Anda di halaman 1dari 66

PAPER PENYAKIT DALAM

DISENTRI, DEHIDRASI, DAN DIABETES MELITUS

Paper ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Kepaniteraan


Klinis Senior Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Haji Medan

DISUSUN OLEH :

Siti Mu’arofah 71170891237

Adetia Dwi Andini 71170891109

PEMBIMBING :

dr. Ira Ramadhani, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

MEDAN

2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis beerupa paper di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Haji Medan yang berjudul “Disentri,
Dehidrasi, dan Diabetes Melitus” dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada
waktunya.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr.Ira Ramadhani, Sp.PD selaku pembimbing
saya.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak erdapat kekurangan di dalam penulisannya, baik dalam penyusunan kalimat
maupun di dalam teorinya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, 12 Nvember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 3

2.1. Disentri ..................................................................................................... 3


2.1.1. Definisi .......................................................................................... 3
2.1.2. Etiologi .......................................................................................... 3
2.1.3. Patofisiologi ................................................................................... 5
2.1.4. Manifesti Klinis ............................................................................. 6
2.1.5. Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 8
2.1.6. Diagnosa ........................................................................................ 11
2.1.7. Penatalaksanaan ............................................................................. 12
2.1.8. Komplikasi .................................................................................... 14
2.2. Dehidrasi .................................................................................................. 17
2.2.1. Definisi .......................................................................................... 17
2.2.2. Etiologi .......................................................................................... 18
2.2.3. Manifest Klinis .............................................................................. 20
2.2.4. Klasifikasi ...................................................................................... 21
2.2.5. Penatalaksanaan ............................................................................. 22
2.3. Diabetes Melitus ...................................................................................... 24
2.3.1. Definisi .......................................................................................... 24
2.3.2. Klasifikasi ...................................................................................... 24
2.3.3. Patofisiologi ................................................................................... 26
2.3.4. Manifesti Klinis ............................................................................. 27

ii
2.3.5. Penatalaksanaan ............................................................................. 29
2.3.6. . Komplikasi .................................................................................... 39

BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 42

BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 59

4.1. Kesimpulan .............................................................................................. 59

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 61

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan
kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba). Di
Amerika Serikat, insiden disentri amoeba mencapai 1-5% sedangkan disentri
basiler dilaporkan kurang dari 500.000 kasus tiap tahunnya. Sedangkan angka
kejadian disentri amoeba di Indonesia sampai saat ini masih belum ada, akan
tetapi untuk disentri basiler dilaporkan 5% dari 3848 orang penderita diare berat
menderita disentri basiler.
Dehidrasi adalah gangguan pengeluaran cairan pada tubuh yang tidak
seimbang dengan pemasukan cairan (misalnya minum). Ini bukan penyakit,
tetapi gejala yang ditimbulkan oleh penyakit lain. Biasanya dehidrasi terjadi
karena infeksi yang menyebabkan muntah dan diare. Penyebab lainnya adalah
kekurangan gizi. Kira-kira satu dari sepuluh anak yang lahir di negara
berkembang meninggal karena diare sebelum mencapai umur 5 tahun

Karena dehidrasi dapat disebabkan oleh beberapa jenis penyakit, cara


merawatnya sangat perlu diketahui. Dengan pengetahuan ini kita bisa
memberitahukan ibu-ibu yang mempunyai anak kecil petunjuk untuk mencegah
masalah serius ini. Kombinasi diare dan muntah bisa meningkatkan bahaya
dehidrasi.

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global


diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan

1
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Disentri
2.1.1. Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan
gejala buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume
sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat
buang air besar (tenesmus).
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang
bercampur lendir dan darah.
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang
menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang
disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai
dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan lendir. 2

2.1.2. Etiologi

Etiologi dari disentri ada 2, yaitu:


1. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp.
Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae.
Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei.
Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang
mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat
serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang
berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan
menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini kadang-

3
kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan
yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis
mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja,
perut terasa sakit dan tenesmus.
2. Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi
mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni
di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak
dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran <
10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal
dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien
mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara
trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus
(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan
gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai
50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan
trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite).
Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit
namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.
Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk
kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap
terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia
serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam sistem
air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar
menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.1,2

4
2.1.3. Patofisiologi Disentri

1. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan
darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah,
maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui
air, makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati
lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan
berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal
ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah
folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus
yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk
ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara
lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik,
sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor
virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon
dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau
yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya
sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus
mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.
2. Disentri Amuba

5
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar
dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini
sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan
tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya
mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan
lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding
usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk
kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung).
Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya
terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak
normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan
frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum,
sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.3

2.1.4. Manifesti Klinis Disentri

1. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai
yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk
yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae.
Gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak
seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal,

6
cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit
berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas
dingin dan viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang
gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan
makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan
darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat
membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang
lama.
Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya
lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan
pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda
dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara
menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.1

2. Disentri Amuba
 Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak
mengadakan invasi ke dinding usus.
 Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita
biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat
kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau
busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit

7
nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan
tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya
baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai
hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
 Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan,
tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya
disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah
badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan.
 Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare
disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-
40,50C) disertai mual dan anemia.
 Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan
diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat
berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya
menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya
dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna.1,2

2.1.5. Pemeriksaan Penunjang

1. Disentri amoeba
 Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang

8
diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan
sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu
dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan.
Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau
seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang
berbentuk batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak.
Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi
dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila
jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode
konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan
seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan
eterformalin kista akan mengendap.
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu
diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari
bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung
dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan
menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan
tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak
jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.
 Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi
Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan
gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan
amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada
pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol,
tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak
normal.
 Foto rontgen kolon

9
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali
ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen
kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada
ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.
 Pemeriksaan uji serologi
Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus
jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses
hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis
positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti
bukan amebiasis.

