kepala : tidak
- Parastesia : tidak - Gerakan tics : tidak
- Spasme : tidak - Paralisis : tidak
13. Panca indra
- Penglihatan : Normal
- Pengecapan : Normal
- Pendengaran : Normal
- Perasa : Normal
- Penciuman : Normal
14. Psikis
- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak
- Takut : tidak - Lekas marah : ya
- Gelisah : tidak
15. Keadaan sosial
- Pekerjaan : Tukang Becak
- Hygiene : Baik
47
Anamnesa penyakit Veneris
- Bengkak kelenjar regional : tidak dilakukan pemeriksaan
- Pyuria : tidak dilakukan pemeriksaan
- Luka-luka di kemaluan : tidak dilakukan pemeriksaan
Anamnesa Intoksikasi
Tidak ada
Anamnesa Makanan
- Nasi : ya frek 4 x/ Hari - Sayur sayuran : ya
- Ikan : ya - Daging : ya
Anamnesa Family
- Penyakit - penyakit family : tidak ada
- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada
- Anak: 3, Hidup: 0, Mati: 0
Status Present
Keadaan Umum
- Sensorium : compos mentis
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg
- Temperatur : 37⁰ C
- Pernafasan : 28 x/ menit, reguler, abdominalthoracal
- Nadi : 104 x/ menit, equal,sedang
Keadaan Penyakit
- Anemi : tidak - Eritema : tidak
- Ikterus : tidak - Turgor : Baik
- Sianosis : tidak - Gerakan Aktif : ya
48
- Dispnoe : ya - Sikap tidur paksa : tidak
- Edem : tidak
Keadaan Gizi
BB : 65 Kg
TB : 170 cm
𝐵𝐵 57
RBW : = 170−100 X 100% =92,8%
𝑇𝐵−100
Kesan : Normoweight
𝐵𝐵 57
IMT : 𝑇𝐵 = 703 = 22,4 kg/m²
( )² ( )²
100 100
Kesan : Normoweight
Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : Normal
- Sakit kalau dipegang : tidak
- Perubahan lokal : tidak
a. Muka
- Sembab : tidak Parese : tidak
- Pucat : tidak gangguan lokal : tidak
- Kuning : tidak
b. Mata
- Stand Mata : Normal - Ikterus : tidak
- Gerakan : kesegala arah - Anemia : tidak
49
- Reaksi pupil : RC +/+, isokor - Eksoftalmos : tidak
- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak
c. Telinga
- Sekret : tidak - Bentuk : normal
- Radang : tidak - Atrofi : tidak
d. Hidung
- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak
- Bentuk : normal
e. Bibir
- Sianosis : tidak - Kering : iya
- Pucat : tidak - Radang : tidak
f. Gigi
- Karies : tidak
- Jumlah : tidak di hitung
- Pertumbuhan : normal
- Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
- Kering : tidak - Beslag : tidak
- Pucat : tidak - Tremor : tidak
h. Tonsil
- Merah : tidak - Membran : tidak
- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak
- Beslag : tidak
2. Leher
Inspeksi :
- Struma : tidak - Torticolis : tidak
- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak
- Pulsasi Vena : tidak
50
Palpasi
- Posisi trachea : Medial
- TVJ : R-2 cm H2O
- Sakit/ nyeri tekan : tidak
- Kosta servikalis : tidak
3. Torax depan
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak
- Simetris/asimetris : simetris - Pembengkakan : tidak
- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak
- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : Dalam
batas normal
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba
- Fremitus suara : kanan = kiri a. Lokasi :-
- Fremissemen : tidak b. Kuat angkat :-
Perkusi
- Suara perkusi paru : Sonor di 2 lapang paru - Gerakan bebas : 2 cm
- Batas Jantung : - Batas paru hati :
- A. Atas : ICS III linea parasternalis sinistra a. Relatif : ICS V dextra
- B. Kanan : ICS IV linea midsternalis dextra b. Absolut : ICS VI dextra
- C. Kiri : ICS V 2cm medial linea Midclavicularis sinistra
Auskultasi
- Paru –paru
o Suara pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
o Suara Tambahan : Tidak ada
- Cor :
51
o Heart Rate : 104 x/i
o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)
o Suara tambahan : Tidak ada
4. Thorax belakang
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas : tidak
- Benjolan : tidak Venektasi : tidak
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak
- Fremitus suara : kanan = kiri
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor dikedua lapang paru
- Gerakan bebas : 2 cm
- Batas bawah paru :
- A. Kanan : IX Proc. Spinosus Vertebra
- B. Kiri : X Proc. Spinosus Vertebra
Aukultasi
- Pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
- Suara tambahan : Tidak ada
Nyeri pada region epigastrium
52
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : tidak
- Venektasi : tidak
- Gembung : tidak
- Sirkulasi Collateral : tidak
- Pulsasi : tidak
Palpasi
- Defens muskular : tidak
- Nyeri tekan : tidak
- Lien : tidak teraba
- Ren : tidak teraba
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : ya
- Pekak beralih : tidak
Auskultasi
- Peristaltik usus : meningkat (13 x/ menit)
6. Genitalia
7. Extremitas
a. Atas Kanan Kiri
53
