PEMBAHASAN
A. Pengertian ISPA
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah infeksi akut saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah beserta adenaksanya (Depkes RI,
2010).
ISPA adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berlangsung sampai
14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang bermula dari hidung hingga
alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma
ke dalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit (Depkes, 2010).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut
yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta
saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan
pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk
menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernafasan adalah organ mulai
dari hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura
(Depkes RI, 2010).
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-
keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala
menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan
pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka
dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih
tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah
berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan
(Depkes RI, 2008).
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu penyakit yang terbanyak di
diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan sudah
mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup
gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula
memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. (Suprajitno, 2007)
3
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang disebabkan
oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau aspirasi substansi asing yang melibatkan
suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, 2003).
Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi yang terutama mengenai struktur
saluran pernapasan diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian
saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran patofisioliginya
meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya
sekresi mukus, dan perubahan dan struktur fungsi siliare (Suprajitno, 2007).
4
bersama udara yang dihirup, disamping itu terdapat juga cara penularan langsung
yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan
berbicara kepada orang di sekitar penderita, trasmisi langsung dapat juga melalui
ciuman, memegang/menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran
pernapasan penderita (Azwar, 1985).
5
b. Tanda dan gejala ISPA berdasarkan tingkat keparahan (WHO, 2002):
1) Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a) Batuk
b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya
pada waktu berbicara atau menangis).
c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37⁰C.
2) Gejala dari ISPA Sedang
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a) Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan
kelompok umur 2 bulan - <5 tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk
umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan –
<5 tahun.
b) Suhu lebih dari 39⁰C (diukur dengan termometer).
c) Tenggorokan berwarna merah.
d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
f) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
3) Gejala dari ISPA Berat
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejal-
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala
sebagai berikut:
a) Bibir atau kulit membiru.
b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
c) Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah.
d) Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas.
e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
f) Tenggorokan berwarna merah.
6
2. Cara Diagnosis
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA
oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan
cairan pleura (Halim, 2000).
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pnemonia.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis
bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang
berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan
penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi
balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO),
bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit
atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per menit
atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
7
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum.
Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa
(common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.
8
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran pernafasan
dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang
saluran pernafasan atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh,
sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan
bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah,
sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas,
sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan
pneumonia bakteri (Colman, 1992).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek
imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran
pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun
sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan
jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran
pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah.
Diketahui pula bahwa sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.
G. Pengobatan ISPA
ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul persoalan
pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada obat yang khusus
9
antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan secara rasional
dengan mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman penyebab. Untuk itu,
kuman penyebab ISPA dideteksi terlebih dahulu dengan mengambil material
pemeriksaan yang tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologik, baru setelah
itu diberikan antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).
Kesulitan menentukan pengobatan secara rasional karena kesulitan memperoleh
material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu baru diketahui dalam
waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman komensal, tidak ditemukan
kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan yang digunakan adalah pengobatan secara
empirik lebih dahulu, setelah diketahui kuman penyebab beserta anti mikroba yang
sesuai, terapi selanjutnya disesuaikan.
Di dalam referensi yang lain berikut ini disebutkan macm-macam pengobatan
untuk para penderita Pneumonia.
1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan
sebagainya.
2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin
diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan
penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,
amoksisilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah,
untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan antihistamin.
Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala
batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah
(eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama
10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan
perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.
10
5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal
tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam
atau seorang bayi tiap 5 menit (Depkes, 2010).
Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4 tahun). Diperkirakan
kejadian ISPA pada balita di Indonesia yaitu sebesar 10-20%. Berdasarkan hasil SKRT,
penyakit ISPA pada tahun 1986 berada di urutan ke-4 (12,4%) sebagai penyebab
kematian bayi. Sedangkan pada tahun 1992 dan 1995 menjadi penyebab kematian bayi
yang utama yaitu 37,7% dan 33,5%. Hasil SKRT tahun 1998 juga menunjukkan bahwa
penyakit ISPA merupakan penyebab kematian utama pada bayi (36%). Hasil SKRT
tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi tinggi ISPA yaitu sebesar 39% pada bayi dan
42% pada balita (Depkes RI, 2010).
Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan
ISPA sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari
seluruh kematian (Susilowati, 2010). Bukti bahwa ISPA merupakan penyebab utama
kematian adalah banyaknya penderita ISPA yang terus meningkat.
Berdasarkan DEPKES (2010) juga menemukan bahwa 20-30% kematian
disebabkan oleh ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada tahun
2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta (>35%), ISPA venderung terjadi lebih
tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang
rendah.