2. Disentri basiler
 Pemeriksaan tinja. Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman
penyebab serta biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan
carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti
karena basil shigela mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
 Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini spesifik dan
sensitif, tetapi belum dipakai secara luas.
 Enzim immunoassay. Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada
sebagian besar penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin
yang dihasilkan E.coli.
 Sigmoidoskopi. Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan
pengerokan daerah sigmoid. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada
stadium lanjut.
 Aglutinasi. Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua,
maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan
positif pada pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi

10
sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang
dipakai.
 Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang
terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat.
Sebagian besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif
berkurang di segmen proksimal usus besar.1,3
2.1.6. Diagnosa

1. Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan
nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase
akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa.
Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang
bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.

2. Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak
banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis
pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi
ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit
lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh
karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan
spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain,
misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.

11
Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan
neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan
neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya
dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi
abses.1
2.1.7. Penatalaksanaan

1. Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah
atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi
oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan
berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui
infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak
muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu
atau oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat
diberikan.
Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5
kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien
diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan,
antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan
tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten
terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman
terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x

12
500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprim-sulfametoksazol,
dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak
dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti
siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500
mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal
dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian siprofloksasin merupakan
kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae
tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang
dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler.

2. Disentri amuba
 Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga
kali perhari selama 20 hari.
 Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari.
 Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750
mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
 Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg
tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari
selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.1,2,3

13
2.1.8. Komplikasi

1. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun
ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi :
 Komplikasi intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke
dinding usus besar dan merusak pembuluh darah.
Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan
muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang
mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya
abses hati amoeba.
Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang
mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya
terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus
obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang
memerlukan tindakan operasi segera.
Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat
terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.

 Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang
paling sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan
atau tahun sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi
akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang
lewat pembuluh getah bening.

14
Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses
hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan
bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai
dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak
terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang steril, tidak
berbau, berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan
sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna
kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.2
Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi
langsung abses hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat
mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga dapat terjadi akibat
embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi
hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batuk-batuk dengan
sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat
embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses
hati walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding
usus besar dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah
perianal atau dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal
akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
2. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada
pasien yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya
kejadian ini dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan
S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat
infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS).
SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh
Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri

15
basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda-tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam)
dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat
dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih
dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter),
hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat
seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya
muncul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar
terutama lutut. Hal ini dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan
sinovial sendi mengandung leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan
dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama
berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau
iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus
menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini
jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae
yang toksik namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan
perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi
jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah
serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula
terjadi pada beberapa tempat yang mempunyai angka kematian tinggi.
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.1

16
2.2. Dehidrasi
2.2.1. Definisi
Berikut adalah beberapa pengertian tentang dehidrasi:
1. Dehidrasi adalah kekurangan cairan tubuh karena jumlah cairan yang
keluar lebih banyak dari pada jumlah cairan yang masuk.
2. Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan cairan yang
disertai dengan output yang melebihi intaks sehingga jumlah air dalam
tubuh berkurang.
3. Dehidrasi adalah kehilangan cairan tubuh isotik yang disertai
kehilangan antrium dan air dalam jumlah yang relatif sama.
Dari perngertian di atas dapat disimpulkan bahwa dehidrasi adalah
gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh. Hal ini terjadi
karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan (misalnya minum).
Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan
keseimbangan zat elektrolit tubuh.

Dehidarasi dapat terjadi karena:

a. Kekurangan zat natrium


b. Kekurangan air
c. Kekurangan natrium dan air
Dehidrasi dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium
(dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang
sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium lebih banyak daripada air
(dehidrasi hipotonik). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan tingginya kadar
natrium serum (lebih dari 145 mEq/L) dan peningkatan osmolalitas efektif
serum (lebih dari 285 mosmol/liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan
normalnya kadar natrium serum (135 – 145 mEq/L) dan osmolalitas efektif
serum (270 – 285 mosmol/liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan
rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mEq/L) dan osmolalitas

17
efektif serum (kurang dari 270 mosmol/liter).8

2.2.2. Etiologi

Bermacam-macam penyebab dehidrasi menentukan tipe / jenis-jenis dehidrasi.

