Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

APENDISITIS PERFORASI

Oleh:

LILIS FAZRIAH

(1607101030103)

NOLA SAPRIYELNA ANAS

(1607101030114)

Dosen Pembimbing :

dr. Dian Adi, Sp.BA


KATA PENGANTAR

Puji berserta syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Apendisitis
perforasi” sebagai salah satu tugas dalam menyelesaikan pendidikan di bagian
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW berserta
para sahabatnya, berkat rahmat beliau penulis dapat menikmati indahnya hidup di dalam
zaman yang penuh pengetahuan ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dian Adi, Sp. BA yang telah
membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan
kasus ini.

Penulis menyadari referat ini jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun
penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun
demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Demikianlah hal-hal yang dapat penulis sampaikan sebagai pengantar, semoga


referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Banda Aceh, Februari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................. 2

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................. 3

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN ....................................... 5

2.1 Definisi ................................................................... 5

2.2 Anatomi .................................................................

2.3 Etiologi .................................................................. 5

2.4 Epidemiologi .......................................................... 6

2.4 Patofisiologi ............................................................ 6

2.5 Klasifikasi .............................................................. 9

2.5 Manifestasi Klinis ................................................. 10

2.6 Diagnosis ............................................................... 11

2.7 Tatalaksana ............................................................ 15

BAB 3 LAPORAN KASUS........................................................... 21

3.1 Identitas Pasien ....................................................... 21

3.2 Anamnesis .............................................................. 21

3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................... 22

3.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 23

3.5 Diagnosis ................................................................................... 24

3.6 Terapi Non-farmakologi ............................................................ 25

3.7 Terapi Farmakologi ................................................................... 25

BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................ 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 39


BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-
10 tahun.1
Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada
anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami
perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian
resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama
pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.
Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat
hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy
negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis
appendicitis.1.2
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix
yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak
dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang
menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.1.2.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-
10 tahun.1
2.2 Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog
dengan Bursa Fabricus) yang membentuk produk immunoglobulin. Appendiks adalah
suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal
dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction
terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula
appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit
di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan
bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli
(taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal
appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan
SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.1
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum
berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup
ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.1
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan
lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal,
menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan
jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara
Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama
dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal
muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan
apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks.2
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8
yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah
dari medial menuju katup ileosekal.3
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens.
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.1
Jenis posisi1:
Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium sacri
Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya
retroperitoneal.
Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor
Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke
atas ke belakang caecum.
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri
appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.1
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari
a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
appendiks akan mengalami gangren.1

2.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.4
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari
sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian
berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di
apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.4

2.4 Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi
mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya5 :
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringanlymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada
kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut
dengan rupture.5

2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks,
pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes
splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob<10%.5
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah
terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga
terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.5
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik.
Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.5

2.5 Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.6
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar
0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi
yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.6
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena
terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas
dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor.6
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.6
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.6
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.6
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.6
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang
masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.6
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang
lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba,
mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini
belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun
proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau
tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat
(bedrest).6
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.6
2.6 Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan
menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada
saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya
sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi.6
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak
jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi.6
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan.6

1. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5◦C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal
sampai 1◦C.6
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.6
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu6:
 Nyeri tekan di Mc. Burney
 Nyeri lepas
 Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada,
yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 Nyeri tekan kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah.2
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.6Pemeriksaan
colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada
appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur
pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.6
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada
hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan.Dasar anatomi dari tes psoas.
Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang
saat dilakukan manuver (pemeriksaan).6 Tes Obturator. Nyeri pada rotasi
kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan
tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut
(tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.6Dasar Anatomi dari tes
obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak dengan otot obturator
internus yang meregang saat dilakukan manuver.6
2. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada
kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-
reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.7
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.7
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.8
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG
dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan
ektopik, adnecitis dan sebagainya.7,8
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi
sebagai metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai
penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.7
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.8
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.8

Sistem skor Alvarado


Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi
antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan
keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa.
Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka
perforasi sebesar 20-30%. Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak
dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah
satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem
skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif.
Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga
gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam
sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri,
anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan
bawah, nyeri lepas tekan, Temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil
lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai
nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga
kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10.9

Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:9


Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu > 37,30C 1
Jumlah leukosit > 10x103/L 2
Jumlah neutrofil > 75% 1
________________________________________________
Total skor: 10
Keterangan Alavarado score :9
 Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
 Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
1–4 dipertimbangkan appendicitis akut
5–6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7–9 appendicitis akut perlu pembedahan
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1–4 : observasi
5–6 : antibiotik
7 – 10 : operasi dini

2.7 Diagnosis Banding


1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.7
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.7
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang
anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi
insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.7
4. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.7
5. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu.
Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan
di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.7
6. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan
ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-
gejala appendisitis.7
7. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.7