Data Kemenkes menunjukkan bahwa penyakit ISPA di Indonesia sepanjang 2007
sampai 2011 mengalami tren kenaikan. Pada 2007 jumlah kasus ISPA berkategori batuk
bukan Pneumonia sebanyak 7.281.411 kasus dengan 765.333 kasus Pneumonia, kemudian
pada 2011 mencapai 18.790.481 juta kasus batuk bukan pneumonia dan 756.577
pneumonia.
11
Menurut Sulistyowati dalam Djaja (2008) bayi dengan berat badan lahir
rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi berat badan lebih dari
2500 gram saat lahir selama satu tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah
penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat
badan rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya diatas 2500 gram.
2. Faktor umur
Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature adalah faktor umur.
Adanya hubungan antara umur anak dengan ISPA mudah dipahami, karena semakin
muda umur balita, semakin rendah daya tahan tubuhnya. Menurut Tupasi et al.
(1998), resiko terjadi ISPA lebih besar pada bayi berumur kurang dari satu tahun,
sedangkan menurut Sukar et al. (1996), anak berumur kurang dari dua tahun
memiliki resiko lebih tinggi untuk terserang ISPA. Depkes (2010), menyebutkan
resiko terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih muda lagi yaitu
kurang dari dua bulan.
3. Faktor Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil SDKI tahun 1997 menunjukkan adanya perbedaan
prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan napas cepat (yang merupakan ciri
khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan perempuan, dimana prevalensi untuk
anak laki-laki adalah 9,4% sedangkan untuk anak perempuan 8,5% (Depkes RI,
1997).
Ada kecendrungan anak laki-laki lebih sering terserang infeksi dari pada anak
perempuan, tetapi belum diketahui faktor yang mempengaruhinya (Soetjiningsih,
2006).
4. Faktor Vitamin
Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan resiko terjadi
ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan memiliki resiko 2 kali untuk menderita
ISPA. Depkes (2010), menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A merupakan
salah satu faktor resiko ISPA. Defisiensi vitamin A dapat menghambat pertumbuhan
balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan. Gangguan
pada epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA.
5. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama
pada Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena
keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut
12
memudahkan kemasukan agen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan
resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO
(2008), telah dibuktikan bahawa adanya hubungan antara malnutrisi dengan episode
ISPA.
6. Status Imunisasi
Telah diketahui secara teoritis, bahwa imunisasi adalah cara untuk
menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit (Kresno, 2006). Dari penelitian
yang dilakukan oleh Dewi dan Sebodo (2005), didapatkan proporsi kasus balita
penderita ISPA terbanyak terdapat anak yang imunisasinya tidak lengkap (10,25%).
7. Status Sosioekonomi
Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah
mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian di
Filipina telah membuktikan bahwa sosiaoekonomi orang tua yang rendah akan
meningkatkan resiko ISPA pada anak usia kurang dari 1 tahun (Tupasi et al., 2005).
8. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Penelitian-penelitian yang dilakukan pada sepuluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi cairan tubuh untuk melawan
infeksi bakteri dan virus. Penelitian di Negara-negara sedang berkembang
menunjukkan menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran
pernapasan berat (Djaja, 2007).
Jika produksi ASI cukup, pertumbuhan bayi umur 4-5 bulan pertama akan
memuaskan, pada umur 5-6 bulan berat badan bayi menjadi 2 kali lipat dari pada
berat badan lahir, maka sampai umur 4-5 bulan tidak perlu memberi makanan
tambahan pada bayi tersebut (Pudjiadi, 2009).
Lemahnya koordinasi menelan pada bayi umur dibawah 4 bulan dapat
menimbulkan aspirasi kedalam saluran pernapasan menjadi pemicu untuk terjadinya
infeksi saluran pernapasan (Ngastiyah, 2007).
9. Faktor Pencemaran Udara Dalam Lingkungan
Pencemaran udara di dalam rumah selain berasal dari luar ruangan dapat pula
berasal dari sumber polutan di dalam rumah terutama aktivitas penghuninya antara
lain, penggunaan biomassa untuk memasak maupun pemanas ruangan, asap dari
sumber penerangan yang menggunakan bahan bakar, asap rokok, penggunaan obat
anti nyamuk, pelarut organik yang mudah menguap (formaldehid) yang banyak
dipakai pada peralatan perabot rumah tangga dan sebagainya (Mukono, 2008).
13
Menurut soesanto (2009) yang dikutip dari Samsuddin (2007), rumah dengan
bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber penerangan
memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan bahan bakar gas.
Asap rokok dalam rumah juga merupakan penyebab utama terjadinya
pencemaran udara dalam ruangan. Hasil penelitian yang dilakukan Charles (1996),
menyebutkan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam rumah serta
pemakaian obat nyamuk bakar juga merupakan resiko yang bermakna terhadap
terjadinya penyakit ISPA.