1. Dehidrasi
a. Perdarahan

b. Muntah

c. Diare

d. Hipersalivasi

e. Fistula

f. Ileustomy (pemotongan usus)

g. Diaporesis (keringat berlebihan)

h. Luka bakar

i. Puasa

j. Terapi hipotonik

k. Suction gastrointestinal (cuci lambung)

2. Dehidrasi hipotonik

a. Penyakit DM

b. Rehidrasi cairan berlebih

c. Mal nutrisi berat dan kronis

3. Dehidrasi hipertonik

a. Hiperventilasi

18
b. Diare air

c. Diabetes Insipedus ( hormon ADH menurun )

d. Rehidrasi cairan berlebihan

e. Disfagia

f. Gangguan rasa haus

g. Gangguan kesadaran

h. Infeksi sistemik: suhu tubuh meningkat.

Dehidrasi terjadi bila kehilangan cairan sangat besar sementara pemasukan


cairan sangat kurang. Beberapa kondisi yang sering menyebabkan dehidrasi
antara lain:
a. Diare merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan
kehilangan cairan dalam jumlah besar. Di seluruh dunia, 4 juta
anak-anak meninggal setiap tahun karena dehidrasi akibat diare.

b. Muntah sering menyebabkan dehidrasi karena sangat sulit untuk
menggantikan cairan yang keluar dengan cara minum.
c. Tubuh kehilangan banyak cairan saat berkeringat. Kondisi
lingkungan yang panas akan menyebabkan tubuh berusaha
mengatur suhu tubuh dengan mengeluarkan keringat. Bila keadaan
ini berlangsung lama sementara pemasukan cairan kurang maka
tubuh dapat jatuh ke dalam kondisi dehidrasi.
d. Peningkatan kadar gula darah pada penderita diabetes atau kencing
manis akan menyebabkan banyak gula dan air yang dikeluarkan
melalui kencing sehingga penderita diabetes akan mengeluh sering
kebelakang untuk kencing.
e. Penderita luka bakar dapat mengalami dehidrasi akibat keluarnya
cairan berlebihan pada kulit yang rusak oleh luka bakar.8

19
f. Orang yang mengalami kesulitan minum oleh karena suatu sebab
rentan untuk jatuh ke kondisi dehidrasi.
2.2.3. Manifesti Klinis
Biasanya ketika dehidrasi akan menghampiri tubuh kita, maka kita
akan merasakan rasa haus yang sangat. Ketika anda merasakan hal demikian
hendaklah anda segera memperbanyak minum air mineral, karena ketika rasa
yang demikian ini dibiarkan begitu saja maka tubuh kita akan lemas. Berikut
ini tanda-tanda / gejala dehidrasi.
1. Sakit kepala bisa menjadi salah satu tanda dehidrasi. Jangan sampai
keluhan ini Anda biarkan begitu saja. Meski demikian minumlah air
putih secara perlahan.
2. Warna urine yang cenderung gelap. Ini adalah salah satu cara mudah
yang sepertinya kurang diperhatikan. Warna urine yang cenderung
lebih gelap diakibatkan karena Anda kurang mengonsumsi air putih.
3. Lesu dan mengantuk juga merupakan tanda kita tidak minum cukup
air. Ini cara tubuh melambat untuk menghemat air. Cobalah untuk
mengonsumsi air dingin secara perlahan. Bukan hanya
mengembalikan performa tubuh akibat kurangnya asupan air, namun
air dingin juga menyegarkan.
4. Kekurangan air juga dapat menyebabkan kulit yang kering. Jika kita
sudah menggunakan pelembab kulit, namun tetap terasa kering, itu
adalah tanda bahwa Anda kurang minum.
5. Dehidrasi juga bisa ditandai dengan detak jantung yang meningkat.
Usahakan untuk mencukupi tubuh dengan konsumsia air minimal 2
liter perhari.8

20
2.2.4. Klasifikasi Dehidrasi
Dehidrasi dapat dikategorikan berdasarkan tosinitas/ kadar cairan yang hilang

yaitu :

1. Dehidrasi hipertonik yaitu berkurangnya cairan berupa hilangnya air lebih

banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik). Dehidrasi hipertonik ditandai

dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/liter) dan

peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285 mosmol/liter).

2. Dehidrasi isotonik atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama.

Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145

mmol/liter) dan osmolalitas efektif serum (270-285 mosmol/liter).

3. Dehidrasi hipotonik hilangnya natrium yang lebih banyak dari pada air.

Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang

dari 135 mmol/liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270

mosmol/liter.

Sedangkan penggolongan dehidrasi berdasarkan banyaknya cairan yang hilang yaitu :

1. Dehidrasi ringan (< 5 %) kehilangan cairan dan elektrolit Dehidrasi ringan

(jika penurunan cairan tubuh 5 persen dari berat badan).

2. Dehidrasi sedang (5- 8 %) kehilangan cairan dan elektrolit dehidrasi sedang

(jika penurunan cairan tubuh antara 5-10 persen dari berat badan).

