Anda di halaman 1dari 4

Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)

Konsep Dasar

Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner &
Suddarth, 1999).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2000).

Dahulu disebut juga sebagai hipertrofi prostat jinak (Benign Prostat Hipertropy = BPH), istilah hipertrofi
karena yang terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke
periper dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Arief, 2000).

Anatomi dan fisiologi

Anatomi Prostat
Merupakan kelenjar yang berada dibawah vesika urinaria melekat pada dinding bawah vesika urinaria
disekitar uretra bagian atas.
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari, berat prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20
gram, yang letaknya retroperitonial, melingkari leher kandung kemih dan uretral dan terdiri dari kelenjar
majemuk, saluran-saluran dan otot polos.
Kelenjar prostat, merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30 – 50 kelenjar, yang terbagi atas lima
lobus, yaitu lobus posterior, medius, anterior dan dua lobus lateral, tetapi selama perkembangan
selanjutnya ketiga lobus posterior bersatu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus
medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus-lobus lain tampak homogen
berwarna keabu-abuan, dengan kista kecil-kecil berisi cairan seperti susu. Kista-kista ini ialah kelenjar-
kelenjar postat.

Fisiologi
Prostat ialah suatu alat tubuh yang bergantung pengaruh endokrin dan dapat dianggap imbangan
(counterpart) dari pada payudara pada wanita. Fungsi kelenjar prostat, menambah cairan alkalis pada
cairan seminalis, yang berguna melindungi spermatozoa terhadap tekanan yang terdapat pada uretra.

Etiologi

Penyebab BPH belum jelas, namun terdapat faktor risiko umur dan hormon androgen. Perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini
berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun keatas
(Mansjoer Arief, 2000).

Patogenesis

Menurut Mansjoer Arif (2000), ialah :

1. Teori Dehidrostetosteron (DHT)Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi
DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan
terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.
2. Teori HormonEstrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.
3. Faktor interaksi stroma dan epitelHal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast
Growth Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih besar pada klien dengan pembesaran prostat jinak. b-FGF dapat dicetuskan oleh
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus
urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan prostat.

Patofisiologi

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi lagi sehingga terjadi retensio urine, yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

Adapun patofisiologi dari masing–masing gejala awal BPH adalah:

1. Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal
dan menetap dari BPH.
2. Hesitancy terjadi karena destrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
3. Intermittency terjadi karena destrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir
miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine
yang banyak dalam buli-buli.
4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga
interval pada tiap miksi lebih pendek.
5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan destrusor sehingga
terjadi kontraksi involunter.
7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urine keluar
sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.

Manifestasi klinis

Biasanya pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urineary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan
menjadi gejala iritatif dan obstruktif (Mansjoer Arief, 2000).

1. Gejala iritatif :
o Sering miksi (frekuensi).
o Terbangun untuk miksi pada malam hari (nocturia).
o Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency).
o Nyeri pada saat miksi (disuria).
2. Gejala obstruktif :
o Pancaran melemah.
o Rasa tidak lampias sehabis miksi.
o Kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitency).
o Harus mengedan (straining).
o Miksi terputus-putus (intermittency).
o Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urine dan inkontinensia urine
karena overflow.

Selain gejala diatas, gejala generalisata mungkin juga tampak termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.

Gejala dan tanda pada klien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal, yang dapat ditemukan
uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang
pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau
pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di Costo Vertebrae Angularis (CVA). Buli-buli yang distensi dapat
dideteksi dengan palpasi dan perkusi.

Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan menyingkirkan diagnosis banding
seperti sriktur, karsinoma, stenosis meatus atau fimosis.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan, sisa
urine diukur dengan cara mengukur sisa urine yang masih dapat dikeluarkan dengan kateterisasi. Sisa
urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan inter vensi pada
hipertropi prostat (Mansjoer Arief, 2000 : 332).

Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH, meliputi :

1. Pemeriksaan laboratorium
o Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel
leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih.
o Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
o Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk memperkirakan volume BPH.

Diagnosis Banding

Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik), misalnya
pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang mengorbankan persarafan didaerah
pelvis, dan penggunaan obat-obatan (penenang, penghambat reseptor ganglion dan parasimpatik).

Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan oleh proses fibrosis. Resistensi uretra dapat disebabkan oleh
pembesaran prostat (jinak atau ganas), tumor dileher buli-buli, batu uretra dan striktur uretra.

Penatalaksanaan

Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi klien (Mansjoer
Arief, 2000).

1. Observasi Dilakukan pada klien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan ialah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat
dekongestan (parasimpatolitik), dan mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol.
2. Terapi Medikamentosa
o Penghambat adrenergik

Obat yang biasa dipakai ialah prazosin, yang berfungsi untuk mengurangi obstruksi
pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas destrusor.

o Penghambat 5-a-reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride. Golongan obat ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

3. Terapi Bedah

Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung berat ringannya gejala dan
komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah, yaitu :

o Retensio urine berulang.


o Hematuri.
o Tanda penurunan fungsi ginjal.
o Infeksi saluran kemih berulang.
o Tanda-tanda obstruksi berat, yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis.
o Ada batu saluran kemih.

Engram, Barbara (1999) menyebutkan ada empat cara pembedahan prostatektomi, masing-
masing dengan hasil yang berbeda, yaitu:

o Transurethral Resection of the Prostate (TURP)


 Jaringan abnormal diangkat melalui rektoskop yang dimasukan melalui uretra.
 Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.c). Dibutuhkan kateter foley setelah
operasi.
o Prostatektomi suprapubik
 Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
 Diperlukan verban luka drainase, kateter foley dan kateter suprapubik setelah
operasi.
o Prostatektomi retropubis
 Penyayatan dilakukan pada perut bagian bawah.
 Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
 Diperlukan balutan luka, foley kateter, dan drainase.
o Prostatektomi perineal
 Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
 Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
 Vasektomi dilakukan sebagai pencegahan epididimistis.
 Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema,
diet rendah sisa dan antibiotik).

1. Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) dilekatkan pada
tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
2. Terapi Invasif Minimal
o Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT).
o Dilatasi Balon Transurethral (TUBD).
o High-instensity Focused Ultrasound.
o Ablasi jarum Transuretra.
o Stent Prostat.

Anda mungkin juga menyukai