Penggunaan obat anti nyamuk bakar sebagai alat untuk menghindari gigitan
nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena hasilnya asap dan
bau yang tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak
mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan
pernapasan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indra Chahaya pemakaian obat
nyamuk bakar mempunyai exp (B) 19,97 yang berarti faktor pemakaian obat
nyamuk bakar mempunyai 19 kali beresiko terhadap terjadiya ISPA.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernapasan dapat
menyebabkan terjadinya:
a. Iritasi pada saluran pernapasan, hal ini dapat menyebabkan pergerakan silia
menjadi lambat, bahkan berhenti, sehingga mekanisme pembersihan saluran
pernapasan menjadi terganggu.
b. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi bahan pencemar.
c. Produksi lendir dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan.
d. Rusaknya sel pembunuh bakteri saluran pernapasan.
e. Pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel sehingga
saluran pernapasan menjadi menyempit.
f. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir
Akibat hal tersebut di atas maka menyebabkan terjadinya kesulitan bernapas,
sehingga benda asing termasuk Mikroorganisme tidak dapat dikeluarkan dari saluran
pernapasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan
(Soewasti, 2000).
10. Ventilasi
Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah
akumulasi gas beracun dan mikroorganisme, memelihara temperatur dan
14
kelembaban optimum terhadap udara di dalam ruangan. Ventilasi yang baik akan
memberikan rasa nyaman dan menjaga kesehatan penghuninya (Mukono, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Soewasti (2007) membuktikan bahwa ventilasi
berhubungan dengan kejadian ISPA. Penderita ISPA banyak di temukan pada
masyarakat yang mempunyai Ventilasi rumah dengan perhawaan paling kecil (0 -
0,99 m).
11. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana
semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah
akan mengalami pencemaran. Hal ini sesuai dengan penelitian Achmadi (1990) yang
dikutip oleh Chahaya (2005), bahwa rumah yang padat sering kali menimbulkan
gangguan pernapasan terutama pada anak-anak dan pengaruh lain pada anak-anak
adalah mereka menekan tumbuh kembang mentalnya. Menurut hasil penelitian
Hidayati (2003) yang di kutip oleh Agustama (2005) menunjukkan bahwa dengan
kepadatan rumah yang tidak memenuhi syarat terhadap terjadinya ISPA pada balita
sebesar 68% dimana jika terjadi kepadatan dalam hunian kamar akan menyebabkan
efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental maupun moril. Rumah dengan penghuni
kamar yang padat akan memudahkan terjadinya penularan penyakit saluran
pernapasan.
15
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.
2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan
diagnosis sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita
keadaan penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai
dengan batuk, serak, pilek, panas atau demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka
dianjurkan untuk segera diberi pengobatan.
Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau bukan
pneumonia adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diberikan perawatan di rumah.
Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA adalah :
a. Mengatasi panas (demam).
b. Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan
kompres dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
c. Pemberian makanan dan minuman
Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering,
memberi ASI lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air putih, air buah) lebih
banyak dari biasanya.
16
Cara Pencegahan Menurut Depkes RI, (2010) pencegahan ISPA antara lain:
1. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita atau
terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA. Misalnya dengan
mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih, olah
raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan
kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan
semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan
masuk ke tubuh kita.
2. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya tidak
mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus / bakteri.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan mengurangi
polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat mencegah
seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA.
Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap
segar dan sehat bagi manusia.
4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang
ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri
di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang melayang di udara).
Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan
yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di udara), yang kedua duet
(campuran antara bibit penyakit).
17
semua penyebab kematian dan peringkat pertama dari seluruh penyakit infeksi. Di
Spanyol angka kematian akibat pneumonia mencapai 25% sedangkan di Inggris dan
Amerika sekitar 12% atau 25-30 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk angka
kematian akibat ISPA dan pneumonia pada tahun 1999 untuk negara Jepang yaitu 10%,
Singapura sebesar 10,6%, Thailand sebesar 4,1%, Brunei sebesar 3,2% dan Philipins
tahun 1995 sebesar 11,1% (SEAMIC Health Statistics, 2000)
ISPA menyebabkan 40% dari kematian anak usia 1 bulan sampai 4 tahun. Hal ini
berarti dari seluruh jumlah anak umur 1 bulan sampai 4 tahun yang meninggal, lebih dari
sepertiganya meninggal karena ISPA atau diantara 10 kematian 4 diantaranya meninggal
disebabkan oleh ISPA (DepKes, 1985). Sebagian besar hasil penelitian di negara
berkembang menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh
ISPA. Diperkirakan bahwa 2-5 juta bayi dan balita di berbagai negara setiap tahun mati
karena ISPA (WHO, 1986)
18
ISPaA merupakan penyakit yang morbiditasnya sangat tinggi pada kelompok
anak-anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita diperkirakan 3-6 kali per tahun
(rata-rata 4 kali per tahun), sehingga penyakit saluran pernafasan akut merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia.
2. Menurut Tempat (place)
Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di
kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat
kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi
daripada di desa.