2.8 Tata Laksana


Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.7
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara
klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan
sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi
nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas
batasnya.7
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah
ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam
massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana
karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah
didrainase.7
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu,
operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3
hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.6
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.7
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-
lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan
sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses
dengan atau pun tanpa peritonitis umum.6
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.6
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka
luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :7
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-
8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses,
dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu
kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.7
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa
hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa
mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.7
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana
nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini
akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat
dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar.
Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat
samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari
100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap
hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk
mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.7
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
 Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh
(diukur rectal dan aksiler)
 Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
 Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih
kecil dibanding semula.
 Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa
sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
 Apakah penderita sudah bed rest total
 Pemakaian antibiotik penderita
 Kemungkinan adanya sebab lain.
a. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan
terapi adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai
melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut
dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui
laparotomi.7
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Cutis 6. MOI
2. Sub cutis 7. M. Transversus
3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum

Garis insisi pada appendektomi10:


1. Insisi Gridiron
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan
spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus.
2. Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis
miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari
pada insisi gridiron.
3. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas
pubis.
4. Insisi
Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.
5. Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks
terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus.6
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :6
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance Muskular yang menyeluruh
 Bising usus berkurang
 Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :6
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.(4)
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.7

2.9 Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila
appendiks tidak diangkat.6
BAB III
LAPORAN KASUS

3.I Identitas Pasien


Nama : Siti Nurmaila
CM : 1159599
Umur : 6 Tahun
Alamat : Aceh Singkil
Tinggi Badan : 120 cm
Berat Badan : 20 kg
Tanggal Masuk RS : 27-01-2018
Tanggal pemeriksaan : 27-01-2018
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada perut

Keluhan Tambahan : Mual (+), muntah (+), sakit kepala

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang rujukan dari Rumah Sakit Subullusalam
dengan keluhan nyeri pada seluruh bagian perut yang dirasakan sejak lebih kurang 3
hari. Awalnya nyeri yang dirasakan pasien pada bagian perut kanan bawah yang
dirasakan pasien dalam 2 bulan, nyeri terasa seperti diremas, nyeri tidak menghilang
dengan makan, dan diperberat dengan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan tidak dapat
BAB dan BAK dalam 3 hari terakhir, pasien merasa mulas ingin BAB namun tidak
dapat keluar dan menurut ibu pasien perut anaknya tampak semakin membesar dalam 3
hari terakhir, menurut keterangan ibu pasien, pasien memiliki kebiasaan sering menahan
BAB, sehingga sering BAB 1 x dalam seminggu.

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya

Riwayat persalinan, antenatal dan lahir dalam batas normal


3.3 Pemeriksaan Fisik

a. Vital Sign

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 95 kali/ menit

Pernapasan : 20 kali/ menit

Suhu : 37,8 0C

b. Pemeriksaan Fisik Umum

Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)


pupil isokor ø 3 mm/3 mm

Telinga : Normotia (+), sekret (-)

Hidung : Sekret (-), Darah (-)

Mulut : Pucat (-), Sianosis sentral (-)

Leher : TVJ R ± 2cmH2O, perbesaran KGB (-)

Toraks :

- Inspeksi : Simetris pada saat statis dan dinamis, bentuk normal, retraksi
interkostal (-)
- Palpasi : SF kanan = SF kiri, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor/sonor
- Auskultasi : Vesikular (+/+), rh (-/-) wh (-/-)

Jantung :

- Inspeksi : iktus kordis terlihat


- Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavicula 2 cm kearah
lateral
- Perkusi :
 Batas atas : ICS III midclavicula sinistra
 Batas kiri : ICS VI linea axila anteriorsinistra
 Batas kanan: ICS V linea parasternal dextra
- Auskultasi : BJ I > BJ II, iregular (+), gallop (-)
Abdomen :

- Inspeksi : Distensi (+), darm contour (-), darm steifung (-), spider naevi (-
)
- Palpasi : Nyeri tekan (+), pembesaran organ (-), soepel
- Perkusi : Timpani (+)
- Auskultasi: peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas : Edema (-) di kedua lengan dan tungkai.

3.4 Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium 27 januari 2018


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 10,9 12.0-15.0 g/dL


Hemotokrit 33 40-54 %
Eritrosit 4,2 4,7-6,1 103 /mm3
Trombosit 395 150-450 103 /mm3
Leukosit 28,1 4,5 - 10,5 103 /mm3
MCV 78 80-100 fL
MCH 26 27-31 pg
MCHC 34 32-36 %
RDW 12,7 11,5-14,5 %
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Neutrofil Batang 0 2-6 %
Neutrofil Segmen 88 50-70 %
Limfosit 8 20-40 %
Monosit 4 0-6 %
Natrium 138 135-145 Mmol/L
Kalium 4,4 3,5-4,5 Mmol/L
Klorida 101 90-110 Mmol/L
Kimia Klinik
Protein total 5,57 6,4 – 8,3 g/dL
Albumin 2,93 3,5- 5,4 g/dL
Globulin 2,64 g/dL
Hematologi
PT 10,4 9,3 - 12,4 Detik
APTT 36,2 29,0 - 40,2 Detik