3. Dehidrasi berat (> 8 %) kehilangan cairan dan elektrolit dehidrasi berat (jika

penurunan cairan tubuh lebih dari 10 persen dari berat badan).8

21
2.2.5. Penatalaksanaan

Cara mengobati dehidrasi atau penanganan dehidrasi perlu di lakukan


bagi orang yang menderita dehidrasi. Dehidrasi yang ringan dan sedang dapat
ditangani dengan larutan rehidrasi oral, dan dehidrasi berat dapat diobati
dengan cairan infuse. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan
larutan rehidrasi oral yang mengandung natrium klorida, natrium sitrat,
kalium klorida dan glukosa anhidrus. Langkah-langkah untuk menyiapkan
larutan rehidrasi oral dari suatu paket standar mencakup:

a. Cucilah tangan Anda dan keringkan dengan kain yang bersih


b. Ambilah satu liter air bersih
c. Campurkan satu pak penuh larutan rehidrasi oral ini tetap tertutup.
d. Berikan larutan ini pada anak menurut penjelasan di bawah ini.
e. Gunakan larutan ini dalam waktu 24 jam. Sisa larutannya harus
dibuang.
Larutan rehidrasi oral harus dihentikan setelah diare berhenti.
Pemberiannya juga harus dihentikan sementara jika larutan rehidrasi oral
gagals memperbaiki dehidrasi dan atau si anak terkena komplikasi akibat
diare. Larutan rehidrasi oral tidak direkomendasikan dalam kasus dehidrasi
parah, kelelahan dan jika tidak ada air seni yang dibuang. Keuntungan Larutan
Rehidrasi Oral. Larutan rehidrasi oral memiliki 4 keuntungan utama, yakni
mudah diperoleh, mudah diberikan, tidak mahal, efektif dalam menangani
dehidrasi ringan atau sedang.

Rehidrasi

Cairn infus untuk menangani dehidrasi biasanya direkomendasikan dalam


lima kondisi:

22
• Dehidrasi parah dengan aatau tanpa tanda-tanda syok
(berkurangnya volume darah dalam tubuh)
• Kelelahan, lemas, koma
• Muntah yang tak terkendali
• Berkurangnya atau tidak adanya air seni yang dibuang dalam waktu
yang lama
• Komplikasi apapun di mana larutan rehidrasi oral tidak dapat
diberikan.
Ada 5 kekurangan dari pemberian cairan infus

• Dibutuhkan orang yang terlatih untuk memberikan cairan dengan


cara ini
• Tidak cukupnya fasilitas di pedesaan atau daerah yang jauh di
pedalaman
• Tingginya risiko infeksi ketika teknik-teknik atau bahan-bahan yang
bersih tidak digunakan.
• Kemungkinan terjadinya hidrasi yang berlebihan dan hidrasi yang
tidak memadai lebih tinggi dibandingkan dengan perawatan dengan
larutan rehidrasi oral( misaalnya, oralit).8

23
2.3. Diabetes Melitus
2.3.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.6,7

2.3.2. Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association

(ADA), 2005, yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang

terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol

adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering

haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau

kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin

seumur hidup.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan

baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi

fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.

24
Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi

hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas

atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi4,6,7

4. DM Gestasional

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI


1998

DM TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM


Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
A Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
akibat destuksi 1, defek sekresi
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

karena: dominan daripada Pankreatektomy

1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

2. idiopatik 2. resistensi insulin hipertiroidisme

lebih dominan 4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

daripada defek 5.Akibat virus: CMV, Rubella

sekresi insulin. 6.Imunologi: antibodi anti insulin


7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter
25
2.3.3. Patofisiologi
1. Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian

besar sel pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti

karena proses autoimun, meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar

sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada

kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan

seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu,

tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah

insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag

dan limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta

sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah

perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap

sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama

dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel

beta dan penampakan diabetes.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi

insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan

sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara

deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.

26
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi

insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi

insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin

meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia

setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi

sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan

diabetes yang nyata.4,5

2.3.4. Manifesti Klinis


Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan

mengeluhkan apa yang disebut 4P: polifagi dengan penurunan berat badan,

Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering

kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit.

Kriteria diagnostik :

 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah

sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memerhatikan waktu makan terakhir, atau

Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak

mendapat kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau

Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan

standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram

glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.

27
 Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal

minimal 2x.

Dengan cara pelaksanaan TTGO :

 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani

seperti biasa.

 Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

 Diperiksa kadar glukosa darah puasa

 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) ,

dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.

 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2

jam setelah minum larutan glukosa selesai

 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka

dapat digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu)

atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh

28
 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199

mg/dl

 GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl4,6,7

2.3.5. Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik,

meningkatkan kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan

penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang normal. Pilar

penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari:

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif

pasien, keluarga dan masyarakat.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik

yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada

prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status

gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan

individual.

Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal

29
a. Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl

b. Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl

c. Kadar HbA1c < 7%

2. Tekanan darah <130/80

3. Profil lipid :

a. Kolesterol LDL <100 mg/dl

b. Kolesterol HDL >40 mg/dl

c. Trigliserida <150 mg/dl

4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan

perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status

gizi,, status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa

faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan

pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana

terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian

nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah

status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang

bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.5,6

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-

70%, Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.

30
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)

 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat

lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu

sendiri.

 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari

sumber karbohidrat

 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat

maksimal 70% dari total kebutuhan perhari

 Jumlah serat 25-50 gram/hari.

 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.