Menurut penelitian Djaja, dkk (2007) didapatkan prevalensi ISPA di perkotaan
(11,2%) lebih tinggi daripada di pedesaan (8,4%). Prevalensi di Jawa-Bali (10,7%)
lebih tinggi daripada di luar Jawa-Bali (7,8%).
3. Menurut Waktu (time)
Berdasarkan data SKRT 1986-2001, diketahui proporsi kematian ISPA di
Indonesia yaitu pada bayi (umur 0-<1 tahun) di tahun 1986 sebesar 18,85%, tahun
1992 sebesar 36,40%, tahun 1995 sebesar 32,10% dan tahun 2001 sebesar 27,60%
dan pada balita (umur 1-4 tahun) di tahun 1986 sebesar 22,80%, tahun 1992 sebesar
18,20%, tahun 1995 sebesar 38,80% dan tahun 2001 sebesar 22,80%.
Hasil survei program P2ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat) selama kurun waktu 2000-2002 kasus
ISPA terlihat berfluktuasi, tahun 2000 dengan proporsi 30,1% (479.283 kasus), tahun
2001 proporsi 22,6% (620.147 kasus) dan tahun 2002 proporsi menjadi 22,1%
(532.742 kasus).
19
2) Menurunkan angka kematian pneumonia Balita sebagai kontribusi penurunan
angka kematian Bayi dan Balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44 menjadi 32
per 1.000 kelahiran hidup) dan Indikator Nasional Angka Kematian Bayi (34
menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup).
b. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit
saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah
1) Tersusunnya dokumen Rencana Kontijensi Kesiapsiagaan dan Respon terhadap
Pandemi Influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014.
2) Tersusunnya Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Pandemi
Influenza pada akhir tahun 2014.
3) Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan Kesiapsiagaan dan
Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.
4) Tersusunnya Pedoman Latihan (Exercise) dalam Kesiapsiagaan dan Respon
Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.
c. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun
Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di Rumah Sakit dan
Puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun
2014.
d. Faktor risiko ISPA
Terjalinnya kerjasama/ kemitraan dengan unit program atau institusi yang
kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya Pneumonia.
20
7. Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza melalui penyusunan rencana
kontinjensi di semua jenjang, latihan (exercise), penguatan surveilans dan penyiapan
sarana prasana.
8. Pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap dengan sistem
komputerisasi berbasis web.
9. Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan
berkala.
10. Evaluasi program dilaksanakan secara berkala.
Secara rinci, strategi P3M penyakit ISPA dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu
promosi penanggulangan pnemonia balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus,
peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya,
surveilans ISPA, pemantauan dan evaluasi dan pengembangan program ISPA.
1. Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang penting dalam upaya untuk
mendapatkan komitmen politis dan kesadaran dari semua pihak pengambil keputusan
dan seluruh masyarakat dalam upaya pengendalian ISPA dalam hal ini Pneumonia
sebagai penyebab utama kematian bayi dan Balita.
a. Advokasi
Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan komitmen
dari semua pengambil kebijakan.
b. Sosialisasi
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, kemandirian
dan menjalin kerjasama bagi pemangku kepentingan di semua jenjang melalui
pertemuan berkala, penyuluhan/KIE.
Sasaran promosi dalam P3M ISPA mencakup sasaran primer (ibu balita dan
keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan petugas lintas program serta
lintas sektor), dan sasaran tersier (pengambil keputusan). Pesan pokok, metode dan
media yang digunakan sesuai dengan sasaran.
2. Penemuan dan Tatalaksana Pneumonia Balita
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya
penurunan kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya
penemuan dan tatalaksana penderita ini.
21
Dalam kebijakan dan strategi P3M ISPA maka penemuan dan tatalaksana
penderita ini dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan
posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta,
RS swasta). Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah
tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader posyandu di
masyarakat. Berikut ini merupakan prosedur penemuan dan tatalaksana penderita
ISPA.
a. Penemuan penderita pneumonia
Penemuan dan tatalaksana Pneumonia merupakan kegiatan inti dalam
pengendalian Pneumonia Balita.
1) Penemuan penderita secara pasif
Dalam hal ini penderita yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit dan Rumah sakit swasta.
2) Penemuan penderita secara aktif
Petugas kesehatan bersama kader secara aktif menemukan penderita baru dan
penderita pneumonia yang seharusnya datang untuk kunjungan ulang 2 hari
setelah berobat.