Foto BNO 25/01/2018

1.5 Diagnosis
Apendisitis perforasi

Terapi IGD

3.6 Terapi Non-Farmakologi


Bed rest

3.7 Terapi Farmakologi

- IVFD Ringer Laktat 1500cc/24 jam


- Inj. Cefriaxone 1 gr/12 jam
- Drip metronidazole 200 mg
- Inj. Metamizole sodium 400 mg

Ruang Rawat
- IVFD Ringer Laktat 1500 cc/ 24 jam
- Inj. Cefrioaxone 1 gr/12 jam
- Drip metronidazole 200 mg
- Inj. Novalgin 300 mg/8 jam
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah diperiksa pasien perempuan umur 6 tahun dengan keluhan nyeri seluruh lapangan
perut sejak lebih kurang 3 hari. Awalnya nyeri yang dirasakan pasien pada bagian perut
kanan bawah yang dirasakan pasien dalam 2 bulan, nyeri terasa seperti diremas, nyeri
tidak menghilang dengan makan, dan diperberat dengan aktivitas. Pasien juga
mengeluhkan tidak dapat BAB dan BAK dalam 3 hari terakhir, pasien merasa mulas
ingin BAB namun tidak dapat keluar dan menurut ibu pasien perut anaknya tampak
semakin membesar dalam 3 hari terakhir, menurut keterangan ibu pasien, pasien
memiliki kebiasaan sering menahan BAB, sehingga sering BAB 1 x dalam seminggu.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang, dan
hemodinamik stabil, suhu tbuh pasien 37.8 dan VAS 6/10. Berdasarkan pemeriksaan status
genralis ditemukan kelainan abdomen pada inspeksi terdapat distensi perut. Pada palapasi
ditemukan adanya nyeri tekan, peristaltic usus normal.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis (28.100/uL).


Selain itu didapatkan skor 8 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan
bedar appendicitis (skor ≥7).

Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:9


Gejala dan tanda: Skor pasien
Nyeri berpindah 1 1
Anoreksia 1 1
Mual-muntah 1 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2 2
Nyeri lepas 1 1
Peningkatan suhu > 37,30C 1 1
Jumlah leukosit > 10x103/L 2 2
Jumlah neutrofil > 75% 1 1
________________________________________________
Total skor: 10 10
Dari anmnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang diagnosis pada pasien tersebut adalah
appendicitis perfoforasi, pasien direncanakan untuk operasi laparatomi emergency.
Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang nantinya dapat
menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Sebagai tatalaksana awal
pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan
rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL sebanyak 1500cc / 24 jam), analgesik (Novalgin
3 x 300 mg IV) dan antibiotic (ceftriaxone 2 x 1 g IV, metrodinazole 300 mg) selagi
mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy dilakukan dalam anastesi umum.
Apendiks yang ditemukan intra-operatif tampak appendik hiperemis, oedem, perforasi,
teradapat pus ± 20 cc, dan terletak retrocaecal intraperitoneal. Setelah operasi selesai,
sebagai tatalaksana post-operasi terapi yang diberikan sebelumnya berupa
cairan, analgesik dan antibiotik dilanjutkan. Selain itu, perlu dilakukan observasi
tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia
atau gangguan pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA

1. D’Souza N, Nugent K. Appendicitis. Am Fam Physician. 2016; 93: 142- 143.

2. Glass CC, Saito JM, Sidhwa F, Cameron DB, Feng C, Karki M, et al. Diagnostic
imaging practices for children with suspected appendicitis evaluated at definitive
care hospitals and their associated referral centers. J Pediatr Surg. 2016.

3. Papandria D, Goldstein SD, Rhee D, et al. Risk of perforation increases with


delay in recognition and surgery for acute appendicitis. J Surg
Res. 2013;184(2):723–729.
4.

5. Van De Graaff. Human Anatomy 6th Ed.New York: Mc Graw Hill. 2001.

2. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology 3rd Ed. Massachusets:
Saunders. 2002.

3. Sadler TW. Langman’s Medical Embriology 9th Ed. New York: Mc Graw Hill.
2002.

4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 11th Ed. Philadelphia:
Saunders. 2006.

5. Bashin SK et al.Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK


Science.2007.

6. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.


2004.

7. Craig S. Appendicitis di http://emedicine.medscape.com/article/773895-


overview

8. Humes DJ, Simpson J. Acute Appendicitis. BMJ. 2007

9. Khan I. Application of Alvarado Scoring System in Diagnosis of Acute


Appendicitis. J Ayub Medical Collection. 2005.

10. Noor, UA., Putra, DA., Oktaviati, Syaiful, RA., Amaliah, R. 2011,
Penatalaksanaan Appendisitis, Jakarta: Bedah Umum, Departemen Ilmu Bedah
FKUI/RSCM.http://generalsurgery-fkui.blogspot.com/2011/05/penatalaksanaan-
apendisitis.html.
11. Williams B A, Schizas A M P, Management of Complex Appendicitis. Elsevier.
2010. Surgery 28:11. p544048.

Anda mungkin juga menyukai