 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya

adalah pemanis buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan

sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi karena dapat meningkatkan

resiko kejadian kanker.

 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari

 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN

 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.

 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein

tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .

31
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian

protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari .

 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa

0,85 gr/kg BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.

 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati

lebih dianjurkan dibandingkan protein hewani.

LEMAK

 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah

maksimal 10% dari total kebutuhan kalori perhari.

 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh

diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.

 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL

≥100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg

perhari.

5. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah

belum tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.

Obat hipoglikemik oral

a. Insulin secretagogue :

32
Sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal

dan kurangm namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat

badan lebih. Contohnya glibenklamid.

Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator.

Penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini

berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid, nateglinid.

b. Insulin sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan

efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan hepar).

Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat.

Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.

c. Glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga

memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada

penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan

gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan

hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

33
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi

glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek

hipoglikemi

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai

respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis

maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum makan.

Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid

sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan.

Penghambat glukosidase α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion

tidak bergantung jadwal makan.

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah
untuk kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama)
yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin.4,5,6

34
Indikasi terapi dengan insulin:
1. Penderita DM tipe I memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin
oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.
2. Penderita DM tipe II mungkin membutuhkan insulin bila terapi jenis lain
tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
3. Keadaan stress berat; seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miokard akut atau stroke.
4. DM gestasional dan penyandang DM yang hamil membutuhkan insulin
bila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik.
6. Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik.
7. Penyandang DM dengan nutrisi parenteral atau suplemen tinggi kalori,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan
kadar glukosa darah selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemi oral.

Klasifikasi obat Insulin


Berdasarkan lama kerjanya :
1. Insulin kerja singkat
Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI
). Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan
netral. Preparat yang ada antara lain : Actrapid, Velosulin, Semilente.
Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum makan, mencapai puncak
setelah 1– 3 macam dan efeknya dapat bertahan samapai 8 jam.

2. Insulin kerja menengah


Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn ( NPH

35
),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan
sampai dengan 24 jam.

3. Insulin kerja panjang


Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan
lambat dari tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup
lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin ( PZI ),
Ultratard

4. Insulin infasik (campuran)


Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan menengah. Preparatnya:
Mixtard 30 / 40

A. Dosis
tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
1. Gula darah < 60 mg % = 0 unit
2. Gula darah < 200 mg % = 5 – 8 unit
3. Gula darah 200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
4. Gula darah 250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
5. Gula darah 300 – 350 mg% = 20 unit
6. Gula darah > 350 mg% = 20 – 24 unit

B. Waktu pemberian
1. Insulin masa kerja pendek + insulin masa kerja sedang = 2 x 1 sebelum
makan.
2. Insulin masa kerja pendek + insulin masa kerja sedang = sebelum
sarapan
3. insulin masa kerja pendek = sebelum makan malam

36
4. insulin masa kerja sedang = sebelum tidur.
5. Insulin masa kerja pendek = 3 x 1 sebelum makan
6. insulin masa kerja sedang = sebelum tidur.
7. Insulin masa kerja sedang tanpa insulin kerja pendek = 1 x 1 sebelum
sarapan atau sebelum tidur.

C. Cara penyuntikan insulin :


Biasa dengan subkutan. Pada keadaan khusus diberikan IM atau IV secara
bolus atau drip. Insulin dapat diberikan tunggal (1 macam insulin) tetapi juga
dapat kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai dengan
respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian diikuti
oleh daerah lengan, paha bagian atas bokong. Bila disuntikan IM maka
penyerapan akan terjadi lebih cepat dan masa kerja akan lebih singkat.
1. Insulin kerja singkat:
a. IV, IM, SC
b. Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
c. Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
2. Insulin kerja menengah / panjang : Jangan IV karena bahaya emboli.
Penyuntikkan insulin selalu di daerah yang sama dapat merangsang
terjadinya perlemakan dan menyebabkan gangguan penyerapan
insulin. Daerah suntikkan sebaiknya ± 2,5cm dari daerah
sebelumnya. Lakukanlah rotasi di dalam satu daerah selama 1
minggu, lalu pindah ke daerah yang lain.

37
Jenis Insulin Berdasarkan Cara Kerja

38
39
2.3.6. Komplikasi
1. Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,

kortisol dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan

produksi glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh

menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin

mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas

40
akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb

cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang

kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang

kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa benda keton

yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan

asam amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.

Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO3 rendah,

anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa

anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas

adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.

2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari

600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350

mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe

non insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam

kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih

cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan

hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia

3. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala

klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium

parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak

41
ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium

simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan

gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala

neuroglikopenik: pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa

kejang.6

42
BAB III

LAPORAN KASUS

STATUS ORANG SAKIT

Identitas Pribadi
Nama : Meswan
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Kawin : Menikah
Agama / Suku : Islam
Pekerjaan :
Alamat :

Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama : Sakit Kepala
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan

sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu, dan memberat 1 hari yang

lalu. Pasien juga mengeluhkan jantungnya berdebar secara tiba-

tiba sejak 1 bulan yang lalu, keluhan ini memberat saat

beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Pasien juga

mengeluhkan tangannya sering gemetar sejak 1 bulan yang

lalu. Pasien juga mengeluhkan mudah lelah sejak 1 bulan yang

lalu. Pasien juga mengaku berat badannya menurun sebesar 15

kg selama 1 bulan akan tetapi pasien merasa nafsu makannya

meningkat, pasien juga menuturkan sering berkeringat

43
walaupun tidak sedang beraktivitas. Psien juga mengakui

merasa marah sejak 1 bulan yang lalu.