22
Bagan 1. Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas
23
Maka:
Perkiraan jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja tersebut per tahun
adalah:
10% x 10% x 30.000 = 300 Balita/tahun
Perkiraan Jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Melati per
bulan adalah :
10% ×10%×30.000
= 25 Balita/bulan
12
Bila Puskesmas Melati dalam setahun menemukan 180 penderita maka pencapaian
target penemuan adalah:
180×100%
= 60%
300
Berarti Puskesmas Melati tidak mencapai target 70%, oleh karena itu perlu
dianalisis penyebab permasalahannya sehingga dapat diketahui pemecahan
masalah dan dapat ditindaklanjuti untuk tahun berikutnya.
d. Tatalaksana pneumonia Balita
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan Pengendalian
ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada Balita didasarkan pada pola
tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah
mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia.
24
Bagan 2. Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas umur < 2 Bulan
Bagan 3. Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan - < 5 Tahun
25
3. Ketersediaan Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Sesuai dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah maka pusat akan
menyediakan prototipe atau contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk
pelayanan kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi
kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain:
a. Obat
1) Tablet Kotrimoksazol 480 mg
2) Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml
3) Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml
4) Tablet Parasetamol 500 mg
5) Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.
Pola penghitungan jumlah obat yang diperlukan dalam satu tahun di suatu
daerah didasarkan pada rumus berikut :
26
Perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita = 300 Balita/tahun
Kebutuhan tablet Kotrimoksazol 480 mg setahun
= hasil cakupan tahun sebelumnya x perkiraan pneumonia balita x 6 tablet + 10%
bufferstock
= (30% x 300 x 6 tablet ) + 10% (30% x 300 x 6 tablet )
= 540 tablet + 54 tablet = 594 tablet
b. Alat
1) Acute Respiratory Infection Soundtimer
Digunakan untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat ini memiliki
masa pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian).
Jumlah yang diperlukan minimal:
a) Puskesmas
3 buah di tiap Puskesmas
1 buah di tiap Pustu
1 buah di tiap bidan desa, Poskesdes, Polindes, Ponkesdes
b) Kabupaten
1 buah di dinas kesehatan kabupaten/kota
1 buah di rumah sakit umum di ibukota kabupaten/kota
c) Provinsi
1 buah di dinas kesehatan provinsi
1 buah di rumah sakit umum di ibukota provinsi.
2) Oksigen konsentrator
Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini diperuntukkan
khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawat
inap dan unit gawat darurat yang mempunyai sumber daya energi (listrik/
generator).
3) Oksimeter denyut (Pulseoxymetry)
Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas
pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen konsentrator.
c. Pedoman
27
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas Kesehatan
Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas masing-masing
minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian ISPA, yang terdiri dari:
1) Pedoman Pengendalian ISPA
2) Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita
3) Pedoman Autopsi Verbal
4) Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza
5) Pedoman Respon Nasional menghadapi Pandemi Influenza
d. Media KIE (Elektronik dan Cetak)
1) DVD Tatalaksana pneumonia Balita.
Media ini berisi cara-cara bagaimana memeriksa anak yang menderita batuk,
bagaimana menghitung frekuensi napas anak dalam satu menit dan melihat
tanda penderita Pneumonia berat berupa tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chestindrawing).
3) TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita.
4) Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan Masyarakat.
e. Media pencatatan dan pelaporan
1) Stempel ISPA
Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia Balita sebagai
status penderita.
2) Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel).
3) Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)
28
(terlampir). Supervisi dilakukan secara berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota,
Puskesmas yang:
pencapaian cakupan rendah
pencapaian cakupan tinggi namun meragukan
kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik
a. Pelaksana supervisi:
1) petugas pusat,
2) petugas provinsi,
3) petugas kabupaten/kota,
4) petugas Puskesmas.
b. Alat:
Formulir(checklist) untuk supervisi mencakup aspek manajemen program
(pencapaian target, pelatihan, logistik) dan aspek tatalaksana.
c. Keluaran
Keluaran dari kegiatan supervisi dan bimbingan teknis pengendalian ISPA adalah :
1) data umum wilayah
2) data pencapaian target program
3) data pelatihan
4) data logistik
5) identifikasi masalah
6) cara pemecahan masalah
7) langkah tindak lanjut, dan
8) laporan supervisi dan bimbingan teknis.
5. Pencatatan dan Pelaporan
Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data dasar
(baseline) dan data program yang lengkap dan akurat.
Data dasar atau informasi tersebut diperoleh dari :
a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke pusat
setiap bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya bersumber dari
Puskesmas saja tetapi dari semua fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta
maupun pemerintah.
b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari lokasi
sentinel setiap bulan.
29
c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi
Disamping pencatatatan dan pelaporan tersebut di atas, untuk memperkuat data
dasar diperlukan referensi hasil survei dan penelitian dari berbagai lembaga mengenai
pneumonia.
Data yang telah terkumpul baik dari institusi sendiri maupun dari institusi luar
selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis. Pengolahan dan analisis data
dilaksanakan baik oleh Puskesmas, kabupaten/kota maupun provinsi. Di tingkat
Puskemas pengolahan dan analisis data diarahkan untuk tujuan tindakan koreksi
secara langsung dan perencanaan operasional tahunan. Sedangkan di tingkat
kabupaten/kota diarahkan untuk tujuan bantuan tindakan dan penentuan kebijakan
pengendalian serta perencanaan tahunan/5 tahunan di wilayah kerjanya masing-
masing.