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Stand abnormal : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Tes Rumpelit : tidak dilakukan ( Negatif)
- Refleks :
o Bisep : ++ ++
o Trisep : ++ ++
- Radio periost :+ +
b. Bawah
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Eodema : tidak tidak
- Pucat : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Varises : tidak tidak
- Refleks
o KPR : ++ ++
o APR : ++ ++
o Struple :+ +
54
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal : 27/10/2017
Nama : Bambang Irawan
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 13,0 g/dl 13,2-17,3
Hitung Eritrosit 4,6 106/ul 4.5-6.5
Hitung Leukosit 8.100 /ul 4.000-11.000
hematokrit 40,5 % 40-54
Hitung trombosit 245.000↑ /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 87,5 Fl 80-96
MCH 28,0 Pg 27-31
MCHC 32.0 % 32-36
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 2 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
N. Stab *0↓ % 2-6
N. Seg *52 % 53-75
Limfosit 40 % 20-45
Monosit 6 % 4-8
LED 36↑ mm/jam 0-10
FAAL HATI
Bilirubin total 0,46↑ mg/dl 0,3-1
Bilirubin direct 0,31↑ mg/dl < 0,25
SGOT/AST 28 U/L <40
SGPT/ALT 26 U/L <40
Gula Darah 136 mg/dL <140
FUNGSI GINJAL
Ureum 26 mg/Dl 20-40
55
Kreatinin 0,69 mg/dL 0,6-1,1
Asam urat 8,6 mg/dL 3,4-7,0
ELEKTROLIT
Natrium 124 mEq/L 132-155
Kalium 3,3 mEq/L 3,5-5,5
Chlorida 113 mEq/L 98-106
IMUNOSEROLOGI
Endokrin
Free T4 5,41 mg/dL 0,82-1,51
RESUME
Keluhan Utama : Sakit Kepala
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan sesak
nafas sejak 1 bulan yang lalu, dan memberat 1 hari yang lalu.
yang lalu.
56
BAB : Ya, 1-2 kali dalam sehari kecoklatan konsistensi warna kuning padat
RA : -
Status Present
Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sens : Compos Mentis Anemia : tidak TB : 170cm
TD : 140/90 mmHg Ikterus : tidak BB : 65 kg
Nadi : 104 x/ menit Sianosis : tidak 65
RBW = 170−100 X 100%
Nafas : 28 x/ menit Dyspnea : ya
= 92,8%
0
Suhu : 37 C Edema : tidak
Kesan: Normoweight
Eritema : tidak
Turgor : baik 65
IMT = 170
Gerakan aktif : ya ( )²
100
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Dalam Batas Normal
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Extremitas : Dalam Batas Normal
57
Pemeriksaan Laboratorium
limfosit ↓, Trombosit ↑, N.stab ↓, N.seg ↑, Leukosit ↑, LED ↑
Diagnosa Banding
1) Tirotoksikosis
2) GE + Dehidrasi ringan + Dm type 1
3) E. Coli + Dehidrasi sedang+ DM neuropati
4) Salmonellasis + Dehidrasi sedang + DM gestasional
Diagnosis Sementara
Tirotoksikosis
Terapi
1. Aktivitas tirah baring
2. Diet Diet M II
3. Medikamentosa
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj. Ranitidin 1 ampl 50mg/12 jam
- Ciprofloxacin tab 2x 500 mg
- Acarbose tab 3x 50 mg
- Glimepiride 2 mg
- Loperamide 2 tab
58
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Disentri merupaka peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit
perut dan buang air besar encer yang bercampur lendir dan darah. Etiologi dari
disentri ada 2, yaitu disenstri basiler yang disebabkan oleh Shigella,sp. Dan
disentri amuba yang disebabkan oleh Entamoeba hystolitica. Manifestasi klinis
disentri basiler berupa diare berlendir, alkalis, tinja kecil-kecil dan banyak, darah
dan tenesmus serta bila tinja berbentuk dilapisi lendir.
Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada
tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan
(misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan
gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh.
59
Dehidarasi dapat terjadi karena:
kadar gula darah normal. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran kadar
glukosa darah belum juga tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan
terjadi komplikasi maka tidak dapat diperbaiki lagi dan menimbulkan cacat yang
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit
Dalam. FKUI:Jakarta.
2. Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Fakultas
kedokteran UI.: Jakarta.
3. Simanjuntak C. H., 1991. Epidemiologi Disentri. Diakses dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk.
4. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar
ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857
61
5. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe
2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
di Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2006
7. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine
Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa
Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259
8. Setiadi,Siti.,Alwi,Idrus.,dkk.BukuAjarIlmuPenyakitDalamJilid2edisi VI:
Jakarta.2014
62