BAB : Ya, 1-2 kali dalam sehari kecoklatan konsistensi warna

kuning padat

BAK : 3-4x dalam sehari warna kuning jernih

RPT : Asam Urat

RPO : Pasien lupa nama obat

RA : -

Anamnesa Umum
- Badan kurang enak : ya - Tidur : Normal
- Merasa Lemas : ya - Berat badan :menurun (15kg)
- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak
- Menggigil : tidak - Demam : tidak
- Nafsu makan : meningkat - Pening : tidak

Anamnesa organ
1. Cor
- Dyspneu d’effort : Ya - Cyanosis : tidak
- Dyspnea d’repos : tidak - Angina pectoris : tidak
- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : Ya
- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak
2. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : tidak - Gangguan tropis : tidak

44
- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : tidak
- Rasa mati Ujung jari : tidak

3. Traktus respiratorius
- Batuk : tidak - Stidor : tidak
- Berdahak : tidak - sesak nafas : tidak
- Haemoptoe : tidak - cuping hidung : tidak
- Sakit dada saat bernafas : tidak - Suara parau : tidak

4. Traktus digestivus
a. Lambung
- Sakit di epigastrium : ya - Sendawa : tidak
- Rasa panas epigastrium : tidak - Anoreksia : tidak
- Muntah : tidak - Mual-mual : tidak
- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak
- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak
- Pyrosis : tidak
b. Usus
- Sakit di abdomen : ya - Melena. : tidak
- Borborygmi : ya - Tenesmi : tidak
- Defekasi : ya, 3-5x/hari, konsistensi padat, warna kuning
kecoklatan
- Flatulensi : ya
- Obstipasi : tidak
- Haemorrhoid : tidak
- Diare : ya,3-5x/hari, konsistensi cair, air>ampas
c. Hati dan Saluran empedu
- Sakit perut kanan : tidak - Gatal dikulit : tidak
- Kolik : tidak - Asites : tidak
- Icterus : tidak - Oedema : tidak

45
- Berak dempul : tidak
5. Ginjal dan saluran kencing
- Muka sembab : tidak - Sakit pinggang : tidak
- Kolik : tidak - Oligouria : tidak
- Miksi : ya, 3-4x/hariwarna - Anuria : tidak
Kuning jernih
- Polyuria :tidak - Polakisuria : tidak
6. Sendi
- Sakit : tidak - Sakit digerakan : tidak
- Sendi kaku : tidak - Bangkak : tidak
- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak

7. Tulang
- Sakit : tidak - Fraktur spontan : tidak
- Bengkak : tidak - Deformasi : tidak
8. Otot
- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak
- Kebas-kebas : tidak - Atrofi : tidak
9. Darah
- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : tidak
- Mata berkunang-kunang : tidak - Bengkak : tidak
- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak
- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak
10. Endokrin
- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak
- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak
- Poliuri : tidak
11. Fungsi genital

46
- Menarche :- - Ereksi : tidak di
tanyakan
- Siklus Haid :- - Libido sexual : tidak di
tanyakan
- Menopause :- - Coitus : tidak di
tanyakan
- G/P/A :-
12. Susunan syaraf
- Hipoastesia : tidak - Sakit kepala : tidak
- Parastesia : tidak - Gerakan tics : tidak
- Spasme : tidak - Paralisis : tidak
13. Panca indra
- Penglihatan : Normal
- Pengecapan : Normal
- Pendengaran : Normal
- Perasa : Normal
- Penciuman : Normal
14. Psikis
- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak
- Takut : tidak - Lekas marah : ya
- Gelisah : tidak
15. Keadaan sosial
- Pekerjaan : Tukang Becak
- Hygiene : Baik

Anamnesa Penyakit terdahulu


Asam Urat

Riwayat pemakaian Obat


Pasien lupa nama obat

47
Anamnesa penyakit Veneris
- Bengkak kelenjar regional : tidak dilakukan pemeriksaan
- Pyuria : tidak dilakukan pemeriksaan
- Luka-luka di kemaluan : tidak dilakukan pemeriksaan

- Bisul- bisul : tidak dilakukan pemeriksaan

Anamnesa Intoksikasi
Tidak ada

Anamnesa Makanan
- Nasi : ya frek 4 x/ Hari - Sayur sayuran : ya
- Ikan : ya - Daging : ya

Anamnesa Family
- Penyakit - penyakit family : tidak ada
- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada
- Anak: 3, Hidup: 0, Mati: 0

Status Present

Keadaan Umum
- Sensorium : compos mentis
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg
- Temperatur : 37⁰ C
- Pernafasan : 28 x/ menit, reguler, abdominalthoracal
- Nadi : 104 x/ menit, equal,sedang