Melalui dukungan data dan informasi ISPA yang akurat menghasilkan kajian
dan evaluasi program yang tajam sehingga tindakan koreksi yang tepat dan
perencanaan tahunan dan menengah (5 tahunan) dapat dilakukan. Kecenderungan atau
potensi masalah yang mungkin timbul dapat diantisipasi dengan baik khususnya
dalam pengendalian Pneumonia.
Data dan kajian perlu disajikan dan disebarluaskan/diseminasi dan diumpan
balikan kepada pengelola program dan pemangku kepentingan terkait di dalam
jejaring.
Diseminasi di tingkat Puskesmas dilakukan pada forum pertemuan rutin,
lokakarya mini Puskesmas, rapat koordinasi kecamatan dan sebagainya.
Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, diseminasi dilakukan pada forum
pertemuan teknis di dinas kesehatan, rapat koordinasi di tingkat kabupaten/kota,
provinsi, forum dengar pendapat serta diskusi dengan DPRD dan sebagainya, serta
dituangkan dalam bentuk buletin, laporan tahunan ataupun laporan khusus.
Dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA di Indonesia diagnosis tidak dianggap
sama dengan klasifikasi tatalaksana sehingga timbul kerancuan dalam pencatatan dan
pelaporan. Oleh karena itu dalam klasifikasi “Bukan Pneumonia” tercakup berbagai
diagnosis ISPA (non Pneumonia) seperti: common cold/ selesma, faringitis, Tonsilitis,
Otitis, dsb. Dengan perkataan lain “Batuk Bukan Pneumonia” merupakan kelompok
diagnosis.
30
6. Kemitraan dan Jejaring
a. Kemitraan
Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program
pembangunan. Kemitraan dalam program Pengendalian ISPA diarahkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat, lintas program, lintas sektor terkait dan
pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan demikian pembangunan
kemitraan diharapkan dapat lebih ditingkatkan, sehingga pendekatan pelaksanaan
pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dapat terlaksana secara terpadu dan
komprehensif. Intervensi pengendalian ISPA tidak hanya tertuju pada penderita
saja tetapi terhadap faktor risiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain
yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten.
Kegiatan kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan:
1) lintas program dan sektor terkait,
2) organisasi kemasyarakatan,
3) lembaga swadaya masyarakat,
4) tokoh masyarakat,
5) tokoh agama,
6) perguruan tinggi,
7) organisasi profesi kesehatan,
8) sektor swasta
b. Jejaring
Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan peningkatan
jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan. Berbagai manfaat yang
dapat diperoleh dari jejaring antara lain pengetahuan, keterampilan, informasi,
keterbukaan, dukungan, membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian
pneumonia di semua tingkat.
Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku kepentingan sesuai
dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik sektor pemerintah, swasta,
perguruan tinggi, lembaga/organisasi non pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun
melalui pertemuan atau pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga
kesinambungan jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui
pertemuan-pertemuan berkala dengan mitra terkait.
31
7. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Aspek pelatihan merupakan bagian penting dari Pengendalian ISPA dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya dalam penatalaksanaan kasus
dan manajemen program. Ada beberapa jenis pelatihan untuk tenaga kesehatan, yaitu :
a. Pelatihan pelatih (TOT)
TOT Tatalaksana Pneumonia Balita, Manajemen Pengendalian ISPA dan Pandemi
Influenza.
Tujuan:
Tersedianya tenaga fasilitator/pelatih pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam
pengendalian ISPA
Sasaran:
1) Pengelola ISPA Pusat
2) Pengelola ISPA Provinsi
3) Pengelola ISPA Kabupaten/Kota
b. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan
1) Tatalaksana ISPA
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu mempraktekkan tatalaksana penderita
Pneumonia sesuai standar di tempat kerjanya masing-masing.
Sasaran:
a) Paramedis Puskesmas, Polindes dan Bidan desa
b) Dokter Puskesmas
c) Dokter Rumah Sakit
d) Paramedis Rumah Sakit
e) Pengelola Program ISPA kabupaten dan provinsi
Materi:
a) Buku/modul Tatalaksana PneumoniaBalita
b) Bagan Tatalaksana Penderita Batuk dan Kesukaran Bernapas Pada Balita
c) DVD Tatalaksana Pneumonia Balita
Penyelenggaraan:
a) Jumlah peserta optimal30 orang per kelas
b) Rasio fasilitator termasuk MOT dengan peserta diupayakan 1:5
Lama pelatihan: 4 hari
32
2) Pelatihan Manajemen Program Pengendalian ISPA
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan manajemen program
Pengendalian ISPA secara efektif sesuai kebijakan program Pengendalian ISPA
Nasional dan situasi spesifik setempat.