Keadaan Penyakit
- Anemi : tidak - Eritema : tidak
- Ikterus : tidak - Turgor : Baik
- Sianosis : tidak - Gerakan Aktif : ya

48
- Dispnoe : ya - Sikap tidur paksa : tidak
- Edem : tidak

Keadaan Gizi
BB : 65 Kg
TB : 170 cm
𝐵𝐵 57
RBW : = 170−100 X 100% =92,8%
𝑇𝐵−100

Kesan : Normoweight

𝐵𝐵 57
IMT : 𝑇𝐵 = 703 = 22,4 kg/m²
( )² ( )²
100 100

Kesan : Normoweight

Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : Normal
- Sakit kalau dipegang : tidak
- Perubahan lokal : tidak
a. Muka
- Sembab : tidak Parese : tidak
- Pucat : tidak gangguan lokal : tidak
- Kuning : tidak
b. Mata
- Stand Mata : Normal - Ikterus : tidak
- Gerakan : kesegala arah - Anemia : tidak

49
- Reaksi pupil : RC +/+, isokor - Eksoftalmos : tidak
- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak
c. Telinga
- Sekret : tidak - Bentuk : normal
- Radang : tidak - Atrofi : tidak
d. Hidung
- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak
- Bentuk : normal
e. Bibir
- Sianosis : tidak - Kering : iya
- Pucat : tidak - Radang : tidak
f. Gigi
- Karies : tidak
- Jumlah : tidak di hitung
- Pertumbuhan : normal
- Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
- Kering : tidak - Beslag : tidak
- Pucat : tidak - Tremor : tidak
h. Tonsil
- Merah : tidak - Membran : tidak
- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak
- Beslag : tidak

2. Leher
Inspeksi :
- Struma : tidak - Torticolis : tidak
- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak
- Pulsasi Vena : tidak

50
Palpasi
- Posisi trachea : Medial
- TVJ : R-2 cm H2O
- Sakit/ nyeri tekan : tidak
- Kosta servikalis : tidak

3. Torax depan
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak
- Simetris/asimetris : simetris - Pembengkakan : tidak
- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak
- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : Dalam
batas normal

Palpasi
- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba
- Fremitus suara : kanan = kiri a. Lokasi :-
- Fremissemen : tidak b. Kuat angkat :-

Perkusi
- Suara perkusi paru : Sonor di 2 lapang paru - Gerakan bebas : 2 cm
- Batas Jantung : - Batas paru hati :
- A. Atas : ICS III linea parasternalis sinistra a. Relatif : ICS V dextra
- B. Kanan : ICS IV linea midsternalis dextra b. Absolut : ICS VI dextra
- C. Kiri : ICS V 2cm medial linea Midclavicularis sinistra

Auskultasi
- Paru –paru
o Suara pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
o Suara Tambahan : Tidak ada
- Cor :

51
o Heart Rate : 104 x/i
o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)
o Suara tambahan : Tidak ada
4. Thorax belakang
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas : tidak
- Benjolan : tidak Venektasi : tidak
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak
- Fremitus suara : kanan = kiri
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor dikedua lapang paru
- Gerakan bebas : 2 cm
- Batas bawah paru :
- A. Kanan : IX Proc. Spinosus Vertebra
- B. Kiri : X Proc. Spinosus Vertebra
Aukultasi
- Pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
- Suara tambahan : Tidak ada
Nyeri pada region epigastrium

52
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : tidak
- Venektasi : tidak
- Gembung : tidak
- Sirkulasi Collateral : tidak
- Pulsasi : tidak
Palpasi
- Defens muskular : tidak
- Nyeri tekan : tidak
- Lien : tidak teraba
- Ren : tidak teraba
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : ya
- Pekak beralih : tidak

Auskultasi
- Peristaltik usus : meningkat (13 x/ menit)

6. Genitalia

-Luka : tidak dilakukan pemeriksaan

-Sikatrik : tidak dilakukan pemeriksaan

-Nanah : tidak dilakukan pemeriksaan

7. Extremitas
a. Atas Kanan Kiri

53
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Stand abnormal : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Tes Rumpelit : tidak dilakukan ( Negatif)
- Refleks :
o Bisep : ++ ++
o Trisep : ++ ++
- Radio periost :+ +
b. Bawah
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Eodema : tidak tidak
- Pucat : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Varises : tidak tidak
- Refleks
o KPR : ++ ++
o APR : ++ ++
o Struple :+ +

54
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal : 27/10/2017
Nama : Bambang Irawan
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 13,0 g/dl 13,2-17,3
Hitung Eritrosit 4,6 106/ul 4.5-6.5
Hitung Leukosit 8.100 /ul 4.000-11.000
hematokrit 40,5 % 40-54
Hitung trombosit 245.000↑ /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 87,5 Fl 80-96
MCH 28,0 Pg 27-31
MCHC 32.0 % 32-36
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 2 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
N. Stab *0↓ % 2-6
N. Seg *52 % 53-75
Limfosit 40 % 20-45
Monosit 6 % 4-8
LED 36↑ mm/jam 0-10
FAAL HATI
Bilirubin total 0,46↑ mg/dl 0,3-1
Bilirubin direct 0,31↑ mg/dl < 0,25
SGOT/AST 28 U/L <40
SGPT/ALT 26 U/L <40
Gula Darah 136 mg/dL <140
FUNGSI GINJAL
Ureum 26 mg/Dl 20-40