Sasaran:
a. Pengelola program ISPA provinsi
b. Pengelola program ISPA kabupaten/kota
c. Pengelola program ISPA Puskesmas
Materi:
Pedoman/modul Pelatihan Manajemen Pengendalian ISPA terbitan Kementerian
Kesehatan.
Penyelenggaraan:
Jumlah peserta maksimal 30 orang per kelas
Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5
Lama Pelatihan: 4 hari
3) Pelatihan Promosi Pengendalian Pneumonia Balita
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu mengembangkan promosi penanggulangan
Pneumonia melalui advokasi, bina suasana dan penggerakan masyarakat.
Sasaran :
a) Pengelola program ISPA provinsi, kabupaten/kota
b) Pengelola program Promosi Kesehatan provinsi, kabupaten/kota
Materi :
Buku Pedoman/modul Promosi Pengendalian Pneumonia Balita.
Penyelenggaraan:
a) Jumlah peserta maksimal 30 orang per kelas
b) Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5
Lama pelatihan: 4 hari
c. Pelatihan Autopsi Verbal
Tujuan:
Petugas kesehatan mampu mengumpulkan gejala-gejala pada Balita menjelang
kematian melalui metode wawancara yang dilakukan antara 1-3 bulan setelah
33
kematian dan mampu membuat klasifikasi penyakit yang diderita anak umur <5
tahun menjelang kematiannya.
Sasaran:
c) Pengelola ISPA dan surveilans provinsi, kabupaten/kota dan Puskesmas.
d) Tenaga kesehatan (keperawatan dan kebidanan) Puskesmas, Pustu dan Polindes.
e) Pengelola program ISPA Puskesmas.
Materi:
1) Modul pelatihan Autopsi Verbal kematian Balita
2) Formulir wawancara
Penyelenggaraan:
1) Jumlah peserta diupayakan maksimal 30 orang per kelas
2) Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 8-10
Lama pelatihan: 4 hari
d. Pelatihan Pengendalian ISPA Bagi Tenaga non Kesehatan
Keberhasilan Pengendalian ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita sangat
ditentukan oleh peran serta masyarakat baik untuk menggerakkan masyarakat
dalam berperan untuk melaksanakan program (kader, TOMA, TOGA dan
sebagainya) maupun dalam menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan sarana
dan pelayanan kesehatan.
Dalam mengembangkan dan meningkatkan peranan masyarakat dalam
Pengendalian ISPA dilaksanakan pelatihan Pengendalian ISPA bagi tenaga non
petugas kesehatan.
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan kegiatan promosi pengendalian
Pneumonia Balita melalui penyampaian informasi Pneumonia yang benar kepada
orang tua/pengasuh Balita dan masyarakat umum.
Sasaran:
1) Kader
2) TP PKK desa dan kecamatan
3) TOMA
4) TOGA
Materi:
Buku pemberdayaan kader
34
Penyelenggaraan:
1) Jumlah peserta diupayakan maksimal 30 orang per kelas
2) Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 10
Lama pelatihan: 1 hari
8. Pengembangan Program
a. Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza
Kegiatan meliputi:
1) Penyusunan pedoman
2) Pertemuan lintas program dan lintas sektor
3) Latihan (exercise) seperti desktop/tabletop, simulasi lapangan
b. Sentinel Surveilans Pneumonia
Kegiatan di Puskesmas dan RS sentinel meliputi:
1) Penemuan dan tatalaksana pneumonia semua golongan umur.
2) Pengumpulan data pneumonia untuk semua golongan umur.
3) Pelaporan dari Puskesmas dan RS sentinel langsung ke Subdit P ISPA dengan
tembusan ke kab/kota dan propinsi.
4) Pengolahan dan analisis data dilakukan di semua jenjang.
5) Umpan balik dari Pusat ke Puskesmas dan RS sentinel dan tembusan ke
kab/kota dan propinsi.
6) Pembinaan/monitoring kegiatan pelaksanaan sentinel.
c. Kajian/pemetaan
1) Pengetahuan, sikap dan perilaku (KAP) yang terkait pneumonia.
2) Kesakitan (termasuk faktor risiko) dan kematian.
3) Pengendalian pneumonia di fasilitas kesehatan.
4) Penggunaan dan pemeliharaan logistik ISPA
5) Terapi oksigen dalam tatalaksana kasus pneumonia
9. Autopsi Verbal (Av)
Autopsi verbal Balita merupakan kegiatan meminta keterangan atau informasi
tentang berbagai kejadian yang berkaitan dengan kesakitan dan/atau tindakan yang
dilakukan pada Balita sebelum yang bersangkutan meninggal dunia, guna mencari
penyebab kematian serta faktor determinan yang sangat esensial dalam pengelolaan
kesehatan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara kepada ibu atau
pengasuh Balita yang dianggap paling tahu terhadap keadaan anak menjelang
35
meninggal. Petugas yang akan melaksanakan AV adalah petugas yang sudah
mengikuti pelatihan Autopsi Verbal Kematian Pneumonia Balita.