55
Kreatinin 0,69 mg/dL 0,6-1,1
Asam urat 8,6 mg/dL 3,4-7,0
ELEKTROLIT
Natrium 124 mEq/L 132-155
Kalium 3,3 mEq/L 3,5-5,5
Chlorida 113 mEq/L 98-106
IMUNOSEROLOGI
Endokrin
Free T4 5,41 mg/dL 0,82-1,51

RESUME
Keluhan Utama : Sakit Kepala
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan sesak

nafas sejak 1 bulan yang lalu, dan memberat 1 hari yang lalu.

Pasien juga mengeluhkan jantungnya berdebar secara tiba-tiba

sejak 1 bulan yang lalu, keluhan ini memberat saat beraktivitas

dan berkurang saat beristirahat. Pasien juga mengeluhkan

tangannya sering gemetar sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga

mengeluhkan mudah lelah sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga

mengaku berat badannya menurun sebesar 15 kg selama 1 bulan

akan tetapi pasien merasa nafsu makannya meningkat, pasien juga

menuturkan sering berkeringat walaupun tidak sedang

beraktivitas. Psien juga mengakui merasa marah sejak 1 bulan

yang lalu.

56
BAB : Ya, 1-2 kali dalam sehari kecoklatan konsistensi warna kuning padat

BAK : 3-4x dalam sehari warna kuning jernih

RPT : Asam Urat

RPO : Pasien lupa nama obat

RA : -

Status Present
Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sens : Compos Mentis Anemia : tidak TB : 170cm
TD : 140/90 mmHg Ikterus : tidak BB : 65 kg
Nadi : 104 x/ menit Sianosis : tidak 65
RBW = 170−100 X 100%
Nafas : 28 x/ menit Dyspnea : ya
= 92,8%
0
Suhu : 37 C Edema : tidak
Kesan: Normoweight
Eritema : tidak
Turgor : baik 65
IMT = 170
Gerakan aktif : ya ( )²
100

Sikap tidur paksa : tidak = 22,4 kg/m2


Kesan: Normoweight

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Dalam Batas Normal
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Extremitas : Dalam Batas Normal

57
Pemeriksaan Laboratorium
limfosit ↓, Trombosit ↑, N.stab ↓, N.seg ↑, Leukosit ↑, LED ↑
Diagnosa Banding
1) Tirotoksikosis
2) GE + Dehidrasi ringan + Dm type 1
3) E. Coli + Dehidrasi sedang+ DM neuropati
4) Salmonellasis + Dehidrasi sedang + DM gestasional

Diagnosis Sementara
Tirotoksikosis

Terapi
1. Aktivitas tirah baring
2. Diet Diet M II
3. Medikamentosa
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj. Ranitidin 1 ampl 50mg/12 jam
- Ciprofloxacin tab 2x 500 mg
- Acarbose tab 3x 50 mg
- Glimepiride 2 mg
- Loperamide 2 tab

Pemeriksaan Anjuran/ Usul


- Darah rutin
- Kultur feses
- KGD 1-2 jam PP
- USG abdomen

58
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Disentri merupaka peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit
perut dan buang air besar encer yang bercampur lendir dan darah. Etiologi dari
disentri ada 2, yaitu disenstri basiler yang disebabkan oleh Shigella,sp. Dan
disentri amuba yang disebabkan oleh Entamoeba hystolitica. Manifestasi klinis
disentri basiler berupa diare berlendir, alkalis, tinja kecil-kecil dan banyak, darah
dan tenesmus serta bila tinja berbentuk dilapisi lendir.
Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada
tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan
(misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan
gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh.

59
Dehidarasi dapat terjadi karena:

a. Kekurangan zat natrium


b. Kekurangan air
c. Kekurangan natrium dan air.
Diagnosa dini pada diabetes melitus sangatlah penting dalam menentukan

prognosis. Karakteristik yang dapat diambil sebagai tolak ukur dalam

mendiagnosis adalah ditemukannya hasil gula darah yangg abnormal yang

diperiksa beberapa kali kecuali disertai gejala klinis yang klasik.

Prinsip penatalaksanaan dari DM adalah mencapai dan mempertahankan

kadar gula darah normal. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran kadar

glukosa darah belum juga tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan

jasmani. Yang bertujuan mencegah terjadinya komplikasi karena bilamana sudah

terjadi komplikasi maka tidak dapat diperbaiki lagi dan menimbulkan cacat yang

dapat menimbulkan kematian.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit
Dalam. FKUI:Jakarta.
2. Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Fakultas
kedokteran UI.: Jakarta.
3. Simanjuntak C. H., 1991. Epidemiologi Disentri. Diakses dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk.
4. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar
ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857

61
5. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe
2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
di Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2006
7. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine
Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa
Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259
8. Setiadi,Siti.,Alwi,Idrus.,dkk.BukuAjarIlmuPenyakitDalamJilid2edisi VI:
Jakarta.2014

62

Anda mungkin juga menyukai