Peran aktif petugas ISPA/Puskemas sangat penting dalam memantau kematian
Balita di wiliyah kerja Puskesmas, baik yang datang maupun tidak datang ke sarana
pelayanan kesehatan setempat. Dari hasil AV akan didapat data kematian Balita
berdasarkan waktu, tempat dan orang sebagai sumber informasi manajemen dalam
menentukan intervensi yang efisien dan efektif.
Data kematian Balita bermanfaat sebagai:
a. Alat monitoring dan intervensi program kesehatan yang dilaksanakan.
b. Bahan perencanaan penganggaran dan kegiatan kesehatan.
c. Audit kasus kematian untuk upaya pembinaan.
d. Audit manajemen kasus dan kesehatan masyarakat
e. Penentu prioritas program
f. Data sasaran program menurut umur.
10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan
menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses pelaksanaan
sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya. Apabila terdapat
ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan dengan segera. Monitoring
hendaknya dilaksanakan secara berkala (mingguan, bulanan, triwulan).
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output yang
diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6 bulan, tahunan
dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh kegiatan pengendalian ISPA
akan menjadi masukan bagi perencanaan tahun/periode berikutnya.
a. Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam Pengendalian ISPA
Beberapa komponen yang dapat dipantau/evaluasi adalah:
1) Sumber Daya Manusia
a) Tenaga Puskesmas terlatih dalam manajemen program dan teknis
b) Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota dan
provinsi
2) Sarana dan Prasarana
a) RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki ruang isolasi,
ruang rawat
36
b) intensif/ ICU dan ambulans sebagai penilaian core capacity
penanggulangan pandemi influenza.
c) Ketersediaan alat komunikasi baik untuk rutin maupun insidentil (KLB).
3) Logistik
a) Obat:
Ketersediaan antibiotik
Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
b) Alat:
Tersedianya ARI sound timer
Oksigen konsentrator
Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas dan
lapangan
c) Pedoman (ketersedian dan kondisi sesuai standar)
d) Media KIE dan media audio visual
e) Tersedianya formulir pencatatan dan pelaporan
b. Indikator masukan
1) Sumber Daya Manusia
a) Tenaga fasilitas pelayanan kesehatan yang terlatih dalam manajemen
program dan teknis pengendalian ISPA.
Proporsi Puskesmas dengan Tenaga Terlatih
Pembilang (a):
Jumlah Puskesmas dengan tenaga terlatih yang ada di suatu wilayah
tertentu.
Penyebut (b):
Jumlah seluruh Puskesmas yang ada di wilayah tersebut
𝑎
Cara perhitungan: x 100%
𝑏
37
3) Logistik
a) Tersedianya alat: sound timer dan oksigen konsentrator
Proporsi Puskesmas yang memiliki Alat Bantu Hitung Napas atau
Sound Timer
Pembilang (a):
Jumlah Puskesmas yang memiliki sound timer di suatu wilayah tertentu.
Penyebut (b) :
Jumlah semua Puskesmas yang ada di wilayah tersebut.
𝑎
Cara perhitungan: 3𝑏 x 100%
b) Ketersediaan antibiotik
c) Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
d) Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
e) Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas dan
lapangan.
f) Ketersediaan pedoman
g) Media KIE dan media audio visual
c. Indikator luaran (Evaluasi)
1) Cakupan tatalaksana Pneumonia Balita
Pembilang (a):
Jumlah kasus Pneumonia Balita yang ditatalaksana di suatu wilayah kerja
Puskesmas dalam 1 tahun.
Penyebut (b):
Perkiraan jumlah penemuan PneumoniaBalita di wilayah kerja Puskesmas
tersebut dalam 1 tahun (10% dari jumlah Balita).
𝑎
Cara penghitungan: 𝑏 x 100%
38
4) Ketepatan laporan: 80%
2) Attack Rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada suatu saat
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit tersebut
pada saat yang sama.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑎𝑡
Attack Rate = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑔𝑘𝑖𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑛𝑎 × 100%
𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
b. Prevalen
Prevalen adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan baru yang
ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok masyarakat tertentu.
Poin prevalen rate: Jumlah penderita lama dan baru suatu penyakit pada suatu
saat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat itu.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑖𝑡𝑢
Poin prevalen rate = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑖𝑡𝑢
2. Ukuran Mortalitas
a. IMR (Infant Mortality Rate) =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
/1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑖 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
39
b. PMR (Perinatal Mortality Rate) =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒ℎ𝑎𝑚𝑖𝑙𝑎𝑛 28 𝑚𝑔𝑔 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ+
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖<7 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
/ 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑖 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
40